Selasa, 30 April 2013

Luzie Megawati Terpikat Keteladanan Umar bin Khattab

Fiqhislam.com - Hiasan dinding bertuliskan kalimat Tiada Tuhan Selain Allah yang banyak terpampang di toko stationary di Kota Bandar Lampung, menarik perhatian seorang gadis cilik. Saking seringnya melihat tulisan tersebut, bocah perempuan bernama lengkap Luzie Megawati ini mulai bertanya-tanya.

''Selama itu, saya belajar bahwa Tuhan Maha Esa. Lalu, mengapa bisa ada kata-kata demikian?'' kata perempuan yang akrab disapa Anis ini kepada Republika.

Saat itu, ungkap Anis, dirinya baru duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar (SD). Dalam logika kanak-kanak seumur itu, diakui, masih agak sulit baginya bisa memahami beragam cara melukiskan atau menyebut Tuhan dari agama Katolik yang dianutnya saat itu dan dari tradisi keluarganya yang dominan Kong Hu Cu.

Perempuan kelahiran 14 Januari 1972 ini memang berasal dari keluarga campuran berdarah Tionghoa dan nenek dari pihak ibu yang asli Jawa. Karena itu, tak mengherankan jika kehidupan agama keluarganya cenderung didominasi tradisi Kong Hu Cu. Untuk urusan keyakinan, sejak kanak-kanak, ia memeluk Katolik.

''Tapi, Katoliknya tidak fanatik karena bercampur dengan tradisi keluarga. Saya ke gereja, ke kelenteng, ke wihara, dan juga terbiasa melihat tradisi Jawa kejawen, seperti bakar kemenyan dari pihak nenek.''

Dari seringnya melihat tulisan itu, kemudian mulai terjadi gesekan dalam diri Anis, yang pada akhirnya menimbulkan ketertarikan untuk mempelajari hal tersebut dari sumbernya. Sejak saat itu, ia mulai mencuri-curi waktu berkunjung ke toko buku swalayan yang baru buka di kota tempat tinggalnya, hanya sekadar untuk membaca buku-buku mengenai keislaman.

Buku mengenai Islam yang pertama kali dibacanya berjudul 30 Kisah Teladan. Dari sekian banyak kisah yang terdapat dalam buku tersebut, kisah mengenai Khalifah Umar bin Khattab (khalifah kedua) yang menarik perhatiannya.

Dalam buku tersebut, diceritakan Umar yang merupakan sahabat Rasulullah saw rela membawakan karung gandum untuk rakyatnya yang miskin. Kisah itu, kata dia, sangat menyentuh rasa kemanusiaannya dan sampai hari ini masih ia suka.

Buku lain yang menarik perhatiannya kala itu adalah buku Seratus Tokoh karya Michael H Hart yang menempatkan sosok Nabi Muhammad SAW sebagai tokoh nomor satu.

''Yang ada dalam kepala saya saat itu sederhana, kalau sahabatnya saja begitu, bagaimana nabinya? Hingga semua itulah yang menggenapkan ketertarikan saya pada Islam,'' ungkap ibu dua orang anak ini.
Kendati memiliki ketertarikan terhadap Islam, Anis mengaku saat itu belum serius mempelajari Islam.
''Saya memang tertarik saja dan mungkin karena saat itu usia masih sangat dini. Maka itu, tidak terlalu saya pikirkan. Saya berkembang sebagaimana remaja pada umumnya saat itu, yang tidak terlalu mendahulukan soal-soal agama,'' paparnya.

Ketika naik kelas dua SMA, bersama sepupunya, Anis memutuskan melanjutkan sekolah ke Bandung. Di Kota Kembang ini, ia mendaftar di SMA Negeri 5, sementara sepupunya memutuskan bersekolah di SMP Katolik.

Kepindahannya ke Bandung didorong cita-citanya untuk masuk perguruan tinggi negeri (PTN). Di sana, ia menyewa sebuah kamar di rumah seorang pemeluk Kristen.

Ketika duduk di bangku kelas 3 SMA, ia bermimpi aneh. Dalam mimpi itu, istri Toto Prima Yulianto ini tengah membaca ayat.
''Seperti bunyi orang mengaji, yang saya tidak tahu persis apakah itu. Tiba-tiba sekeliling saya menjadi terang sekali. Tidak ada kesan istimewa dari mimpi itu karena rasanya seperti orang 'ketindihan' biasa,'' tuturnya.

Setelah mimpi itu, keesokan paginya Anis memutuskan menceritakannya kepada teman sekolahnya. Namun, kalimat pertama yang terlontar dari mulutnya bukan mengenai mimpi yang dialaminya, melainkan keinginannya untuk masuk Islam. ''Saya ingin masuk Islam,'' ujarnya.

Sontak, kalimat tersebut membuat temannya yang seorang Muslim kaget. Bahkan, sang teman menyebutnya gila saat itu. Kepada temannya, Anis minta dicarikan jalan masuk Islam.

Pilihan yang diberikan kepadanya ada dua: Pertama, ia disarankan masuk Islam melalui pengajian seorang ustaz di Kota Bandung. Kedua, di Masjid Salman ITB. ''Saya pilih yang kedua, di ITB,'' ujarnya.

Akhirnya, setelah ditanya kesungguhan dan disepakati waktunya, 16 April 1990, yang juga bertepatan dengan 20 Ramadhan 1410 H, bertempat di Masjid Salman ITB serta dibimbing dan disaksikan pengurus masjid, beberapa teman sekolah, dan seorang teman dari kampung halaman yang juga menuntut ilmu di Bandung, Anis memutuskan masuk Islam.

''Semua terjadi begitu saja, di luar kendali saya. Setelah pengucapan ikrar, dibacakan doa untuk keselamatan dan kemampuan saya menjalani hidup sebagai warga baru dari sebuah agama,'' ungkapnya haru.

''Saya seperti tersadar, saya baru saja membuat masalah yang besar dalam hidup saya. Rasanya lemas, tapi harus saya hadapi segala yang mungkin akan terjadi,''papar Anis mengenang momen bersejarah dalam hidupnya itu.
Semula, Anis menginginkan keputusannya memeluk Islam, tidak diketahui keluarga. Secara usia, ia merasa belum siap menghadapi banyak masalah dan terlebih lagi ia masih ingin bersekolah. Namun, apa mau dikata, kabar ke-Islamannya sampai juga ke telinga kedua orang tuanya.

Reaksinya, sudah bisa diduga. Keluarganya marah besar. Oleh keluarga, Anis dicap sebagai anak durhaka, bukan lagi bagian dari keluarga.
Parahnya, ia diboikot secara ekonomi dan tidak saling bertegur sapa dengannya selama lima tahun. ''Saya sungguh tidak memperkirakan pindah agama akan menuai badai begitu besarnya,'' ungkapnya.

Dengan tegar, ia menghadapi semua itu. ''Saya harus kuat dan saya ingin menunjukkan pilihan saya sudah benar,'' ujarnya menegaskan. Sejak saat itu, kehidupan Anis berubah. Ia kehilangan semua fasilitas yang biasa dinikmatinya dan masa-masa indah anak seusianya.

Dalam pandangan keluarganya, Islam adalah agama yang identik dengan masalah: suka nikah dan suka perang. Karena itu, jika sudah dihadapkan kepada berbagai macam stigma negatif, ia kerap merasa seperti berada di sebuah persimpangan.

Namun, setelah mempelajari Islam, gambaran itu laksana pungguk merindukan bulan atau jauh api dari panggang. Semua tak terbukti. Islam justru mengajarkan umatnya menjadi manusia yang berakhlak mulia.

Pengalaman Pertama sebagai Muslimah

Sebagai seorang mualaf, Anis harus banyak belajar Islam, termasuk shalat. ''Awalnya, canggung juga karena banyak yang salah dalam hal bacaan shalat. Bahkan, pernah tertidur dan mengantuk saat shalat. Juga, basah kuyup saat wudhu,'' kenangnya.

Bersamaan dengan keislamannya pada bulan Ramadhan, Anis pun belajar puasa. ''Bibir saya kering dan banyak berliur karena kehausan,'' ungkapnya.

Pengalaman lainnya, tahun pertamanya sebagai seorang mualaf yang hingga kini masih diingatnya adalah ia menjalankan shalat di rumah orang tuanya.
Saat itu, ia melaksanakan shalat dengan arah kiblat yang bersamaan dengan menghadap meja dupa. ''Luar biasa rasanya membawakan hati, pikiran, dan perasaan di suasana demikian.''

Dari sekian banyak pengalaman pada masa awal keislamannya ini, menurut Anis, keputusannya mengenakan jilbab adalah yang paling berkesan. Ketika memutuskan berjilbab Agustus 1990, ia menuai kecaman keras dari orang tuanya, terutama sang ibu.

Jilbab yang ia kenakan ditarik paksa sang ibu. Saat itu, ibunda Anis mengatakan, ''Karena tanpa jilbab pun, sejak kecil kamu sudah diajarkan sopan santun dalam berpakaian.'' [yy/
republika.co.id]

Assad Jibril Pino: Jadi Muslim, Dosa-dosaku Diampuni

Fiqhislam.com - Ada dua pertanyaan yang selalu ditujukan pada sosok Assad Jibril Pino dengan statusnya sebagai Muslim. Pertama, berapa jumlah populasi Muslim di Kuba. Kedua, mengapa anda memilih Muslim.

"Bagiku pertanyaan itu bukanlah beban. Tapi itulah yang terjadi," kata dia seperti dikutip onislam.net, Senin (15/4).

Assad lahir di Havana, ketika Komunisme Kuba mencapai kejayaannya, Namun, keluarga Assad merupakan pihak yang menentang revolusi Castro. Ini yang membuat Assad harus meninggalkan negaranya untuk mencari kehidupan yang lebih netral.

"Ayahku membuat keputusan untuk pindah. Jelas aku merasakan pengalaman traumatis," kata dia.

Pindah ke Los Angeles, orang tuanya menyekolahkan Assak ke sekolah paroki. Assad juga sering diikutkan acara misa Minggu. Selama itu, ia merasa tidak betah. Ia pun meminta orang tuanya untuk memindahkan sekolahnya ke sekolah umum.

Selesai sekolah menengah, Assad mendaftar di univerasitas California. Ia berminat studi sejarah. Selama masa kuliah, Assad mengalami satu fase dimana terjadi krisis politik di Amerika Latin. Kala itu, pembunuhan terhadap kalangan latin marak terjadi di AS.

"Secara pribadi masa kuliah adalah masa yang berat. Saya mengalami krisis berkepanjangan," kata dia.

Selesai kuliah, kehidupannya tak juga kunjung membaik. Ia merasa kesal. Keluarganya Assad salahkan lantaran turut andil dalam minimnya rasa bahagia dalam hidupnya. Berulang kali, ia coba motivasi diri. Nyatanya, sulit bagi Assad untuk meraihnya.

"Saya coba berdoa untuk diberikan kekuatan seperti Yesus, Buddha dan Muhammad SAW," kenang Assad.

Kekalutan hidup Assad mencapai puncaknya. Ia merasa membutuhkan seseorang untuk membantunya. Sekelabat terpikirkan untuk kembali berdoa. Pertama yang Assad lakukan kembali ke ajaran lamanya. Tapi, itu tidak lama. Ia mulai beralih ke tradisi mistik.

Suatu hari, Assas membeli buku terjemahan yang berisi tentang kisah hidup Muhamamd. Sayang, setelah membeli buku itu ia tak langsung membacanya. Buku itu baru dibacanya ketika melakukan perjalanan ke Miami.

Selama perjalanan itu, setengah buku telah dibacanya. "Kesan yang ia dapat dalam hal ini, Islam begitu mengharamkan cerai, menghargai hak perempuan. Agama ini benar-benar petunjuk hidup yang benar," kata Assad.

Sekembalinya dari Miami, Assad mulai mencari komunitas Muslim. Harapannya, ia dapat berdialog dan berdiskusi tentang masalah keislaman. Selanjutnya, Assad coba datangi Islamic Center.

Sebelum itu, ia banyak berdoa kepada Tuhan agar diyakinkan hatinya bahwa Islam layak menerimanya. Ketika datang, Assad dikejutkan dengan banyaknya muka asing baik yang berasal dari Asia, Eropa dan Latin. Hari berikutnya, ia pun mengucapkan dua kalimat syahadat.

"Satu hal yang saya ingat, dosa-dosaku diampuni, aku seperti bayi yang baru lahir. Semua dari awal lagi," kenang Assad.

Setelah mengucapkan syahadat, langkah berikut yang dilakukan Assad adalah memberitahu orang tuanya. Saat itu, Assad lebih memilih mengirimkan surat. Dalam surat itu, ia jabarkan mengapa ia memilih Islam. Lalu mengapa Islam memberikan inspirasi baru bagi hidupnya. [yy/
republika.co.id]

Anna Linda Traustadottir: Suara Adzan Membuat Hatiku Lega

Fiqhislam.com - Anna Linda Traustadottir lahir di Reykjavik, Islandia, tahun 1966. Sewaktu kecil, ia dibaptis oleh Gereja Lutheran. Usai dibaptis, keluarganya pindah ke Vancouver, Kanada dan New York City. Kehidupan remaja Anna berlangsung normal.

Ia berhasil menyelesaikan setiap jenjang pendidikan dengan baik. Pada tahun 1997, ia belajar bahasa Arab di Kairo. Seorang temannya lalu memberikan Alkitab portabel.

“Aku senang sekali karena dapat mengetahui apa isi Alkitab. Sebab, saya hampir tidak bisa menyebut diriku seorang Kristen, karena tidak pernah membacanya,” kenang dia seperti dikutip Onislam.net, Senin (22/4).

Setahun kemudian, Anna belajar di Universitas Damaskus, Suriah. Di sana ia belajar Alkitab. Selesai membacanya, Anna merasa ada inkonsistensi dalam isi Alkitab. Misalnya, deskripsi Perjanjian Lama tentang Allah dan perempuan.

Belum lagi ketika membaca Injil Paulus. Di Injil tersebut, Anna menemukan banyak kisah orang-orang suci, para Nabi seperti Nuh, Daud dan lainnya. “Namun, aku merasa tidak menghormati mereka,” kata dia.

Merasa tak puas dengan Alkitab, Anna coba membaca Taurat dan Talmud Yahudi.  Lagi-lagi ia tidak menemukan apa kebenaran yang dicarinya. Lalu, ia coba beralih pada ajaran Buddha. Satu kesimpulan yang ia dapat selama mempelajari Buddhisme, agama ini hanya cocok sebagai cara hidup alternatif.
Selepas Buddha, ia beralih ke ajaran Hindu. Namun, banyak pertanyaan dalam diri Anna terkait ajaran Hindu. “Terlalu banyak dewa,” kata dia menerangkan.

Anti-Islam dan Muslim

Sejak kecil, Anna dibesarkan dengan pemahaman negatif tentang Islam. Namun, ketika berkunjung ke negara Arab, ia mulai merasa ada yang salah dengan pemahamannya selama ini.

“Tahun 1999, saya kembali ke Damaskus untuk bekerja di Kedutaan. Di sana, aku menemukan jodohku, ia seorang yang baik, “ kenang dia.

Oktober 2001, ia melahirkan anak pertama. Ia beri nama putranya, Andres Omar. Ketika ditanya pihak gereja, apakah anaknya hendak dibaptis. Anna seketika langsung menolaknya.

Bagi Anna, sejak lahir anak tidak memiliki dosa. “Sejak lama, aku tidak lagi percaya dengan trinitas atau penghapusan dosa oleh Yesus Kristus,” kata dia.

Semasa hidupnya, Anna telah bertemu dengan banyak Muslim.  Begitu pula dengan umat Kristen atau lainnya, seorang Muslim ada yang baik dan tidak baik. Tapi, satu fakta menarik yang didapatnya. Kebanyakan Muslim bukanlah bangsa Arab.

Sebut saja, Indonesia, India, Cina, Rusia, Amerika dan lainnya. “Aku butuh waktu lama untuk menyadari hal ini bahwa aku tidak memiliki gambaran yang lengkap tentang Islam dan Muslim,” kata dia.
Memasuki bulan Ramadan, muncul keinginan Anna untuk mempelajari Alquran. Sekelebat membacanya, Anna merasakan kitab suci umat Islam ini begitu indah, penuh kasih dan ilmiah.

Keliru bila Islam tidak menghargai perempuan, seperti yang dikatakan para feminis itu. “ Membaca Alquran membuatku semakin yakin dengan jati diriku,” kenang Anna.

Setelah merasa yakin dengan jati dirinya, ia bertanya pada suaminya tentang kemungkinan memeluk Islam. Suami Anna memintanya untuk bersabar. Sebab, tak mudah untuk menjadi Muslim.

Butuh keyakinan penuh untuk menerima setiap konsekuensi yang diputuskannya. Mendengar perkataan suaminya itu, Anna segera mengiyakan.

Juni 2003, Anna memutuskan menjadi Muslim. Putusan itu ia sambut dengan suka cita. Anna pun tak perlu berlama-lama menahan keinginan untuk pergi haji ke tanah suci. “Aku ingat ketika mendengar kumandang adzan. Hatiku begitu lega, air mataku mengalir deras,” kenang dia.

Sekarang, Anna mencoba untuk terus mendalami Islam. Setiap kali mempelajari Islam, banyak saudara-saudarinya sesama Muslim menyemangatinya. “Mereka tahu aku seorang mualaf. Mereka mengatakan padaku, suatu hari aku akan mendapatkan Nur-Nya (cahanya-Nya). Insya Allah,”  ungkap Anna yakin. [yy/
republika.co.id]

Kagumi Al-Quran, Joel Underwood pun Memeluk Islam

Fiqhislam.com - "Awalnya aku tak tahu Alquran itu sesuatu yang agung. Aku membacanya karena berpikir di dalamnya ada pengetahuan tentang budaya Arab. Itu terjadi sebelum aku melakukan perjalanan ke Maroko," ujar Joel Underwood, pria Inggris yang tinggal di Kota Manchester.
Ia tersenyum geli ketika mengawali kisah perjalanannya menuju hidayah Islam. Betapa tidak, ia kala itu menyangka Alquran sebagai buku panduan wisata. Namun, berkat ‘kebodohan’-nya itu, Joel justru menemukan hidayah.

Joel dibesarkan dalam keluarga Kristen. Demi menjadi seorang Kristiani yang taat, ia sangat rajin membaca dan memahami Alkitab. "Jika saya membaca Alkitab, saya akan membacanya dengan sangat hati-hati dan kritis dalam memahami isinya.''

Hingga beranjak dewasa, ia terus berusaha menjadi hamba yang taat. Kala itu, ia sama sekali tak mengenal agama Islam. ''Saya tak tahu apa pun tentang Islam. Tak kenal satu pun Muslim," ujar pria yang bekerja sebagai konsultan keuangan tersebut.

                                                   ***

Saat menjadi mahasiswa di Amerika Serikat (AS) pun, ia belum mengenal agama rahmatan lil ‘alamin ini. Kampusnya yang berlokasi di wilayah timur laut AS didominasi warga kulit putih yang banyak berasal dari Inggris. Keragaman etnis dan agama sangat minim di sana. Maka, sangat kecil peluangnya untuk mengenal Islam. ''Saya mengenal Islam benar-benar dengan perjalanan saya sendiri yang muncul dengan cara yang bahkan tak pernah bisa saya bayangkan," ujar Joel.

Jadi, bagaimana Joel mengenal Islam? Peristiwa kelam 11 Septemberlah yang menjadi titik tolaknya. Menyusul tragedi itu, ia mulai mendengar desas-desus mengenai Islam dan Muslim. Namun saat itu, ia belum ada keinginan sedikit pun untuk mencari tahu tentang Islam.

Keinginan untuk lebih memahami Islam mulai muncul ketika Joel berencana melakukan perjalanan ke Maroko. Saat itu, ia mencari referensi yang dapat memberikannya petunjuk umum tentang Maroko. Anehnya, Joel bukannya membaca buku panduan wisata, melainkan justru membaca Alquran.
               
                                                   ***

“Saya pikir dari situ akan menemukan sedikit tentang budaya sebuah negara Islam dan tahu bagaimana harus bersikap. Saat itu, saya tidak tahu kandungan Alquran dan pesan yang terkandung di dalamnya karena saya belum pernah melihat kitab ini sebelumnya,'' kata Joel sembari tersenyum lebar.

Di luar dugaannya, begitu membaca Alquran, Joel langsung jatuh hati dan ingin mempelajarinya. Lucunya, setelah enam bulan membacanya, Joel baru tahu bahwa Alquran merupakan Kitab Suci umat Islam. "Saya tahu itu buku agama, tapi saya tidak menyangka bahwa itu adalah Kitab Suci umat Islam karena saya tidak pernah melihat sebelumnya. Aku juga tidak tahu bahwa Alquran ternyata ‘nyambung’ dengan sejarah Kristen atau Yahudi. Aku tidak tahu bagaimana semuanya berkaitan.''

Makin penasaran
Saat di Maroko, Joel makin penasaran dengan Alquran. Ketika berkunjung ke berbagai tempat di Maroko, Joel yang melancong bersama sang istri merasa terus ingin membaca Kitabullah. Joel tak tahu mengapa bisa begitu. Hal yang pasti, ketika pertama kali membaca Alquran, ia telah terpesona dengan kekayaan isinya.

Ketika pulang dari Maroko, Joel memutuskan untuk lebih banyak mempelajari Alquran. Suatu kali ketika berjalan-jalan di Kota New Hampshire, ia melihat sebuah iklan penggalangan dana yang dibuat sebuah yayasan Islam. Ia sudah lupa nama yayasan itu. Dan yang jelas, Joel langsung menghubungi yayasan itu dengan tujuan mengenal Islam.  ''Saya tidak tahu yayasan itu, tapi saya pikir ini adalah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengetahui tentang Islam," kata Joel.

                                                    ***

Singkat cerita, yayasan tersebut membuat Joel mengenal beberapa orang. Merekalah yang kemudian memberikan beberapa informasi tentang Islam. Dari mereka pula, Joel kemudian mengenal seorang Muslim yang kemudian menunjukkannya pada Masjid New Hampshire. Di sanalah, Joel kemudian mempelajari Alquran.

Tak menyia-nyiakan informasi itu, segera saja Joel menuju masjid itu. Saat tiba di sana, ia merasa senang karena disambut dengan baik. Tak ada sedikit pun prasangka negatif dari Muslimin terhadapnya. ''Tak ada orang berkata, 'apa yang kaulakukan di sini?' Atau 'Anda tidak cocok di sini’." “Mereka sangat ramah dan mendukungku. Mereka justru mendatangi saya dan menanyakan 'bagaimana saya dapat membantu Anda?' Jadi, aku diterima dengan sangat hangat," tuturnya bahagia. Tak lama kemudian, Joel pun mengucap syahadat dan memeluk Islam.

                                                   ***
Yakin Selalu Istiqamah
Ketika seseorang memutuskan untuk menjadi Muslim, ia harus yakin bahwa Islam akan menjadi pegangan seumur hidup. Jadi, tidak bisa sekadar coba-coba. Hal itu pula yang tertanam di benak Joel ketika hendak berislam. ''Anda tidak bisa mengatakan bahwa saya akan menjadi Muslim selama beberapa tahun saja dan berkata, 'oh, ini sulit bagi saya' dan kembali pada keyakinan sebelumnya,'' kata Joel.

Menurut dia, banyak mualaf yang masih berpikir seperti itu sehingga mereka sulit mempertahankan hidayah yang telah didapat. Joel yakin, ia bukan tipe mualaf seperti itu. Ia yakin akan selalu istiqamah dengan keislamannya dan menjadi seorang Muslim yang saleh. Di lubuk hatinya terdalam, telah tertanam pula tekad untuk tidak melepaskan hidayah yang telah diperolehnya dengan cara unik dan luar biasa. "Jadi, saya berkomitmen bahwa saya harus memeluk agama ini seumur hidup.''
Oleh Afriza Hanifa
 
[yy/republika.co.id/foto republika.co.id]

Darren Cheesman, Hidayah di Puncak Karier

Fiqhislam.com - Bukan acungan jari telunjuk kanan yang menjadi semangat, melainkan sepenggal kalimat yang keluar dari mulut Darren menyambut perayaan kemenangan tim nasional hoki Inggris usia 21 (U-21) dalam ajang Olimpiade Junior 2007 di Sydney, Australia.

Tentu saja, kemenangan itu bagi Darren terasa menyenangkan. Selain menjadi ajang perpisahannya dengan dunia olahraga hoki yang selama ini telah membesarkan namanya, perayaan tersebut juga menjadi awal langkahnya menuju kehidupan baru.

Sebuah kehidupan baru yang dilakoninya dalam delapan bulan terakhir. Ya, dia adalah seorang mualaf.

Sebagaimana dilansir laman muslimnews.co.uk, sejak memutuskan memeluk Islam pada awal 2007, sikap Darren di lapangan serta gaya hidupnya berubah drastis. Perubahan itu pula yang membuat semua prioritas dalam kehidupannya berubah.

Jika dahulu, karier sebagai pemain hoki menjadi prioritas utama dalam kehidupan Darren, kini tidak lagi. Ia menyadari betul bahwa dunia hoki internasional bukanlah gaya hidup yang paling cocok untuknya.

“Saya ingin belajar lebih banyak tentang agama dan saya perlu waktu untuk melakukannya,” ujar Darren mengutarakan alasannya untuk pensiun dari dunia hoki profesional.

Para penggemar hoki di Inggris mungkin tidak akan lagi melihat aksi memukau Darren di lapangan. Yang ada di hadapan Anda saat ini adalah seorang pria kantoran dengan kemeja dan dasi melekat di tubuhnya.

Pria kelahiran Hackney, London, 23 Februari 1986, ini memutuskan berhenti menjadi atlet hoki profesional dan lebih memilih berkarier sebagai account senior manager pada sebuah perusahaan penjualan ternama di Inggris. Padahal, usianya saat itu masih terbilang muda, yakni 21 tahun.

Dunia olahraga hoki baru ditekuni Darren saat usianya menginjak 11 tahun. Saat itu, Arsenal’s Sporting Community tengah menyelenggarakan program pencarian bakat dalam bidang olahraga.

Bukan kepada olahraga sepakbola, namun hatinya justru tertambat pada olahraga hoki. Akhirnya, ia pun dikirim ke sebuah klub hoki untuk mengikuti program pelatihan selepas pulang sekolah.

Kepiawaian dalam bermain hoki membuat Darren diminta bergabung dalam tim hoki Kota Islington, di bawah asuhan Freddie Hudson, seseorang yang akan memainkan peran dalam kehidupan Darren.

“Dia sudah seperti ayah bagi saya. Ia menggantikan sosok ayah yang tidak pernah ada di samping saya, ibu, dan adik saya,” ungkap Darren mengenai sosok Hudson.

Pada usia 16, Darren memulai karier profesionalnya sebagai pemain hoki dengan bergabung ke salah satu klub Divisi 1 Liga Nasional Inggris, Old Loughtonians Hockey Club, dengan menempati posisi sebagai gelandang.

Karier yang cemerlang di Old Loughtonians Hockey Club membuatnya dilirik oleh salah satu klub Liga Utama Hoki Inggris, East Grinstead Hockey Club. Saat memperkuat East Grinstead Hockey Club ini, Darren terpilih sebagai Premier League Player of the Year pada 2004.

Hijrah ke Belanda
Prestasi gemilang yang diraihnya ini membuat klub elite hoki asal Belanda, Oranje Zwart, meminangnya. Ia menghabiskan setahun bermain di sana.

“Ini merupakan suatu kehormatan bagi saya bermain untuk Oranje Zwart. Beberapa pemain terbaik telah bermain di sana, termasuk pemain terbaik di dunia,” ujarnya.

Saat bermain untuk Oranje Zwart inilah, ia berkenalan dengan Shahbaz Ahmed, legenda hoki Pakistan. Di dunia olahraga hoki, keandalan Shahbaz dalam menggiring bola tidak lagi diragukan.
Sepanjang kariernya, Shahbaz telah menerima berbagai penghargaan bergengsi dunia.

Karena itu, tak mengherankan jika sosok atlet hoki berdarah Pakistan ini menjadi salah satu inspirator dalam kehidupan Darren.

“Anak-anak bermain sepak bola di taman bermain sambil berpura-pura seakan menjadi pemain sepak bola favorit mereka. Sementara itu, saya dan teman-teman berpura-pura menjadi Shahbaz dan itu masih kami lakukan,” kata Darren.

Ketika memperkuat Oranje Zwart, Darren banyak berhubungan dengan teman-teman satu klubnya yang datang dari latar belakang dan budaya yang berbeda.

Tidak mudah bagi Darren untuk bisa berbaur dengan mereka. Justru di tengah-tengah perbedaan tersebut, ia menemukan perasaan damai dan bersahabat jika berbaur dengan teman-teman Muslimnya. Dan sejak saat itu, ia mulai tertarik dan banyak bertanya mengenai Islam kepada rekan timnya.

Menjadi Muslim
Keputusannya untuk memeluk Islam justru datang menjelang akhir karier Darren di dunia hoki internasional. Selepas memperkuat tim nasional Inggris pada ajang Olimpiade Junior 2007 di Sydney, ia memutuskan untuk pensiun.

“Saya sudah tertarik dengan Islam selama tiga tahun terakhir karena orang-orang di sekitar saya. Islam menjawab pertanyaan yang saya miliki dalam hidup saya dan juga pertanyaan yang belum ada di sana. Rasanya, saya telah menemukan jawaban atas segalanya dan saya tahu bahwa itu adalah kebenaran.”

Sebagai seorang Muslim, ia mengakui meneladani perilaku Nabi Muhammad SAW. “Saya mencoba untuk mengikuti apa yang dicontohkan Nabi Muhammad. Beliau tidak pernah sedikit pun membalas orang-orang yang telah menyakitinya. Saya mencoba untuk mengikuti contoh itu dan tetap tenang di lapangan,” ujarnya.
Darren mengakui, agama Islam memberikan pengaruh besar dalam kehidupannya.

Jika dahulu mudah tersinggung dengan ucapan lawan bicara, kini ia dengan sopan menyambut kritikan dan sindiran yang dialamatkan padanya.

“Saya jauh menjadi lebih tenang. Sebelumnya, ketika seseorang terus melakukan hal buruk, saya benar-benar panas dan marah. Termasuk, ketika saya harus berhadapan dengan pemain dari tim lawan,” tambah Darren.

Baginya, Islam adalah agama yang senantiasa mengajarkan kedamaian dan persahabatan. Karena itu, tidak boleh ada yang merusaknya.

Punya Bakat Besar
Bagi banyak orang, keputusan Darren untuk berhenti dari dunia hoki sangat disayangkan. Mereka menyakini bahwa Darren memiliki potensi besar untuk terus memiliki karier yang berkilau di bidang tersebut.

Pelatih tim hoki junior Inggris, Pete Nicholson, adalah salah satu orang yang percaya bahwa Darren bisa mencapai itu. “Dia adalah salah satu pemain masa sekarang dan akan datang yang memiliki keterampilan yang sangat besar dalam bidang hoki,” kata Nicholson kepada The Sunday Times.

“Dia adalah seorang pemuda berbakat yang ingin tetap fokus pada prioritas dalam hidupnya. Ia juga memiliki setiap kesempatan untuk pergi ke ajang olimpiade di Beijing,” tambah Nicholson.

Kendati telah menyatakan mundur dari dunia hoki internasional, pada waktu-waktu luangnya melakoni pekerjaan kantoran, Darren masih aktif bermain hoki untuk klub lokal.

Bagaimanapun dunia hoki telah melambungkan namanya. Yang lebih penting lagi bagi Darren, dari olahraga ini pula, ia menemukan arti sebuah perjuangan hidup untuk meraih kesuksesan.

Hal itu kini ia terapkan dalam profesinya yang baru. “Jika saya menunjukkan bakat yang sama dalam dunia kerja seperti yang saya lakukan di lapangan, tidak ada keraguan bahwa saya akan menuai sukses yang sama,” ujarnya berfilosofi. [yy/republika]

Rafael Castro: Karena Islam Mengajarkan Kasih Sayang untuk Seluruh Umat Manusia

Eramuslim.com - Rafael Castro, lahir dari keluarga Italia yang menganut agama Katolik yang cukup taat. Seperti penganut Katolik lainnya, sejak kecil Castro menjalani proses pembaptisan, komuni dan diwajibkan ikut dalam sekolah minggu. Ketika itu merasa nyaman menjalami kehidupan religinya. Semuanya berubah ketika Castro berusia 12 tahun. Sang ibu yang tadinya rajin membawanya ke misa-misa keagamaan, tiba-tiba saja berubah 180 derajat. Ibu Castro yang sebelumnya menjadi pelayan gereja dan mengajari Castro ajaran Katolik menghentikan aktivitasnya dan melepas Castro untuk belajar sendiri dan memilih agam yang ingin dianutnya.
Perubahan yang tiba-tiba itu mengguncang psikologis Castro yang ketika itu beranjak remaja. Ia merasa kecewa dengan ibunya dan kepada Tuhan. "Bagaimana bisa Tuhan memberi saya keluarga yang mengajarkan agama yang dianut karena tradisi dan bukan karena terinspirasi dengan agama itu?" tanya Castro.

Menurutnya, sejak itu ia berhenti ke gereja, tidak percaya lagi dengan agama Katolik yang dianutnya dan mulai melupakan Tuhan. Saat itu, usia Castro baru 14 tahun.

Memasuki jenjang sekolah menengah atas, Castro mulai terusik dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu hatinya. Setelah beberapa tahun melupakan Tuhan dan agamanya, Castro merasa tidak sanggup hidup tanpa keyakinan bahwa Tuhan itu ada.

"Seiring dengan pertambahan usia, saya makin dewasa dan menyadari bahwa hidup akan bermakna jika ada nilai lebih dalam setiap perbuatan yang dilakukan. Saya percaya ada Tuhan yang memberikan inspirasi bagi setiap aspek kehidupan yang terjadi," ujar Castro.

Pertanyaan sekarang, kemana ia harus mencari Tuhan, karena sudah lama Castro tidak lagi mempercayai agama Katolik yang dianutnya sejak kecil. Di sekolah, Castro punya seorang teman yang baik asal Indonesia. Temannya itu sering meminjamkan Al-Quran pada Castro. Tapi Castro belum terbuka hatinya, usia remaja yang masih labil membuatnya bersikap bias terhadap ajaran agama, termasuk agama Islam.

Ketika Castro mulai kuliah pada usia 18 tahun, ia malah tertarik mempelajari agama Yahudi. Castro menganggap Yudaisme sebagai agama monotheis yang sebenarnya, berbeda dengan ajaran Katolik yang sudah tidak diyakininya lagi.

"Saya belajar Yudaisme sekitar 7 tahun, bahkan mendaftarkan diri ke Yeshiva. Yeshiva adalah sekolah kerabbian dimana para siswanya harus mengenakan pakaian tradiosional Yahudi berwarna hitam, topi hitam dan jam belajarnya sangat panjang. Saya menyukai konsep belajar yang kaku di sekolah itu dan polemik yang jumpai dalam konsep kerabbian," aku Castro mengenang pengalamannya di Yeshiva.

Saat itu, Castro masih beranggapan bahwa Islam adalah agama yang membuat para penganutnya terbelakang dan menyukai kekerasan. Tapi pandangan-pandangan itu mulai luntur ketika Castro menonton beberapa film produksi Iran. Salah satu film yang ia tonton berjudul "The Colours of Paradise." Dari film itu Ia melihat bahwa Islam memiliki pandangan-pandangan yang luas dan sangat menghormati kemuliaan umat manusia.

"Saat ini, negara-negara Muslim mungkin tidak terlalu gemilang dalam sektor perekonomian atau kemiliteran. Tapi Islam lebih terdepan dalam masalah penghormatan terhadap martabat manusia dan pengorbanan diri sendiri untuk kepentingan umat yang lebih besar dibandingkan dengan negara-negara non-Muslim," imbuh Castro.

Dari pengetahuan itu, Castro mulai menyadari ada perbedaan besar antara Yudaisme yang dipelajarinya dengan Islam. "Yudaisme mengajarkan kasih sayang hanya untuk orang-orang Yahudi saja, sedangkan Islam mengajarkan kasih sayang untuk seluruh umat manusia, semua orang bisa menjadi seorang Muslim tanpa melihat latar belakang nenek moyang mereka. Dan ini terlihat jelas oleh sikap yang hangat dan keramahan yang bisa ditemui setiap orang jika datang ke masjid-masjid," tukas Castro.

Tapi yang paling menggerakkan hati Castro pada Islam adalah isi surat Al-Baqarah yang menurutnya sangat indah dan mengajarkan hal-hal yang sangat mulia. "Saya pikir, setiap orang membaca surat itu secara jujur mengakui bahwa hanya malaikat yang mampu memberikan inspirasi tentang pernyataan-pernyataan yang begitu indah yang berasal dari Tuhan," sambung Castro.

Castro dengan keyakinan penuh pada Islam, meninggalkan studi agama Yahudinya dan memilih masuk Islam. Setelah mengucapkan syahadat, ia memilih "Sulaiman" untuk namanya, sehingga nama lengkap Castro menjadi Rafael Sulaiman Castro untuk menunjukkan bahwa dirinya sudah menjadi seorang Muslim.

"Terima kasih untuk Islam yang telah mengubah hidup saya. Sebelum memeluk Islam, saya biasa tidur sampai siang setiap saya punya kesempatan untuk melakukannya. Sekarang, saya jadi terbiasa bangun pagi karena harus salat Subuh dan melakukan aktivitas lainnya setelahnya, sehingga hidup saya jadi lebih produktif," tutur Sulaiman Castro.

"Saya yakin Islam telah memberikan kehidupan baru buat saya, membuat saya lebih menghargai diri sendiri dan membuat saya bersikap lebih baik pada orang lain. Tiga hal yang sulit saya temukan di manapun. Setelah dua bulan memeluk Islam, saya mulai memahami bahwa Islam mengajarkan kita untuk menaklukkan hawa nafsu dengan berserah diri pada Allah Swt. Itulah kebenaran yang sejati," lanjut Castro.

Castro mengakui, keputusannya masuk Islam bukan tanpa pengorbanan. Ia harus kehilangan banyak teman, termasuk sikap keluarganya yang tidak bersahabat.

"Tapi akhirnya, keluarga saya mulai menerima keputusan saya dan saya juga mendapatkan teman-teman baru dari kalangan Muslim yang sangat membantu saya di masa-masa transisi," kata Castro.

"Saya memiliki pandangan-pandangan baru tentang hidup. Islam telah memberi kesempatan saya untuk memeluk Islam dan sebuah pengalaman hidup yang sangat berharga," tandas Castro menutup pembicaraan. (ln/iol)

Robert Guilhem, Gara-Gara Iddah, Pemimpin Yahudi di Albert Einstein College ini Masuk Islam

Fiqhislam.com - Robert Guilhem, pakar genetika dan pemimpin yahudi di Albert Einstein College menyatakan dengan tegas soal keislamannya. Dia masuk Islam setelah kagum dengan ayat-ayat Al-Quran tentang masa iddah wanita muslimah selama tiga bulan. Massa iddah merupakan massa tunggu perempuan selama tiga bulan, selama proses dicerai suaminya.

Seperti dikutip dari societyberty.com, hasil penelitian yang dilakukannya menunjukkan, massa iddah wanita sesuai dengan ayat-ayat yang tercantum di Alquran. Hasil studi itu menyimpulkan hubungan intim suami istri menyebabkan laki-laki meninggalkan sidik khususnya pada perempuan.

Dia mengatakan jika pasangan suami istri (pasutri) tidak bersetubuh, maka tanda itu secara perlahan-lahan akan hilang antara 25-30 persen. Gelhem menambahkan, tanda tersebut akan hilang secara keseluruhan setelah tiga bulan berlalu. Karena itu, perempuan yang dicerai akan siap menerima sidik khusus laki-laki lainnya setelah tiga bulan.

Bukti empiris ini mendorong pakar genetika Yahudi ini melakukan penelitian dan pembuktian lain di sebuah perkampungan Muslim Afrika di Amerika. Dalam studinya, ia menemukan setiap wanita di sana hanya mengandung sidik khusus dari pasangan mereka saja.

Penelitian serupa dilakukannya di perkampungan nonmuslim Amerika. Hasil penelitian membuktikan wanita di sana yang hamil memiliki jejak sidik dua hingga tiga laki-laki. Ini berarti, wanita-wanita non-muslim di sana melakukan hubungan intim selain pernikahannya yang sah.

Sang pakar juga melakukan penelitian kepada istrinya sendiri. Hasilnya menunjukkan istrinya ternyata memiliki tiga rekam sidik laki-laki alias istrinya berselingkuh. Dari penelitiannya, hanya satu dari tiga anaknya saja berasal dari dirinya.

Setelah penelitian-penelitian tersebut, dia akhirnya memutuskan untuk masuk Islam. Ia meyakini hanya Islam lah yang menjaga martabat perempuan dan menjaga keutuhan kehidupan sosial. Ia yakin bahwa perempuan muslimah adalah yang paling bersih di muka bumi ini. [republika]

Gurly: Jadi Muslim, I Love It

Fiqhislam.com - Gurly mengalami kecelakaan ketika ia berada di AS. Tidak ada keluarga di AS, membuatnya bingung apa apa yang harus dilakukan, atau kemana ia harus berkeluh kesah.

Selepas kecelakaan, seorang temannya meminta dia untuk membuat laporan kejadian kecelakaan kepada polisi. Ia turuti permintaan temannya itu, sembari meminta izin kepada bosnya untuk diperbolehkan membuat laporan tersebut.

Oleh bosnya, ia disarankan untuk tidak mengatakan yang sebenarnya dengan alasan asuransi kecelakaan Gurly bakal membebani kantor. Lalu, Gurly bercerita soal masalah itu kepada temannya. "Kamu tahu Gurly, kamu bisa menipu polisi, hakim dan semua orang kecuali satu orang," ucap Gurly menirukan perkataan temannya itu.

Lalu Gurly mengatakan, "Siapa orang itu". Temannya menjawab,"Ini Allah". "Siapa Allah," tanya Gurly. Temannya berkata,"Dia adalah Tuhan,". Sejak itu, Gurly merasa penasaran dengan perkataan temannya itu. "Aku begitu tertarik karena tidak ada perbedaan dengan apa yang diajarkan dalam Katolik. Nyaris sama," kata dia.

Oleh temannya, ia diberikan Alquran. Beberapa hari membacanya, ia rasakan kekaguman. Dalam hatinya ia berkata apa yang ia baca merupakan kebenaran. Spontan ia ingin meminta bimbingan guna mengucapkan dua kalimat syahadat.

Selepas bersyahadat ia tak sabar untuk memberitahu keluarganya bahwa ia seorang Muslim. Ia lakukan hal itu, tanpa berpikir keluarganya bakal menolaknya. "Aku begitu senang saat itu. Tapi semuanya berubah ketika ibuku merasa sedih karena tujuanku ke AS bukan untuk menjadi Muslim." kata dia.

Gurly tak berkecil hati. Ia masih ingat betapa besar pengorbanan ibunya ketika membesarkannya. Apalagi Alquran, meminta seorang Muslim untuk menghormati orang tua. Tentu, Gurly tak ingin mendapatkan cap anak durhaka.

Berhijab

Semakin mantap dengan keyakinan barunya, Gurly berpikir untuk mengenakan jilbab. Ia sadar, jilbab adalah tantangan bagi kalangan perempuan karena mereka ingin selalu tampil cantik setiap hari. Tapi, hatinya berkata buat apa cantik hanya di mata manusia tapi tidak dimata Allah SWT.

"Aku putuskan kenakan jilbab," kata dia.

Menurut Gurly, tak peduli apa pandangan orang lain, karena segala hal berbau duniawi termasuk wajah ini akan memudar. Semua orang akan tua dan mati. Sementara wajah akhirat adalah wajah dengan kecantikan abadi.

Pada satu hari, Gurly mendapat cobaan soal putusannya itu, tragedi 9/11. Saat itulah, banyak pandangan buruk tertuju padanya. "Tapi aku hanya berkata pada mereka, aku tidak peduli, karena aku seorang Muslim, aku menyukai jilbab yang aku kenakan," kata dia.

Ramadhan

Pertama kali Gurly melaksanakan ibadah puasa, ia begitu kagum dengan filosofi dibalik kewajiban tersebut. Ia melihat betapa menderitanya kalangan tak mampu. Lalu, betapa bahagiannya mereka, ketika seorang Muslim membantu dan bersimpati padanya.

Rasa kagumnya bertambah, ketika ia untuk pertama kali mengkonsumsi kurma. Saat itu, ia tidak tahu seperti apa kurma dan manfaatnya bagi tubuh. Setelah tahu, ia berniat untuk membelinya. Namun, ada seseorang yang memberinya sekotak kurma.
"Ya Allah, kurmanya banyak sekali. Terima kasih untuk orang-orang yang mengenalkanku kepada kurma," kenangnya.

Namun, ada hal yang menyedihkan Gurly ketika ia berhalangan untuk berpuasa karena sakit. Saat itu, kondisi fisiknya sangat lemah. Tak mau menunggu sembuh, ketika sakit ia kirimkan uang fidyah kepada saudaranya untuk diberikan kepada kalangan yang berhak. "Aku begitu sedih, karena tidak berpuasa. Semoga Allah memberikan kesehatan kepada saya agar terus berpuasa," pungkasnya
[republika]

Hussein: Islam Puaskan Saya Secara Intelektual & Teologis

Fiqhislam.com - Sebelum memeluk Islam, Hussein Abdulwaheed Amin seorang pemeluk Kristen yang religius. Pertemuannya dengan Islam berawal dari rasa gusarnya terhadap doktrin ketuhanan dalam kepercayaan Kristen.

"Saya memeluk Islam setelah menjalani penelitian yang cukup panjang. Hasil penelitian itu memuaskan saya secara intelektual dan teologis," kenang dia, seperti dinukil Arabnews.com.

Hussein berasal dari Irlandia, namun menghabiskan banyak waktu di luar negeri. Pertengahan hingga akhir 1990-an, ia jatuh cinta terhadap seorang muslimah ketika berada di sebuah negara Islam.

Ia berniat menikahi perempuan itu. Namun, ia harus menjadi seorang muslim, karena muslimah dilarang menikah dengan pria non-muslim.

Saat itu, ia sedikit memahami ajaran Islam. Ada ketertarikan dalam hatinya menjadi mualaf.

Islam Mutlak Ajarkan Keesaan Tuhan

Sekembalinya ke Eropa pada musim panas, Hussein Abdulwaheed Amin, mulai membaca literatur tentang Islam. Yang mengejutkannya, Hussein menjadi antusias lantaran ajaran Islam begitu diterima logika.

Memang awalnya, ia begitu sinis dalam memandang Islam. Itu karena, prilaku segelintir orang yang menyebut dirinya teroris.

"Aku menerima konsep ketuhanan dalam Islam. Islam mengajarkan keesaan Tuhan secara mutlak," sebutnya seperti disadur dari Arabnews.com.

Melalui Alquran, ia semakin yakin dengan konsep tersebut. Namun, Hussein ragu.

Hussein sulit mengkhianati kepercayaan yang diantutnya. Guna meyakinkan hatinya, ia coba mengali fondasi kepercayaan Kristen.

Walhasil ia sangat terkejut dengan temuannya. Apalagi ketika ia bandingkan dengan Alquran.

"Dalam Alquran, disebutkan tiada Tuhan selain Allah," kata dia.

Dari temuannya itu, dalam hatinya ia pertanyakan mengapa ia begitu saja percaya tanpa bersikap kritis. "Dengan hati nurani yang tulus tanpa paksaan, saya harus menjadi muslim," ucapnya.

Peluk Islam karena Niat Tulus

Saat yakin tentang ajaran Islam, Hussein Abdulwaheed Amin tak ingin menjadi muslim karena hubungan asmara.

Tapi ia mengakui pernikahannya itu menjadi awal ketertarikannya terhadap Islam. Pada akhirnya, hubungannya gagal pada 2001.

Meski begitu, ketertarikannya terhadap Islam tidak goyah sedikit pun. "Saya menjadi muslim karena niatan tulus. Agama, Tuhan terlalu penting untuk dianggap remeh," kata seperti disitat Arabnews.com.

Ketulusannya itu mengubah pandangannya tentang Islam. Ia menyayangkan Islam dipandang sebagai agama penuh kebencian. Padahal, pandangan itu lahir dari kurangnya pemahaman terhadap ajaran Islam.

"Anda tahu, ekstrimis itu secara tidak langsung membuat masyarakat internasional memahami ajaran Islam," tegasnya mengakhiri. [yy/republika/foto
republika.co.id]

Manuela Mirela: Islam Agama yang Mudah Dimengerti

Fiqhislam.com - Manuela Mirela Tanescu lahir dan besar di Bukarest, Rumania. Keluarganya merupakan penganut Kristen Ortodoks. Namun, dari kecil ia tidak pernah ke gereja.

"Keluargaku tidak terlalu religius, tapi kita selalu percaya adanya Tuhan," akunya seperti dinukil onislam.net.

Jalan hidupnya berubah, ketika ia dinikahi Muslim Palestina. Melalui suaminya itu ia berkenalan dengan Islam. Hingga akhirnya setelah mengunjungi Yordania, Suriah, Iran, Pakistan, Malaysia dan Indonesia, Mirela memutuskan memeluk Islam di Teheran, Iran.

"Saya berterima kasih padanya," kenang Mirela.

Menurut Mirela, Islam adalah agama yang mudah dimengerti dan logis. Berbeda dengan ajaran Kristen yang membingungkan.

Mirela mencontohkan, umat Islam diwajibkan melaksanakan shalat lima waktu, sementara orang Kristen hanya beribadah pada hari Ahad saja. Singkatnya, kewajiban itu membuat umat Islam cenderung religius ketimbang umat Nasrani.

Aku Mencintai Rasulullah Tanpa Kehilangan Yesus

Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, Manuela Mirela mulai mendalami agama baru yang dipeluknya. Tak hanya terpesona dengan tata cara beribadah umat Islam, ia juga tertarik dengan tata cara kehidupan umat muslim di sejumlah negara Islam.

Hal lain yang menarik perhatian dirinya adalah selama kunjungannya ke sejumlah negara Islam, lingkungan yang ditinggali umat Islam lebih bersih ketimbang daerah yang dihuni non-muslim. Selain itu, Islam menghormati dan memuliakan semua Nabi dan Rasul.

"Jadi, aku mencintai Nabi Muhammad SAW tanpa kehilangan Yesus," kata dia.

Kekaguman Mirela lainnya adalah Islam sangat menghargai perempuan. Sebabnya, ia merasa heran dengan sikap Barat yang selalu saja menyatakan muslimah itu derajatnya lebih rendah daripada laki-laki. Padahal, perempuan Barat justru lebih direndahkan sebagai akibat dari materialistis peradaban barat.

Mereka menjadi komoditas dan objek seksual tanpa batas. Sementara Islam, tidak demikian.

"Aku melihat banyak orang yang membenci Islam karena mereka tidak tahu bagaimana Islam sebenarnya. Itu juga menjadi otokritik kita, yang kadang lupa dengan identitas sebagai muslim," papar dia.
[yy/republika/foto: onislam.net]

Cindy Weber: Misionaris yang Menemukan Kebenaran Islam

Fiqhislam.com - Jika mualaf pada umumnya harus melalui perjuangan dan perjalanan panjang dalam menemukan Islam, lain halnya dengan Cindy Weber. Ia merasa jalan menuju Islam memang telah dipersiapkan untuknya.

“Saya hanya berpikir bahwa Tuhan ingin membimbing saya, jadi tak ada penghalang apa pun yang merintangi jalan saya menuju Islam,” ujarnya.

Sejak kecil Cindy dibesarkan di Gereja Katolik. Ia dididik oleh biarawati hingga akhirnya menjadi misionaris. Tak banyak yang diceritakan Cindy bagaimana ia mempelajari Katolik dan menyebarkannya ke berbagai penjuru dunia. Yang pasti, kisah hidayah Cindy bermula saat ia bertugas di Kenya sebagai misionaris tentunya.

Di Kenya, Cindy banyak berinteraksi dengan Muslim. Diam-diam, ia terpesona dengan kehidupan umat Islam. Hanya itu yang menjadi kunci ketertarikannya pada Islam. “Saya melihat bagaimana mereka menjalani hidup. Mereka memiliki kehidupan keluarga yang baik dan saya pikir itu sesuatu yang saya cari," kisah Cindy dalam program “They Chose Islam” di The Algerian TV yang  bisa disaksikan di YouTube.

Cindy melihat keluarga Muslim begitu bahagia. Mereka gemar berkumpul, kemudian makan bersama. Pemandangan tersebut sangat asing bagi Cindy yang terbiasa hidup di tengah individualisme masyarakat AS. "Kondisi yang kontras bagi saya di Amerika yang saat Minggu sore hanya di depan televisi, menonton permainan bola dengan sekotak bir. Benar-benar terasa kosong," tuturnya mengenang.

Tak ada saudara dan teman Muslim, apalagi ustaz, membuat wanita kelahiran Burlington, Wisconsin, AS tersebut terpaksa menelaah Islam sendirian, secara otodidak. Meski tanpa guru dan tanpa ada yang menjawab pertanyaannya tentang keimanan, Cindy tak butuh waktu lama untuk memutuskan bahwa Islam akan menjadi agamanya.
Tak ada keraguan sedikit pun. Cindy merasa seakan-akan diantar untuk memeluk Islam saat kembali ke AS . Begitu mudah jalan Cindy hingga kemudian menyatakan syahadat di Chicago.

Dua pekan sebelum mengucap syahadat, Cindy sempat pergi ke Islamic Center di Chicago. Ia hanya mengatakan, "Saya tertarik pada Islam". Padahal, saat itu Cindy sudah mempelajari Islam, bahkan telah berniat untuk mengucapkan syahadat.
Pengurus Islamic Center Chicago tersebut pun memberinya beberapa literatur dan buku Islam. Setelah menerima buku tersebut, Cindy pun pergi. Tetapi, tiba-tiba seorang Muslim dari Islamic Center tersebut memanggilnya, "Tunggu, tunggu... Kenapa kau tak menjadi Muslim sekarang saja?" Cindy menirukan pertanyaan Muslim tersebut.

"Well, saya hanya membaca buku-buku ini dan dan hal-hal serupa. Saya hanya memikirkan tentang itu," jawab Cindy.

"Baiklah, apakah kau tahu jika kamu tidak menjadi Muslim hari ini, kemudian kamu melintas jalan itu kemudian tewas, kau akan masuk neraka,” ujar Muslim tersebut mengajak Cindy bersegera menuju kebaikan.

"Tidak, itu tidak mungkin karena saya seorang Katolik dan Katolik tak akan masuk neraka," kata Cindy.

"Oke, kami tahu, kau sebenarnya ingin pergi minum dengan teman-temanmu, meminum alkohol, semalam sebelum kau menjadi seorang Muslim. Itulah mengapa kau tak ingin menjadi Muslim hari ini," ujar Muslim tersebut menebak.

"Aku tidak minum alkohol," jawab Cindy berdusta.
Cindy tertawa kecil, pipinya memerah ketika mengisahkan percakapan dengan pengurus Islamic Center tersebut. Ia benar-benar mengingat peristiwa tersebut meski telah berlalu 25 tahun silam. Percakapan tersebut berujung pada pemberian sebuah alamat masjid besar di Chicago.
Pengurus Islamic Center menyerah, Cindy tak langsung memeluk Islam pada hari itu. "Jadi, saya menerima alamat (Masjid Besar Chicago) dan dua minggu kemudian saya pergi ke sana, mengucapkan syahadat,” tutur Cindy.

Begitu sederhana perjalanan sang misionaris hingga memeluk agama Islam. Cindy mengatakan, jalan Islam memang seperti sudah ditakdirkan baginya. Ia tak merasakan kesulitan sedikit pun. Sebaliknya, kemudahan demi kemudahanlah yang ia alami saat menempuh jalan menuju hidayah.

Berkiprah di bidang sosial
Setelah memeluk Islam, Cindy menjadi Muslimah yang taat. Ia berjilbab, kemudian menikah dengan pria Muslim dan tinggal di Dallas. Ia bahkan aktif di sebuah yayasan kemanusiaan Islam dan menghabiskan waktunya untuk berdakwah. Di sana ia membicarakan tentang Islam dan berbagi ilmu melalui dakwah.

Yayasan tersebut melindungi komunitas pengungsi di Dallas. Sekitar 50 persen pengungsi di sana adalah Muslim. "Kami menerima mereka dan memberi tahu bahwa menerapkan syariat Islam di Amerika itu mudah. Mereka dapat menjaga iman dan tak perlu menyembuyikannya ataupun berpura-pura bukan sebagai Muslim," ujar Cindy.

Di gedung pusat yayasan tersebut, shalat lima waktu digelar setiap hari.  Pelajaran agama Islam dan bahasa Arab pun diajarkan untuk anak-anak Muslim. Ada pula kelas bahasa Inggris yang diikuti tak hanya oleh anak-anak Muslim, tetapi juga non-Muslim. Bahkan, guru bahasa Inggris di kelas tersebut merupakan seorang Katolik.
"Kami bermitra dengan yayasan Katolik dan mereka mengirimkan pengajar aktif bahasa Inggris untuk mengajarkan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Jadi, kami memiliki semua agama di sini, dan semua orang menyambutnya," kata Cindy toleran.

Tujuh hari dalam sepekan, waktunya dihabiskan di yayasan tersebut. Meski demikian, Cindy menikmatinya. Tetapi, diakuinya, banyak hal yang berubah setelah ia memeluk Islam. Setelah berislam dan berjilbab, Cindy sering kali diperlakukan berbeda. Ketika belanja, misalnya, kasir sering kali bersikap kasar.
"Itu hanya hal kecil, yang Anda hanya bisa menerimanya dan pergi begitu saja karena Anda tahu bahwa orang itu tak akan bersikap seperti itu jika tahu betapa bagusnya Islam. Yang perlu Anda lakukan hanyalah berperilaku sebaik mungkin.”
Kini, Cindy adalah ibu dari dua anak yang beranjak dewasa. Mereka adalah Lubabah (22 tahun) dan Abdullah Helwani (19). Berkat didikan Cindy, mereka tumbuh menjadi pemuda-pemudi Muslim yang sarat prestasi.

Awalnya, Cindy sempat khawatir dengan pengaruh budaya Barat yang bisa saja “mencemari” kedua anaknya. Karena itu, ia terus menanamkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam jiwa anak-anaknya sejak kecil.

“Pengaruh budaya Barat memang membuat saya khawatir. Tapi, mudah-mudahan mereka cukup mendapat didikan Islam yang akan membuat mereka selalu kembali ke Islam saat menentukan pilihan hidup,” ujar Cindy bahagia sembari mengenalkan kedua anaknya.

Si sulung, Lubabah, sangat aktif di kampus. Ia bahkan mendapat banyak penghargaan seperti "Outstanding Campus Leader" dalam Resbud Award Festival 2010, "Who's Who Among Student in American University and Colleges", serta menjadi presiden organisasi CAB di Texas Women's University.

Sejak kelas lima sekolah dasar, Lubabah telah mengenakan jilbab. Saat pindah dari sekolah Islam ke sekolah umum pun, ia tak pernah menanggalkan jilbabnya. "Hanya karena Anda Muslim dan mengenakan hijab, bukan berarti Anda terhalang untuk berprestasi dan mendapatkan penghargaan," ujar Lubabah.

Adapun Abdullah telah lulus dari sekolah perfilman di Orlando. Saat ini, ia kerja magang di Dewan Urusan Muslim Hollywood di Los Angeles. "Dia seorang Muslim Amerika, remaja Amerika, dia baru saja lulus sekolah film," kata Cindy sembari membuka e-mail dari Abdullah dan memperlihatkan foto putranya tersebut.

Tak henti-hentinya Cindy bersyukur melihat kesuksesan kedua anaknya. Ia telah berhasil mendidik dan membesarkan mereka dalam nilai-nilai Islam. Cindy pun berhasil menumbuhkan rasa percaya diri mereka sebagai Muslim sehingga tidak merasa terkucil di tengah kelompok mayoritas yang memiliki keyakinan berbeda. [yy/republika]
Oleh Afriza Hanifa

http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=72940&catid=66&Itemid=364

Penghina Nabi Muhammad Kini Masuk Islam: Maafkan Saya...


Liputan6.com, Madinah : Arnoud Van Doorn, mantan politisi Belanda yang anti-Islam, sekaligus eks anggota terkemuka partai sayap kanan yang dipimpin Geert Wilders, menjadi mualaf.

Seperti dimuat Saudi Gazette, Selasa (23/4/2013), kini ia makin memantapkan langkahnya sebagai seorang muslim dengan mengunjungi makam Nabi Muhammad di Madinah. Di sana, ia salat dan memohon maaf karena menjadi bagian dari film yang menghujat Islam dan Rasulullah, "Fitna".

Ia juga berniat membuat film internasional untuk mengkampanyekan Islam sebagai agama kasih. "Saya akan mencoba yang terbaik, untuk memperbaiki dampak buruk dari apa yang saya lakukan terhadap Islam dan Nabi melalui film "Fitna", "kata dia.

Di masa lalu, Arnoud di antara para petinggi Partai untuk Kebebasan PVV yang memproduksi film "Fitna". Bulan lalu ia memutuskan untuk masuk Islam setelah mempelajari agama yang kerap ia hina, juga Rasulullah yang sebelumnya ia lecehkan.

Arnoud mengaku, kemarahan umat muslim dunia yang mengutuk film yang dibuatnya, "memaksanya" untuk mempelajari Islam. Yang kemudian menuntunnya pada hidayah.

Setelah bertemu dua imam di Madinah, Sheikh Ali Al-Hudaifi dan Sheikh Salah Al-Badar, Arnoud menuju Mekah untuk melaksanakan ibadah umrah.

Awalnya Dianggap Lelucon

Sebelumnya, Arnoud mengumumkan keputusan untuk memeluk Islam di profil Twitternya. Ia juga memposting tweet Kalimat Syahadat dalam Bahasa Arab.

Pada awalnya, semua orang yang melihatnya, menganggapnya sebagai lelucon. Namun, Arnoud yang saat ini menjadi penasehat Pemerintah Kota Den Haag kemudian secara pribadi mengonfirmasi pilihannya menjadi muslim dalam surat resmi yang ditujukan pada walikota.

"Aku bisa memahami orang-orang yang skeptis dengan pilihanku, yang bagi sebagian orang tak diharapkan," kata Arnoud pada Al Jazeera. "Ini adalah keputusan besar yang sama sekali tak bisa aku anggap enteng."

Ia mengaku, rekan-rekan di lingkaran dalam partainya sudah lama mengetahui ia secara aktif meneliti Alquran, Hadis, Sunnah, dan tulisan tentang Islam lainnya. "Sudah hampir setahun lamanya. Aku juga sering berdiskusi dengan umat muslim tentang agama mereka."

Arnoud mengaku, kerap mendengar begitu banyak cerita negatif tentang Islam. "Tapi saya bukan orang yang mengikuti pendapat orang lain tanpa melakukan kajian sendiri."

Kini, pria 46 tahun itu telah berpisah dengan partai yang dipimpin Wilders dan maju ke pemilihan anggota ke Dewan Kota Den Haag dari jalur independen.

Keputusan Arnoud menjadi muslim mendapatkan reaksi beragam di Belanda. "Sejumlah orang menilai saya pengkhianat. Namun lainnya menganggapku telah membuat keputusan terbaik," kata dia. "Pada umumnya reaksi yang saya dapatkan positif. Saya juga menerima banyak dukungan di Twitter."

Ia juga menilai, pandangan negatif Barat terhadap agama Islam mayoritas didasarkan prasangka dan ketidaktahuan. (Ein)

http://m.liputan6.com/read/569180/penghina-nabi-muhammad-kini-masuk-islam-maafkan-saya