Allah Rakkha Rahman lahir pada tanggal 6 Januari 1966 dengan nama AS Dileep Kumar di Chennai, Tamil Nadu, India, umumnya dikenal dengan dua inisial pertama akhiran AR Rahman. AR Rahman adalah Seorang komposer musik untuk film. Karirnya semakin menjulang setelah berhasil mengarahkan musik pada Film "SLUMDOG MILLIONARE" yang meledak di pasaran. Karir suksesnya di dunia musik dan film berawal ketika Mani Ratman pada tahun 1991, Mani Ratman adalah salah seorang Sutradara film India yang terkenal. Mani Ratman mendatangi AR Rahman yang pada saat itu juga cukup terkenal sebagai komposer musik untuk periklanan untuk menajak AR Rahman menjadi pengarah Musik pada film nya. Mani Ratman mengajaknya untuk menangani "K. Balachander's film dalam film Roja". Film ini di tulis dan disutradarai oleh Mani Ratman, Madhoo dan Arvind Swamy adalah pemeran utamanya. Ada sebuah lagu di film tersebut yang berjudul 'Tamizha Tamizha' yang menjadi sangat terkenal dan mengantarkan AR Rahman ke panggung dunia. Penyatuan unsur musik Pop, Bach, Beethoven, Mozart, Reggae, Rock dan Musik Klasik India pada lagu itu memenangi tiga penghargaan untuk BEST MUSIC DIRECTOR. Dan Musik AR Rahman sangat di pengaruhi oleh mistisme sufi. Pada tahun 2005, Majalah "TIME" telah memilih Sound Track pada film itu sebagai "Ten Best soundtracks of all time". Dan, ketika sutradara Slumdog Millionaire, Danny Boyle menawarkannya sebagai penata musik, ia tidak menyia-nyiakannya. Dia rencanakan musik itu beberapa bulan sebelum akhirnya film itu benar-benar populer.
Ayah AR Rahman bernama RK Sekar, seorang direktur musik yang banyak bekerja untuk "Mallu Films" dan ibunya Kasturi (Kareema Begum). Ayah Rahman terlahir sebagi Hindu lahir dan hingga meninggal, ibunya, Kasturi bernama asli Kareema Begum dan sebelum menikah beragama Hindu Shekhar. RK Sekhar adalah seorang musisi arranger dan konduktor film sukses pada film-film Malayalam dan telah bekerja dengan tokoh-tokoh populer seperti Salil Chowdhary dan Devarajan. RK Sekhar meninggal dunia pada saat AR Rahman baru berumur 9 tahun.
Dengan meninggalnya sang ayah, tanggung jawab untuk mendukung ibunya Kasturi (Sewaktu masih hindu bernama Kareema Begum) dan 3 adik peremuannya (Kanchana, Bala - Sekarang Talat dan Israth) segera jatuh kepundaknya dan membuat karir musik pria ini dimulai lebih cepat yaitu ketika berumur 11 tahun. Beruntung, ia telah mengikuti kursus piano sejak umur 4 tahun dan bisa menjadikannya bekal untuk awal karirnya. Pada saat itu Rahman bergabung dengan kelompok musik terkenal yang dipimpin oleh Ilayaraja’s sebagai pemain Keyboard. Pekerjaan ini menuntut banyak waktu dan berdampak buruk pada pendidikan Rahman. Kurangnya perhatian dan ketidak pedulian management membuatnya beralih dari "Padma Seshadri Bal Bhavan" yang bergengsi ke sekolah kristen di Madras. Namun akhirnya ia putus sekolah pada usia 16 tahun.
Juga mengikuti pemain orkestra tabla terkenal "Ustad Zakir Hussain" berkeliling dunia. Pengalaman dan pemaparan musiknya membantu dia mendapatkan beasiswa dan mendapatkan gelar di Musik Klasik Barat dari Trinity College of Music, Oxford University.
Pada tahun 1987, Rahman mulai menulis lagu jingle untuk iklan televesi. Jingle pertamanya adalah untuk iklan jam tangan baru "Allwyn". Setelah itu dalam rentang waktu 5 tahun, Rahman setidaknya telah membuat lebih dari 300 jingle. Lagu ke Islaman pertamnya berjudul "Deen Isai Malai" dan lagu berbahasa inggris "Set Me Free" namun tampaknya gagal di pasaran. Rahman memiliki studio kecil yang lengkap bernama "Panchatan Record Inn" dan merupakan salah satu studio rekaman terlengkap di India. Rahman juga mengkoleksi sample suara paling lengkap di Asia.
Rahman menjadi Muslim.
Jika di Musik, Rahman telah di berikan ketenaran dan dalam Islam, Ia telah di anugerahi Kedamaian. Kisahnya masuk islam (menjadi mualaf) tergolong unik dan menakjubkan. Pada tahun 1989, Dileep Kumar dan keluarganya telah berpindah agama ke Islam. Keputusan ia dan keluarganya mengubah agamanya tidaklah sulit. Bermula dari jatuh sakitnya sang salah satu adik perempuannya dimana berbagai upaya medis menemui kegagalan. Secara kebetulan ia bertemu dengan sheikh muslim bernama Syaikh Abdul Qadir Jaelani atau Syaikh Qadri. Dari sini ia mendapatkan saran untuk memanjatkan doa di sebuah masjid dan bersumpah untuk masuk Islam jika sang adik kelak diberi kesembuhan. Jadilah keluarga Rahman menjalankan saran tersebut.
Tak lama berselang sang adik pun diberi kesembuhan. Dan sesuai dengan sumpah yang telah mereka ucapkan, Rahman beserta seluruh anggota keluarganya menyatakan masuk Islam. saat itu usia Rahman baru menginjak 23 tahun. Dengan statusnya yang telah muslim, ia pun mengubah namanya dari AS Dileep Kumar menjadi Abdul Rahman dan kemudian berubah menjadi Allah Rakkha Rahman setelah mendapatkan masukan/saran dari Naushad Music Director.
Rahman kini, adalah salah satu dari Muslim yang langka dalam industri film dimana ia telah berhasil menciptakan keseimbangan antara agama dan bekerja. Dia tidak pernah melewatkan shalat lima waktu setiap hari dan telah berhaji dua kali. Baginya agamanya menyediakan dasar yang membuat dia rendah hati. "Sementara berdoa Anda mencapai posisi tertentu, mengatakan tuan bahwa Anda adalah orang berdosa yang paling mengerikan di dunia, bahwa Anda harus diberi pengampunan dan rahmat".
Rahman memiliki keyakinan yang kuat dalam Sufisme, dan ia adalah orang yang sangat spiritual. Sufisme adalah tentang cinta "cinta sesama manusia, cinta kemanusiaan, dan akhirnya cinta kepada Tuhannya. Dia adalah seorang yang kritis dari cara ekstrim yang diadopsi oleh beberapa Muslim. Dalam sebuah wawancara yang diberikan kepada Arab News dia memberikan pandangan panjang lebar tentang ajaran Islam.
Dia menyangkal rumor yang menghubungkannya dengan fundamentalisme dan pemaksaan berpindah agama, Bagaimana bisa saya menyediakan dana bagi mereka (badan amal yang dicurigai), ketika saya telah menerima ancaman kematian dari ekstremis dan pemerintah negara bagian telah menempatkan personel polisi untuk menjaga kediamannya. Pada konversi katanya, Saya sendiri tidak sempurna, bagaimana saya bisa mengubah orang lain? Aku mengikuti agama saya, biarkan orang lain mengikuti agama mereka miliki.
Selasa, 04 Januari 2011
Gonzales "El loco", Menjadi Muallaf
Christian Gonzales, pemain cemerlang bertabur bintang dengan gelar peraih top skor 4 tahun berturut-turut merupakan sosok yang tak asing lagi di dunia persepakbolaan tanah air Indonesia. Namun siapa menyangka, dibalik kesuksesan Gonzales terdapat suatu kekuatan yang menyemangati hidupnya, terlebih setelah ia menjadi Muallaf, kekuatan itu tidak lain adalah kekuatan doa.
Gonzales atau yang memiliki nama lengkap Christian Gerard Alfaro Gonzales dilahirkan di Monteveido, Uruguay pada tanggal 30 Agustus 1976 dari seorang ayah angkatan militer bernama Eduardo Alfaro dan ibu seorang suster di rumah sakit Montevideo bernama Meriam Gonzales.
Kedua pasangan ini, khususnya sang ibu adalah penganut agama Katolik yang taat. Gambar Bunda Maria selalu menempel di setiap sudut ruangan rumah dan tempat kerjanya. Bahkan saking fanatiknya, gambar Bunda Maria kerap dibawa kemana-mana oleh ibunya.
Ketaatan dari sang ibu nampaknya berpengaruh pada diri Gonzales, anak ketiga dari enam saudara ini kerap pergi ke Gereja dua sampai tiga kali dalam seminggu, oleh karena itu tidak heran jika Gonzales dikenal sebagai anak yang taat dalam beragama.
Perkenalannya dengan dunia sepak bola, dimulai ketika Gonzales berusia 6 tahun. Semula ayahnya berharap Gonzales dapat meneruskan jejaknya menjadi seorang militer, namun karena kegilaannya terhadap dunia sepak bola, harapan itu tak terpenuhi.
Menginjak usia ke 18 tahun, pria yang menyukai warna hitam ini bertemu dengan seorang wanita beragama Islam asal Indonesia, Eva Nurida Siregar di Cile, Amerika latin pada tahun 1994. Saat itu Eva menekuni salsa di sekolah Vinadelmar. Lama berkenalan akhirnya Gonzales menyimpan hati pada Eva. Dan tak lama kemudian Cintanya berbalas.
Sebagai penganut Katolik, lelaki yang dikenal pendiam ini sama sekali tidak mengenal agama Islam yang dianut pujaan hatinya, begitu pun dengan sang ibu. “Sebelum ketemu istri, saya sama sekali tidak tahu Islam” ungkap pria penggemar Rivaldo. Maka peran Eva pun menjadi berat, ia berulang kali menjelaskan tentang ajaran Islam yang dianutnya.
Usaha wanita kelahiran Pekanbaru ini akhirnya berhasil. Eva Nurida Siregar yang beragama Islam dan Christian Gerard Alfaro Gonzales yang beragama Katolik menikah dan hidup bersama di Uruguay pada tahun 1995.
Karir pria yang memiliki tinggi badan 177 mm ini di dalam persepakbolaan terus berkembang, mulai dari Klub Penarol Uruguay (1988-1991), South Amerika (1994-1995), Huracan de Carientes Argentina (1997) dan Deportivo Maldonado (2000-2002) pernah dijajakinya. Perkembangan karir ini sebetulnya tidak lepas dari peran Eva. Setiap kali pemain sepak bola yang dijuluki elloco (si gila) ini mau berangkat bertanding, wanita yang biasa dipanggil Amor oleh Gonzales ini selalu memanjatkan doa kepada Allah SWT. Dalam berdoa terkadang Eva sengaja mengeraskan suara dengan harapan Gonzales dapat mendengarnya.
Kebiasaan inilah yang membuat Gonzales mulai tertarik dengan ajaran Islam. Ia sendiri tidak akan beranjak pergi sebelum kekasihnya selesai berdoa. Karena dari doa inilah Gonzales menemukan kedamaian dan ketenangan yang selama ini tidak didapatkan dari agama yang dianut sebelumnya. Doa ini pula yang membuat dirinya semakin bersemangat dan optimis setiap kali bertanding di lapangan hijau.
Tidak hanya itu, Gonzales terkadang memperhatikan kebiasaan Eva yang selalu mengucapkan bismilah ketika mau melakukan sesuatu atau mengucapkan istighfar ketika dihadapkan pada konflik, serta ucapan lainnya yang menjadi doa umat Islam.
Pada tahun 2002 pria yang menyukai aktor Tom Cruise ini menerima sebuah tawaran dari agen sepak bola untuk bermain di Indonesia. Ia pun tertarik dan akhirnya menerima tawaran tersebut dengan merumput di Indonesia bersama PSM Makassar pada tahun 2003.
Indonesia merupakan negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam, selama ini Gonzales hanya mengenal Islam melalui istrinya dan ini dirasa tidak cukup. Sekarang pemain yang doyan sup ayam ini bisa langsung menemukan Islam dari para penganutnya.
“Saya tidak pernah memaksa Gonzales masuk Islam”. Ungkap Eva “Kadang-kadang setelah saya baca buku tentang ajaran Islam, saya simpan buku itu di meja dan Christian diam-diam membacanya, maka dia kemudian tahu bagaimana sikap suami terhadap istrinya dalam Islam dan bagaimana sikap istri terhadap suaminya” Lanjutnya mengenang saat pertama kali tinggal di Indonesia bersama Gonzales.
Maka tepat pada tanggal 9 Oktober 2003 Christian Gonzales memutuskan untuk masuk Islam atas dasar kemauan sendiri dengan disaksikan oleh ustadz Mustafa di Mesjid Agung al Akbar Surabaya. Christian Gerard Alfaro Gonzales kemudian diberi nama Mustafa Habibi. Nama Mustafa diambil dari guru spiritualnya, ustadz Mustafa sedangkan Habibi (cintaku) diambil karena rasa cinta sang istri amat besar kepada Christian Gonzales.
Islam memiliki kesan tersendiri bagi Gonzales “Karena di dalam Islam setiap ada sesuatu ada ucapan doanya seperti ketika masuk rumah mengucapkan assalamualaikum, ketika mau melakukan sesuatu diawali dengan basmalah, dan setiap melangkah dalam Islam selalu aja ada bacaan. Dan ini menjadi hati saya merasa tenang” Ungkap Eva mengutip ucapan Gonzales.
keislaman pria penggemar Manchester United ini kemudian dilegalkan di Kediri dengan Piagam muallaf dari Urusan agama setempat sekaligus melegalkan pernikahan antara Christian Gonzales dengan Eva Siregar.
Sang ibu, Meriam Gonzales saat dikabarkan keislaman anaknya, menerima dengan ikhlas agama yang dipilih anak tercintanya, ia hanya berharap anaknya meraih kesuksesan di masa depan. Namun untuk menjalin hubungan keluarga, Gonzales dan Eva setiap hari tidak ketinggalan menghubungi ibunya, hanya sekedar menanyakan kabar dari negara nun jauh di sana.
Seakan menemukan air di gurun sahara, begitulah kondisi pemain yang mencetak 33 gol untuk PSM Makassar saat itu. Dengan bimbingan Ustadz Mustafa, Gonzales mulai mengenal Islam lebih dalam. Selain itu Hj Fatimah, ulama terkenal asal Mojosari dan Hj. Nurhasanah turut menjadi guru spiritual Gonzales. Bahkan Majlis Ulama Gresik sendiri sampai mengangkat Gonzales beserta keluarganya sebagai anak angkat mereka.
Hj. Nurhasanah biasa dipanggil Bunda, selalu menyemangati Gonzales dengan nasehat untuk selalu berdoa. “Kamu harus kuat-kuat doa” kenang Eva menirukan ucapan Hj. Nurhasanah. Begitu pun Hj Fatimah, ustadzah yang membangun mesjid dengan nama Gonzali ini baik via telephone atau tatap muka selalu menyemangati Gonzales dengan doa sambil menangis.
Selama di Kediri, ayah empat anak ini bermain membela Persik Kediri dan tinggal di perumahan Taman Persada. Rumah ini menjadi awal kehidupan baru bagi Mustafa Habibi. Islam telah banyak merubah dirinya. Setiap tengah malam ia terbiasa membangunkan istrinya untuk shalat tahajud atau sekedar berdoa.
Setiap kali pertandingan akan digelar keesokan harinya, Eva sang istri selalu mengadakan pengajian yang dihadiri oleh ibu-ibu sekitar rumahnya dan diakhiri dengan pembacaan doa. Sementara pengajian berlangsung, Gonzales selalu memperhatikan pengajian dan duduk disamping Eva atau terkadang ia duduk di belakang ibu-ibu pengajian. Maka tidak heran jika Eva lupa tidak mempersiapkan pengajian orang yang pertama kali menegurnya adalah suaminya sendiri. Namun Gonzales bukanlah manusia yang sempurna, sama seperti pemain lainnya dalam pertandingan sepak bola, konflik kadang tidak bisa dihindari. Tercatat pada tahun 2004, Gonzales pernah memiliki masalah dengan Abu Shaleh Pengurus Pengda PSSI Banten saat PSM Makassar menjamu Persikota Tanggerang. Tahun 2006, Gonzales bermasalah dengan Emanuel de Porras striker PSIS. Setahun kemudian Gonzales berurusan dengan wasit Rahmat Hidayat saat melawan Pelita Jaya Jawabarat dan pada tahun 2008 Gonzales berurusan dengan Erwinsyah Hasibuan bek dari PSMS.
Tentunya permaslahan ini berujung pada sanski yang dikeluarkan tim disiplin PSSI, mulai dari denda sampai larangan bermain. Sanksi ini bagi Gonzales merupakan ujian berat, dan pada saat yang sama guru-guru spiritual Gonzales selalu membimbing dan menyemangati Gonzales untuk tetap bangkit dan bersabar menerima cobaan. Terbukti, nasehat ini berhasil membawa Gonzales terus bangkit dan kembali berlaga untuk menciptakan gol di lapangan hijau.
Popularitas dan harta yang melimpah ruah tidak begitu mempengaruhi Gonzales, ia bukanlah tipe orang yang suka menghambur-hamburkan uang. Bahkan ia akan sangat marah jika ada orang yang mengajaknya ke klub atau tempat hiburan malam dan tak segan Gonzales akan memutuskan hubungan dengan orang tersebut.
Harta yang ia raih dari perjuangannya di persepakbolaan lebih suka ia berikan kepada anak yatim, fakir miskin dan ibu-ibu pengajian sebagai zakat dan shadaqah. Hal ini dilakukan karena Gonzales mengetahui kewajiban zakat yang ia baca dari buku-buku keislaman milik istrinya.
Sempat Gonzales beserta istrinya berkeinginan untuk menunaikan haji tahun 2008, namun Allah berkehendak lain uang yang di dapatkan dari peralihan top skor sebanyak 50 juta digunakan guna membiayai operasi istrinya untuk melahirkan anak keempat, Vanesa Siregar Gonzales.
Menyangkut kebiasaanya dalam pertandingan sepak bola, pemain yang rajin bersih-bersih rumah ini setiap kali berangkat bertanding selalu membawa tasbih di dalam tasnya dan beberapa buku doa sebagai perbekalan. Selain itu tidak seperti pemain muslim lainnya yang sujud syukur ketika menciptakan gol, bagi Gonzales bentuk rasa syukur ketika berhasil mencetak gol adalah dengan mengangkat telunjuknya ke mulut seraya menengadah ke langit, hal ini merupakan isyarat rasa syukur terhadap Allah yang Maha Esa.
Bahkan pada saat membela tim Persib Bandung, pria berkalung ayat kursi ini menggunakan nomor punggung 99. Nomor ini dipilih bukan tanpa alasan, 99 merupakan isyarat asma Allah yang dikenal dengan asmaul husna.
Terkait harapannya ke depan, Gonzales sangat perhatian dengan keluarga “Saya berharap anak-anak menjadi anak yang shaleh dan sehat wal afiyat, semoga Allah melindungi, supaya ketika masalah datang ya cepat hilang” demikian keinginan Gonzales.
Muhammad Yasin
Biodata
Nama Lengkap : Christian Genard Alfaro Gonzales
Istri : Eva Siregar
Anak : Amanda Gonzales ()
Michael Gonzales ()
Fernando`Alvaro ()
Vanesa Siregar Gonzales ()
Karir Klub : 1988-1991 Penarol (Uruguay)
1994-1995 South America (Uruguay)
1995-1998 Huracan de Carientes (Argentina)
1998-2000 South America (Uruguay)
2000-2001 Sport Moldonado (Uruguay)
2001-2002 Campo Mayor (Portugal)
2003-2004 PSM Makassar
2005-2008 Persik Kediri
2009 Persib Bandung
Prestasi : Top Scorer Liga Indonesia (Persik) 2005
Top Scorer Liga Indonesia (Persik) 2006
Top Scorer Liga Indonesia (Persik) 2007
Top Scorer LSI (Persib)2009
http://muallaf-online.blogspot.com/2009/06/di-balik-kesuksesan-gonzales.html
Gonzales atau yang memiliki nama lengkap Christian Gerard Alfaro Gonzales dilahirkan di Monteveido, Uruguay pada tanggal 30 Agustus 1976 dari seorang ayah angkatan militer bernama Eduardo Alfaro dan ibu seorang suster di rumah sakit Montevideo bernama Meriam Gonzales.
Kedua pasangan ini, khususnya sang ibu adalah penganut agama Katolik yang taat. Gambar Bunda Maria selalu menempel di setiap sudut ruangan rumah dan tempat kerjanya. Bahkan saking fanatiknya, gambar Bunda Maria kerap dibawa kemana-mana oleh ibunya.
Ketaatan dari sang ibu nampaknya berpengaruh pada diri Gonzales, anak ketiga dari enam saudara ini kerap pergi ke Gereja dua sampai tiga kali dalam seminggu, oleh karena itu tidak heran jika Gonzales dikenal sebagai anak yang taat dalam beragama.
Perkenalannya dengan dunia sepak bola, dimulai ketika Gonzales berusia 6 tahun. Semula ayahnya berharap Gonzales dapat meneruskan jejaknya menjadi seorang militer, namun karena kegilaannya terhadap dunia sepak bola, harapan itu tak terpenuhi.
Menginjak usia ke 18 tahun, pria yang menyukai warna hitam ini bertemu dengan seorang wanita beragama Islam asal Indonesia, Eva Nurida Siregar di Cile, Amerika latin pada tahun 1994. Saat itu Eva menekuni salsa di sekolah Vinadelmar. Lama berkenalan akhirnya Gonzales menyimpan hati pada Eva. Dan tak lama kemudian Cintanya berbalas.
Sebagai penganut Katolik, lelaki yang dikenal pendiam ini sama sekali tidak mengenal agama Islam yang dianut pujaan hatinya, begitu pun dengan sang ibu. “Sebelum ketemu istri, saya sama sekali tidak tahu Islam” ungkap pria penggemar Rivaldo. Maka peran Eva pun menjadi berat, ia berulang kali menjelaskan tentang ajaran Islam yang dianutnya.
Usaha wanita kelahiran Pekanbaru ini akhirnya berhasil. Eva Nurida Siregar yang beragama Islam dan Christian Gerard Alfaro Gonzales yang beragama Katolik menikah dan hidup bersama di Uruguay pada tahun 1995.
Karir pria yang memiliki tinggi badan 177 mm ini di dalam persepakbolaan terus berkembang, mulai dari Klub Penarol Uruguay (1988-1991), South Amerika (1994-1995), Huracan de Carientes Argentina (1997) dan Deportivo Maldonado (2000-2002) pernah dijajakinya. Perkembangan karir ini sebetulnya tidak lepas dari peran Eva. Setiap kali pemain sepak bola yang dijuluki elloco (si gila) ini mau berangkat bertanding, wanita yang biasa dipanggil Amor oleh Gonzales ini selalu memanjatkan doa kepada Allah SWT. Dalam berdoa terkadang Eva sengaja mengeraskan suara dengan harapan Gonzales dapat mendengarnya.
Kebiasaan inilah yang membuat Gonzales mulai tertarik dengan ajaran Islam. Ia sendiri tidak akan beranjak pergi sebelum kekasihnya selesai berdoa. Karena dari doa inilah Gonzales menemukan kedamaian dan ketenangan yang selama ini tidak didapatkan dari agama yang dianut sebelumnya. Doa ini pula yang membuat dirinya semakin bersemangat dan optimis setiap kali bertanding di lapangan hijau.
Tidak hanya itu, Gonzales terkadang memperhatikan kebiasaan Eva yang selalu mengucapkan bismilah ketika mau melakukan sesuatu atau mengucapkan istighfar ketika dihadapkan pada konflik, serta ucapan lainnya yang menjadi doa umat Islam.
Pada tahun 2002 pria yang menyukai aktor Tom Cruise ini menerima sebuah tawaran dari agen sepak bola untuk bermain di Indonesia. Ia pun tertarik dan akhirnya menerima tawaran tersebut dengan merumput di Indonesia bersama PSM Makassar pada tahun 2003.
Indonesia merupakan negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam, selama ini Gonzales hanya mengenal Islam melalui istrinya dan ini dirasa tidak cukup. Sekarang pemain yang doyan sup ayam ini bisa langsung menemukan Islam dari para penganutnya.
“Saya tidak pernah memaksa Gonzales masuk Islam”. Ungkap Eva “Kadang-kadang setelah saya baca buku tentang ajaran Islam, saya simpan buku itu di meja dan Christian diam-diam membacanya, maka dia kemudian tahu bagaimana sikap suami terhadap istrinya dalam Islam dan bagaimana sikap istri terhadap suaminya” Lanjutnya mengenang saat pertama kali tinggal di Indonesia bersama Gonzales.
Maka tepat pada tanggal 9 Oktober 2003 Christian Gonzales memutuskan untuk masuk Islam atas dasar kemauan sendiri dengan disaksikan oleh ustadz Mustafa di Mesjid Agung al Akbar Surabaya. Christian Gerard Alfaro Gonzales kemudian diberi nama Mustafa Habibi. Nama Mustafa diambil dari guru spiritualnya, ustadz Mustafa sedangkan Habibi (cintaku) diambil karena rasa cinta sang istri amat besar kepada Christian Gonzales.
Islam memiliki kesan tersendiri bagi Gonzales “Karena di dalam Islam setiap ada sesuatu ada ucapan doanya seperti ketika masuk rumah mengucapkan assalamualaikum, ketika mau melakukan sesuatu diawali dengan basmalah, dan setiap melangkah dalam Islam selalu aja ada bacaan. Dan ini menjadi hati saya merasa tenang” Ungkap Eva mengutip ucapan Gonzales.
keislaman pria penggemar Manchester United ini kemudian dilegalkan di Kediri dengan Piagam muallaf dari Urusan agama setempat sekaligus melegalkan pernikahan antara Christian Gonzales dengan Eva Siregar.
Sang ibu, Meriam Gonzales saat dikabarkan keislaman anaknya, menerima dengan ikhlas agama yang dipilih anak tercintanya, ia hanya berharap anaknya meraih kesuksesan di masa depan. Namun untuk menjalin hubungan keluarga, Gonzales dan Eva setiap hari tidak ketinggalan menghubungi ibunya, hanya sekedar menanyakan kabar dari negara nun jauh di sana.
Seakan menemukan air di gurun sahara, begitulah kondisi pemain yang mencetak 33 gol untuk PSM Makassar saat itu. Dengan bimbingan Ustadz Mustafa, Gonzales mulai mengenal Islam lebih dalam. Selain itu Hj Fatimah, ulama terkenal asal Mojosari dan Hj. Nurhasanah turut menjadi guru spiritual Gonzales. Bahkan Majlis Ulama Gresik sendiri sampai mengangkat Gonzales beserta keluarganya sebagai anak angkat mereka.
Hj. Nurhasanah biasa dipanggil Bunda, selalu menyemangati Gonzales dengan nasehat untuk selalu berdoa. “Kamu harus kuat-kuat doa” kenang Eva menirukan ucapan Hj. Nurhasanah. Begitu pun Hj Fatimah, ustadzah yang membangun mesjid dengan nama Gonzali ini baik via telephone atau tatap muka selalu menyemangati Gonzales dengan doa sambil menangis.
Selama di Kediri, ayah empat anak ini bermain membela Persik Kediri dan tinggal di perumahan Taman Persada. Rumah ini menjadi awal kehidupan baru bagi Mustafa Habibi. Islam telah banyak merubah dirinya. Setiap tengah malam ia terbiasa membangunkan istrinya untuk shalat tahajud atau sekedar berdoa.
Setiap kali pertandingan akan digelar keesokan harinya, Eva sang istri selalu mengadakan pengajian yang dihadiri oleh ibu-ibu sekitar rumahnya dan diakhiri dengan pembacaan doa. Sementara pengajian berlangsung, Gonzales selalu memperhatikan pengajian dan duduk disamping Eva atau terkadang ia duduk di belakang ibu-ibu pengajian. Maka tidak heran jika Eva lupa tidak mempersiapkan pengajian orang yang pertama kali menegurnya adalah suaminya sendiri. Namun Gonzales bukanlah manusia yang sempurna, sama seperti pemain lainnya dalam pertandingan sepak bola, konflik kadang tidak bisa dihindari. Tercatat pada tahun 2004, Gonzales pernah memiliki masalah dengan Abu Shaleh Pengurus Pengda PSSI Banten saat PSM Makassar menjamu Persikota Tanggerang. Tahun 2006, Gonzales bermasalah dengan Emanuel de Porras striker PSIS. Setahun kemudian Gonzales berurusan dengan wasit Rahmat Hidayat saat melawan Pelita Jaya Jawabarat dan pada tahun 2008 Gonzales berurusan dengan Erwinsyah Hasibuan bek dari PSMS.
Tentunya permaslahan ini berujung pada sanski yang dikeluarkan tim disiplin PSSI, mulai dari denda sampai larangan bermain. Sanksi ini bagi Gonzales merupakan ujian berat, dan pada saat yang sama guru-guru spiritual Gonzales selalu membimbing dan menyemangati Gonzales untuk tetap bangkit dan bersabar menerima cobaan. Terbukti, nasehat ini berhasil membawa Gonzales terus bangkit dan kembali berlaga untuk menciptakan gol di lapangan hijau.
Popularitas dan harta yang melimpah ruah tidak begitu mempengaruhi Gonzales, ia bukanlah tipe orang yang suka menghambur-hamburkan uang. Bahkan ia akan sangat marah jika ada orang yang mengajaknya ke klub atau tempat hiburan malam dan tak segan Gonzales akan memutuskan hubungan dengan orang tersebut.
Harta yang ia raih dari perjuangannya di persepakbolaan lebih suka ia berikan kepada anak yatim, fakir miskin dan ibu-ibu pengajian sebagai zakat dan shadaqah. Hal ini dilakukan karena Gonzales mengetahui kewajiban zakat yang ia baca dari buku-buku keislaman milik istrinya.
Sempat Gonzales beserta istrinya berkeinginan untuk menunaikan haji tahun 2008, namun Allah berkehendak lain uang yang di dapatkan dari peralihan top skor sebanyak 50 juta digunakan guna membiayai operasi istrinya untuk melahirkan anak keempat, Vanesa Siregar Gonzales.
Menyangkut kebiasaanya dalam pertandingan sepak bola, pemain yang rajin bersih-bersih rumah ini setiap kali berangkat bertanding selalu membawa tasbih di dalam tasnya dan beberapa buku doa sebagai perbekalan. Selain itu tidak seperti pemain muslim lainnya yang sujud syukur ketika menciptakan gol, bagi Gonzales bentuk rasa syukur ketika berhasil mencetak gol adalah dengan mengangkat telunjuknya ke mulut seraya menengadah ke langit, hal ini merupakan isyarat rasa syukur terhadap Allah yang Maha Esa.
Bahkan pada saat membela tim Persib Bandung, pria berkalung ayat kursi ini menggunakan nomor punggung 99. Nomor ini dipilih bukan tanpa alasan, 99 merupakan isyarat asma Allah yang dikenal dengan asmaul husna.
Terkait harapannya ke depan, Gonzales sangat perhatian dengan keluarga “Saya berharap anak-anak menjadi anak yang shaleh dan sehat wal afiyat, semoga Allah melindungi, supaya ketika masalah datang ya cepat hilang” demikian keinginan Gonzales.
Muhammad Yasin
Biodata
Nama Lengkap : Christian Genard Alfaro Gonzales
Istri : Eva Siregar
Anak : Amanda Gonzales ()
Michael Gonzales ()
Fernando`Alvaro ()
Vanesa Siregar Gonzales ()
Karir Klub : 1988-1991 Penarol (Uruguay)
1994-1995 South America (Uruguay)
1995-1998 Huracan de Carientes (Argentina)
1998-2000 South America (Uruguay)
2000-2001 Sport Moldonado (Uruguay)
2001-2002 Campo Mayor (Portugal)
2003-2004 PSM Makassar
2005-2008 Persik Kediri
2009 Persib Bandung
Prestasi : Top Scorer Liga Indonesia (Persik) 2005
Top Scorer Liga Indonesia (Persik) 2006
Top Scorer Liga Indonesia (Persik) 2007
Top Scorer LSI (Persib)2009
http://muallaf-online.blogspot.com/2009/06/di-balik-kesuksesan-gonzales.html
Yahudi Masuk Islam Karena Chating
Musa Caplan nama lengkapnya. Baru berusia 16 tahun. Sebelum memeluk Islam, Musa beragama Yahudi. Keluarganya bukanlah dari kalangan Yahudi tradisional (orthodok). Namun ia justru belajar agama dari penganut tradisional.
“Aku belajar agama dari kelompok Yahudi Orthodok di sinagog (rumah ibadah kaum Yahudi-red). Demikian pula pendidikan formal juga di sekolah orthodok,” tutur Musa. Tinggal di komunitas Yahudi Orthodok di Amerika Serikat, ia seakan “putus” kontak dengan dunia luar. Otomatis kala itu Musa tidak punya teman non-Yahudi sama sekali. Melalui bantuan internetlah ia mendapatkan banyak teman, terutama dari kalangan Islam. Dari diskusi online, ia justru mulai ragu dengan agamanya dan akhirnya bersyahadah via internet. Berikut kisahnya seperti dituturkan di di situs readingislam. com.
Kenal Islam lewat internet
Image”Belakangan, sejak kenal internet, aku jadi suka chating. Dari situlah bisa kenalan dengan berbagai macam kalangan, suku dan agama,” imbuhnya. Bahkan, e-mail Musa secara perlahan mulai terisi oleh teman-temannya yang beragama Islam. Sejak saat itulah ia mulai tertarik dan antusias mempelajari Islam.
“Aku menaruh perhatian sangat spesial dengan Islam. Kami saling bertukar info tentang Tuhan, nabi, moral, dan nilai-nilai agama. Perlahan aku jadi tahu banyak tentang Islam. Ternyata Islam adalah agama yang penuh damai. Begitupun aku belum bisa menghilangkan imej buruk tentang Islam. Misal ketika kudengar ada serangan teroris, sama seperti yang lainnya, aku menuding Islam itu ekstrem.” aku Musa. Beruntungnya ia punya kenalan online beragama Islam. “Dialah yang telah membuka pintu Islam kepadaku.”
Alhasil ia justru jadi banyak bertanya pada dirinya sendiri. Apakah agama Islam mengajarkan hal itu (membunuh orang tak berdosa)? Katanya Nabi Muhammad adalah seorang pejuang besar dan tidak pernah membunuh orang tak berdosa.
“Dari diskusi itu aku yakin Islam juga mengajarkan respek, damai, dan toleransi. Tidak pernah disebutkan untuk membunuh orang selain Islam. Dalam Al-Quran ada satu pelajaran yang sangat berharga dan dalam maknanya:”Membunuh seseorang, sama dengan merusak seluruh dunia.” Musa menyitir sebuah ayat Al-Quran.
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. (Al-Ma’idah:32)
Setelah yakin Islam bukan agama perang, Musa memutuskan untuk mempelajari Islam lebih mendalam. Ia justru menemukan keragu-raguan dalam agamanya sendiri.
“Entah mengapa pandanganku sangat cocok dengan pandangan Islam. Aku bahkan menduga Kitab Perjanjian Lama, misalnya, telah banyak diubah. Diubah semata-mata untuk kepentingan materi.”
“Hal menarik lainnya yang membawaku makin condong ke Islam adalah kebenaran ilmiah (scientific truth) yang ada dalam Al-Quran. Kandungan ilmiah Al-Quran luar biasa. Misal Quran menceritakan bagaimana kejadian manusia yang berawal dari sperma manusia. Asal mula kehifupan manusia sebagaimana diceritakan dalam Al-Quran itu jauh sebelum ilmu pengetahuan ditemukan,” tukas Musa mantap.
“Al-Quran juga menyatakan bagaimana gunung-gunung dibentuk dan berbicara tentang lapisan atmosfir! Ini semuanya hanya beberapa dari begitu banyaknya penemuan-penemuan ilmiah, yang telah ada dalam Al-Quran 1400-an tahun yang lalu jauh sebelum penemuan-penemuan ilmu pengetahuan saat ini. Inilah salah satu kunci atau faktor yang menghantarku menemukan kebenaran dalam kehidupan,” lanjutnya bersemangat.
Musa menambahkan ada banyak website (situs) yang sangat bias dalam mengartikan ayat-ayat tertentu. Misalnya ayat-ayat tentang “perang”. Dikatakannya, kebanyakan situs-situs itu mengambil frase “perang”tersebut untuk membuat opini bahwa Islam agama suka perang.
“Padahal tidak demikian. Dalam bahasa Arab, kata Islam berasal dari salama yang bermakna “damai atau selamat”. Aku sangat yakin Islam agama damai.”
Tidak berani tinggalkan shalat
Menilik usianya yang masih sangat muda dan tinggal di lingkungan kaum Yahudi, Musa menghadapi banyak tantangan. Terutama dari keluarganya.
“Sungguh sangat sulit bagi mereka jika tahu aku telah berganti keyakinan. Jujur saja, keluarga dan sanak famili semua sayang padaku. Apa reaksi mereka kala mengetahui anak laki-laki kesayangannya telah masuk Islam? Karena itu, sementara waktu aku tak bisa leluasa memperlihatkan kehidupan Islam secara sempurna dalam kehidupan harian. Namun aku bersyukur kepada Allah, diberikan kekuatan hingga tetap bisa menunaikan shalat lima waktu dengan lancar. Khusus shalat saya berjuang untuk tidak meninggalkannya, ” tutur Musa.
Menariknya, tatacara amal ibadah dalam Islam, semisal shalat dipelajarinya melalui chatting dengan rekan muslim dan juga browsing di internet.
“Paling kurang aku bisa tetap memelihara keyakinan pada Allah. Beberapa hal lain, secara fisik, lumayan sulit mengekspresikannya di khalayak ramai.”
Musa belum berani memberitahukan kepada kedua orangtuanya bahwa sudah memeluk Islam. Karena itu pula ia belum berani keluar rumah guna mendatangi mesjid untuk shalat. Seperti disebutkan di atas, tempat tinggalnya adalah kawasan Yahudi Orthodoks dan mesjid yang ada letaknya pun sangat jauh dengan rumahnya.
Karena usia yang masih sangat belia, Musa terkadang sulit mengendalikan emosinya. Misal kala berdebat sesuatu tentang Muslim, katakanlah tentang Timur Tengah, hatinya jadi mudah meletup.
“Saat diskusi seluruh anggota keluarga sudah pasti mendukung Israel. Mereka tidak tahu bagaimana kenyataan yang sebenarnya. Seperti bangsa Palestina, saya pikir seharusnya mereka memperlakukan rakyat disana secara baik. Ketika keluargaku bicara tentang situasi di sana, terutama saat mereka menyebut-nyebut “Tanah suci bangsa Yahudi” atau “Tanah Impian”, entah kenapa hatiku menolaknya dan bahkan ada rasa marah. Saya jadi gampang tersinggung. ” aku Musa panjang lebar.
Sulitnya bersyahadah di khalayak ramai
“Aku belum mendapatkan kesempatan untuk mengucapkan syahadah dengan disaksikan khalayak ramai. Meskipun begitu aku telah bersyahadah di hadapan yang Maha Menyaksikan, yakni Allah SWT. Nanti ketika umurku sudah cukup dan dianggap dewasa untuk bepergian sendirian, maka aku berniat untuk melangkah ke mesjid, insya Allah. Hal terpenting saat ini adalah meningkatkan kualitas diri (iman),” ujarnya.
Diam-diam Musa bahkan mulai berdakwah dengan mengajak rekan-rekan sepermainannya untuk meninggalkan minum-minuman keras, nonton film porno, menjauhi obat-obatan terkarang dan juga menghilangkan kebiasaan mencuri. Namun tentu saja hal itu tidaklah mudah. Musa mencoba semampu yang ia bisa.
“Semuanya demi dan untuk Allah. Aku berharap sepanjang waktu yang ada bisa mengerjakan apa yang Allah maui dari hamba-Nya.”
Musa, uniknya, tidak mau disebut telah menemukan Islam atau masuk Islam ataupun telah mendapatkan cahaya terang selepas berada dalam kegelapan. Akan tetapi ia ingin dikatakan telah kembali kepada Islam. Semoga Allah menuntunnya kepada jalan yang benar sebagaimana Allah telah tuntun kita semua. Amiin.
Dianggap sudah mati
Peristiwa masuk Islamnya kalangan Yahudi memang sering bikin heboh. Kebanyakan komunitas dan terlebih keluarga si muallaf tidak bisa menerima hal itu. Seperti peristiwa kaburnya seorang gadis Yahudi baru-baru ini di Yaman. Terakhir diketahui sang gadis telah memeluk Islam. Kabarnya di sana peristiwa seperti itu telah puluhan kali terjadi. Untuk kasus seperti itu, maka pihak keluarga si muallaf Yahudi melakukan upacara kematian dan menganggap salah satu anggota keluarganya telah mati, karena keluar dari agama Yahudi.
Maryam Jamilah, penulis buku Islam terkenal dan seorang muallaf Yahudi Amerika yang masuk Islam tahun 1961, pernah mengalami masa-masa sulit selepas berganti keyakinan. Diceritakan kala itu ia dianggap sudah tidak ada lagi oleh anggota keluarganya.
“Keluarga saya menyusun opini bahwa saya sudah keluar (dari Yahudi). Saya diperingatkan, dengan memeluk Islam kehidupan saya akan sulit, Karena Islam bukan bagian dari Amerika. Dikatakan mereka, dengan ber-Islam maka saya akan diasingkan dari keluarga dan masyarakat,” kisah wanita yang punya nama asli Margaret Marcus itu sebagaimana disitir Islamreligion.
“Jujur saja, pada masa itu saya belum begitu kuat menghadapi serangan dan tekanan seperti itu. Hingga jatuh sakit. Bahjan saya berencana berhenti dari kuliah. Selama dua tahun saya berada dalam perawatan medis khusus,” lanjutnya. Maryam mulai bersentuhan dengan Islam kala baru berumur sepuluh tahun. Satu ketika ia pernah berujar begini.
“Delapan tahun di sekolah dasar, lalu empat tahun di sekolah menengah dan satu tahun di akademi. Saya belajar bahasa Inggris, Perancis, Spanyol, Latin dan Yunani, Aritmatika, Geometri, Aljabar, Biologi, Sejarah Eropa dan Amerika, Musik dan Seni, akan tetapi saya tidak pernah mengenal siapa Tuhan saya!” Begitulah. (dikutip dari pejuang syariah)
http://cahyaiman.wordpress.com/2010/03/29/seorang-yahudi-masuk-islam-mendapat-hidayah-melalui-chat/
“Aku belajar agama dari kelompok Yahudi Orthodok di sinagog (rumah ibadah kaum Yahudi-red). Demikian pula pendidikan formal juga di sekolah orthodok,” tutur Musa. Tinggal di komunitas Yahudi Orthodok di Amerika Serikat, ia seakan “putus” kontak dengan dunia luar. Otomatis kala itu Musa tidak punya teman non-Yahudi sama sekali. Melalui bantuan internetlah ia mendapatkan banyak teman, terutama dari kalangan Islam. Dari diskusi online, ia justru mulai ragu dengan agamanya dan akhirnya bersyahadah via internet. Berikut kisahnya seperti dituturkan di di situs readingislam. com.
Kenal Islam lewat internet
Image”Belakangan, sejak kenal internet, aku jadi suka chating. Dari situlah bisa kenalan dengan berbagai macam kalangan, suku dan agama,” imbuhnya. Bahkan, e-mail Musa secara perlahan mulai terisi oleh teman-temannya yang beragama Islam. Sejak saat itulah ia mulai tertarik dan antusias mempelajari Islam.
“Aku menaruh perhatian sangat spesial dengan Islam. Kami saling bertukar info tentang Tuhan, nabi, moral, dan nilai-nilai agama. Perlahan aku jadi tahu banyak tentang Islam. Ternyata Islam adalah agama yang penuh damai. Begitupun aku belum bisa menghilangkan imej buruk tentang Islam. Misal ketika kudengar ada serangan teroris, sama seperti yang lainnya, aku menuding Islam itu ekstrem.” aku Musa. Beruntungnya ia punya kenalan online beragama Islam. “Dialah yang telah membuka pintu Islam kepadaku.”
Alhasil ia justru jadi banyak bertanya pada dirinya sendiri. Apakah agama Islam mengajarkan hal itu (membunuh orang tak berdosa)? Katanya Nabi Muhammad adalah seorang pejuang besar dan tidak pernah membunuh orang tak berdosa.
“Dari diskusi itu aku yakin Islam juga mengajarkan respek, damai, dan toleransi. Tidak pernah disebutkan untuk membunuh orang selain Islam. Dalam Al-Quran ada satu pelajaran yang sangat berharga dan dalam maknanya:”Membunuh seseorang, sama dengan merusak seluruh dunia.” Musa menyitir sebuah ayat Al-Quran.
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. (Al-Ma’idah:32)
Setelah yakin Islam bukan agama perang, Musa memutuskan untuk mempelajari Islam lebih mendalam. Ia justru menemukan keragu-raguan dalam agamanya sendiri.
“Entah mengapa pandanganku sangat cocok dengan pandangan Islam. Aku bahkan menduga Kitab Perjanjian Lama, misalnya, telah banyak diubah. Diubah semata-mata untuk kepentingan materi.”
“Hal menarik lainnya yang membawaku makin condong ke Islam adalah kebenaran ilmiah (scientific truth) yang ada dalam Al-Quran. Kandungan ilmiah Al-Quran luar biasa. Misal Quran menceritakan bagaimana kejadian manusia yang berawal dari sperma manusia. Asal mula kehifupan manusia sebagaimana diceritakan dalam Al-Quran itu jauh sebelum ilmu pengetahuan ditemukan,” tukas Musa mantap.
“Al-Quran juga menyatakan bagaimana gunung-gunung dibentuk dan berbicara tentang lapisan atmosfir! Ini semuanya hanya beberapa dari begitu banyaknya penemuan-penemuan ilmiah, yang telah ada dalam Al-Quran 1400-an tahun yang lalu jauh sebelum penemuan-penemuan ilmu pengetahuan saat ini. Inilah salah satu kunci atau faktor yang menghantarku menemukan kebenaran dalam kehidupan,” lanjutnya bersemangat.
Musa menambahkan ada banyak website (situs) yang sangat bias dalam mengartikan ayat-ayat tertentu. Misalnya ayat-ayat tentang “perang”. Dikatakannya, kebanyakan situs-situs itu mengambil frase “perang”tersebut untuk membuat opini bahwa Islam agama suka perang.
“Padahal tidak demikian. Dalam bahasa Arab, kata Islam berasal dari salama yang bermakna “damai atau selamat”. Aku sangat yakin Islam agama damai.”
Tidak berani tinggalkan shalat
Menilik usianya yang masih sangat muda dan tinggal di lingkungan kaum Yahudi, Musa menghadapi banyak tantangan. Terutama dari keluarganya.
“Sungguh sangat sulit bagi mereka jika tahu aku telah berganti keyakinan. Jujur saja, keluarga dan sanak famili semua sayang padaku. Apa reaksi mereka kala mengetahui anak laki-laki kesayangannya telah masuk Islam? Karena itu, sementara waktu aku tak bisa leluasa memperlihatkan kehidupan Islam secara sempurna dalam kehidupan harian. Namun aku bersyukur kepada Allah, diberikan kekuatan hingga tetap bisa menunaikan shalat lima waktu dengan lancar. Khusus shalat saya berjuang untuk tidak meninggalkannya, ” tutur Musa.
Menariknya, tatacara amal ibadah dalam Islam, semisal shalat dipelajarinya melalui chatting dengan rekan muslim dan juga browsing di internet.
“Paling kurang aku bisa tetap memelihara keyakinan pada Allah. Beberapa hal lain, secara fisik, lumayan sulit mengekspresikannya di khalayak ramai.”
Musa belum berani memberitahukan kepada kedua orangtuanya bahwa sudah memeluk Islam. Karena itu pula ia belum berani keluar rumah guna mendatangi mesjid untuk shalat. Seperti disebutkan di atas, tempat tinggalnya adalah kawasan Yahudi Orthodoks dan mesjid yang ada letaknya pun sangat jauh dengan rumahnya.
Karena usia yang masih sangat belia, Musa terkadang sulit mengendalikan emosinya. Misal kala berdebat sesuatu tentang Muslim, katakanlah tentang Timur Tengah, hatinya jadi mudah meletup.
“Saat diskusi seluruh anggota keluarga sudah pasti mendukung Israel. Mereka tidak tahu bagaimana kenyataan yang sebenarnya. Seperti bangsa Palestina, saya pikir seharusnya mereka memperlakukan rakyat disana secara baik. Ketika keluargaku bicara tentang situasi di sana, terutama saat mereka menyebut-nyebut “Tanah suci bangsa Yahudi” atau “Tanah Impian”, entah kenapa hatiku menolaknya dan bahkan ada rasa marah. Saya jadi gampang tersinggung. ” aku Musa panjang lebar.
Sulitnya bersyahadah di khalayak ramai
“Aku belum mendapatkan kesempatan untuk mengucapkan syahadah dengan disaksikan khalayak ramai. Meskipun begitu aku telah bersyahadah di hadapan yang Maha Menyaksikan, yakni Allah SWT. Nanti ketika umurku sudah cukup dan dianggap dewasa untuk bepergian sendirian, maka aku berniat untuk melangkah ke mesjid, insya Allah. Hal terpenting saat ini adalah meningkatkan kualitas diri (iman),” ujarnya.
Diam-diam Musa bahkan mulai berdakwah dengan mengajak rekan-rekan sepermainannya untuk meninggalkan minum-minuman keras, nonton film porno, menjauhi obat-obatan terkarang dan juga menghilangkan kebiasaan mencuri. Namun tentu saja hal itu tidaklah mudah. Musa mencoba semampu yang ia bisa.
“Semuanya demi dan untuk Allah. Aku berharap sepanjang waktu yang ada bisa mengerjakan apa yang Allah maui dari hamba-Nya.”
Musa, uniknya, tidak mau disebut telah menemukan Islam atau masuk Islam ataupun telah mendapatkan cahaya terang selepas berada dalam kegelapan. Akan tetapi ia ingin dikatakan telah kembali kepada Islam. Semoga Allah menuntunnya kepada jalan yang benar sebagaimana Allah telah tuntun kita semua. Amiin.
Dianggap sudah mati
Peristiwa masuk Islamnya kalangan Yahudi memang sering bikin heboh. Kebanyakan komunitas dan terlebih keluarga si muallaf tidak bisa menerima hal itu. Seperti peristiwa kaburnya seorang gadis Yahudi baru-baru ini di Yaman. Terakhir diketahui sang gadis telah memeluk Islam. Kabarnya di sana peristiwa seperti itu telah puluhan kali terjadi. Untuk kasus seperti itu, maka pihak keluarga si muallaf Yahudi melakukan upacara kematian dan menganggap salah satu anggota keluarganya telah mati, karena keluar dari agama Yahudi.
Maryam Jamilah, penulis buku Islam terkenal dan seorang muallaf Yahudi Amerika yang masuk Islam tahun 1961, pernah mengalami masa-masa sulit selepas berganti keyakinan. Diceritakan kala itu ia dianggap sudah tidak ada lagi oleh anggota keluarganya.
“Keluarga saya menyusun opini bahwa saya sudah keluar (dari Yahudi). Saya diperingatkan, dengan memeluk Islam kehidupan saya akan sulit, Karena Islam bukan bagian dari Amerika. Dikatakan mereka, dengan ber-Islam maka saya akan diasingkan dari keluarga dan masyarakat,” kisah wanita yang punya nama asli Margaret Marcus itu sebagaimana disitir Islamreligion.
“Jujur saja, pada masa itu saya belum begitu kuat menghadapi serangan dan tekanan seperti itu. Hingga jatuh sakit. Bahjan saya berencana berhenti dari kuliah. Selama dua tahun saya berada dalam perawatan medis khusus,” lanjutnya. Maryam mulai bersentuhan dengan Islam kala baru berumur sepuluh tahun. Satu ketika ia pernah berujar begini.
“Delapan tahun di sekolah dasar, lalu empat tahun di sekolah menengah dan satu tahun di akademi. Saya belajar bahasa Inggris, Perancis, Spanyol, Latin dan Yunani, Aritmatika, Geometri, Aljabar, Biologi, Sejarah Eropa dan Amerika, Musik dan Seni, akan tetapi saya tidak pernah mengenal siapa Tuhan saya!” Begitulah. (dikutip dari pejuang syariah)
http://cahyaiman.wordpress.com/2010/03/29/seorang-yahudi-masuk-islam-mendapat-hidayah-melalui-chat/
Michael Wolf, Hidayah Turun Usai Melihat Muslim Shalat di Pesawat
Stasiun televisi terkemuka CNN mewawancarai seseorang bernama Michael Wolfe tak lama setelah terjadi insiden saat pelaksanaan lontar jumrah, beberapa tahun lalu. Meski memiliki nama Barat, namun nyatanya Wolfe mampu memberikan penjelasan secara gamblang dan panjang lebar terkait ibadah haji, maupun peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya.
Wolfe juga memaparkan dengan rinci segala hal menyangkut penyelenggaraan ibadah haji, mulai dari rukun haji, tata cara, hingga makna pada setiap ibadah yang dilakukan. Tapi, siapakah Michael Wolfe? Sejatinya, Wolfe adalah penulis buku berjudul One Thousand Roads to Mecca : Ten Centuries of Travelers Writing About the Muslim Pilgrimage . Selain itu, dia pernah membuat film dokumenter tentang ibadah haji untuk stasiun televisi yang sama.
Jadi, bila ditilik dari curriculum vitae-nya ini, tak salah jika stasiun televisi tersebut memilih Wolfe sebagai nara sumbernya. Dia juga dikenal sebagai produser, penulis, serta cendekiawan. Selain menghasilkan karya buku dan film, dia kerap memberikan kuliah umum mengenai agama Islam di sejumlah universitas kondang di AS.
Kiprah pria kelahiran 3 April 1945 itu dalam agama Islam merupakan wujud komitmennya sebagai seorang Muslim, setelah ia mengikrarkan dirinya sebagai pemeluk Islam (mualaf). Michael Wolfe menjadi Muslim pada tahun 80-an, dan sejak itu dia berkhidmat bagi kemajuan agama Islam dan umat Muslim di seluruh dunia.
Bermula pada akhir tahun 70, Wolfe yang kala itu sudah menjadi seorang penulis, ingin mencari pencerahan dalam hidupnya. Dia berupaya melembutkan perasaan sinisnya dalam melihat kondisi lingkungan di sekelilingnya.
Terlahir dalam keluarga yang mempunyai dua pegangan agama, ayahnya adalah keturunan Yahudi, sementara sang ibunda penganut Kristen. Situasi tersebut menyebabkan Wolfe agak tertekan apabila harus membicarakan isu agama dan kebebasan.
Hingga kemudian dia menemukan satu momen berkesan. Suatu ketika dia menempuh perjalanan menuju Brussels, Belgia. Begitu selesai makan malam, Wolfe pergi ke toilet. Pada waktu bersamaan, sejumlah penumpang pesawat yang beragama Islam melaksanakan shalat di bangku masing-masing karena sudah masuk waktu shalat Isya.
Wolfe yang keluar dari toilet, terkesima melihat peristiwa itu. Dirinya terus mencermati ibadah yang dilakukan umat Muslim. Dia lantas menyadari, di manapun dan kapan pun, orang-orang Islam yang beriman tidak akan pernah melalaikan kewajiban ibadahnya kepada Tuhan.
“Saya hanya berdiri dan mencermati, Saya melihat sebagian mereka memegang sebuah buku sebesar telapak tangan yang kemudian meletakkannya di dada sambil memuji Tuhannya,” ungkap Wolfe. Kejadian ini membawa Wolfe ingin lebih mengenal Islam. Dia ingin menemukan agama yang tidak hanya sebatas ritual atau pemujaan, serta tidak ada keraguan di dalamnya. Wolfe lantas memutuskan mengembara ke Afrika Utara, dan menetap di kawasan tersebut selama lebih kurang tiga tahun.
Di sana, dia berinteraksi dengan lingkungan yang sama sekali berbeda. Wolfe bertemu dengan banyak etnis, suku dan agama, termasuk dengan kalangan keturunan Arab dan Afrika yang beragama Islam. Itulah untuk kali pertama perkenalannya yang benar-benar intens dengan Islam. Dan segera saja, dia merasakan suasana yang lebih akrab, santun dan tenggang rasa. Umat Muslim menerimanya dengan tangan terbuka.
Dari pengamatannya, seperti dikutip dari laman Islamfortoday , umat Islam tidak pernah membedakan seseorang berdasarkan etnis ataupun warna kulit. Siapa pun dipandang sama serta setara, baik miskin, kaya, tua, muda, dan sebagainya. Islam hanya membedakan orang per orang berdasarkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Hal ini jelas sangat kontras dengan kehidupannya dulu. Misalnya, dalam pergaulan antarsesama, justru kerap timbul diskriminasi karena perbedaan warna kulit, etnis atau keyakinan. “Ini terjadi setiap hari di masyarakat padahal mereka mengaku punya keyakinan agama. Sungguh memprihatinkan,” paparnya.
Dia pun menemukan kedamaian dalam Islam. Dalam hati, dia membenarkan pernyataan tokoh Muslim AS, Malcolm X, yang berkata bahwa orang Amerika perlu memahami Islam karena Islam adalah satu-satunya agama yang mengajarkan saling menghormati dan menghargai antarmanusia secara tulus. Penulis artikel berjudul Islam: The Next American Religion? ini pun berpendapat, Islam merupakan agama yang sesuai bagi kondisi Amerika. Ada beberapa alasan, antara lain, Islam memiliki semangat demokrasi, egaliter, serta toleran terhadap keyakinan lain.
Wolfe tercatat dua kali mengadakan perjalanan ke Maroko, yakni pada tahun 1981 dan 1985. Pada akhirnya dia berkesimpulan bahwa Afrika Utara merupakan wilayah yang bisa menghadirkan keseimbangan baru dalam hidupnya. Hatinya tertambat di Afrika Utara. Dan tak hanya tertambat pada Afrika Utara, hatinya mulai terkesima dan takjub dengan Islam. Semakin banyak mendalami Islam, semakin kuat keyakinan dalam dirinya. Michael Wolfe akhirnya memutuskan menjadi Muslim.
Keputusannya ini disayangkan oleh rekan-rekannya yang terdiri dari kalangan akademisi Barat. Sebagian mereka masih mengaitkan Islam dengan masyarakat yang terbelakang dan agama kekerasan. Mereka pun meminta Wolfe untuk mengurungkan keputusan tersebut.
Akan tetapi, Wolfe yang kemudian berganti nama menjadi Michael Abdul Majeed Wolfe, tidak goyah. Wolfe menilai rekan-rekannya keliru menilai Islam. Islam, dari pengamatannya, selama ini banyak disalahartikan dan diputarbalikkan dari kenyataan yang sebenarnya. “Pendeknya, Islam adalah agama damai,” tegas Wolfe.
Dirinya kian mantap memeluk Islam, dengan segala konsekuensinya, karena dia melihat kebaikan dan keutamaan dalam agama ini. Menurutnya, agama Islam justru menekankan pada persaudaraan dan cinta kasih, baik kepada sesama manusia juga alam semesta.
Lebih jauh, tokoh ini melihat, dalam beberapa tahun ke depan, Islam akan menjadi agama dengan perkembangan paling pesat di Eropa dan Amerika. Dari tahun ke tahun, jumlah pemeluk Islam mengalami pertumbuhan, termasuk mereka yang menjadi mualaf, dan antara lain dipicu oleh semakin banyaknya orang yang memahami esensi sejati ajaran Islam tadi.
Wolfe semakin antusias mengikuti ibadah dan kegiatan keislaman. Dia membaca banyak buku tentang Islam dan melibatkan diri dengan aktivitas Masjid di dekat kediamannya di California. “Setiap tahun umat Islam berpuasa sebulan penuh dan diikuti dengan pelaksanaan haji kira-kira selama 40 hari. Itulah kemuliaan agama Islam,” katanya.
Dijelaskan, Islam berasaskan pada lima rukun utama. Salah satunya adalah haji. Wolfe percaya, bila telah mampu secara materi dan fisik, seseorang wajib hukumnya melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci, sekurang-kurang sekali seumur hidup.
Usai menunaikan ibadah haji sekitar awal tahun 1990, Wolfe memberikan sumbangan terbaiknya berupa buku berjudul Mecca: The Hadj yang diterbitkan pada 1993, dan One Thousand Roads to Mecca (1997). “Sekarang saya berharap dapat mendalami keyakinan agama yang sudah tersemai sejak sekian lama,” ujar Wolfe.
Melanjutkan kegiatan menulisnya, lulusan sarjana muda Seni Klasik di Universitas Wesleyan ini mendirikan penerbitan Tombouctou Books di Bolinas, California. Salah satu prestasinya yakni saat mengedit koleksi esai para penulis Muslim Amerika dalam buku bertajuk Taking Back Islam: American Muslims Reclaim Their Faith . Buku ini memenangi Anugerah Wilbur pada 2003 dalam kategori buku agama terbaik.
Wolfe juga pernah menjadi pembawa acara sebuah program film pendek tentang perjalanan haji ke Makkah untuk acara Ted Koppel’s Nightline di stasiun televise ABC. Program tersebut juga berhasil meraih penghargaan media dari Muslim Public Affair Council.
Berdakwah Lewat Media Film
Kecintaan Michael Wolfe tak perlu diragukan lagi. Hari-harinya senantiasa diisi dengan berbagai kegiatan keislaman. Di sela-sela kesibukannya menulis, yang ia jadikan sebagai media dakwah, Wolfe melebarkan syair Islam pada masyarakat luas, terutama non-Muslim melalui media lain. Pada Februari 2003, dia bekerjasama dengan wartawan televisi CNN, Zain Verjee, untuk membuat program film dokumenter tentang ibadah haji.
Pada tahun 1999, bersama dengan rekan sesama sineas, Alex Kronemer, Wolfe mendirikan sebuah yayasan pendidikan media yang diberi nama Unity Productions Foundation (UPF). Kolaborasi Wolfe dan Alex dalam UPF kemudian menghasilkan karya film dokumenter televisi mengenai kisah hidup Nabi Muhammad SAW berjudul Muhammad: Legacy of a Prophet .
Terkait film tersebut, Wolfe mengungkapkan mereka ingin menyasar dua audiens sekaligus. Pertama, kalangan terpelajar serta masyarakat awam Barat. Sebagian besar mereka belum banyak mengetahui tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW yang sesungguhnya, sehingga kerap memberikan persepsi negatif. Sedangkan kedua, masyarakat Muslim sendiri agar mereka lebih mengenal sosok Nabi SAW yang mulia.
Film ini mengambil lokasi di tiga negara, Arab Saudi, Yordania dan Amerika Serikat. Sejumlah tokoh agama, sejarawan dan cendekiawan semisal Syekh Hamza Yusuf, Karen Armstrong, Cherif Basiouni, Sayyid Hossen Nasr, serta banyak lagi, yang tercatat menjadi narasumbernya. Untuk menambah keakuratan, bersama dengan Kronemer, Wolfe mempelajari sirah (sejarah) serta buku-buku tentang hadis Rasulullah SAW.
http://cahyaiman.wordpress.com/2010/04/19/michael-wolf-hidayah-turun-usai-melihat-muslim-shalat-di-pesawat/
Wolfe juga memaparkan dengan rinci segala hal menyangkut penyelenggaraan ibadah haji, mulai dari rukun haji, tata cara, hingga makna pada setiap ibadah yang dilakukan. Tapi, siapakah Michael Wolfe? Sejatinya, Wolfe adalah penulis buku berjudul One Thousand Roads to Mecca : Ten Centuries of Travelers Writing About the Muslim Pilgrimage . Selain itu, dia pernah membuat film dokumenter tentang ibadah haji untuk stasiun televisi yang sama.
Jadi, bila ditilik dari curriculum vitae-nya ini, tak salah jika stasiun televisi tersebut memilih Wolfe sebagai nara sumbernya. Dia juga dikenal sebagai produser, penulis, serta cendekiawan. Selain menghasilkan karya buku dan film, dia kerap memberikan kuliah umum mengenai agama Islam di sejumlah universitas kondang di AS.
Kiprah pria kelahiran 3 April 1945 itu dalam agama Islam merupakan wujud komitmennya sebagai seorang Muslim, setelah ia mengikrarkan dirinya sebagai pemeluk Islam (mualaf). Michael Wolfe menjadi Muslim pada tahun 80-an, dan sejak itu dia berkhidmat bagi kemajuan agama Islam dan umat Muslim di seluruh dunia.
Bermula pada akhir tahun 70, Wolfe yang kala itu sudah menjadi seorang penulis, ingin mencari pencerahan dalam hidupnya. Dia berupaya melembutkan perasaan sinisnya dalam melihat kondisi lingkungan di sekelilingnya.
Terlahir dalam keluarga yang mempunyai dua pegangan agama, ayahnya adalah keturunan Yahudi, sementara sang ibunda penganut Kristen. Situasi tersebut menyebabkan Wolfe agak tertekan apabila harus membicarakan isu agama dan kebebasan.
Hingga kemudian dia menemukan satu momen berkesan. Suatu ketika dia menempuh perjalanan menuju Brussels, Belgia. Begitu selesai makan malam, Wolfe pergi ke toilet. Pada waktu bersamaan, sejumlah penumpang pesawat yang beragama Islam melaksanakan shalat di bangku masing-masing karena sudah masuk waktu shalat Isya.
Wolfe yang keluar dari toilet, terkesima melihat peristiwa itu. Dirinya terus mencermati ibadah yang dilakukan umat Muslim. Dia lantas menyadari, di manapun dan kapan pun, orang-orang Islam yang beriman tidak akan pernah melalaikan kewajiban ibadahnya kepada Tuhan.
“Saya hanya berdiri dan mencermati, Saya melihat sebagian mereka memegang sebuah buku sebesar telapak tangan yang kemudian meletakkannya di dada sambil memuji Tuhannya,” ungkap Wolfe. Kejadian ini membawa Wolfe ingin lebih mengenal Islam. Dia ingin menemukan agama yang tidak hanya sebatas ritual atau pemujaan, serta tidak ada keraguan di dalamnya. Wolfe lantas memutuskan mengembara ke Afrika Utara, dan menetap di kawasan tersebut selama lebih kurang tiga tahun.
Di sana, dia berinteraksi dengan lingkungan yang sama sekali berbeda. Wolfe bertemu dengan banyak etnis, suku dan agama, termasuk dengan kalangan keturunan Arab dan Afrika yang beragama Islam. Itulah untuk kali pertama perkenalannya yang benar-benar intens dengan Islam. Dan segera saja, dia merasakan suasana yang lebih akrab, santun dan tenggang rasa. Umat Muslim menerimanya dengan tangan terbuka.
Dari pengamatannya, seperti dikutip dari laman Islamfortoday , umat Islam tidak pernah membedakan seseorang berdasarkan etnis ataupun warna kulit. Siapa pun dipandang sama serta setara, baik miskin, kaya, tua, muda, dan sebagainya. Islam hanya membedakan orang per orang berdasarkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Hal ini jelas sangat kontras dengan kehidupannya dulu. Misalnya, dalam pergaulan antarsesama, justru kerap timbul diskriminasi karena perbedaan warna kulit, etnis atau keyakinan. “Ini terjadi setiap hari di masyarakat padahal mereka mengaku punya keyakinan agama. Sungguh memprihatinkan,” paparnya.
Dia pun menemukan kedamaian dalam Islam. Dalam hati, dia membenarkan pernyataan tokoh Muslim AS, Malcolm X, yang berkata bahwa orang Amerika perlu memahami Islam karena Islam adalah satu-satunya agama yang mengajarkan saling menghormati dan menghargai antarmanusia secara tulus. Penulis artikel berjudul Islam: The Next American Religion? ini pun berpendapat, Islam merupakan agama yang sesuai bagi kondisi Amerika. Ada beberapa alasan, antara lain, Islam memiliki semangat demokrasi, egaliter, serta toleran terhadap keyakinan lain.
Wolfe tercatat dua kali mengadakan perjalanan ke Maroko, yakni pada tahun 1981 dan 1985. Pada akhirnya dia berkesimpulan bahwa Afrika Utara merupakan wilayah yang bisa menghadirkan keseimbangan baru dalam hidupnya. Hatinya tertambat di Afrika Utara. Dan tak hanya tertambat pada Afrika Utara, hatinya mulai terkesima dan takjub dengan Islam. Semakin banyak mendalami Islam, semakin kuat keyakinan dalam dirinya. Michael Wolfe akhirnya memutuskan menjadi Muslim.
Keputusannya ini disayangkan oleh rekan-rekannya yang terdiri dari kalangan akademisi Barat. Sebagian mereka masih mengaitkan Islam dengan masyarakat yang terbelakang dan agama kekerasan. Mereka pun meminta Wolfe untuk mengurungkan keputusan tersebut.
Akan tetapi, Wolfe yang kemudian berganti nama menjadi Michael Abdul Majeed Wolfe, tidak goyah. Wolfe menilai rekan-rekannya keliru menilai Islam. Islam, dari pengamatannya, selama ini banyak disalahartikan dan diputarbalikkan dari kenyataan yang sebenarnya. “Pendeknya, Islam adalah agama damai,” tegas Wolfe.
Dirinya kian mantap memeluk Islam, dengan segala konsekuensinya, karena dia melihat kebaikan dan keutamaan dalam agama ini. Menurutnya, agama Islam justru menekankan pada persaudaraan dan cinta kasih, baik kepada sesama manusia juga alam semesta.
Lebih jauh, tokoh ini melihat, dalam beberapa tahun ke depan, Islam akan menjadi agama dengan perkembangan paling pesat di Eropa dan Amerika. Dari tahun ke tahun, jumlah pemeluk Islam mengalami pertumbuhan, termasuk mereka yang menjadi mualaf, dan antara lain dipicu oleh semakin banyaknya orang yang memahami esensi sejati ajaran Islam tadi.
Wolfe semakin antusias mengikuti ibadah dan kegiatan keislaman. Dia membaca banyak buku tentang Islam dan melibatkan diri dengan aktivitas Masjid di dekat kediamannya di California. “Setiap tahun umat Islam berpuasa sebulan penuh dan diikuti dengan pelaksanaan haji kira-kira selama 40 hari. Itulah kemuliaan agama Islam,” katanya.
Dijelaskan, Islam berasaskan pada lima rukun utama. Salah satunya adalah haji. Wolfe percaya, bila telah mampu secara materi dan fisik, seseorang wajib hukumnya melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci, sekurang-kurang sekali seumur hidup.
Usai menunaikan ibadah haji sekitar awal tahun 1990, Wolfe memberikan sumbangan terbaiknya berupa buku berjudul Mecca: The Hadj yang diterbitkan pada 1993, dan One Thousand Roads to Mecca (1997). “Sekarang saya berharap dapat mendalami keyakinan agama yang sudah tersemai sejak sekian lama,” ujar Wolfe.
Melanjutkan kegiatan menulisnya, lulusan sarjana muda Seni Klasik di Universitas Wesleyan ini mendirikan penerbitan Tombouctou Books di Bolinas, California. Salah satu prestasinya yakni saat mengedit koleksi esai para penulis Muslim Amerika dalam buku bertajuk Taking Back Islam: American Muslims Reclaim Their Faith . Buku ini memenangi Anugerah Wilbur pada 2003 dalam kategori buku agama terbaik.
Wolfe juga pernah menjadi pembawa acara sebuah program film pendek tentang perjalanan haji ke Makkah untuk acara Ted Koppel’s Nightline di stasiun televise ABC. Program tersebut juga berhasil meraih penghargaan media dari Muslim Public Affair Council.
Berdakwah Lewat Media Film
Kecintaan Michael Wolfe tak perlu diragukan lagi. Hari-harinya senantiasa diisi dengan berbagai kegiatan keislaman. Di sela-sela kesibukannya menulis, yang ia jadikan sebagai media dakwah, Wolfe melebarkan syair Islam pada masyarakat luas, terutama non-Muslim melalui media lain. Pada Februari 2003, dia bekerjasama dengan wartawan televisi CNN, Zain Verjee, untuk membuat program film dokumenter tentang ibadah haji.
Pada tahun 1999, bersama dengan rekan sesama sineas, Alex Kronemer, Wolfe mendirikan sebuah yayasan pendidikan media yang diberi nama Unity Productions Foundation (UPF). Kolaborasi Wolfe dan Alex dalam UPF kemudian menghasilkan karya film dokumenter televisi mengenai kisah hidup Nabi Muhammad SAW berjudul Muhammad: Legacy of a Prophet .
Terkait film tersebut, Wolfe mengungkapkan mereka ingin menyasar dua audiens sekaligus. Pertama, kalangan terpelajar serta masyarakat awam Barat. Sebagian besar mereka belum banyak mengetahui tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW yang sesungguhnya, sehingga kerap memberikan persepsi negatif. Sedangkan kedua, masyarakat Muslim sendiri agar mereka lebih mengenal sosok Nabi SAW yang mulia.
Film ini mengambil lokasi di tiga negara, Arab Saudi, Yordania dan Amerika Serikat. Sejumlah tokoh agama, sejarawan dan cendekiawan semisal Syekh Hamza Yusuf, Karen Armstrong, Cherif Basiouni, Sayyid Hossen Nasr, serta banyak lagi, yang tercatat menjadi narasumbernya. Untuk menambah keakuratan, bersama dengan Kronemer, Wolfe mempelajari sirah (sejarah) serta buku-buku tentang hadis Rasulullah SAW.
http://cahyaiman.wordpress.com/2010/04/19/michael-wolf-hidayah-turun-usai-melihat-muslim-shalat-di-pesawat/
Petinju Afrika, Dari Gbodo Ygor Menjadi Ali Akbar
Awal Januari 2010, Gbodo Ygor, petinju asal Republik Afrika Tengah datang ke Pakistan mengikuti ajang Benazir Bhutto Boxing Tournament. Turnamen ini ternyata menjadi titik awal perubahan hidupnya, karena saat mengikuti turnamen itulah Ygor memutuskan untuk menjadi seorang muslim dan saat kembali ke tanah airnya, ia sudah menyandang nama islami, Ali Akbar.
"Meski saya tidak mendapatkan gelar juara, saya mendapatkan sesuatu yang jauh lebih besar. Saya, dengan rahmat Allah, sekarang menjadi seorang muslim," kata Ali Akbar.
"Saya tidak bisa melupakan masa-masa itu. Saya merasa sudah sampai pada tujuan saya," kata petinju kelas welter ringan dengan mata berbinar.
Ali Akbar mengucapkan dua kalimat syahadat di Jamia Binoria International, sebuah tempat di pinggiran selatan kota Karachi. Ratusan orang yang hadir dalam acara itu satu persatu mengucapkan selamat dan memeluk Ali Akbar sebagai "saudara baru" mereka. Pekikan Allahu Akbar menggema dan makanan kecil semacam manisan khas Pakistan dibagikan untuk merayakan peristiwa itu.
"Saya menerima sambutan yang luar biasa. Saya tak menyangka akan diperlakukan seperti selebritis setelah masuk Islam," kata Akbar, anak tertua dari tujuh bersaudara.
Akbar mengakui butuh waktu lama untuk meyakinkan dirinya pada Islam, meski kedua orang tuanya sudah lama masuk Islam. Akbar menyebut nama pelatihnya, Muhammad Kalambaye, yang sudah membimbingnya untuk menjadi seorang muslim.
"Saya sebenarnya sudah merasa tertarik dengan Islam beberapa tahun belakangan ini, ketika Muhammad menjadi pelatih tim tinju kami. Dia tidak pernah memaksa kami untuk mempelajari Islam, tapi cara hidup dan karakternya yang baik yang membuat kami jadi tertarik pada Islam," tutur Akbar.
Ternyata bukan hanya Akbar yang menjadi tertarik pada Islam begitu melihat perilaku yang ditunjukkan Muhammad Kalambaye. Lima rekan Akbar lainnya juga mengalami hal yang sama. Dan kelimanya juga memutuskan masuk Islam saat bertanding di Pakistan.
"Pakistan adalah negara Muslim pertama yang pernah kami kunjungi," tukas Akbar.
"Dua rekan saya masih ragu memeluk Islam dengan alasan ingin mempelajari lebih banyak tentang Islam. Tapi begitu saya memberitahu bahwa kami di sini (Pakistan) besok akan mengucapkan syahadat, kami tidak menyangka mereka mengatakan akan masuk Islam juga," kisah Akbar.
Ia menilai Islam merupakan agama terbaik karena Islam mengajarkan bahwa derajat manusia sama di mata Tuhan, yang membedakan hanyalah amal ibadahnya dan mengajarkan untuk mendahulukan kepentingan orang banyak di atas kepentingan pribadi.
"Saya menyaksikan beragam orang Islam di lingkungan saya, yang tidak hanya saling menolong antar orang Islam sendiri tapi juga menolong orang-orang non-Muslim yang membutuhkan. Mereka bilang, menolong sesama merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Islam. Tidak ada konsep superioritas dalam Islam. Saya sangat tersentuh dengan semangat dan komitmen ini," tukas Akbar.
Ia mengungkapkan, pelatih tinjunya, Muhammad Kalambaye, sering mengutip perkataan Rasulullah Muhammad saw yang menyatakan bahwa dalam Islam tidak ada ajaran bahwa orang Arab lebih superior dari non-Arab atau orang kulit putih lebih superior dari orang kulit hitam.
"Konsep kesetaraan itu membuat saya sangat tertarik pada Islam," ujar Akbar.
Lebih lanjut ia menceritakan, kedua orang tuanya menjerit karena gembira begitu ia mengabarkan telah masuk Islam lewat telepon. "Saya memang sudah memberi isyarat sebelum berangkat ke Pakistan bahwa saya akan membawa hadiah istimewa buat mereka. Tapi saya tidak menceritakan secara langsung apa rencana saya di Pakistan," tutur Akbar.
Sekarang, Akbar berharap bisa menuntun saudara-saudara kandungnya yang lain--empat adik perempuan dan tiga adik lelaki--yang masih memeluk agama Kristen agar menemukan jalan Islam. "Insya Allah, Allah akan segera melimpahkan rahmat pada mereka juga," harap Akbar.
Kisah Ali Akbar dan rekan satu timnya--semuanya sembilan orang--masuk Islam secara bersamaan, menjadi pemberitaan media massa di Pakistan. Selain mereka, juga ada tiga petinju asal Kamerun yang juga masuk Islam pada saat yang sama.
Presiden Asosiasi Tinju Republik Afrika Tengah, Lumande Kristin mengaku gembira dengan keputusan "anak-anak asuh"nya itu. "Saya bahagia mereka memeluk agama yang mengajarkan perdamaian dan persamaaan derajat manusia," ujar Kristin yang seorang nasrani.
"Mereka tidak akan menghadapi persoalan ketika kembali ke tanah air, baik dari sisi sosial maupun ekonomi. Mereka adalah para pahlawan kami dan akan tetap menjadi pahlawan kami apapun agama mereka yang anut," tandas Kristin. (ln/oi)
http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/petinju-afrika-dari-gbodo-ygor-menjadi-ali-akbar.htm
"Meski saya tidak mendapatkan gelar juara, saya mendapatkan sesuatu yang jauh lebih besar. Saya, dengan rahmat Allah, sekarang menjadi seorang muslim," kata Ali Akbar.
"Saya tidak bisa melupakan masa-masa itu. Saya merasa sudah sampai pada tujuan saya," kata petinju kelas welter ringan dengan mata berbinar.
Ali Akbar mengucapkan dua kalimat syahadat di Jamia Binoria International, sebuah tempat di pinggiran selatan kota Karachi. Ratusan orang yang hadir dalam acara itu satu persatu mengucapkan selamat dan memeluk Ali Akbar sebagai "saudara baru" mereka. Pekikan Allahu Akbar menggema dan makanan kecil semacam manisan khas Pakistan dibagikan untuk merayakan peristiwa itu.
"Saya menerima sambutan yang luar biasa. Saya tak menyangka akan diperlakukan seperti selebritis setelah masuk Islam," kata Akbar, anak tertua dari tujuh bersaudara.
Akbar mengakui butuh waktu lama untuk meyakinkan dirinya pada Islam, meski kedua orang tuanya sudah lama masuk Islam. Akbar menyebut nama pelatihnya, Muhammad Kalambaye, yang sudah membimbingnya untuk menjadi seorang muslim.
"Saya sebenarnya sudah merasa tertarik dengan Islam beberapa tahun belakangan ini, ketika Muhammad menjadi pelatih tim tinju kami. Dia tidak pernah memaksa kami untuk mempelajari Islam, tapi cara hidup dan karakternya yang baik yang membuat kami jadi tertarik pada Islam," tutur Akbar.
Ternyata bukan hanya Akbar yang menjadi tertarik pada Islam begitu melihat perilaku yang ditunjukkan Muhammad Kalambaye. Lima rekan Akbar lainnya juga mengalami hal yang sama. Dan kelimanya juga memutuskan masuk Islam saat bertanding di Pakistan.
"Pakistan adalah negara Muslim pertama yang pernah kami kunjungi," tukas Akbar.
"Dua rekan saya masih ragu memeluk Islam dengan alasan ingin mempelajari lebih banyak tentang Islam. Tapi begitu saya memberitahu bahwa kami di sini (Pakistan) besok akan mengucapkan syahadat, kami tidak menyangka mereka mengatakan akan masuk Islam juga," kisah Akbar.
Ia menilai Islam merupakan agama terbaik karena Islam mengajarkan bahwa derajat manusia sama di mata Tuhan, yang membedakan hanyalah amal ibadahnya dan mengajarkan untuk mendahulukan kepentingan orang banyak di atas kepentingan pribadi.
"Saya menyaksikan beragam orang Islam di lingkungan saya, yang tidak hanya saling menolong antar orang Islam sendiri tapi juga menolong orang-orang non-Muslim yang membutuhkan. Mereka bilang, menolong sesama merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Islam. Tidak ada konsep superioritas dalam Islam. Saya sangat tersentuh dengan semangat dan komitmen ini," tukas Akbar.
Ia mengungkapkan, pelatih tinjunya, Muhammad Kalambaye, sering mengutip perkataan Rasulullah Muhammad saw yang menyatakan bahwa dalam Islam tidak ada ajaran bahwa orang Arab lebih superior dari non-Arab atau orang kulit putih lebih superior dari orang kulit hitam.
"Konsep kesetaraan itu membuat saya sangat tertarik pada Islam," ujar Akbar.
Lebih lanjut ia menceritakan, kedua orang tuanya menjerit karena gembira begitu ia mengabarkan telah masuk Islam lewat telepon. "Saya memang sudah memberi isyarat sebelum berangkat ke Pakistan bahwa saya akan membawa hadiah istimewa buat mereka. Tapi saya tidak menceritakan secara langsung apa rencana saya di Pakistan," tutur Akbar.
Sekarang, Akbar berharap bisa menuntun saudara-saudara kandungnya yang lain--empat adik perempuan dan tiga adik lelaki--yang masih memeluk agama Kristen agar menemukan jalan Islam. "Insya Allah, Allah akan segera melimpahkan rahmat pada mereka juga," harap Akbar.
Kisah Ali Akbar dan rekan satu timnya--semuanya sembilan orang--masuk Islam secara bersamaan, menjadi pemberitaan media massa di Pakistan. Selain mereka, juga ada tiga petinju asal Kamerun yang juga masuk Islam pada saat yang sama.
Presiden Asosiasi Tinju Republik Afrika Tengah, Lumande Kristin mengaku gembira dengan keputusan "anak-anak asuh"nya itu. "Saya bahagia mereka memeluk agama yang mengajarkan perdamaian dan persamaaan derajat manusia," ujar Kristin yang seorang nasrani.
"Mereka tidak akan menghadapi persoalan ketika kembali ke tanah air, baik dari sisi sosial maupun ekonomi. Mereka adalah para pahlawan kami dan akan tetap menjadi pahlawan kami apapun agama mereka yang anut," tandas Kristin. (ln/oi)
http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/petinju-afrika-dari-gbodo-ygor-menjadi-ali-akbar.htm
Herrington, "Jika Menginginkan Kebenaran, Bergaullah dengan Muslim"
"Saya menyadari cara terbaik untuk merasakan bagaimana menjadi seorang Muslim adalah dengan menjalani hidup seperti mereka," kata Cassidy Herrington, seorang mahasiswi, non-Muslim dan wartawan di harian Kentucky Kernel, sebuah media yang dikelola oleh mahasiswa di Universitas Kentucky, AS.
Keinginannya untuk mengenal lebih dekat dan memahami kehidupan sebagai Muslim itulah yang mendorongnya untuk mencoba "menjadi seorang muslimah" dengan cara mengenakan jilbab selama satu bulan penuh.
"Selama sebulan saya mengenakan jilbab, bergulat dengan persepsi yang ditunjukkan orang asing, teman bahkan keluarga saya sendiri," kata Herrington.
"Karena persepsi-persepsi itu, saya berjuang ketika harus menuliskannya. Pengalaman saya berjilbab sangat pribadi, tapi saya berharap dengan berbagi atas apa yang saya lihat, akan membuka ruang dialog yang lebih terbuka dan kritis," sambungnya,
Awalnya, Herrington khawatir akan reaksi komunitas Muslim ketika melihatnya yang non-Muslim mengenakan jilbab. Untuk itu, ia merasa harus mendapatkan persetujuan dari komunitas Muslim sebelum mulai mengenakan jilbab.
Tanggal 16 September, Herrington mendatangi sebuah organisasi Muslim Student Association (MSA) dan mengenalkan dirinya. Ia mengaku sangat grogi ketika pertama kali datang ke kantor itu. Di sana ia bertemu dengan Heba Sulaeiman, mahasiswi yang menjabat sebagai Presiden MSA, yang menyambut gembira setelah mendengar rencana dan maksud kedatangan Herrington ke tempat itu.
"Ide yang mengagumkan," kata Herrington menirukan respon Suleiman.
Herrington merasakan ketegangan dan kegelisahan yang dirasakannya mulai mencair. Ia mengucapkan "Assalamu'alaikum" saat mengenalkan dirinya di hadapan sejumlah anggota MSA dan ia mendengar belasan orang yang hadir membalasnya dengan ucapan "wa'alaikumsalam."
Ketika akan meninggalkan kantor MSA, beberapa orang remaja muslim mendekatinya. "Saya tidak akan melupakan seorang diantara mereka mengatakan 'ini memberi saya harapan', sementara remaja yang lain berujar 'saya muslim, dan saya bahkan tidak bisa melakukan hal itu'," tutur Herrington.
Ia tidak terlalu menanggapi perkataan remaja-remaja tadi sampai kemudian ia merasakan bahwa "proyek" yang dilakukannya bukan sekedar menutupi rambutnya dengan kerudung, tapi ia akan mewakili sebuah komunitas dan sebuah agama. "Konsekuensinya, saya harus benar-benar menjaga perilaku saya saat mengenakan jilbab," ujar Herrington.
Dua minggu setelah datang ke MSA, ia bertemu lagi dengan Heba Suleiman dan temannya, Leanna yang mengajarkannya mengenakan jilbab. "Meski ini inisiatif saya sendiri, saya merasa tidak seorang diri dan ini sangat membantu ketika saya merasa ingin melepas jilbab dan menghentikan proyek pakai jilbab ini," kata Herrington.
"Saya menjalani kehidupan sehari-hari seperti biasanya. Saya bersepeda dan merasakan sensasi desiran angin yang menyelinap di sela-sela jilbab yang saya kenakan. Saya berjalan di depan etalase toko dan melihat sepintas refleksi wajah orang asing sampai saya terbiasa dan menyadari bahwa refleksi wajah orang asing itu adalah saya sendiri," tutur Herrington menceritakan pengalamannya setelah mengenakan jilbab.
"Mengenakan jilbab menjadi kegiatan rutin saya tiap pagi. Suatu hari, berangkat bersepeda ke tempat kuliah, dan ketika sampai baru sadar kalau saya lupa mengenakan jilbab," tukasnya sambilnya tersenyum.
Herrington mengakui jilbabnya kadang membuatnya tidak nyaman. Ketika berbelanja di toko grosir, ia merasa orang-orang memperhatikan dirinya. Ia tidak tahu apakah itu cuma perasaannya saja, tapi ia merasa terasing dari orang-orang yang ia kenal dekat. "Teman kuliah, para profesor dan teman-teman semasa sekolah menengah tidak mengatakan apapun tentang jilbab saya, dan itu menyakitkan. Kadang, terjadi gap setiap kali kami berbincang-bincang," ungkap Herrington.
Suatu ketika, ia makan di sebuah restoran Timur Tengah King Tut. Pemilik restoran bernama Ashraf Yusuf memuji proyek jilbabnya dan menanyakan apakah ia akan tetap mengenakan jilbab setelah proyeknya selesai. Herrington hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Seorang non-Muslim yang mengenakan jilbab, hanya mengenakan penutup kepala," kata Yusuf.
Herrington pernah juga dikirimi email dari seseorang. Ketika ia membuka email berisi file audio, terdengar suara bacaan salat dari Makkah, tapi tiba-tiba terdengar suara tembakan tiga kali lalu suara lagu kebangsaan AS.
Herrington menegur orang yang mengiriminya email itu dan orang itu mengatakan bahwa ia cuma bercanda. Herrington mulai mengerti bahwa memang ada masalah fobia dan sikap tidak toleran terhadap Islam dan Muslim.
"Email itu membuktikan bahwa banyak orang yang tidak akurat memandang Islam," imbuhnya.
Sebulan penuh mengenakan jilbab, selama bulan Oktober kemarin, memberikan pemahaman baru bagi Herrington bahwa tak ada yang perlu ditakuti dengan eksistensi komunitas Muslim. "Faktanya, banyak tentara AS yang muslim, yang ikut membela negeri ini. Apa yang Anda lihat atau Anda dengar dari media tentang Islam, bisa saja keliru. Kalau Anda menginginkan kebenaran, bergaullah dengan muslim," tandasnya.
Untuk saat ini, Herrington mungkin sudah melepas kembali jilbabnya, ia juga minta maaf pada orang-orang yang merasa telah tertipu dengan identintasnya. Tapi dengan pengalamannya berjilbab, semoga Allah Swt menganugerahkan hidayah dan cahaya Islam bagi Herrington. (ln/KK)
http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/herrington-jika-menginginkan-kebenaran-bergaullah-dengan-muslim.htm
Mantan Anggota Klu Klux Klan yang Memilih Jalan Kebenaran Islam
Sejak kecil Clinton Sipes hidup dengan atmosfir kekerasan dalam keluarganya. Ia sering menjadi korban kekerasan fisik dan amarah ayahnya yang seorang pecandu minuman keras. Ia pun tumbuh menjadi seorang remaja yang memiliki perilaku anti-sosial dan senang melakukan kekerasan pada siapa saja, pada kakak lelakinya, pada teman sekelasnya, guru-guru bahkan pada hewan. Kekerasan yang dilakukan Sipes bahkan sudah dalam level sadis.
Semasa remaja, Sipes lebih suka bergabung dengan geng anak-anak muda yang juga bermasalah seperti dirinya, mengkonsumsi minuman keras, narkoba, melakukan tindak kriminal, kekerasan dan rasial. Pada usia 13 tahun Sipes harus menjalani kehidupan di penjara anak-anak dan yang menyedihkan, kondisi di sekolah yang katanya untuk mereformasi perilaku anak-anak bermasalah itu malah memberi pengaruh yang bertambah buruk pada Sipes.
Kecenderungan Sipes melakukan kekerasan dan bersikap rasial makin menguat. Sipes benci warga kulit hitam, yahudi, asia dan pada birokrat. Setelah tiga tahun di lembaga pemasyarakatan anak-anak, Sipes bebas dan ia menjadi "granat" yang siap meledak.
Untuk menyalurkan hasrat kekerasannya, Sipes bergabung dengan kelompok-kelompok rasis dan sering ikut dalam "operasi penyerangan" terhadap kelompok etnis tertentu dan ia terlibat dalam berbagai aktivitas kriminal. Sehingga pada usia 16 tahun, Sipes kembali masuk penjara di California. Ia divonis hukuman 6 1/2 tahun atas tuduhan perampokan dan kepemilikan serta penggunaan senjata api.
Di penjara itu, Sipes bergabung dengan kelompok "supremasi kulit putih" yang membenci semua orang yang bukan keturunan "Anglo Saxon." Ia pun mulai melakukan korespondensi dengan kelompok Klu Klux Klan (KKK) yang kemudian meminta pembebasan dirinya dengan jaminan. Setelah bebas, Sipes aktif dalam kelompok KKK selama 3-4 tahun. Ia dan kelompoknya melakukan serangan di malam hari, melakukan pengeroyokan dan merusak properti miliki orang lain. Hingga ia harus keluar masuk penjara karena melanggar pembebasan dengan jaminan yang diberikan otoritas penjara dan itu terus terjadi sampai Sipes berusia 20 tahun.
Pada usia itu pula Sipes mulai merindukan kedamaian dalam jiwanya. Ia menyesali keburukan-keburukan yang telah dilakukannya selama ini dan perasaan itu sering membuatnya kalap dan menumpahkan segala kemarahan dan kebenciaannya terhadap dirinya sendiri, pada sipir-sipir penjara. Seringkali ia terbangun dalam keadaan setengah telanjang di dalam sel isolasi. Kesendirian di sel isolasi itu membuatnya merenungkan kembali masa lalunya dan hal-hal negatif yang dilakukannya.
"Ketika saya masih di penjara, anak perempuan saya lahir. Saya mulai memikirkan masa depan. Saya mulai memikirkan betapa banyak korban yang jatuh akibat ulah saya. Saya bisa melihat diri saya seumur hidup akan berada dalam penjara, tanpa masa depan," tutur Sipes.
"Jauh di lubuk hati saya berkata 'Clint, kamu harus memilih antara keburukan atau masa depan yang baik'. Jelas jika saya memilih keburukan, saya tidak akan punya masa depan. Keluarga saya, ibu, kakak, mereka semua akan takut pada saya. Mereka akan menjauhi saya," sambungnya.
Pemikiran itu yang mendorong Sipes untuk menyembuhkan penyakit "kanker" amarah dan kebencian dalam dirinya. Ia ingin mencintai dan dicintai seperti layaknya yang diiginkan setiap orang. "Saya tidak mau membenci lagi," tukasnya.
Setelah menyelesaikan masa tahanannya dan lolos dari syarat pembebasan dengan jaminan, di kota Montana Sipes mulai melibatkan diri dengan organisasi-organisasi hak asasi, terutama yang memberikan perlindungan pada anak-anak. Ia membantu anak-anak yang memiliki problem yang pernah ia alami pada masa kecil. Meski demikian, Sipes masih juga belum sepenuhnya melepaskan diri dari aktivitas kriminal hingga ia harus masuk penjara lagi selama tiga tahun atas tuduhan memiliki bahan-bahan peledak.
Mengenal Islam
Di penjara federal itulah ia berjumpa dengan seorang muslim Amerika keturunan Afrika yang bertugas membantu para tahanan yang membutuhkan bantuan. Dari orang itulah muncul keingintahuan Sipes pada Islam. Ia berpikir bahwa Islam adalah agama eksklusif hanya untuk orang Amerika keturunan Afrika. Sebagai orang kulit putih, Sipes menolak agama Islam.
Meski demikian, Sipes tetap menanyakan banyak hal tentang agama Islam dan mulai berpikir positif tentang Islam sebagai agama yang ajarannya universal tidak mengenal etnis atau ras. "Saya mulai tertarik. Buat saya, Islam kedengarannya sangat nyata dan murni," kata Sipes.
Muslim Amerika keturunan Afrika itu lalu mengajak Sipes untuk melihat pelaksanaan salat Jumat yang dilakukan berjamaah dan memberinya Al-Quran. Sipes membaca terjemahan Al-Quran dan mengaku merasakan kebenaran dan kemurnian ajaran yang tertulis dalam Al-Quran. Sipes makin merasakan getaran hatinya pada Islam ketika ia mendengar suara azan. "Saat itu saya merasa kedekatan Tuhan di dalam hati dan jiwa saya," ujarnya.
Setelah melakukan riset dan mempelajari Al-Quran saya menemukan kesempurnaan ajaran Islam, tidak ada kontradiksi di dalamnya. Tidak seperti ajaran agama lainnya yang meyakini banyak Tuhan atau berhala, Islam adalah agama yang berdasarkan pada keyakinan bahwa Allah itu Esa. Sipes juga kagum dengan "mukzizat Al-Quran" kitab suci yang sudah berumu ribuan tahun tapi kemurniaannya tetap terjaga. Tak ada satupun kata bahkan huruf dalam Al-Quran yang diubah atau berubah.
Setelah mengenal agama Islam, sedikit demi sedikit perilaku Sipes berubah. Dari orang yang banyak menimbulkan masalah, penuh kebencian dan amarah, Sipes menjadi orang yang lebih tenang. "Islam memberikan saya kebutuhan spiritual, ketenangan dan kedamaian dalam diri yang tidak bisa saya jelaskan dengan kata-kata. Dengan Islam, tujuan hidup saya jelas, ke arah jalan yang lurus," ungkap Sipes.
Sipes pun memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dan menggunakan nama Abdus Salam. "Alhamdulillah, setelah saya menemukan kebenaran Islam dan menjadi seorang muslim, saya merasa terlahir kembali dan ingin tumbuh menjadi manusia baru yang baik dan mengabdi pada Allah Swt," tandas Abdus Salam Clinton Sipes. (ln/IFT)
http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/mantan-anggota-klu-klux-klan-yang-memilih-jalan-kebenaran-islam.htm
Semasa remaja, Sipes lebih suka bergabung dengan geng anak-anak muda yang juga bermasalah seperti dirinya, mengkonsumsi minuman keras, narkoba, melakukan tindak kriminal, kekerasan dan rasial. Pada usia 13 tahun Sipes harus menjalani kehidupan di penjara anak-anak dan yang menyedihkan, kondisi di sekolah yang katanya untuk mereformasi perilaku anak-anak bermasalah itu malah memberi pengaruh yang bertambah buruk pada Sipes.
Kecenderungan Sipes melakukan kekerasan dan bersikap rasial makin menguat. Sipes benci warga kulit hitam, yahudi, asia dan pada birokrat. Setelah tiga tahun di lembaga pemasyarakatan anak-anak, Sipes bebas dan ia menjadi "granat" yang siap meledak.
Untuk menyalurkan hasrat kekerasannya, Sipes bergabung dengan kelompok-kelompok rasis dan sering ikut dalam "operasi penyerangan" terhadap kelompok etnis tertentu dan ia terlibat dalam berbagai aktivitas kriminal. Sehingga pada usia 16 tahun, Sipes kembali masuk penjara di California. Ia divonis hukuman 6 1/2 tahun atas tuduhan perampokan dan kepemilikan serta penggunaan senjata api.
Di penjara itu, Sipes bergabung dengan kelompok "supremasi kulit putih" yang membenci semua orang yang bukan keturunan "Anglo Saxon." Ia pun mulai melakukan korespondensi dengan kelompok Klu Klux Klan (KKK) yang kemudian meminta pembebasan dirinya dengan jaminan. Setelah bebas, Sipes aktif dalam kelompok KKK selama 3-4 tahun. Ia dan kelompoknya melakukan serangan di malam hari, melakukan pengeroyokan dan merusak properti miliki orang lain. Hingga ia harus keluar masuk penjara karena melanggar pembebasan dengan jaminan yang diberikan otoritas penjara dan itu terus terjadi sampai Sipes berusia 20 tahun.
Pada usia itu pula Sipes mulai merindukan kedamaian dalam jiwanya. Ia menyesali keburukan-keburukan yang telah dilakukannya selama ini dan perasaan itu sering membuatnya kalap dan menumpahkan segala kemarahan dan kebenciaannya terhadap dirinya sendiri, pada sipir-sipir penjara. Seringkali ia terbangun dalam keadaan setengah telanjang di dalam sel isolasi. Kesendirian di sel isolasi itu membuatnya merenungkan kembali masa lalunya dan hal-hal negatif yang dilakukannya.
"Ketika saya masih di penjara, anak perempuan saya lahir. Saya mulai memikirkan masa depan. Saya mulai memikirkan betapa banyak korban yang jatuh akibat ulah saya. Saya bisa melihat diri saya seumur hidup akan berada dalam penjara, tanpa masa depan," tutur Sipes.
"Jauh di lubuk hati saya berkata 'Clint, kamu harus memilih antara keburukan atau masa depan yang baik'. Jelas jika saya memilih keburukan, saya tidak akan punya masa depan. Keluarga saya, ibu, kakak, mereka semua akan takut pada saya. Mereka akan menjauhi saya," sambungnya.
Pemikiran itu yang mendorong Sipes untuk menyembuhkan penyakit "kanker" amarah dan kebencian dalam dirinya. Ia ingin mencintai dan dicintai seperti layaknya yang diiginkan setiap orang. "Saya tidak mau membenci lagi," tukasnya.
Setelah menyelesaikan masa tahanannya dan lolos dari syarat pembebasan dengan jaminan, di kota Montana Sipes mulai melibatkan diri dengan organisasi-organisasi hak asasi, terutama yang memberikan perlindungan pada anak-anak. Ia membantu anak-anak yang memiliki problem yang pernah ia alami pada masa kecil. Meski demikian, Sipes masih juga belum sepenuhnya melepaskan diri dari aktivitas kriminal hingga ia harus masuk penjara lagi selama tiga tahun atas tuduhan memiliki bahan-bahan peledak.
Mengenal Islam
Di penjara federal itulah ia berjumpa dengan seorang muslim Amerika keturunan Afrika yang bertugas membantu para tahanan yang membutuhkan bantuan. Dari orang itulah muncul keingintahuan Sipes pada Islam. Ia berpikir bahwa Islam adalah agama eksklusif hanya untuk orang Amerika keturunan Afrika. Sebagai orang kulit putih, Sipes menolak agama Islam.
Meski demikian, Sipes tetap menanyakan banyak hal tentang agama Islam dan mulai berpikir positif tentang Islam sebagai agama yang ajarannya universal tidak mengenal etnis atau ras. "Saya mulai tertarik. Buat saya, Islam kedengarannya sangat nyata dan murni," kata Sipes.
Muslim Amerika keturunan Afrika itu lalu mengajak Sipes untuk melihat pelaksanaan salat Jumat yang dilakukan berjamaah dan memberinya Al-Quran. Sipes membaca terjemahan Al-Quran dan mengaku merasakan kebenaran dan kemurnian ajaran yang tertulis dalam Al-Quran. Sipes makin merasakan getaran hatinya pada Islam ketika ia mendengar suara azan. "Saat itu saya merasa kedekatan Tuhan di dalam hati dan jiwa saya," ujarnya.
Setelah melakukan riset dan mempelajari Al-Quran saya menemukan kesempurnaan ajaran Islam, tidak ada kontradiksi di dalamnya. Tidak seperti ajaran agama lainnya yang meyakini banyak Tuhan atau berhala, Islam adalah agama yang berdasarkan pada keyakinan bahwa Allah itu Esa. Sipes juga kagum dengan "mukzizat Al-Quran" kitab suci yang sudah berumu ribuan tahun tapi kemurniaannya tetap terjaga. Tak ada satupun kata bahkan huruf dalam Al-Quran yang diubah atau berubah.
Setelah mengenal agama Islam, sedikit demi sedikit perilaku Sipes berubah. Dari orang yang banyak menimbulkan masalah, penuh kebencian dan amarah, Sipes menjadi orang yang lebih tenang. "Islam memberikan saya kebutuhan spiritual, ketenangan dan kedamaian dalam diri yang tidak bisa saya jelaskan dengan kata-kata. Dengan Islam, tujuan hidup saya jelas, ke arah jalan yang lurus," ungkap Sipes.
Sipes pun memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dan menggunakan nama Abdus Salam. "Alhamdulillah, setelah saya menemukan kebenaran Islam dan menjadi seorang muslim, saya merasa terlahir kembali dan ingin tumbuh menjadi manusia baru yang baik dan mengabdi pada Allah Swt," tandas Abdus Salam Clinton Sipes. (ln/IFT)
http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/mantan-anggota-klu-klux-klan-yang-memilih-jalan-kebenaran-islam.htm
Mimpi Buruk Mengeluarkannya Dari Kegelapan Menuju Cahaya Islam
Sejak kecil Angelene McLaren sudah membangun hubungan yang mendalam dengan "tuhan". Tentu saja "tuhan" yang diyakini dalam agama McLaren yang lahir dan dibesarkan di tengah keluarga penganut Katolik. Ia tidak pernah berpikir untuk pindah agama meski ajaran Katolik diakuinya membingungkan, kontradiktif dan ambigu. Bahkan ketika duduk di sekolah menengah atas. McLaren memutuskan untuk mengabdikan dirinya pada Katolik. Ia menghadiri misa dua kali sehari, melakukan pengakuan dosa sedikitnya seminggu sekali dan melaksanakan semua ritual yang diajarkan para pendeta, dengan satu keinginan agar ia lebih dekat pada "tuhan"nya.
Tapi semakin ia mengenal lebih dalam ajaran Katolik yang dianutnya, McLaren menemukan makin banyak pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan ini yang tidak bisa dijawab oleh ajaran agamanya. Pertanyaan-pertanyaan yang makin hari menekan jiwanya seperti "Siapa dirinya", "Siapa dan apakah tuhan itu sebenarnya?", "Siapa yang menjadi sosok teladan baginya?", "Mengapa tuhan memiliki anak?" dan pertanyaan lain yang tidak mampu dijawab bahkan oleh pendetanya sendiri.
"Pendeta saya hanya mengatakan bahwa saya harus memiliki agama, dan agama itu tidak harus masuk akal, yang penting keyakinan saya terhadap agama itu cukup kuat," kata McLaren menirukan ucapan pendetanya.
"Pernyataan itu tidak memuaskan saya, dan ketika lulus sekolah menengah atas, gereja saya tinggalkan dan mulai menjacari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu," sambungnya.
Sejak meninggalkan gereja, McLaren merasakan kekosongan dalam jiwanya. Untuk melepaskan diri dari kekosongan itu, ia mulai mempelajari aneka agama mulai dari Hindu, Budha, Taoisme dan mempratekannya. Ia bahkan mempelajari ilmu yang berbau sihir meski bukan untuk digunakan untuk tujuan jahat.
"Banyak orang yang menyebut saya gila. Mereka tidak memahami bahwa saya sedang melakukan pencarian, pencarian yang sejati. Tapi itu semua mengecewakan saya karena saya merasa tidak ada yang cocok dengan apa yang saya cari," tutur McLaren.
Hingga suatu hari, adik perempuannya berkunjung dan McLaren terkejut melihat penampilan sang adik yang mengenakan busana longgar dan panjang lengkap dengan jilbab panjang yang menutup bagian dada dan menjulur hingga pergelangan tangannya. McLaren heran melihat pakaian yang dikenakan adik perempuannya itu, apalagi saat itu musim panas dan udara siang itu sangat panas. Setelah mendapat penjelasan, McLaren baru tahu bahwa adiknya sudah menjadi seorang muslimah.
Ia seperti tersentak mendengar kata Islam. Selama ini ia mempelajari banyak agama tapi tidak pernah terlintas dalam pikirannya soal agama Islam. Pengetahuannya tentang Islam sangat minim, begitupula informasi tentang Islam yang ia peroleh penuh dengan stigma negatif tentang Islam.
McLaren lalu memutuskan pindah ke California, masih tanpa agama atau keinginan untuk mempelajari Islam, karena stigma negatif tentang Islam masih begitu melekat di kepalanya. Ia terus melakukan pencarian dan sampailah ia pada titik kulminasi dimana ia merasa putus asa dan menyerah. McLaren pun mencoba untuk tidak memusingkan soal agama dan ia memutuskan untuk menjalani hidup ini apa adanya.
Dua tahun berlalu. Ia bertunangan dengan salah seorang reman kuliahnya. Hidup McLaren belum berubah. Tanpa agama, tanpa keyakinan akan Tuhan. Jauh di dasar hatinya mengatakan bahwa hidupnya berantakan, tapi McLaren berusaha menepisnya hingga ia mengalami malam yang aneh.
Ketika itu, menjelang kepulangannya ke rumah orang tuanya di Michigan untuk mengurus pernikahannya. McLaren bermimpi buruk, mimpi terburuk yang pernah dialaminya selama hidup. "Dalam mimpi itu saya melihat dua laki-laki, ukuran tubuhnya sangat tinggi dan berpakaian serba putih berdri di ujung tempat tidur. Saya pikir mereka alien atau malaikat, saya tidak tahu pasti. Tapi saya sangat ketakutan dan mencoba menghindar dari kedua lelaki itu. Tapi makin saya menghindar, saya merasa semakin dekat dengan mereka," ungkap McLaren.
Ia melanjutkan, "Akhirnya, dalam mimpi itu, kami sampai di sebuah puncak gunung yang sangat tinggi, dibawahnya terbentang samudera luas, berwarna merah seperti darah dan panas seperti lava. Kedua lelaki itu menyuruh saya melihat ke arah samudera itu dan apa yang saya lihat masih jelas saya ingat sampai saya mati. Samudera itu penuh dengan orang yang telanjang dan dibolak-balik berkali-kali, seperti daging yang dipanggang di atas api."
"Orang-orang itu berteriak 'tolong kami, tolong kami!'. Saya merasa bahwa apa yang saya lihat ada neraka. Saya sangat ketakutan. Tapi ketika saya menceritakan mimpi itu pada tunangan saya, ia hanya tertawa dan mengatakan bahwa imajinasi saya terlalu berlebihan. Tapi saya sulit melupakan mimpi itu," papar McLaren.
Ketika pulang kampung ke Michigan itulah, ia bertemu dengan saudara perempuannya yang lain dan seorang sepupunya yang ternyata juga sudah memeluk agama Islam. Rasa ingin tahunya tentang Islam pun mulai muncul, lalu ia meminta pada saudara perempuannya itu untuk memberikan buku-buku tentang Islam yang bisa dibacanya. Dan buku pertama yang dibaca McLaren berjudul "Description of the Hell Fire".
"Apa yang saya lihat dalam mimpi saya ada di buku itu. Rasa ingin tahu saya makin besar dan saya mulai banyak membaca dan membaca, datang ke ceramah-ceramah, mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Semakin saya belajar tentang Islam, otak dan hati saya makin kuat mengatakan bahwa inilah yang selama ini saya cari," ujar McLaren.
Ia akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam. Persoalan pun menghadangnya, karena tunangannya tidak mau ikut masuk Islam. McLaren harus memilih antara tunangannya atau Islam dan ia tahu keputusan yang paling tepat adalah bersyahadat dan menjadi seorang muslimah.
"Allah Swt mengatakan jika Anda benar-benar beriman kepada-Nya dan Rasul-Nya, maka Ia akan mengujimu. Itulah ujian buat saya. Meski merasakan kepedihan yang sangat karena kehilangan seorang tunangan, saya tetap memilih masuk Islam," tandas McLaren.
Sekarang, sudah enam tahun McLaren memeluk Islam. Ia memilih nama Sumayyah sebagai nama Islamnya. Sumayyah bekerja sebagai wartawan dan humas. Ia hidup bahagia dengan seorang suami yang baik dan dikaruniai seorang putra.
"Buat mereka yang benar-benar menginginkan petunjuk, Allah Swt berfirman bahwa Dia akan memberikan petunjuk bagi mereka dari kegelapan menuju cahaya dan itulah yang Allah berikan untuk saya," ujar Summayah menutup kisahnya menjadi seorang muslimah. (ln/IFT)
http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/mimpi-buruk-mengeluarkannya-dari-kegelapan-menuju-cahaya-islam.htm
Tapi semakin ia mengenal lebih dalam ajaran Katolik yang dianutnya, McLaren menemukan makin banyak pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan ini yang tidak bisa dijawab oleh ajaran agamanya. Pertanyaan-pertanyaan yang makin hari menekan jiwanya seperti "Siapa dirinya", "Siapa dan apakah tuhan itu sebenarnya?", "Siapa yang menjadi sosok teladan baginya?", "Mengapa tuhan memiliki anak?" dan pertanyaan lain yang tidak mampu dijawab bahkan oleh pendetanya sendiri.
"Pendeta saya hanya mengatakan bahwa saya harus memiliki agama, dan agama itu tidak harus masuk akal, yang penting keyakinan saya terhadap agama itu cukup kuat," kata McLaren menirukan ucapan pendetanya.
"Pernyataan itu tidak memuaskan saya, dan ketika lulus sekolah menengah atas, gereja saya tinggalkan dan mulai menjacari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu," sambungnya.
Sejak meninggalkan gereja, McLaren merasakan kekosongan dalam jiwanya. Untuk melepaskan diri dari kekosongan itu, ia mulai mempelajari aneka agama mulai dari Hindu, Budha, Taoisme dan mempratekannya. Ia bahkan mempelajari ilmu yang berbau sihir meski bukan untuk digunakan untuk tujuan jahat.
"Banyak orang yang menyebut saya gila. Mereka tidak memahami bahwa saya sedang melakukan pencarian, pencarian yang sejati. Tapi itu semua mengecewakan saya karena saya merasa tidak ada yang cocok dengan apa yang saya cari," tutur McLaren.
Hingga suatu hari, adik perempuannya berkunjung dan McLaren terkejut melihat penampilan sang adik yang mengenakan busana longgar dan panjang lengkap dengan jilbab panjang yang menutup bagian dada dan menjulur hingga pergelangan tangannya. McLaren heran melihat pakaian yang dikenakan adik perempuannya itu, apalagi saat itu musim panas dan udara siang itu sangat panas. Setelah mendapat penjelasan, McLaren baru tahu bahwa adiknya sudah menjadi seorang muslimah.
Ia seperti tersentak mendengar kata Islam. Selama ini ia mempelajari banyak agama tapi tidak pernah terlintas dalam pikirannya soal agama Islam. Pengetahuannya tentang Islam sangat minim, begitupula informasi tentang Islam yang ia peroleh penuh dengan stigma negatif tentang Islam.
McLaren lalu memutuskan pindah ke California, masih tanpa agama atau keinginan untuk mempelajari Islam, karena stigma negatif tentang Islam masih begitu melekat di kepalanya. Ia terus melakukan pencarian dan sampailah ia pada titik kulminasi dimana ia merasa putus asa dan menyerah. McLaren pun mencoba untuk tidak memusingkan soal agama dan ia memutuskan untuk menjalani hidup ini apa adanya.
Dua tahun berlalu. Ia bertunangan dengan salah seorang reman kuliahnya. Hidup McLaren belum berubah. Tanpa agama, tanpa keyakinan akan Tuhan. Jauh di dasar hatinya mengatakan bahwa hidupnya berantakan, tapi McLaren berusaha menepisnya hingga ia mengalami malam yang aneh.
Ketika itu, menjelang kepulangannya ke rumah orang tuanya di Michigan untuk mengurus pernikahannya. McLaren bermimpi buruk, mimpi terburuk yang pernah dialaminya selama hidup. "Dalam mimpi itu saya melihat dua laki-laki, ukuran tubuhnya sangat tinggi dan berpakaian serba putih berdri di ujung tempat tidur. Saya pikir mereka alien atau malaikat, saya tidak tahu pasti. Tapi saya sangat ketakutan dan mencoba menghindar dari kedua lelaki itu. Tapi makin saya menghindar, saya merasa semakin dekat dengan mereka," ungkap McLaren.
Ia melanjutkan, "Akhirnya, dalam mimpi itu, kami sampai di sebuah puncak gunung yang sangat tinggi, dibawahnya terbentang samudera luas, berwarna merah seperti darah dan panas seperti lava. Kedua lelaki itu menyuruh saya melihat ke arah samudera itu dan apa yang saya lihat masih jelas saya ingat sampai saya mati. Samudera itu penuh dengan orang yang telanjang dan dibolak-balik berkali-kali, seperti daging yang dipanggang di atas api."
"Orang-orang itu berteriak 'tolong kami, tolong kami!'. Saya merasa bahwa apa yang saya lihat ada neraka. Saya sangat ketakutan. Tapi ketika saya menceritakan mimpi itu pada tunangan saya, ia hanya tertawa dan mengatakan bahwa imajinasi saya terlalu berlebihan. Tapi saya sulit melupakan mimpi itu," papar McLaren.
Ketika pulang kampung ke Michigan itulah, ia bertemu dengan saudara perempuannya yang lain dan seorang sepupunya yang ternyata juga sudah memeluk agama Islam. Rasa ingin tahunya tentang Islam pun mulai muncul, lalu ia meminta pada saudara perempuannya itu untuk memberikan buku-buku tentang Islam yang bisa dibacanya. Dan buku pertama yang dibaca McLaren berjudul "Description of the Hell Fire".
"Apa yang saya lihat dalam mimpi saya ada di buku itu. Rasa ingin tahu saya makin besar dan saya mulai banyak membaca dan membaca, datang ke ceramah-ceramah, mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Semakin saya belajar tentang Islam, otak dan hati saya makin kuat mengatakan bahwa inilah yang selama ini saya cari," ujar McLaren.
Ia akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam. Persoalan pun menghadangnya, karena tunangannya tidak mau ikut masuk Islam. McLaren harus memilih antara tunangannya atau Islam dan ia tahu keputusan yang paling tepat adalah bersyahadat dan menjadi seorang muslimah.
"Allah Swt mengatakan jika Anda benar-benar beriman kepada-Nya dan Rasul-Nya, maka Ia akan mengujimu. Itulah ujian buat saya. Meski merasakan kepedihan yang sangat karena kehilangan seorang tunangan, saya tetap memilih masuk Islam," tandas McLaren.
Sekarang, sudah enam tahun McLaren memeluk Islam. Ia memilih nama Sumayyah sebagai nama Islamnya. Sumayyah bekerja sebagai wartawan dan humas. Ia hidup bahagia dengan seorang suami yang baik dan dikaruniai seorang putra.
"Buat mereka yang benar-benar menginginkan petunjuk, Allah Swt berfirman bahwa Dia akan memberikan petunjuk bagi mereka dari kegelapan menuju cahaya dan itulah yang Allah berikan untuk saya," ujar Summayah menutup kisahnya menjadi seorang muslimah. (ln/IFT)
http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/mimpi-buruk-mengeluarkannya-dari-kegelapan-menuju-cahaya-islam.htm
Sa'ad Laws: Pengalaman Haji Malcolm X Mengantarnya pada Islam
Ia memilih nama Islam "Sa'ad" ketika memutuskan untuk menjadi seorang Muslim. Terlahir dari keluarga Kristen--ayah Katolik asal Irlandia dan ibu seorang penganut Metodis--ia mengaku keluarganya bukan tergolong penganut agama yang taat. Pergi ke gereja pun hanya jika ada acara-acara khusus. Tak heran jika agama menjadi sesuatu yang asing baginya.
Meski demikian, Sa'ad Laws, dua saudara perempuan dan seorang saudara lelakinya serta kedua orang tuanya hidup rukun. Keluarga kelas menengah itu tinggal di kawasan terpencil di AS bernama Hamlet. Ketika kecil, saat melihat patung Yesus, Sa'ad selalu bertanya-tanya mengapa ia harus berdoa pada orang "nomor dua" dan tidak langsung pada "nomor satu" yaitu Tuhan. Seperti kebanyakan penganut Kristen lainnya yang bingung dengan konsep Trinitas, begitu pula Sa'ad.
Rasa ingin tahu Sa'ad pada Islam berawal ketika ia membaca buku autobiografi Malcom X. Ia membaca buku itu ketika masih duduk di kelas 11--setingkat sekolah menengah atas. "Orang bilang ia adalah pemimpin anti-kulit putih. Tapi semakin saya membaca buku itu, saya ingin terus membaca halaman demi halaman. Kisahnya sangat mengagumkan. Dari bukan siapa-siapa, ia bisa menjadi sosok yang penting," ujar Sa'ad.
Bagian dari buku itu yang paling mempengaruhi perasaan Sa'ad adalah bab yang berjudul "Mecca". Dalam bab tersebut, Malcolm X mengisahkan pengalamannya saat menunaikan ibadah haji. Malcolm menulis, kemurahan hati dan kasih sayang yang ditunjukkan oleh kaum Muslimin selama ia di tanah suci dan oleh Islam itu sendiri, begitu merasuk ke jiwanya.
"Ketika membaca bab itu dan menemukan kata 'Muslimin', saya bertanya dalam hati 'siapa orang-orang ini?'. Lalu saya pergi ke perpustakaan sekolah dan mulai mencari setiap buku--sebisa saya--yang menyebut soal Islam di dalamnya dan saya sangat takjub dengan apa yang saya baca," ungkap Sa'ad.
"Di buku-buku itu saya menemukan sebuah konsep keyakinan yang sepaham dengan apa yang saya yakini dalam hati. Buku-buku itu menyebutkan bahwa agama Islam meyakini bahwa Tuhan itu satu dan bahwa Yesus bukan anak Tuhan tapi semata-mata hanya utusan Tuhan, seorang nabi," sambungnya.
Sa'ad mulai merenungkan apa yang telah dibacanya tentang Islam. Ia mulai berpikir bahwa agama Islamlah yang ia butuhkan dan ia harus menjadi bagian dari agama itu. Lebih jauh, Sa'ad merasa sudah menjadi seorang muslim dan jika saat itu ada orang yang bertanya apa agamanya, maka ia akan mengatakan bahwa agamanya Islam.
"Secara resmi saya belum mengucapkan dua kalimat syahadat, tapi dalam jiwa saya, saya merasa sebagai muslim. Agak sedikit naif, karena saya tahu bahwa seorang muslim berkewajiban salat, meski saat itu saya belum tahu bagaimana melaksanakan salat, berapa kali dalam sehari dan sebagainya. Saya belum banyak tahu dan saya tidak menemukan orang untuk belajar," tutur Sa'ad.
Tapi saat selalu dengan bangga mengatakan di hadapan teman-temannya "Hei, aku seorang muslim, selamanya." Hal itu mengganggu teman-temannya. Mereka mengatakan pada Sa'ad bahwa dirinya bukan muslim karena seorang muslim harus bisa salat. Sejak itu, Sa'ad mulai resah. Ia betul-betul ingin belajar tentang Islam, tapi dimana? Bahkan masjid pun tak ada di lingkungannya.
Sa'ad mulai melakukan pencarian lewat buku telepon dan menemukan nomor telepon sebuah masjid di Washington D.C. yang jika ditempuh dari tempat tinggalnya membutuhkan waktu lebih dari dua setengah jam. Namun Sa'ad tetap menghubungi masjid itu. Ia sangat gugup karena itulah pertama kalinya ia bicara dengan seorang Muslim.
"Mereka sangat senang mendengar antusiasme saya terhadap Islam dan keinginan saya untuk menjadi seroang muslim. Tapi mereka meminta saya datang ke masjid, dan itu artinya bisa menimbulkan masalah buat saya," ungkap Sa'ad.
"Saya masih di SMU dan masih bergantung pada orang tua, mereka juga mengawasi keberadaan saya terutama sejak saya sudah bisa mengendarai mobil milik keluarga. Peluang saya membawa mobil itu untuk pergi ke D.C sangat tipis. Saya jadi bingung. Kalau saya tidak menjumpai mereka yang muslim, bagaimana saya bisa menjadi seorang muslim?" pikir Sa'ad saat itu.
Ia mencoba meminta kedua orang tuanya mengantarnya ke D.C. tapi mereka menolak. Tekad Sa'ad itu sudah bulat untuk menjadi seorang muslim. Ia tidak bisa berdiam diri dan harus melakukan sesuatu. Sa'ad akhirnya menelpon masjid itu lagi dan meyakinkan seorang lelaki yang menerima teleponnya bahwa ia ingin menjadi seorang muslim dan minta diperbolehkan bersyahadat lewat telepon.
Akhirnya, pada suatu malam, ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang muslim. Jika melihat proses yang dilaluinya untuk menjadi seorang muslim, Sa'ad mengaku sangat bersyukur Allah Swt telah membimbingnya untuk memeluk Islam.
"Saya menyadari bahwa apa yang telah saya alami adalah kehendak Allah dan Dia sendirilah yang telah menunjukkan jalan pada saya. Menjadi seorang muslim adalah karunia terbesar dalam hidup saya," tandas Sa'ad Laws. (ln/IfT)
http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/sa-ad-law-pengalaman-haji-malcolm-x-mengantarnya-pada-islam.htm
Meski demikian, Sa'ad Laws, dua saudara perempuan dan seorang saudara lelakinya serta kedua orang tuanya hidup rukun. Keluarga kelas menengah itu tinggal di kawasan terpencil di AS bernama Hamlet. Ketika kecil, saat melihat patung Yesus, Sa'ad selalu bertanya-tanya mengapa ia harus berdoa pada orang "nomor dua" dan tidak langsung pada "nomor satu" yaitu Tuhan. Seperti kebanyakan penganut Kristen lainnya yang bingung dengan konsep Trinitas, begitu pula Sa'ad.
Rasa ingin tahu Sa'ad pada Islam berawal ketika ia membaca buku autobiografi Malcom X. Ia membaca buku itu ketika masih duduk di kelas 11--setingkat sekolah menengah atas. "Orang bilang ia adalah pemimpin anti-kulit putih. Tapi semakin saya membaca buku itu, saya ingin terus membaca halaman demi halaman. Kisahnya sangat mengagumkan. Dari bukan siapa-siapa, ia bisa menjadi sosok yang penting," ujar Sa'ad.
Bagian dari buku itu yang paling mempengaruhi perasaan Sa'ad adalah bab yang berjudul "Mecca". Dalam bab tersebut, Malcolm X mengisahkan pengalamannya saat menunaikan ibadah haji. Malcolm menulis, kemurahan hati dan kasih sayang yang ditunjukkan oleh kaum Muslimin selama ia di tanah suci dan oleh Islam itu sendiri, begitu merasuk ke jiwanya.
"Ketika membaca bab itu dan menemukan kata 'Muslimin', saya bertanya dalam hati 'siapa orang-orang ini?'. Lalu saya pergi ke perpustakaan sekolah dan mulai mencari setiap buku--sebisa saya--yang menyebut soal Islam di dalamnya dan saya sangat takjub dengan apa yang saya baca," ungkap Sa'ad.
"Di buku-buku itu saya menemukan sebuah konsep keyakinan yang sepaham dengan apa yang saya yakini dalam hati. Buku-buku itu menyebutkan bahwa agama Islam meyakini bahwa Tuhan itu satu dan bahwa Yesus bukan anak Tuhan tapi semata-mata hanya utusan Tuhan, seorang nabi," sambungnya.
Sa'ad mulai merenungkan apa yang telah dibacanya tentang Islam. Ia mulai berpikir bahwa agama Islamlah yang ia butuhkan dan ia harus menjadi bagian dari agama itu. Lebih jauh, Sa'ad merasa sudah menjadi seorang muslim dan jika saat itu ada orang yang bertanya apa agamanya, maka ia akan mengatakan bahwa agamanya Islam.
"Secara resmi saya belum mengucapkan dua kalimat syahadat, tapi dalam jiwa saya, saya merasa sebagai muslim. Agak sedikit naif, karena saya tahu bahwa seorang muslim berkewajiban salat, meski saat itu saya belum tahu bagaimana melaksanakan salat, berapa kali dalam sehari dan sebagainya. Saya belum banyak tahu dan saya tidak menemukan orang untuk belajar," tutur Sa'ad.
Tapi saat selalu dengan bangga mengatakan di hadapan teman-temannya "Hei, aku seorang muslim, selamanya." Hal itu mengganggu teman-temannya. Mereka mengatakan pada Sa'ad bahwa dirinya bukan muslim karena seorang muslim harus bisa salat. Sejak itu, Sa'ad mulai resah. Ia betul-betul ingin belajar tentang Islam, tapi dimana? Bahkan masjid pun tak ada di lingkungannya.
Sa'ad mulai melakukan pencarian lewat buku telepon dan menemukan nomor telepon sebuah masjid di Washington D.C. yang jika ditempuh dari tempat tinggalnya membutuhkan waktu lebih dari dua setengah jam. Namun Sa'ad tetap menghubungi masjid itu. Ia sangat gugup karena itulah pertama kalinya ia bicara dengan seorang Muslim.
"Mereka sangat senang mendengar antusiasme saya terhadap Islam dan keinginan saya untuk menjadi seroang muslim. Tapi mereka meminta saya datang ke masjid, dan itu artinya bisa menimbulkan masalah buat saya," ungkap Sa'ad.
"Saya masih di SMU dan masih bergantung pada orang tua, mereka juga mengawasi keberadaan saya terutama sejak saya sudah bisa mengendarai mobil milik keluarga. Peluang saya membawa mobil itu untuk pergi ke D.C sangat tipis. Saya jadi bingung. Kalau saya tidak menjumpai mereka yang muslim, bagaimana saya bisa menjadi seorang muslim?" pikir Sa'ad saat itu.
Ia mencoba meminta kedua orang tuanya mengantarnya ke D.C. tapi mereka menolak. Tekad Sa'ad itu sudah bulat untuk menjadi seorang muslim. Ia tidak bisa berdiam diri dan harus melakukan sesuatu. Sa'ad akhirnya menelpon masjid itu lagi dan meyakinkan seorang lelaki yang menerima teleponnya bahwa ia ingin menjadi seorang muslim dan minta diperbolehkan bersyahadat lewat telepon.
Akhirnya, pada suatu malam, ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang muslim. Jika melihat proses yang dilaluinya untuk menjadi seorang muslim, Sa'ad mengaku sangat bersyukur Allah Swt telah membimbingnya untuk memeluk Islam.
"Saya menyadari bahwa apa yang telah saya alami adalah kehendak Allah dan Dia sendirilah yang telah menunjukkan jalan pada saya. Menjadi seorang muslim adalah karunia terbesar dalam hidup saya," tandas Sa'ad Laws. (ln/IfT)
http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/sa-ad-law-pengalaman-haji-malcolm-x-mengantarnya-pada-islam.htm
Lynette Wehner: Mengajar di Sekolah Islam Mengantarnya ke Cahaya Islam
Lynette Wehner mengakui terjadi pergulatan batin ketika ia pertama kali mendapatkan tugas mengajar di sebuah sekolah Islam. Wehner lahir dari keluarga Amerika yang menganut agama Kristen Katolik. Kedua mertuanya mengingatkan agar Wehner tidak terpengaruh dengan ajaran Islam meski ia cuma menjadi tenaga pengajar paruh waktu di sekolah Islam itu.
"Yang penting, kamu tidak masuk Islam," begitu kata ayah mertuanya.
Selama dua hari Wehner merasa gelisah untuk mengambil keputusan apakah ia akan menerima tugas tersebut, apalagi pihak sekolah mewajibkannya mengenakan jilbab saat mengajar. Jilbab adalah sesuatu yang sangat asing baginya. Tapi akhirnya ia menerima pekerjaan mengajar di sekolah Islam itu dengan pertimbangan bahwa pengalaman mengajarnya yang pertama ini akan menjadi batu loncatan baginya kelak.
Hari pertama mengajar, seorang staf di sekolah Islam itu membantunya mengenakan jilbab di ruang guru. "Kami tertawa sambil mencoba berbagai gaya berjilbab," ujar Wehner yang mengaku pagi itu merasa sangat rileks berada di lingkungan muslim. Selama ini, Wehner selalu berpandangan bahwa orang-orang Islam tidak ramah dan selalu serius. Hari pertamanya di sekolah Islam membuat Wehner berbalik mempertanyakan, mengapa seseorang bisa sedemikian mudah membuat stereotipe terhadap orang lain tanpa mengenal lebih jauh orang yang bersangkutan.
"Saya belajar banyak hal di hari pertama mengajar. Saya terkesan dengan sikap para siswa, pengetahuan mereka tentang agama saya (Kristen) lebih baik dibandingkan pengetahuan yang saya miliki dan saya bertanya dalam hati, darimana mereka tahu semua itu," tutur Wehner.
"Murid-murid saya selalu menanyakan tentang ajaran agama saya dan itu membuat saya berpikir 'apa yang saya yakini?'" sambung Wehner.
Sejak kecil Wehner dididik dengan ajaran Katolik, tapi ketika dewasa ia meninggalkan ajaran agamanya itu. Wehner mengaku merasa tidak nyaman dengan ajaran Katolik dan merasa ada sesuatu yang salah. Ia lalu beralih ke aliran Kristen lainnya yang lebih modern, tapi aliran itu juga tidak memuaskan hatinya.
"Yang saya tahu, saya hanya ingin berhubungan dengan Tuhan. Saya tidak mau agama saya menjadi sesuatu yang hanya membuat saya merasa bahwa saya harus 'menjadi orang baik' di hadapan para kerabat. Saya ingin merasakan agama itu di hati saya. Ketika itu, saya kehilangan arah tapi saya tidak menyadarinya," papar Wehner.
Di sekolah Islam tempatnya mengajar, Wehner banyak berinteraksi dengan para siswanya yang masih usia anak-anak. Anak-anak itulah yang mengantarkan Wehner ke cahaya Islam. Namanya anak-anak, mereka seringkali meninggalkan buku-buku pelajaran mereka di sekolah. Diam-diam, Wehner sering membaca buku-buku yang berisi ajaran Islam, yang ditinggalkan murid-muridnya itu usai pelajaran sekolah. Saat itu Wehner mulai merasakan bahwa apa yang ia baca mengandung banyak kebenaran.
Selanjutnya, Wehner jadi sering bertanya soal Islam dengan seorang guru perempuan dan seorang guru lelaki di sekolah itu. Ia bahkan bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk berdiskusi dan memuaskan rasa ingin tahunya tentang Islam. "Perbicangan kami sangat intelek dan mendorong rasa ingin tahu saya. Saya merasa telah menemukan apa yang selama ini saya cari. Tiba-tiba saja, ada rasa damai yang menyebar di dalam hari saya ..." ungkap Wehner.
Di rumah, Wehner mulai membaca terjemahan Al-Quran. Suami Wehner (kala itu ia belum belum bercerai) tidak suka melihat minatnya pada Islam, sehingga Wehner harus mencari tempat tersembunyi jika ingin membaca Al-Quran. Awalnya, Wehner merasa takut telah melakukan pengkhiatan terhadap agamanya dan ragu untuk percaya bahwa ada kitab suci lain, selain Alkitab yang diturunkan Tuhan.
"Namun saya berusaha mendengarkan apa kata hati saya yang menyuruh saya membaca Al-Quran. Saat saya membacanya, saya merasa beberapa bagian dalam Al-Quran itu dituliskan khusus untuk saya. Seringkali saya membacanya sambil menangis. Tapi setelah itu, saya merasa tenang, meski masih bingung. Sepertinya masih ada sesuatu yang menahan saya untuk menerimanya sepenuh hati," tutur Wehner.
Butuh waktu berbulan-bulan lagi bagi Wehner untuk meyakinkan hatinya. Ia terus membaca, bertanya pada banyak orang dan melakukan pencarian jiwa, sampai ada satu momen yang menjadi menentukan keputusannya untuk menjadi seorang muslim.
"Saya mencoba salat di kamar anak lelaki saya. Tangan saya memegang sebuah buku tentang tatacara salat. Saya berdiri dengan konflik batin dalam diri saya. Saya tidak biasa berdoa secara langsung pada Tuhan. Sepanjang hidup saya, saya diajarkan untuk berdoa pada Yesus. Yesuslah yang akan menyampaikan doa saya pada Tuhan. Saya takut telah melakukan tindakan yang salah. Saya tidak mau Yesus marah. Saya merasa ada gelombang besar yang menghantam saya," ungkap Wehner mengungkapkan kekhawatirannya saat itu.
Tapi Wehner kemudian berpikir lebih dalam, bagaimana mungkin Tuhan marah pada hambanya yang ingin lebih mendekatkan diri padaNya. Bagaimana mungkin Yesus marah pada orang yang ingin mendekatkan diri pada Tuhan. Bukankah itu yang Yesus inginkan? Hari itu, Wehner yakin bahwa Tuhan sedang bicara padanya dengan suara yang kuat, yang menggema dalam hati dan pikirannya, bahwa tidak ada yang perlu ia takutkan jika memang ia ingin berpindah ke agama Islam.
"Ketika itu saya mulai menangis dan menangis. Suara itulah yang ingin saya dengar. Dan mulai hari itu saya yakin bahwa saya harus memeluk Islam. Keputusan inilah yang benar dan tidak ada yang perlu dipersoalkan lagi," ujar Wehner.
Wehner mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan seluruh siswa sekolah Islam tempat ia mengajar. "Saya menjadi orang yang baru. Semua keraguan dan pertanyaan saya ada di mana dan apa yang sebenarnya saya yakini, sirna. Saya yakin telah membuat keputusan yang benar. Saya tidak pernah begitu dekat dengan Tuhan, sampai saya menjadi seorang muslim. Alhamdulillah, saya sangat beruntung," tukas Wehner menutup kisahnya menjadi seorang mualaf. (ln/IfT)
http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/lynette-wehner-mengajar-di-sekolah-islam-mengantarnya-ke-cahaya-islam.htm
"Yang penting, kamu tidak masuk Islam," begitu kata ayah mertuanya.
Selama dua hari Wehner merasa gelisah untuk mengambil keputusan apakah ia akan menerima tugas tersebut, apalagi pihak sekolah mewajibkannya mengenakan jilbab saat mengajar. Jilbab adalah sesuatu yang sangat asing baginya. Tapi akhirnya ia menerima pekerjaan mengajar di sekolah Islam itu dengan pertimbangan bahwa pengalaman mengajarnya yang pertama ini akan menjadi batu loncatan baginya kelak.
Hari pertama mengajar, seorang staf di sekolah Islam itu membantunya mengenakan jilbab di ruang guru. "Kami tertawa sambil mencoba berbagai gaya berjilbab," ujar Wehner yang mengaku pagi itu merasa sangat rileks berada di lingkungan muslim. Selama ini, Wehner selalu berpandangan bahwa orang-orang Islam tidak ramah dan selalu serius. Hari pertamanya di sekolah Islam membuat Wehner berbalik mempertanyakan, mengapa seseorang bisa sedemikian mudah membuat stereotipe terhadap orang lain tanpa mengenal lebih jauh orang yang bersangkutan.
"Saya belajar banyak hal di hari pertama mengajar. Saya terkesan dengan sikap para siswa, pengetahuan mereka tentang agama saya (Kristen) lebih baik dibandingkan pengetahuan yang saya miliki dan saya bertanya dalam hati, darimana mereka tahu semua itu," tutur Wehner.
"Murid-murid saya selalu menanyakan tentang ajaran agama saya dan itu membuat saya berpikir 'apa yang saya yakini?'" sambung Wehner.
Sejak kecil Wehner dididik dengan ajaran Katolik, tapi ketika dewasa ia meninggalkan ajaran agamanya itu. Wehner mengaku merasa tidak nyaman dengan ajaran Katolik dan merasa ada sesuatu yang salah. Ia lalu beralih ke aliran Kristen lainnya yang lebih modern, tapi aliran itu juga tidak memuaskan hatinya.
"Yang saya tahu, saya hanya ingin berhubungan dengan Tuhan. Saya tidak mau agama saya menjadi sesuatu yang hanya membuat saya merasa bahwa saya harus 'menjadi orang baik' di hadapan para kerabat. Saya ingin merasakan agama itu di hati saya. Ketika itu, saya kehilangan arah tapi saya tidak menyadarinya," papar Wehner.
Di sekolah Islam tempatnya mengajar, Wehner banyak berinteraksi dengan para siswanya yang masih usia anak-anak. Anak-anak itulah yang mengantarkan Wehner ke cahaya Islam. Namanya anak-anak, mereka seringkali meninggalkan buku-buku pelajaran mereka di sekolah. Diam-diam, Wehner sering membaca buku-buku yang berisi ajaran Islam, yang ditinggalkan murid-muridnya itu usai pelajaran sekolah. Saat itu Wehner mulai merasakan bahwa apa yang ia baca mengandung banyak kebenaran.
Selanjutnya, Wehner jadi sering bertanya soal Islam dengan seorang guru perempuan dan seorang guru lelaki di sekolah itu. Ia bahkan bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk berdiskusi dan memuaskan rasa ingin tahunya tentang Islam. "Perbicangan kami sangat intelek dan mendorong rasa ingin tahu saya. Saya merasa telah menemukan apa yang selama ini saya cari. Tiba-tiba saja, ada rasa damai yang menyebar di dalam hari saya ..." ungkap Wehner.
Di rumah, Wehner mulai membaca terjemahan Al-Quran. Suami Wehner (kala itu ia belum belum bercerai) tidak suka melihat minatnya pada Islam, sehingga Wehner harus mencari tempat tersembunyi jika ingin membaca Al-Quran. Awalnya, Wehner merasa takut telah melakukan pengkhiatan terhadap agamanya dan ragu untuk percaya bahwa ada kitab suci lain, selain Alkitab yang diturunkan Tuhan.
"Namun saya berusaha mendengarkan apa kata hati saya yang menyuruh saya membaca Al-Quran. Saat saya membacanya, saya merasa beberapa bagian dalam Al-Quran itu dituliskan khusus untuk saya. Seringkali saya membacanya sambil menangis. Tapi setelah itu, saya merasa tenang, meski masih bingung. Sepertinya masih ada sesuatu yang menahan saya untuk menerimanya sepenuh hati," tutur Wehner.
Butuh waktu berbulan-bulan lagi bagi Wehner untuk meyakinkan hatinya. Ia terus membaca, bertanya pada banyak orang dan melakukan pencarian jiwa, sampai ada satu momen yang menjadi menentukan keputusannya untuk menjadi seorang muslim.
"Saya mencoba salat di kamar anak lelaki saya. Tangan saya memegang sebuah buku tentang tatacara salat. Saya berdiri dengan konflik batin dalam diri saya. Saya tidak biasa berdoa secara langsung pada Tuhan. Sepanjang hidup saya, saya diajarkan untuk berdoa pada Yesus. Yesuslah yang akan menyampaikan doa saya pada Tuhan. Saya takut telah melakukan tindakan yang salah. Saya tidak mau Yesus marah. Saya merasa ada gelombang besar yang menghantam saya," ungkap Wehner mengungkapkan kekhawatirannya saat itu.
Tapi Wehner kemudian berpikir lebih dalam, bagaimana mungkin Tuhan marah pada hambanya yang ingin lebih mendekatkan diri padaNya. Bagaimana mungkin Yesus marah pada orang yang ingin mendekatkan diri pada Tuhan. Bukankah itu yang Yesus inginkan? Hari itu, Wehner yakin bahwa Tuhan sedang bicara padanya dengan suara yang kuat, yang menggema dalam hati dan pikirannya, bahwa tidak ada yang perlu ia takutkan jika memang ia ingin berpindah ke agama Islam.
"Ketika itu saya mulai menangis dan menangis. Suara itulah yang ingin saya dengar. Dan mulai hari itu saya yakin bahwa saya harus memeluk Islam. Keputusan inilah yang benar dan tidak ada yang perlu dipersoalkan lagi," ujar Wehner.
Wehner mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan seluruh siswa sekolah Islam tempat ia mengajar. "Saya menjadi orang yang baru. Semua keraguan dan pertanyaan saya ada di mana dan apa yang sebenarnya saya yakini, sirna. Saya yakin telah membuat keputusan yang benar. Saya tidak pernah begitu dekat dengan Tuhan, sampai saya menjadi seorang muslim. Alhamdulillah, saya sangat beruntung," tukas Wehner menutup kisahnya menjadi seorang mualaf. (ln/IfT)
http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/lynette-wehner-mengajar-di-sekolah-islam-mengantarnya-ke-cahaya-islam.htm
Dokter Gigi Marinir AS yang Memilih Agama Islam
Heather Ramaha baru tiga bulan ditugaskan di basis militer AS Pearl Harbour, Hawai ketika serangan 11 September 2001 terjadi. Ia bersuamikan anggota pasukan Marinir AS, seorang muslim Palestina asal San Francisco. Meski suaminya muslim, Ramaha belum masuk Islam dan masih memeluk agama Kristen.
Peristiwa serangan 11 September 2001 membuat Islam dan Muslim menjadi pemberitaan dan pembicaraan masyarakat dunia, meski sebagian bersar pemberitaan itu bias dan mengandung kebencian terhadap kaum Muslimin dan Islam.Di sisi lain, peristiwa ini justru mendorong sebagian non-muslim untuk beralih memeluk agama Islam dan Ramaha adalah satu diantara mereka.
Kurang dari tiga minggu setelah serangan 11 September 2001 terjadi Kota New York dan Washington. Ramaha yang bertugas di bagian medis--sebagai dokter gigi--Angkatan Laut AS, datang ke masjid Manoa, Hawai. Disaksikan oleh beberapa muslimah yang juga hadir di masjid itu, Ramaha mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai syarat sah untuk menjadi seorang muslim. Sejak itu, Ramaha resmi menjadi seorang muslimah.
Ia mengungkapkan, ia masuk Islam atas kemauannya sendiri dan bukan karena suaminya, Mike, yang seorang muslim. "Mike tidak pernah sekalipun berusaha meminta saya untuk pindah agama. Dia bilang, jika saya ingin masuk Islam, saya harus mencari tahu tentang Islam sendiri," tutur Ramaha.
Setelah menjadi seorang muslimah, sang suami membantu Ramaha belajar salat terutama bacaan salat yang semuanya dalam bahasa Arab. Ramaha juga selalu mengenakan kerudung jika ke masjid, tapi belum bisa mengenakan jilbab di kantor karena ia terikat peraturan sebagai bagian dari Angkatan Laut AS.
Persoalan lain yang ia hadapi setelah bersyahadat adalah memberitahu keluarganya yang tinggal di California. "Saya tidak menemukan cara yang pas untuk memberitahu mereka agar mereka tidak syok. Pada ayah, saya cerita bahwa saya pergi ke masjid tapi tidak bilang bahwa saya sudah masuk Islam," kata Ramaha.
Ramaha mengungkapkan, dulu, keluarganya juga tidak menganut agama tertentu. Rahama adalah orang pertama di keluarganya yang pergi ke gereja. Pada usia 5 tahun, ia berteman dengan anak perempuan seorang Pastor. Ia kemudian menyatakan menganut agama Kristen. Setelah itu, kelurganya mengikutinya menjadi Kristiani. Sampai sekarang, ibunya Ramaha menjadi seorang aktivis gereja.
Ramaha mengakui, walau sudah menjadi seorang Kristiani, ketika itu ia masih meragukan soal konsep Trinitas dalam agamanya. Sampai suatu hari di bulan Maret, ia memutuskan untuk kuliah online Univeristas California yang mempelajari agama-agama di dunia. Selanjutnya, setelah peristiwa 11 September 2001, Ramaha mengambil kelas pengantar tentang agama Islam di Hawai. Ia pun mulai membaca isi Al-Quran dan merasakan ada hal yang "menyentak" hatinya. Ramaha merasa mendapat jawaban atas keraguannya selama ini terhadap ajaran Kristen yang pernah didapatnya, terutama konsep Trinitas yang membuatnya bingung.
"Saya sudah menjadi seorang Kristiani selama 18 tahun. Banyak sekali celah dalam ajaran agama itu yang membuat saya ragu. Tapi setelah mengenal Islam, agama ini membuka wawasan berpikir saya ... dalam hati saya merasa bahwa inilah agama yang tepat untuk saya," ujar Ramaha.
Ia juga mendapat banyak pertanyaan soal mengapa perempuan berpendidikan sepertinya dirinya memilih masuk agama Islam. Dua orang yang menanyakan hal itu padanya mengatakan bahwa Islam adalah agama yang menindas kaum perempuan. Ramaha merespon pertanyaan itu dengan jawaban bahwa banyak orang yang mencampuradukkan antara ajaran Islam dengan tradisi.
Sekedar informasi, menurut Presiden Asosiasi Muslim Hawai, Hakim Ouansafi, pascaserangan 11 September jumlah orang yang masuk Islam di Hawai meningkat tajam. "Rata-rata ada tiga orang yang masuk Islam setiap bulannya, dan kebanyakan mualaf adalah kaum perempuan," kata Ouansafi.
"Secara nasional, rasio orang yang masuk Islam adalah 4 banding 1. Empat mualaf perempuan, satu mualaf laki-laki," sambungnya. (ln/IFT)
http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/heather-ramaha-perwira-angkatan-laut-as-yang-memilih-agama-islam.htm
Peristiwa serangan 11 September 2001 membuat Islam dan Muslim menjadi pemberitaan dan pembicaraan masyarakat dunia, meski sebagian bersar pemberitaan itu bias dan mengandung kebencian terhadap kaum Muslimin dan Islam.Di sisi lain, peristiwa ini justru mendorong sebagian non-muslim untuk beralih memeluk agama Islam dan Ramaha adalah satu diantara mereka.
Kurang dari tiga minggu setelah serangan 11 September 2001 terjadi Kota New York dan Washington. Ramaha yang bertugas di bagian medis--sebagai dokter gigi--Angkatan Laut AS, datang ke masjid Manoa, Hawai. Disaksikan oleh beberapa muslimah yang juga hadir di masjid itu, Ramaha mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai syarat sah untuk menjadi seorang muslim. Sejak itu, Ramaha resmi menjadi seorang muslimah.
Ia mengungkapkan, ia masuk Islam atas kemauannya sendiri dan bukan karena suaminya, Mike, yang seorang muslim. "Mike tidak pernah sekalipun berusaha meminta saya untuk pindah agama. Dia bilang, jika saya ingin masuk Islam, saya harus mencari tahu tentang Islam sendiri," tutur Ramaha.
Setelah menjadi seorang muslimah, sang suami membantu Ramaha belajar salat terutama bacaan salat yang semuanya dalam bahasa Arab. Ramaha juga selalu mengenakan kerudung jika ke masjid, tapi belum bisa mengenakan jilbab di kantor karena ia terikat peraturan sebagai bagian dari Angkatan Laut AS.
Persoalan lain yang ia hadapi setelah bersyahadat adalah memberitahu keluarganya yang tinggal di California. "Saya tidak menemukan cara yang pas untuk memberitahu mereka agar mereka tidak syok. Pada ayah, saya cerita bahwa saya pergi ke masjid tapi tidak bilang bahwa saya sudah masuk Islam," kata Ramaha.
Ramaha mengungkapkan, dulu, keluarganya juga tidak menganut agama tertentu. Rahama adalah orang pertama di keluarganya yang pergi ke gereja. Pada usia 5 tahun, ia berteman dengan anak perempuan seorang Pastor. Ia kemudian menyatakan menganut agama Kristen. Setelah itu, kelurganya mengikutinya menjadi Kristiani. Sampai sekarang, ibunya Ramaha menjadi seorang aktivis gereja.
Ramaha mengakui, walau sudah menjadi seorang Kristiani, ketika itu ia masih meragukan soal konsep Trinitas dalam agamanya. Sampai suatu hari di bulan Maret, ia memutuskan untuk kuliah online Univeristas California yang mempelajari agama-agama di dunia. Selanjutnya, setelah peristiwa 11 September 2001, Ramaha mengambil kelas pengantar tentang agama Islam di Hawai. Ia pun mulai membaca isi Al-Quran dan merasakan ada hal yang "menyentak" hatinya. Ramaha merasa mendapat jawaban atas keraguannya selama ini terhadap ajaran Kristen yang pernah didapatnya, terutama konsep Trinitas yang membuatnya bingung.
"Saya sudah menjadi seorang Kristiani selama 18 tahun. Banyak sekali celah dalam ajaran agama itu yang membuat saya ragu. Tapi setelah mengenal Islam, agama ini membuka wawasan berpikir saya ... dalam hati saya merasa bahwa inilah agama yang tepat untuk saya," ujar Ramaha.
Ia juga mendapat banyak pertanyaan soal mengapa perempuan berpendidikan sepertinya dirinya memilih masuk agama Islam. Dua orang yang menanyakan hal itu padanya mengatakan bahwa Islam adalah agama yang menindas kaum perempuan. Ramaha merespon pertanyaan itu dengan jawaban bahwa banyak orang yang mencampuradukkan antara ajaran Islam dengan tradisi.
Sekedar informasi, menurut Presiden Asosiasi Muslim Hawai, Hakim Ouansafi, pascaserangan 11 September jumlah orang yang masuk Islam di Hawai meningkat tajam. "Rata-rata ada tiga orang yang masuk Islam setiap bulannya, dan kebanyakan mualaf adalah kaum perempuan," kata Ouansafi.
"Secara nasional, rasio orang yang masuk Islam adalah 4 banding 1. Empat mualaf perempuan, satu mualaf laki-laki," sambungnya. (ln/IFT)
http://www.eramuslim.com/berita/dakwah-mancanegara/heather-ramaha-perwira-angkatan-laut-as-yang-memilih-agama-islam.htm
Dalam Islam, Madonna Menemukan Kedamaian
Kelahiran dan kematian putrinya menjadi titik perubahan dalam hidupnya. Ketika tahu dirinya hamil, Madonna Johnson tahu bahwa ia akan menjadi orang tua tunggal. Jika karena bukan rasa cinta, pengabdian dan dukungan dari ibunya, Madonna mungkin tidak akan pernah bisa melewati semua persoalan hidupnya.
Namun Madonna harus kehilangan putri yang baru dilahirkannya. Pada usia 5 bulan, bayinya meninggal akibat "Sudden Infant Death Syndrome" (SIDS) yang dalam dunia kedokteran dikenal sebagai kematian tiba-tiba pada balita yang tidak diketahui penyebabnya. Kematian putrinya yang mendadak, membuat Madonna sangat berduka.
"Saya belum pernah mengalami rasa sakit seperti itu, panik dan merasa sangat hampa. Tapi saat pemakaman, saya mengatakan pada orang-orang bahwa saya percaya sepenuh hati Tuhan tidak akan memberikan rasa sakit jika Dia tidak memiliki sesuatu yang luar biasa untuk saya di masa depan, apa yang harus saya lakukan adalah tetap berada di jalan yang benar dan Tuhan akan menunjukkannya begitu saya siap," ujar Madonna mengenang saat pemakaman bayinya.
Ia mengungkapkan, ketika itu teman-temannya mengatakan bahwa ia akan bertemu dengan putrinya lagi kelak. Madonna menanyakan bagaimana orang tahu bahwa ia akan masuk surga? Hanya karena ia seorang Kristiani, tidak ada jaminan ia masuk surga apalagi ia bukan seorang Kristiani yang taat. Begitu banyak pertanyaan Madonna yang tak terjawab. Tanpa sadar ia mulai mempertanyakan soal "satu agama yang benar" yang bisa menjaminnya masuk surga untuk bertemu lagi dengan putrinya.
Madonna sejenak melupakan pertanyaan itu. Ia mendapat pekerjaan di sebuah bar di Indianapolis dan bertemu seorang perempuan yang kemudian menjadi sahabat baiknya. Temannya itu memiliki sejumlah bisnis, tapi bisnisnya tidak terlalu sukses. Suatu hari, temannya itu menanyakan apakah Madonna mau pergi ke Malaysia. Ia mengatakan butuh tenaga Madonna untuk membeli busana model Malaysia, membuat foto-fotonya dan mencari sesesorang yang bisa menangani ekspor impor. Tanpa pikir panjang, Madonna menerima ajaka temannya itu.
"Saya tiba di Kuala Lumpur di pertengahan bulan Ramadan. Saya belum pernah mendengar soal agama Islam dan tidak tahu bahwa Malaysia adalah negara Muslim. Saya melihat hampir semua perempuan menutupi kepalanya dengan kerudung bahkan dalam cuaca yang sangat panas. Saya juga menyaksikan bagaimana orang-orang berusaha bersikap baik pada saya," tutur Madonna.
"Seorang sahabat yang sangat spesial menjelaskan pada saya bahwa Malaysia adalah negara Islam, dan Muslim meyakini jika mereka berbuat baik pada orang lain, Allah akan senang dan akan memberikan pahala bagi mereka di Hari Akhir nanti," sambungnya menirukan penjelasan sahabat spesialnya.
Di sisi lalin Madonna melihat sisi negatif Islam, seperti pandangan orang-orang yang sebenarnya tidak banyak tahu tentang Islam. Ia lalu membeli beberapa buku Islam, termasuk Al-Quran dan mulai mempelajari Islam. Banyak pertanyaan yang diajukannya tentang ajaran Islam, misalnya; mengapa perempuan harus menutup seluruh tubuhnya kecuali tangan dan wajah, mengapa muslim sangat bahagia dan mau berpuasa sepanjang siang hari, mengapa ada orang mau berlapar-lapar dan itu membuat mereka bahagia? Madonna merasa tidak ada orang yang bisa berbahasa Inggris dengan baik untuk menjelaskan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya itu, sehingga Madonna memilih untuk mencarinya dalam Al-Quran.
"Semakin saya mendalami agama Islam, saya makin sering bertanya-tanya apakah ini jalan untuk bertemu dengan putri saya, apakah agama ini akan membawa saya ke surga?" imbuh Madonna.
Ganjalan terbesar bagi Madonna tentang Islam adalah perbedaan konsep Yesus (Nabi Isa) dalam Kristen dan Islam. Ia membayangkan betapa sulitnya menjelaskan pada keluarganya soal perbedaan itu. "Saya punya persoalan di sini, haruskah saya mengambil tantangan ini ... menjadi seorang muslim dan berjalan menuju surga? Atau saya menolak kebenaran yang telah saya yakini dalam hati hanya karena takut akan penentangan dari keluarga dan teman-teman saya ... dan hanya untuk tinggal di neraka selama-lamanya?" hati Madonna masih risau.
Pikiran apakah ia seharusnya segera masuk Islam atau tidak membuatnya merasa gelisah setiap hari. Bagi Madonna, keputusan itu tidak mudah. Islam bukan agama paruh waktu, seorang muslim sejati tidak mempratekkan Islam satu kali seminggu. Islam adalah agama yang menyeluruh dengan tantangan dan perjuangan yang berat, tapi juga memberikan banyak keindahan. "Makin banyak Anda belajar dan memahami (Islam), semakin Anda menyadari bahwa Anda hanya harus memulai sebuah langkah, yang membuat Anda harus berusaha keras dan belajar lebih banyak lagi," ungkap Madonna.
Dan sampailah ia pada suatu hari dimana ia dengan mantap mengatakan,"Ok, saya yakin, saya akan masuk Islam" dan sejak itu segala keresahan dan kegundahannya sirna. "Alhamdulillah. Semua rasa pedih yang saya alami di masa lalu, termasuk rasa sakit akibat kematian putri saya, semuanya sirna. Tak ada lagi mimpi buruk dan saya merasakan kedamaian yang luar biasa," tandas Madonna.
Madonna mengunjungi PERKIM, sebuah organisasi muslim di Malaysia dan ia di sana ia mengucapkan dua kalimat syahadat. "Hati saya diliputi kedamaian dan rasa cinta pada Allah Swt. Alhamdulillah," tukasnya.
"Tentu saja tantangan masih menghadang. Menjadi seorang muslim bukan berarti saya tidak menghadapi masalah. Tapi menjadi seorang muslim, saya punya solusi atas semua persoalan yang menghampiri saya, dengan mengikuti jalan kebenaran, jalan Islam. di ujung jalan ini, terbentang surga, ada putri saya dan banyak kenikmatan lainnya."
"Segala puji bagi Allah Swt. yang telah membawa saya ke dalam kebenaran dan atas rahmat-Nya yang telah menjadikan saya seorang muslim," tandas Madonna. (eramuslim)
Namun Madonna harus kehilangan putri yang baru dilahirkannya. Pada usia 5 bulan, bayinya meninggal akibat "Sudden Infant Death Syndrome" (SIDS) yang dalam dunia kedokteran dikenal sebagai kematian tiba-tiba pada balita yang tidak diketahui penyebabnya. Kematian putrinya yang mendadak, membuat Madonna sangat berduka.
"Saya belum pernah mengalami rasa sakit seperti itu, panik dan merasa sangat hampa. Tapi saat pemakaman, saya mengatakan pada orang-orang bahwa saya percaya sepenuh hati Tuhan tidak akan memberikan rasa sakit jika Dia tidak memiliki sesuatu yang luar biasa untuk saya di masa depan, apa yang harus saya lakukan adalah tetap berada di jalan yang benar dan Tuhan akan menunjukkannya begitu saya siap," ujar Madonna mengenang saat pemakaman bayinya.
Ia mengungkapkan, ketika itu teman-temannya mengatakan bahwa ia akan bertemu dengan putrinya lagi kelak. Madonna menanyakan bagaimana orang tahu bahwa ia akan masuk surga? Hanya karena ia seorang Kristiani, tidak ada jaminan ia masuk surga apalagi ia bukan seorang Kristiani yang taat. Begitu banyak pertanyaan Madonna yang tak terjawab. Tanpa sadar ia mulai mempertanyakan soal "satu agama yang benar" yang bisa menjaminnya masuk surga untuk bertemu lagi dengan putrinya.
Madonna sejenak melupakan pertanyaan itu. Ia mendapat pekerjaan di sebuah bar di Indianapolis dan bertemu seorang perempuan yang kemudian menjadi sahabat baiknya. Temannya itu memiliki sejumlah bisnis, tapi bisnisnya tidak terlalu sukses. Suatu hari, temannya itu menanyakan apakah Madonna mau pergi ke Malaysia. Ia mengatakan butuh tenaga Madonna untuk membeli busana model Malaysia, membuat foto-fotonya dan mencari sesesorang yang bisa menangani ekspor impor. Tanpa pikir panjang, Madonna menerima ajaka temannya itu.
"Saya tiba di Kuala Lumpur di pertengahan bulan Ramadan. Saya belum pernah mendengar soal agama Islam dan tidak tahu bahwa Malaysia adalah negara Muslim. Saya melihat hampir semua perempuan menutupi kepalanya dengan kerudung bahkan dalam cuaca yang sangat panas. Saya juga menyaksikan bagaimana orang-orang berusaha bersikap baik pada saya," tutur Madonna.
"Seorang sahabat yang sangat spesial menjelaskan pada saya bahwa Malaysia adalah negara Islam, dan Muslim meyakini jika mereka berbuat baik pada orang lain, Allah akan senang dan akan memberikan pahala bagi mereka di Hari Akhir nanti," sambungnya menirukan penjelasan sahabat spesialnya.
Di sisi lalin Madonna melihat sisi negatif Islam, seperti pandangan orang-orang yang sebenarnya tidak banyak tahu tentang Islam. Ia lalu membeli beberapa buku Islam, termasuk Al-Quran dan mulai mempelajari Islam. Banyak pertanyaan yang diajukannya tentang ajaran Islam, misalnya; mengapa perempuan harus menutup seluruh tubuhnya kecuali tangan dan wajah, mengapa muslim sangat bahagia dan mau berpuasa sepanjang siang hari, mengapa ada orang mau berlapar-lapar dan itu membuat mereka bahagia? Madonna merasa tidak ada orang yang bisa berbahasa Inggris dengan baik untuk menjelaskan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya itu, sehingga Madonna memilih untuk mencarinya dalam Al-Quran.
"Semakin saya mendalami agama Islam, saya makin sering bertanya-tanya apakah ini jalan untuk bertemu dengan putri saya, apakah agama ini akan membawa saya ke surga?" imbuh Madonna.
Ganjalan terbesar bagi Madonna tentang Islam adalah perbedaan konsep Yesus (Nabi Isa) dalam Kristen dan Islam. Ia membayangkan betapa sulitnya menjelaskan pada keluarganya soal perbedaan itu. "Saya punya persoalan di sini, haruskah saya mengambil tantangan ini ... menjadi seorang muslim dan berjalan menuju surga? Atau saya menolak kebenaran yang telah saya yakini dalam hati hanya karena takut akan penentangan dari keluarga dan teman-teman saya ... dan hanya untuk tinggal di neraka selama-lamanya?" hati Madonna masih risau.
Pikiran apakah ia seharusnya segera masuk Islam atau tidak membuatnya merasa gelisah setiap hari. Bagi Madonna, keputusan itu tidak mudah. Islam bukan agama paruh waktu, seorang muslim sejati tidak mempratekkan Islam satu kali seminggu. Islam adalah agama yang menyeluruh dengan tantangan dan perjuangan yang berat, tapi juga memberikan banyak keindahan. "Makin banyak Anda belajar dan memahami (Islam), semakin Anda menyadari bahwa Anda hanya harus memulai sebuah langkah, yang membuat Anda harus berusaha keras dan belajar lebih banyak lagi," ungkap Madonna.
Dan sampailah ia pada suatu hari dimana ia dengan mantap mengatakan,"Ok, saya yakin, saya akan masuk Islam" dan sejak itu segala keresahan dan kegundahannya sirna. "Alhamdulillah. Semua rasa pedih yang saya alami di masa lalu, termasuk rasa sakit akibat kematian putri saya, semuanya sirna. Tak ada lagi mimpi buruk dan saya merasakan kedamaian yang luar biasa," tandas Madonna.
Madonna mengunjungi PERKIM, sebuah organisasi muslim di Malaysia dan ia di sana ia mengucapkan dua kalimat syahadat. "Hati saya diliputi kedamaian dan rasa cinta pada Allah Swt. Alhamdulillah," tukasnya.
"Tentu saja tantangan masih menghadang. Menjadi seorang muslim bukan berarti saya tidak menghadapi masalah. Tapi menjadi seorang muslim, saya punya solusi atas semua persoalan yang menghampiri saya, dengan mengikuti jalan kebenaran, jalan Islam. di ujung jalan ini, terbentang surga, ada putri saya dan banyak kenikmatan lainnya."
"Segala puji bagi Allah Swt. yang telah membawa saya ke dalam kebenaran dan atas rahmat-Nya yang telah menjadikan saya seorang muslim," tandas Madonna. (eramuslim)
Langganan:
Postingan (Atom)