Jumat, 22 Maret 2013

Kristiane Backer, dari Glamour MTV Menuju Jalan Hidayah

Fiqhislam.com - "Saya menemukan kenyataan bahwa Islam berpihak kepada perempuan dan laki-laki. Di dalam Islam, perempuan telah memiliki hak untuk memilih pada tahun 600 Masehi. Perempuan dan laki-laki di dalam Islam berpakaian dengan cara yang sopan. Mereka pun tidak diperkenankan saling menggoda. Bahkan, kaum perempuannya diperintahkan untuk memanjangkan pakaian mereka." Demikian ungkapan hati yang dituliskan Kristiane Backer dalam buku autobiografinya yang berjudul 'From MTV to Mecca' atau 'Dari MTV Menuju Makkah'.
Kristiane Backer lahir dan tumbuh dewasa di tengah keluarga Protestan di Hamburg, Jerman. Pada usia 21 tahun, ia bergabung dengan Radio Hamburg sebagai wartawati radio. Dua tahun kemudian, ia terpilih sebagai presenter MTV Eropa di antara ribuan pelamar. Sebagai konsekuensi pekerjaannya, ia pun pindah ke London, Inggris.

"Begitu luar biasa. Pada usia 20-an, aku tinggal di Notting Hill. Sebagai gadis muda di kota yang sama sekali baru, aku diundang ke mana-mana, difoto banyak papparazi, dan bekerja sebagai presenter. Saat itu aku bertemu dengan banyak orang-orang terkenal. Aku merasakan kehidupan yang sangat menyenangkan. Rasa-rasanya hampir semua gaji yang aku terima habis untuk membeli baju dan pernak-pernik yang bagus dan trendy. Aku pun sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat menarik di Eropa," begitulah Kristiane menceritakan awal kehidupannya sebagai selebritis muda.

Sekali waktu, Kristiane pergi ke Boston mewawancarai Rolling Stone dan mengikuti tur-tur besar para artis terkenal dunia. Kristiane bahkan dinobatkan sebagai presenter perempuan nomor satu di MTV sehingga selalu muncul di layar kaca. Ia juga pernah didaulat menjadi presenter untuk acara Coca-Cola Report dan Europe Top 20.

Boleh dibilang, jika ada kelompok musik baru, maka Kristiane-lah orang pertama yang mewawancarai mereka. Jutaan orang di Eropa pun mengenal gaya Kristiane dengan saksama dan banyak acara besar dengan penonton sebanyak 70 ribu orang sering ia bawakan. Bagi khalayak pemirsa Eropa, Kristiane adalah salah satu sosok penyiar favorit karena kecakapannya.

Di tengah kehidupan glamornya, ia mengalami keguncangan spiritual. Kemudian di tahun 1992, Kristiane bertemu dengan Imran Khan, yang kelak menjadi suaminya. Imran Khan adalah anggota tim kriket Pakistan. Pertemuan itu adalah pertemuan pertama kali antara Kristiane dengan seorang bintang yang beragama Islam. Kristiane dan Khan yang sama-sama mendalami Islam, selalu berdiskusi tentang Islam. Khan selalu memberikan buku-buku tentang Islam kepada Kristiane dan dengan penuh semangat pula Kristiane mengkajinya.

"Aku menemukan bahwa Alquran sarat dengan hal-hal rasional. Dan pandangan lamaku tentang Islam berubah. Karena apa yang kupelajari berbeda dengan anggapan orang-orang di sekitarku. Bahkan ketika aku mengkaji masalah perempuan dalam Islam, aku menemukan bahwa Islam menjunjung tinggi hak-hak wanita yang sekarang tengah diperjuangkan di seluruh dunia. Akan tetapi Islam telah menjunjung tinggi hak-hak wanita sejak ratusan tahun yang lalu. Perempuan dan laki-laki berpakaian dan bertingkah dengan cara yang sopan," jelas Kristiane.

Kristiane menceritakan bahwa sejak mengenal Islam dan membaca terjemahan Alquran, ia tak lagi menggunakan rok pendek dan pakaian yang buka-bukaan. Ia mulai mengenakan pakaian longgar dan panjang jika tampil di televisi. Ia dengan tegas mengatakan bahwa wanita yang memperlihatkan tubuhnya di depan publik adalah melecehkan seluruh wanita di muka bumi ini.

Akhirnya, ia menerima Islam dengan lapang dada dan sukacita. Setelah mengucap syahadat, perlahan ia mempelajari shalat lima waktu dan berpuasa Ramadhan. "Dulu aku sering sekali minum champagne di pesta-pesta malam, kini saya tidak lagi menyentuh minuman seperti itu," kisahnya.

Namun, keputusannya untuk menjadi seorang Muslimah juga menuai berbagai macam cobaan. Kristiane tidak lagi diizinkan untuk tampil di layar kaca menjadi pembawa acara. Tak hanya itu, kawan-kawan dan kerabatnya pun mengucilkannya. Untunglah, kedua orang tua Backer tak mempermasalahkan jalan hidup yang dipilih anaknya itu. Mereka malah mendukungnya.

"Beberapa waktu setelah saya memutuskan untuk menjadi Muslimah, saya merasa keterasingan yang sangat. Saya dikucilkan oleh kawan-kawan dan kerabat saya. Tetapi Alhamdulillah, kedua orang tua saya mendukung langkah dan pilihan hidup saya untuk berislam," tutur dia. Keislaman Kristiane itu juga yang membawa berkah bagi kehidupan keluarganya. Kedua orang tuanya merasa bahagia melihat sosok Kristiane yang baru, yang telah menjadi umat Muhammad.

Kristiane juga menceritakan, suasana keluarganya kian hangat oleh diskusi-diskusi seputar keislaman. ''Keluarga saya sangat banyak mengambil hal-hal positif dari ajaran agama yang saya anut sekarang ini,'' tutur Kristiane sebagaimana dilansir harian Alarabiya.
[yy/republika.co.id]

Joe Ahmad Dobson, Islamnya Putra Mantan Menteri Kesehatan Inggris

LONDON--Peristiwa serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat (AS), secara tidak langsung telah mengubah wajah Islam dan kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia. Tak terkecuali di Inggris. Sejumlah pengurus masjid di London mengakui adanya kecenderungan yang semakin meningkat di kalangan masyarakat Inggris untuk mempelajari Islam, sejak peristiwa itu.

Dalam artikel berjudul "Wajah Baru Islam" yang dimuat dalam laman Islam for Today, penulisnya, Nick Compton, menyebutkan bahwa tren semacam itu bukan hal yang baru di Inggris. Ia menyebutkan, sejumlah warga asli Inggris yang berdarah biru, kalangan bangsawan, bahkan memutuskan untuk menjadi seorang Muslim. Salah satunya yang disebutkan dalam artikel tersebut adalah Joe Ahmed Dobson, putra mantan Menteri Kesehatan Inggris Frank Dobson.

Meski lahir dan besar di lingkungan keluarga pemeluk Kristen yang taat, Joe remaja justru memilih untuk menjadi seorang agnostik. Ajaran Islam sendiri baru dikenal oleh laki-laki kelahiran tahun 1975 ini dari salah seorang temannya. Saat itu usianya baru menginjak 16 tahun. "Seorang teman memberi saya terjemahan Alquran dalam bahasa Inggris," ujar Dobson seperti dikutip telegraph.co.uk.

Dalam pandangan Joe Dobson, Islam merupakan agama yang identik dengan semua hal yang negatif. Namun, setelah mempelajari Alquran terjemahan pemberian temannya itu, sudut pandang Joe mengenai Islam secara perlahan mulai berubah.

Menurutnya, dengan membaca Alquran dirinya bagaikan mendapatkan wahyu. "Isinya telah mengubah persepsi saya selama ini tentang Islam. Ternyata dalam Islam itu baik laki-laki maupun perempuan diwajibkan untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Alquran juga mengajarkan kita untuk memperlakukan setiap orang dengan hormat. Alquran sangat terbukti kebenarannya," terangnya.

Selain itu, kata dia, Alquran memberikan jawaban atas semua pertanyaan yang tidak bisa diberikan oleh kitabkitab manapun. "Islam bisa menjawab pertanyaan `mengapa'. Mengapa kita harus memperlakukan setiap orang sebagai saudara, dan setiap perempuan sebagai kakak. Mengapa kita harus berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk diri sendiri dan sesama manusia. Itulah yang Alquran lakukan bagi saya, dan itu memberi saya jawaban tentang mengapa saya harus hidup dengan cara ini (Islam--Red)," paparnya.

Muslim Indonesia Sebuah perjalanan ke Indonesia di tahun 1992, memberikan kesan tersendiri dalam diri Joe Dobson. Ia menyaksikan secara langsung, bagaimana kehidupan umat Islam di Indonesia. Pengalamannya berinteraksi langsung dengan umat Islam di Indonesia semakin membuatnya terkesan dengan agama Islam.

Kembali dari kunjungannya ke Indonesia, Joe Dobson mengakui, mulai tertarik untuk mempelajari Islam lebih mendalam. Beruntung ketika berkuliah di Universitas Manchester, ia memiliki banyak teman dari kalangan Muslim. Karenanya, ia bisa banyak bertanya mengenai Islam. Begitu juga dengan buku-buku dan literatur-literatur mengenai Islam, banyak tersedia di perpustakaan kampusnya.

Baru kemudian pada awal 1998, dengan penuh keyakinan, ia memutuskan menjadi seorang Muslim. Bertempat di sebuah masjid di utara Kota London, Joe Dobson bersyahadat di hadapan jamaah masjid tersebut. Peristiwa tersebut terjadi pada Januari 1998. Tantangan terbesar yang dihadapinya setelah memutuskan masuk Islam adalah keluarganya, terutama sang ayah.

Keputusannya untuk menjadi seorang Muslim memang dilakukan di saat Frank Dobson sedang menjabat sebagai Menteri Kesehatan Inggris. Untuk menghindari reaksi negatif dari publik Inggris terhadap sang ayah, akhirnya ia memutuskan untuk tidak memberitahukan perihal keislamannya tersebut.

"Saat itu, saya benar-benar tidak ingin mengatakan bahwa saya adalah seorang Muslim sampai saya merasa yakin bisa hidup dengan cara itu," ujar pemegang gelar master bidang manajemen umum dan kebijakan sosial dari London Metropolitan University ini. Namun lambat laun, keluarganya pun mengetahui perihal keislamannya.

Di kalangan Muslim Inggris, Joe Ahmed Dobson terbilang cukup vokal dalam menyuarakan kepentingan Islam. Ketika pasukan AS dan negara-negara sekutunya melakukan invasi ke Afghanistan, ia mengeluarkan kritikan pedas. Begitupun juga kritikannya mengenai kapitalisme negara-negara Barat.

Menurutnya, kapitalisme Barat dan apa yang berlangsung di Afghanistan berasal dari prinsip-prinsip sosialis. “Itu bukan dari pandangan ekstrem Muslim, tapi merupakan prinsip sosialis yang dikembangkan Barat,” tegasnya.

Selain vokal, ia juga dikenal aktif di beberapa organisasi-organisasi Muslim yang berbasis di London. Antara lain, ia pernah menjabat sebagai Ketua Muslim Council of Britain’s Regeneration Committee dan Direktur Interim London Muslim Care. Di luar aktivitasnya sebagai pengurus organisasi Muslim, ia juga terlibat secara aktif dalam beberapa kampanye antinarkoba yang digagas oleh komunitas Muslim Inggris.

Tak hanya mengenai Islam yang disuarakan Joe Dobson. Ia juga kerap terlihat bersama para aktivis perdamaian untuk mengampanyekan mengenai perdamaian dunia. Dalam pandangannya, semua bangsa dan agama harus secara aktif bekerja sama untuk perdamaian. "Pada dasarnya mayoritas Muslim dan orang-orang dari semua agama memegang sebuah keyakinan yang berlandaskan kepada nilai-nilai kasih sayang, perdamaian, dan keadilan."
Republika.co.id | Red: irf | Rep: nidia zuraya

Henryk Broder: Penulis Yahudi Jerman Terkenal Kembali Ke Fitrah Islam

Penulis yahudi terkenal berkebangsaan Jerman "Henryk Broder" mengumumkan masuk Islam, setelah serangkaian panjang tulisan-tulisannya yang memusuhi Islam dan umat Islam.
Koran "Palestina Online" menyebutkan bahwa Henryk Broder adalah veteran jurnalis majalah yang sangat populer di Jerman Der Spiegel, dan penulis buku terlaris di Jerman pada tahun 2007, yang berjudul "Hei Eropa .. engkau menyerah" dan dianugerahi penghargaan buku Jerman pada tahun itu.

Diantara ucapannya yang terkenal sebelum memeluk Islam: "Saya tidak ingin Eropa menyerah kepada kaum muslimin, ketika Menteri Kehakiman Jerman mengatakan bisa saja syariat Islam menjadi dasar hukum .. maka Eropa harus berdamai; ideologi Islam telah menjadi terkait dengan permusuhan dengan gaya hidup modern barat dan saya menyarankan kaum muda Eropa untuk hijrah, karena Eropa kini tidak akan tetap demikian selama lebih dari dua puluh tahun .. Eropa beralih ke Islam secara demografis .. Kami memberikan persetujuan secara aneh dalam menanggapi tindakan fundamentalis Islam. "

Penulis Broder "61 tahun" berteriak ketika ia mengumumkan untuk masuk Islam: "Mari dengarkan bahwa saya  telah masuk Islam".

Pengumuman keIslamannya sebagai akibat dari konflik internal yang seru dalam dirinya sendiri selama bertahun-tahun dalam sebuah diskusi dengan imam Masjid Reza di Nyukuln, di mana ia menjelaskan bahwa dirinya merasa lega akhirnya dapat menyingkirkan penindasan kebenaran yang dilakukannya dengan anggota badannya.

Kembali ke agama fitrah:

Dia mengatakan ketika mengomentari pertanyaan kenapa dia meninggalkan agamanya bahwa dia tidak meninggalkan agama tapi ia kembali ke Islamnya yang merupakan agama semua fitrah seluruh manusia dimana semua orang dilahirkan.

Penulis Jerman tersebut telah mengucapkan dua kalimat syahadat di depan dua saksi dan namanya dirubah dengan Henry Muhammad Brodeur, katanya ketika mengomentari ini dengan bangga: "Aku sekarang adalah anggota dari umat yang jumlahnya satu miliar tiga ratus juta orang di dunia yang dihina terus-menerus dan keluar dari mereka reaksi terhadap penghinaan tersebut, dan saya senang bisa kembali ke rumah di mana saya dilahirkan". (ar/islammemo/voa-islam.com)

Chris Eubank, Petinju Dunia yang Juga Menjadi Mualaf

"Saya mulai berpikir tentang indahnya Islam di di Kairo dan menyatakan keislaman saya di Dubai." (Chris Eubank)

Petinju Inggris, Chris Eubank, mengejutkan dunia olahraga di Inggris ketika ia mengumumkan berpindah keyakinan dan menganut Islam pada Maret 1997. Ia mengubah namanya menjadi Hamdan. Dia telah mempelajari Islam untuk sementara waktu dan memutuskan untuk menerimanya setelah itu. Eubank menjadi Muslim setelah kemenangannya atas petinju Kolombia Camilo Alarcon di Dubai pada tahun yang sama.


Eubank, yang memenangkan berbagai kejuaraan tinju dunia, dikenal karena penampilan yang elegan dan gaya bicaranya filosofis. Petinju kelas dunia lain yang kerap disejajarkan dengan dia adalah Muhammad Ali dan Mike Tyson, yang juga telah memeluk Islam.

Eubank memulai perjalanan imannya yang membuat pria bernama asli Christopher Livingstone Eubanks ini memeluk Islam dengan mempelajari agama ini, terutama mengenai prinsip-prinsip ajarannya. Kehadirannya di Kairo untuk berlaga, membawanya pada hikmah lain: dibukakan matanya akan keagungan Islam. Batinnya bergolak, bergemuruh seperti sorak-sorai pendukungnya ketika dia mengkanvas lawan-lawannya, saat ia makin yakin akan Islam, dan ingin segera menyatakan syahadat.

Namun berbanding terbalik dengan keperkasaannya di atas ring tinju, ia tak berani bercerita tentang pergolakan batinnya itu pada siapapun. Eubank merahasiakannya. Baru beberapa bulan kemudian, ia memutuskan untuk mengumumkan konversinya ke Islam dan mengubah namanya di Dubai. Kabar ini dengan cepat dilaporkan oleh pers Inggris.

Eubank telah mempelajari Islam selama dua tahun sebelum mengumumkan konversi untuk itu. Dia juga mengunjungi Mike Tyson di penjara selama jangka waktu tersebut. Saat itu, Tyson yang mengingkuk di balik jeruji besi karena dituduh memperkosa salah satu kontestan Miss Amerika telah lebih dulu menjadi Muslim.

Kunjungannya ke Amerika Serikat dilakukan khusus untuk menemui petinju dunia itu, setelah dia berada di ujung pencarian tentang agama. Ia menyewa pesawat pribadi ke Amerika Serikat hanya demi menemui Tyson.

Dalam obrolan itu, Tyson sempat bertanya apakah ia akan menjadi Muslim suatu hari. Ia hanya menjawab singkat, "Kita tidak harus pergi terlalu jauh. saya telah menjelaskan lebih dari sekali selama bulan-bulan terakhir yang saya sedang belajar agama, semua agama, termasuk Islam." Obrolan itu, juga diingat dengan baik oleh Tyson.

"Islam itu agama yang hebat, tapi, sayangnya, itu terdistorsi oleh minoritas ekstremis yang telah melakukan banyak merugikan diri mereka sendiri dan umat Islam melalui tindakan mereka yang tidak ada hubungannya dengan ajaran Islam toleran," ujar Eubank.

Pria kelahiran 8 Agustus 1966 ini menjadi Muslim bukan karena "latah" mengikuti Tyson dan Muhammad Ali. Walau ia mengakui, Tyson makin membukakan matanya pada Islam. Sebelumnya, ia melakukan studi mengenai agama untuk beberapa waktu, di antara yang merupakan studi komparatif Islam dan agama lain. "Setelah ini, saya mencapai keputusan yang mengharuskan beberapa waktu untuk mengambil. Ada dorongan yang begitu kuat untuk mengumumkan konversi saya ke Islam, maka keputusan konversi saya umumkan di depan publik di Dubai. "

Keputusan Eubank untuk memeluk Islam dengan tujuan memelihara kebersihan pikirannya di dunia tinju telah menimbulkan reaksi yang berbeda di dunia olahraga Inggris.Namun ia sudah bulat dengan keputusannya, dan tak ada cerita surut ke belakang.

"Ini pertempuran batin yang sungguh sulit saya menangkan sebelumnya; saya sadar publik Inggris akan mencemooh saya dan popularitas saya merosot. Namun di sisi lain, saya adalah Chris Eubank, manusia yang membutuhkan Islam," ujarnya.

Ia kemudian menarik diri ke dalam pemikiran filosofis yang lebih dalam. "Akan sangat menyedihkan membatasi peran saya dalam hidup untuk hanya menjadi petinju sukses atau olahragawan yang hanya peduli tentang mobil dan pakaian," katanya. "Maka saya memutuskan mengumumkan keislaman saya."

Ia memilih "Hamdan" sebagai  nama Muslimnya, yang disisipkan di depan nama aslinya. Namun, pers kerap mengabaikan hal itu dan menulis nama lamanya. "Tidak mengapa mereka tak mencantumkan nama baru itu. Tapi mereka tahu bahwa ketika harus menulis hal yang terkait dengan identitas keagamaan saya, maka kata Islam harus ditulis, karena kini saya seorang Muslim, dan saya bangga menjadi Muslim," ujarnya. (Red: Siwi Tri Puji B | Sumber: republika.co.id/Berbagai sumber)

Maryam Jameelah, Mualaf Yahudi

Cahaya Kebenaran dari Iman Islam telah ia pahami sejak dia belum mengenal Islam. Meski saat itu kebudayaan dan liturgi kuno Yahudi telah melingkupi dan membias dalam kehidupan masa kecilnya. Margaret Marcus atau dipanggil Peggy kemudian berganti nama menjadi Maryam Jameelah setelah berpindah ke Islam. Berikut ini adalah hasil wawancara khusus nya bagaimana seorang Putri Yahudi akhirnya bisa menemukan Islam sebagai Cahaya Kebenaran yang ia pilih dalam menjalani kehidupannya. Bagaimana ia menilai Islam dan agama keturunannya Yahudi dan kristen. Bagaimana tanggapan keluarga dan orang-orang Yahudi disekitarnya saat dia memilih Islam. Dan temukan juga kisah orang-orang yahudi lainnya yang juga telah memilih Islam sebagai cahaya kebenaran dalam hidupnya dalam petikan wawancara Eksklusif dengan seorang Putri Yahudi ini. Wawancara Eksklusif ini banyak memberikan inspirasi dan pencerahan pada kita tentang cahaya kebenaran Islam dari pandangan seorang Mu’alaf Yahudi. Siapa itu Maryam Jameelah ? Nama sebelum pindah ke Islam adalah Margaret Marcus lahir dari sebuah keluarga Yahudi di New Rochelle, NY, USA pada tahun 1934. Dia dibesarkan di lingkungan sekuler, tetapi pada usia sembilan belas, saat menjadi seorang mahasiswa di New York University, ia lebih mengembangkan minat dalam agama. Dia memeluk agama Islam di New York pada 1961, dan mulai menulis untuk surat khabar Muslim Digest Durban, Afrika Selatan. artikel-nya menguraikan pandangan murni dari Islam dan berusaha untuk mendirikan kebenaran agama melalui perdebatan kritis Berikut ini cuplikan wawancaranya yang telah ditranslasikan. Q: Apakah Anda bersedia menceritakan kepada kami bagaimana Anda tertarik mendalami Islam pada awalnya? A: Nama saya dahulu Margaret (Peggy) Marcus. Sebagai anak kecil saya memiliki minat dalam musik dan khususnya menyukai simfoni opera klasik yang dianggap sebagai budaya tinggi di Barat. Musik adalah mata pelajaran favorit saya di sekolah di mana saya selalu meraih nilai tertinggi. Secara kebetulan, saya pernah mendengar musik Arab di radio yang membuat saya begitu menyenanginya, kemudian saya bertekad untuk mendengar lebih banyak lagi. Saya tidak akan tenang tinggal bersama orang tua saya, sampai ayahku akhirnya membawa saya ke bagian yang banyak ditempati oleh orang keturunan Suriah di New York City di mana saya akhirnya bisa membeli setumpuk rekaman Arab. Orang tua, sanak saudara dan tetangga saya mengatakan pemikiran Arab dan musik nya terasa sangat aneh dan sangat menyedihkan di telinga mereka setiap kali saya menghidupkan rekaman Musik Arab saya, mereka meminta agar saya menutup semua pintu dan jendela di kamar saya karena mereka mereka merasa terganggu! Setelah saya memeluk Islam pada tahun 1961, saya biasa duduk terpesona oleh jam di masjid di New York, mendengarkan rekaman-rekaman Tilawat dilantunkan oleh Qari dari Mesir, Abdul Basit. Tetapi pada suatu Jumha Salat (Shalat Jum’at), Imam tidak memutar kaset tersebut. Kami punya tamu istimewa hari itu. Seorang Pemuda berpakaian Hitam lusu,Pendek, dan sangat tipis, yang memperkenalkan diri kepada kita sebagai mahasiswa dari Zanzibar, membacakan Surah ar-Rahman. Aku tidak pernah mendengar Tilawat mulia seperti itu bahkan dari Abdul Basit! Dia memiliki seperti suara emas; tentu Hazrat Bilal harus terdengar seperti dia! Saya telusuri awal minat saya dalam Islam saat berumur sepuluh tahun. Saat menghadiri sebuah sekolah Yahudi direformasi Minggu, saya menjadi terpesona dengan hubungan historis antara orang-orang Yahudi dan orang-orang Arab. Dari buku teks Yahudi, saya belajar bahwa Abraham adalah ayah dari orang-orang Arab serta orang-orang Yahudi. Saya pernah membaca sejaran di abad-abad dimana, ketika di abad pertengahan Eropa, penganiayaan Kristen membuat hidup Mereka (Orang-orang yahudi saat itu) tak tertahankan, orang-orang Yahudi disambut oleh Pemerintahan Muslim di Spanyol dan menunjukan bahwa itu adalah kemurahan hati dari peradaban Islam Arab yang merangsang budaya Ibrani untuk mencapai puncak prestasi tertinggi sat itu. Benar-benar saya tidak menyadari sifat sejati dari Zionisme, saya merasa naif untuk berpikir bahwa orang-orang Yahudi kembali ke Palestina untuk memperkuat hubungan dekat kekerabatan mereka dalam agama dan budaya dengan saudara sepupu mereka Semit (Bangsa Arab). Saya percaya bahwa bersama orang-orang Yahudi dan orang-orang Arab akan bekerja sama untuk mencapai Golden Age lain budaya di Timur Tengah. Meskipun saya sangat tertarik dengan studi sejarah Yahudi, saya sebenarnya sangat tidak senang di sekolah Minggu. Pada saat ini saya mengidentifikasikan diri dengan kuat dengan orang-orang Yahudi di Eropa, kemudian menderita nasib yang mengerikan di bawah Nazi dan saya sangat terkejut bahwa tidak ada teman sesama maupun orangtua mereka menjalani agama mereka secara serius. Selama pelayanan di rumah ibadat, anak-anak menggunakan untuk membaca komik yang tersembunyi dalam buku-buku doa mereka dan tertawa menghina di ritual. Anak-anak begitu berisik dan tidak teratur bahkan guru tidak bisa mendisiplinkan mereka dan sangat sulit untuk memulai kegiatan pengajaran di kelas. Di rumah suasana untuk memperhatikan agama hampir lebih menyenangkan. Kakak sulung ku membenci sekolah Minggu sehingga ibuku harfiah harus menyeret keluar dari tempat tidur di pagi hari dan tidak pernah pergi tanpa perjuangan air mata dan kata-kata panas. Akhirnya orang tua saya telah habis semangatnya dan membiarkan dia berhenti. Pada saat Puncak Hari Raya Yahudi kami tidak menghadiri rumah ibadat dan berpuasa pada Yom Kippur, adik saya dan saya dibawa keluar dari sekolah untuk menghadiri piknik keluarga dan berkunjung ke beberapa restoran bagus. Ketika adik saya dan saya bisa meyakini orang tua kita bagaimana sengsara kami berdua di sekolah Minggu mereka akhirnya bergabung dengan sebuah organisasi, agnostik humanis dikenal sebagai Gerakan Budaya Etis (the Ethical Culture Movement). Gerakan Budaya Etis didirikan pada akhir abad ke-19 oleh Felix Alder. Saat belajar untuk kaum pendeta Yahudi, Felix Alder tumbuh keyakinan bahwa pengabdian kepada nilai-nilai etika merupakan buatan manusia dan bersifat relatif , Meskipun supernaturalisme atau teologi tidaklah relevan, merupakan satu-satunya agama yang cocok untuk dunia modern. Saya menghadiri Etis Budaya Sekolah Minggu setiap minggu dari umur sebelas tahun sampai aku lulus di usia lima belas tahun. Di sini saya tumbuh lengkap dengan ide-ide gerakan dan menganggap semua agama terorganisir yang tradisional dengan cemoohan. Ketika saya berada di usia delapan belas tahun saya menjadi anggota gerakan pemuda Zionis Lokal yang dikenal sebagai Hatzair Mizrachi. Tapi kemudian ketika saya menemukan apa sifat Zionisme itu, yang membuat permusuhan antara Yahudi dan Arab tidak dapat didamaikan, saya meninggalkan nya beberapa bulan kemudian dengan jijik. Ketika saya berusia dua puluh tahun dan menjadi mahasiswa di Universitas New York, salah satu program pilihan saya berjudul Yudaisme dalam Islam. Profesor saya, Rabi Abraham Ishak Katsh, kepala departemen Pendidikan kebudayaan Yahudi disana, tidak terhindar upaya untuk meyakinkan murid-muridnya yang semuanya orang Yahudi, banyak dari mereka yang tertarik untuk menjadi rabi menytakan bahwa Islam berasal dari Yudaisme. buku teks kami, yang ditulis oleh dia, mengambil setiap ayat dari Al-Qur’an, dengan susah payah menelusuri ke sumbernya yang diduga Yahudi. Walaupun tujuannya sebenarnya adalah untuk membuktikan kepada murid-muridnya keunggulan Yudaisme atas Islam, dia meyakinkan saya ada garis tengah yang berhubungan sebaliknya. Aku segera menyadari bahwa Zionisme hanyalah kombinasi dari, aspek rasis tribalistic dari Yudaisme. Zionisme nasionalis sekuler modern lebih lanjut telah menodai dalam pandangan saya ketika saya mempelajarinya sedikit, jika ada, para pemimpin Zionisme Yahudi yang taat dan bahwa mungkin ditempat yang Ortodoks, Yahudi tradisional dianggap intens dengan keburukan seperti di Israel. Ketika saya menemukan hampir semua pemimpin penting dalam Yahudi pendukung bagi Zionisme Amerika, yang tidak merasa sedikit pun denyut hati nurani karena ketidakadilan yang mengerikan menimpa orang-orang Arab Palestina, saya tidak bisa lagi menganggap diri saya seorang Yahudi didalam hati. Suatu pagi di bulan November 1954, Profesor Katsh, selama mata kuliah nya, berdebat dengan logika tak terbantahkan bahwa monoteisme yang diajarkan oleh Nabi Musa (as) dan Hukum Tuhan yang diwahyukan kepadanya adalah sebagai dasar yang tak dapat dhindari untuk semua nilai etis yang lebih tinggi.Jika aturan moral itu murni buatan manusia, sebagai Budaya Etis dan filosofi agnostik dan ateis lainnya yang diajarkan, maka mereka akan bisa berubah, menurut kehendak, kenyamanan atau keadaan belaka. Hasilnya akan timbul kekacauan yang mengarah ke individu dan kehancuran kolektif. Kepercayaan tentang akhirat, sebagaimana para Rabbi di Talmud mengajarkan, Profesor Katsh berpendapat, tidak sekadar wishful thinking tapi suatu keharusan moral.Hanya mereka, katanya, yang sangat yakin bahwa kita masing-masing akan dipanggil oleh Allah pada Hari Penghakiman untuk memberikan rekening lengkap hidup kita di bumi dan akan dihargai atau dihukum sesuai dengan amal kita, sehingga kita akan memiliki disiplin diri untuk mengorbankan kesenangan sementara dan bertahan dalam kesulitan dan pengorbanan untuk mencapai kebaikan. Saat itu di kelas Profesor Katsh aku bertemu Zenita, gadis yang paling tidak biasa dan sangat memukau yang pernah saya temui. Pertama kali aku masuk kelas Profesor Katsh, aku melihat sekeliling ruangan untuk menemukan sebuah meja kosong untuk duduk, aku melihat dua kursi kosong, yang bersebelahan, terdengar dalam volume yang cukup besar ayat-ayat suci dari Al Quran dan terjemahan bahasa Inggris nya yang dibawakan olehYusuf Ali.Aku duduk di sana, yang terbakar dengan rasa ingin tahu untuk mengetahui milik siapakah volume ini. Sebelum kuliah Rabi Katsh dimulai adalah saat yang tepat untuk mengetahuinya, gadis, tinggi sangat ramping dengan kulit pucat dibingkai oleh rambut pirang tebal, duduk di sebelah saya. Penampilannya begitu khas, aku pikir dia pasti mahasiswa asing dari Turki, Suriah atau negara Timur Tengah lainnya. Sebagian besar siswa yang lainnya adalah laki-laki muda mengenakan topi hitam Ortodoks Yahudi, yang ingin menjadi rabi. Kami hanya dua gadis di kelas ini. ia memperkenalkan dirinya padaku Saat kami meninggalkan perpustakaan sore itu. Lahir dalam keluarga Yahudi Ortodoks, orangtuanya bermigrasi ke Amerika dari Rusia hanya beberapa tahun sebelum Revolusi Oktober tahun 1917 untuk menghindari penganiayaan. Saya mencatat bahwa teman baru saya berbicara bahasa Inggris dengan tidak meninggalkan gaya dan logatnya sebagai orang asing. Dia membenarkan spekulasi tersebut, mengatakan bahwa karena keluarga dan teman-teman mereka berbicara hanya bahasa yahudi di antara mereka sendiri, ia tidak belajar bahasa Inggris apapun hingga setelah mengikuti sekolah umum. Dia mengatakan bahwa namanya Zenita Liebermann tetapi baru-baru ini, dalam upayanya untuk menjadi orang Amerika, orang tuanya telah merubah namanya dari “Liebermann” menjadi “Lane.” Selain mempelajari bahasa Ibrani sesuai perintah ayahnya, saat tumbuh dewasa dan juga di sekolah, dia bilang dia sekarang menghabiskan waktu luangnya untuk belajar bahasa Arab. Namun, tanpa pemberitahuan sebelumnya, Zenita keluar dari kelas dan meskipun saya terus menghadiri semua kuliah-kuliahnya hingga pada kesimpulan kursus, Zenita tidak pernah kembali. Bulan berlalu dan aku hampir lupa tentang Zenita ketika tiba-tiba dia menelepon dan meminta saya untuk menemuinya di Metropolitan Museum dan pergi bersamanya untuk melihat pameran khusus kaligrafi Arab yang indah dan naskah kuno menerangi Al Quran. Selama kami melakukan tur di museum, Zenita mengatakan padaku bagaimana ia telah memeluk Islam dengan dua teman Palestina sebagai saksi. Aku bertanya, “Mengapa Anda memutuskan untuk menjadi seorang Muslim?” Dia kemudian mengatakan bahwa dia telah meninggalkan kelas Profesor Katsh ketika ia jatuh sakit dengan infeksi ginjal parah. kondisi nya sangat kritis, dia mengatakan kepada saya, ayah dan ibunya sudah putus harapan untuk bertahan hidup. “Suatu sore sementara terbakar dengan demam, aku meraih Quran Suci saya di meja samping tempat tidur dan mulai membaca dan saat aku membacakan ayat-ayat, itu menyentuh saya begitu dalam sehingga aku mulai menangis dan kemudian aku tahu aku akan sembuh. Segera setelah aku cukup kuat untuk meninggalkan tempat tidurku, aku memanggil dua teman saya yang Muslim dan mengambil sumpah dari “syahadat” atau Pengakuan Iman.” Zenita dan aku akan makan makanan kami di restoran Suriah di mana saya mendapatkan rasa tajam untuk masakan lezat. Ketika kami punya cukup uang untuk dibelanjakan, kami akan memesan Couscous, domba panggang dengan nasi atau sepiring sup yang lezat bakso kecil berenang dalam kuah daging yang cara memakannya dengan cara meraup dengan roti Arab tanpa ragi. Dan ketika kami hanya memiliki sedikit uang untuk dibelanjakan, kami akan makan kacang dan nasi, ala Arab, atau hidangan nasional Mesir biji hitam yang besar dengan banyak bawang putih dan bawang merah disebut “FUL”. saat kuliah dari Profesor Katsh, saya membandingkan dalam pikiran saya apa yang telah saya baca dalam Perjanjian Lama dan Talmud dengan apa yang diajarkan dalam Quran dan Hadis dan menemukan bahwa ajaran Yudaisme begitu rusak, saya akhirnya memeluk agama Islam. T: Apakah Anda takut bahwa Anda mungkin tidak diterima oleh kaum Muslim? J: meningkatnya simpati saya untuk Islam dan cita-cita Islam saya menimbulkan marah orang-orang Yahudi lain yang saya tahu, yang menganggap saya telah mengkhianati mereka dengan cara yang terburuk. Mereka memanfaatkan untuk memberitahu saya bahwa begitu sebuah reputasi hanya bisa menjadi memalukan dari warisan leluhur saya dan kebencian yang kuat bagi orang-orang saya. Mereka mengingatkan saya bahwa bahkan jika saya mencoba untuk menjadi seorang Muslim, saya tidak akan pernah diterima. Ketakutan ini terbukti benar-benar tak berdasar karena saya belum pernah ternoda oleh Muslim karena Yahudi asal saya. Segera setelah saya sendiri menjadi seorang Muslim, saya yang paling disambut antusias oleh semua kaum muslimin sebagai salah satu dari mereka. Aku tidak memeluk Islam untuk keluar dari kebencian untuk warisan leluhur saya atau orang-orang saya. Itu bukan keinginan yang kuat untuk menolak memenuhinya. Bagi saya, itu berarti sebuah transisi dari paroki ke iman yang dinamis dan revolusioner. Q: Apakah keluarga Anda berkeberatan Anda belajar Islam? A: Walaupun saya ingin menjadi seorang Muslim sejak 1954, keluarga saya mengatur perdebatan saya agar keluar dari sana. Aku diperingatkan bahwa Islam akan menyulitkan hidup saya karena tidak, seperti Yudaisme dan Kristen, bagian dari adegan orang-orang Amerika. Saya diberitahu bahwa Islam akan mengasingkan saya dari keluarga saya dan mengisolasi saya dari masyarakat/ komunitas saya. Pada waktu itu iman saya tidak cukup kuat untuk menahan tekanan tersebut. Sebagian sebagai akibat dari kekacauan dari dalam diri, saya menjadi sakit sehingga aku harus menghentikan kuliah lama sebelum waktunya bagi saya untuk lulus. Selama dua tahun berikutnya, saya tetap di rumah dibawah perawatan medis pribadi, dengan terus bertambah buruk. Dalam keputusasaan dari tahun 1957 hingga tahun 1959 orang tua saya membatasi saya, baik untuk rumah sakit pribadi dan umum yang di mana saya bersumpah bahwa kalau saya pulih cukup siap untuk dibuang/diasingkan, saya akan memeluk Islam.] Setelah aku diizinkan pulang, saya menyelidiki semua kesempatan untuk pertemuan Muslim di New York City. Itu adalah keberuntungan saya untuk bertemu dengan beberapa lelaki dan perempuan terbaik yang pernah berharap dapat bertemu. Saya juga mulai menulis artikel untuk majalah Muslim. Q: Apa sikap orang tua Anda dan teman-teman setelah Anda masuk Islam? J: Ketika saya masuk Islam, orang tua saya, keluarga dan teman-teman mereka menganggap saya hampir sebagai seorang fanatik, karena aku bisa berpikir dan berbicara hal lain. Bagi mereka, agama adalah murni konsensus pribadi yang paling mungkin dapat dibudidayakan seperti hobi amatir antara hobi lainnya. Tapi begitu aku membaca Al-Qur’an, aku tahu bahwa Islam tidak hobi tapi hidup itu sendiri! T: Dengan cara apa Al-Qur’an berdampak pada kehidupan Anda? J: Suatu sore aku merasa sangat lelah dan tertidur, Ibu masuk ke kamar saya dan berkata dia akan pergi ke Larchmont Perpustakaan Umum dan bertanya apakah ada buku yang saya inginkan? Saya memintanya untuk mencarikan dan melihat apakah perpustakaan memiliki salinan terjemahan bahasa Inggris dari Al-Qur’an. Bayangkan, tahun-tahun kesabaran ketertarikan didalam Budaya Arab dan membaca setiap buku di perpustakaan tentang mereka aku bisa meletakkan tangan saya hingga sekarang, saya tidak pernah berpikir untuk melihat apa yang ada dalam Al-Qur’an. Hingga akhirnya Ibu kembali dengan salinan terjemahan Al Qur’an untuk saya. Aku sangat bersemangat, aku benar-benar meraihnya dari tangannya dan membacanya sepanjang malam. Di sana saya juga menemukan semua cerita Alkitab yang akrab saat masa kecilku. Dalam delapan tahun saya sekolah dasar, empat tahun sekolah menengah dan satu tahun kuliah, saya belajar tentang tata bahasa dan komposisi bahasa Inggris, Perancis, Spanyol, Latin dan Yunani yang digunakan saat ini, aritmatika, Geometri, Aljabar, sejarah Eropa dan Amerika, ilmu pengetahuan dasar, Biologi, musik dan seni – tapi saya tidak pernah belajar apapun tentang Tuhan! Dapatkah Anda bayangkan aku begitu bodoh dari Allah, bahwa aku menulis ke-teman pena saya, pengacara Pakistan, dan mengaku padanya alasan mengapa aku ateis karena aku tidak bisa percaya bahwa Allah benar-benar seorang lelaki tua dengan panjang janggut putih yang duduk di atas takhta-Nya di Surga. Ketika dia bertanya di mana aku telah belajar hal memalukan itu, aku menceritakan kepadanya tentang reproduksi dari Kapel Sistina pernah kulihat di “Kehidupan” Majalah “Penciptaan Michelangelo” dan “Original Sin.” Saya jelaskan semua representasi Allah sebagai seorang tua dengan janggut putih panjang dan banyak juga mengenai penyaliban Kristus aku telah melihat dengan Paula di Metropolitan Museum of Art. Tetapi dalam Al-Qur’an, saya membaca: ”Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhlik-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur, Kepunyaannya apa yang ada dilangit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang dihadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (Qur’an S. Al baqarah 2 : 255) ”Dan orang-orang yang kafir anal-amal mereka adalah laksana fatamorgana. Ditanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya suatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan Allah) di sisinya. Lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. Atau seperti gelap gulita yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang diatasnya ombak (pula), diatasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun” (Quran S. An Nuur 24: 39-40) Pikiran pertama saya ketika membaca Al-Qur’an – ini adalah satunya agama yang benar dan benar-benar tulus, yang jujur, tidak memungkinkan kompromi murahan atau kemunafikan. Pada tahun 1959, saya menghabiskan banyak waktu luang saya membaca buku-buku tentang Islam di New York Public Library. Di sanalah saya menemukan empat jilid besar dari terjemahan bahasa Inggris dari Mishkat ul-Masabih. Saat itulah saya belajar bahwa pemahaman yang tepat dan rinci dari Al-Qur’an tidak mungkin tanpa pengetahuan tentang Hadis yang relevan (sahih). Mengenai bagaimana teks yang suci dapat ditafsirkan dengan benar kecuali oleh Nabi kepada siapa yang dikhabarkannya ? Setelah saya mempelajari Mishkat, saya mulai menerima Al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi. Apa yang meyakinkan saya bahwa Quran seharusnya dari Tuhan dan bukan disusun oleh Muhammad (SAW) itu adalah jawaban yang memuaskan dan meyakinkan untuk semua pertanyaan yang paling penting dari kehidupan yang saya tidak bisa menemukan di agama/ kepercayaan manapun. Sebagai seorang anak, saya sungguh sangat takut terhadap kematian, terutama membayangkan kematian saya sendiri, bahwa setelah mimpi buruk tentang hal itu, kadang-kadang saya menangis di tengah malam membangunkan orangtua saya. Ketika saya bertanya kepada mereka mengapa saya harus mati dan apa yang akan terjadi pada saya setelah kematian, mereka semua hanya bisa mengatakan bahwa saya harus menerima hal yang tak terelakkan itu, tetapi itu adalah masih sangat jauh dan disebabkan oleh ilmu kedokteran selalu terus berkembang, mungkin saya akan hidup menjadi seratus tahun! Orang tua saya, keluarga, dan semua teman-teman kita yang menolak takhayul pun berpikir tentang akhirat, tentang hari kiamat, pahala di surga atau hukuman dalam neraka sebagai konsep kuno oleh-berakhirnya usia. Sia-sia Aku mencari semua bab dari Perjanjian Lama untuk setiap konsep yang jelas dan tidak ambigu di akhirat. Para nabi, patriark (tokoh yang dituakan) dan orang yang bijak dari Alkitab semua menerima hadiah (reward) atau hukuman (punishment) di dunia ini. teristimewa adalah kisah Ayub (Nabi Ayub). Allah menghancurkan semua yang dikasihinya-, harta miliknya, dan dia menderita dengan penyakit menjijikkan untuk menguji imannya. Ayub (Nabi Ayub) meratap dengan mengeluh kepada Allah mengapa Ia harus membuat orang benar-benar menderita. Pada akhir cerita, Allah mengembalikan semua kerugian duniawi, tapi tidak ada yang bahkan menyebutkan tentang kemungkinan adanya konsekuensi di akhirat. Meskipun saya menemukan akhirat yang disebutkan dalam Perjanjian Baru, dibandingkan dengan yang ada di Al-Qur’an, itu kabur dan ambigu. Saya tidak menemukan jawaban atas pertanyaan tentang kematian dalam Yudaisme Ortodoks, untuk khotbah Talmud bahwa kehidupan terburuk bahkan lebih baik daripada kematian. filosofi dari orangtua saya adalah bahwa kita harus menghindari merenungkan memikirkan kematian dan hanya menikmati sebaik yang bisa, kesenangan hidup yang ditawarkan saat ini. Menurut mereka, tujuan hidup adalah kenikmatan dan kesenangan yang dicapai melalui ekspresi diri dari bakat/ kemampuan seseorang, mencintai keluarga, pekerjaan, menyenangkan teman, dikombinasikan dengan hidup nyaman dan kepuasan dalam berbagai hiburan bahwa dalam kemakmuran Amerika membuat tersedia berbagai macam kelimpahan. Mereka sengaja membudidayakan pendekatan dangkal untuk hidup seolah-olah itu adalah jaminan untuk kelanjutan kebahagiaan dan kebaikan-keberuntungan mereka. Melalui pengalaman pahit saya menemukan bahwa memanjakan diri hanya mengarah untuk penderitaan dan bahwa tidak ada yang besar atau bahkan berharga yang pernah dicapai tanpa perjuangan melalui kesulitan dan pengorbanan diri. Dari awal masa kanak-kanak saya, saya selalu ingin mencapai hal-hal penting dan signifikan. Di atas segalanya, sebelum mati aku ingin kepastian bahwa aku tidak menyia-nyiakan hidup dalam perbuatan dosa atau pengejaran sia-sia. Seumur hidup aku telah sangat serius. Saya selalu membenci kesembronoan yang merupakan karakteristik dominan dari budaya kontemporer. Ayahku pernah mengganggu saya dengan menggoda keyakinan bahwa tidak ada nilai permanen dan karena segala sesuatu di era modern ini adalah tren saat ini, tak dapat dihindari untuk menerima dan menyesuaikan diri kepada mereka. Aku, bagaimanapun, haus untuk mencapai sesuatu yang akan bertahan selamanya. Itu dari Al-Qur’an Suci di mana aku belajar bahwa aspirasi ini adalah mungkin. Tak ada perbuatan baik pernah terbuang atau hilang demi mencari keridho’an Allah. Bahkan jika orang yang bersangkutan tidak pernah mendapatkan pengakuan duniawi, hadiah yang pasti adalah di akhirat. Sebaliknya, Quran mengatakan kepada kita bahwa mereka yang tidak dituntun oleh pertimbangan moral selain kemanfaatan dan kesesuaian sosial dan mendambakan kebebasan untuk melakukan apa yang mereka kehendaki, tidak peduli seberapa banyak kesuksesan duniawi dan kemakmuran mereka yang dicapai secara tajam atau bagaimana mereka bisa menikmati jangka pendek kehidupan duniawi mereka, akan dikutuk sebagai pecundang pada Hari Penghakiman. Islam mengajarkan kita bahwa untuk mencurahkan perhatian eksklusif kami adalah untuk memenuhi kewajiban kami kepada Allah dan sesama kita-makhluk hidup, kita harus meninggalkan semua kegiatan sia-sia dan tidak berguna yang mengalihkan perhatian kita dari tujuan akhir ini. Ini ajaran Al-Qur’an, bahkan lebih eksplisit diterangkan oleh Hadist, hal tersebut telah benar-benar cocok dengan temperamen saya. Q: Apa pendapat Anda tentang orang-orang Arab setelah Anda menjadi seorang Muslim? J: Seperti tahun-tahun yang terlewati, realisasi secara bertahap sejak dini pada saya bahwa bukan orang Arab yang membuat Islam besar melainkan Islam telah membuat orang-orang Arab besar. Kalau bukan karena Nabi Suci Muhammad (SAW), orang-orang Arab akan menjadi orang tidak jelas hari ini. Dan kalau bukan karena Al-Qur’an, bahasa Arab akan sama-sama tidak penting, jika tidak punah. T: Apakah Anda melihat kesamaan antara Yudaisme dan Islam? J: persaudaraan antara Yudaisme dan Islam bahkan lebih kuat dari Islam dan Kristen. Kedua-duanya Yudaisme dan Islam berbagi kesamaan yang sama tanpa kompromi monoteisme, pentingnya keutamaan dari ketaatan yang ketat untuk Hukum Ilahi sebagai bukti pengutusan kami dan cinta Sang Pencipta, penolakan imamat, selibat dan monastisisme dan kesamaan mencolok dari bahasa Ibrani dan Bahasa Arab. Dalam Yudaisme, agama sangat membingungkan dengan nasionalisme (bangsa Yahudi), yang hampir tidak dapat dibedakan antara keduanya. Nama “Yudaisme” berasal dari suku Yehuda-. Seorang Yahudi adalah anggota dari suku Yehuda. Bahkan nama agama ini tidak berkonotasi pesan spiritual universal. Seorang Yahudi tidaklah seorang Yahudi berdasarkan keyakinan dalam kesatuan Allah, tetapi hanya karena dia kebetulan lahir dari keturunan Yahudi. Haruskah ia menjadi seorang ateis secara terbuka ?!, dia tidak kurang “Yahudi” di mata sesama orang Yahudi. Seperti halnya korupsi yang menyeluruh dengan nasionalisme mempunyai kemiskinan spiritual dari agama ini dalam segala aspeknya. Allah bukan Allah seluruh umat manusia namun Allah Israel. Tulisan suci bukanlah wahyu dari Allah kepada seluruh umat manusia tetapi terutama sebagai buku sejarah dari bangsa Yahudi. Daud dan Salomo (alaihi salam) tidaklah nabi sepenuhnya dari Tuhan, tetapi hanyalah raja Yahudi. Dengan pengecualian tunggal dari Yom Kippur (Hari Penebusan Yahudi), hari libur dan festival yang dirayakan oleh orang Yahudi, seperti Hanukkah, Purim dan Pesach, yaitu jauh lebih besar sebagai perhelatan nasional dari pada signifikansi religiusnya. Q: Apakah Anda pernah memiliki kesempatan untuk berbicara tentang Islam kepada orang Yahudi lainnya? A: Ada satu peristiwa tertentu yang sangat menonjol dalam ingatan saya ketika saya memiliki kesempatan untuk mendiskusikan Islam dengan seorang pria Yahudi. Dr Shoreibah, dari Islamic Center di New York, memperkenalkan saya kepada tamu yang sangat istimewa. Setelah dia menunaikan Salat Jumha, aku masuk ke kantornya untuk mengajukan beberapa pertanyaan tentang Islam tetapi saat aku bahkan sebelum bisa menyambutnya dengan “Assalamu Alaikum”, aku benar-benar terkejut dan heran melihat dia duduk di depan sebuah Chassidic ultra-ortodoks Yahudi, lengkap dengan earlocks, topi hitam bertepi lebar, jubah sutra hitam panjang dan janggutnya lebat tergerah. Di bawah lengannya salinan surat kabar Yiddish, “The Daily Forward”. Dia mengatakan bahwa namanya adalah Samuel Kostelwitz dan ia bekerja di New York City sebagai pemotong berlian. Sebagian besar keluarganya, katanya, tinggal di komunitas Chassidic dari Williamsburg di Brooklyn, tapi ia juga memiliki banyak kerabat dan teman-teman di Israel. Lahir di sebuah kota kecil di Rumania, ia melarikan diri dari teror Nazi bersama orang tuanya ke Amerika hanya sebelum pecahnya perang dunia kedua. Saya bertanya apa yang membawanya ke masjid ? Dia mengatakan kepada kami bahwa ia telah diserang kesedihan tak tertahankan sejak ibunya meninggal 5 tahun yang lalu. Dia telah mencoba untuk menemukan pelipur lara dan penghibur untuk kesedihannya di sinagoga tetapi tidak diperolehnya ketika dia menemukan bahwa banyak orang Yahudi, bahkan dalam komunitas ultra-ortodoks dari Williamsburg, adalah orang-orang munafik yang tak tahu malu. perjalanan terakhir-nya kepada Israel menimbulkan dia pada kekecewaan lebih pahit dari sebelumnya. Dia terkejut oleh irreligiousness (ketidakberagamaan) yang ia temukan di Israel dan dia memberitahu kami bahwa hampir semua sabras muda atau Israel kelahiran asli adalah ateis militan. Ketika ia melihat kawanan besar babi di salah satu kibbutz (pertanian kolektif) yang dia kunjungi, ia hanya bisa berseru ngeri: “Babi dalam negara Yahudi Saya tidak akan pernah berpikir bahwa tidak mungkin aku sampai datang ke sini!! Lalu ketika aku menyaksikan kebrutalan perlakukan yang dijatuhkan kepada orang-orang Arab yang tidak bersalah di Israel, aku menyadari kemudian bahwa tidak ada perbedaan antara Israel dan Nazi, tidak pernah, tidak pernah dalam nama Allah, saya tidak bisa membenarkan kejahatan yang mengerikan seperti itu !. “Kemudian ia berpaling ke Dr Shoreibah dan mengatakan bahwa ia ingin menjadi seorang Muslimtapi sebelum ia mengambil langkah-langkah yang tidak dapat dibatalkan untuk konversi formalnya, ia harus memiliki pengetahuan lebih banyak dahulu tentang Islam. Dia mengatakan bahwa ia telah membeli dari Orientalia Bookshop, beberapa buku tentang tata bahasa Arab dan mencoba untuk mempelajari sendiri bahasa Arab. Dia meminta maaf kepada kami untuk bahasa Inggris-nya yang kacau: Yiddish adalah bahasa ibunya dan bahasa Ibrani, bahasa keduanya. Di antara mereka sendiri, keluarga dan teman-teman berbicara hanya dengan bahasa Yiddish. Sejak itu membaca pengetahuan dalam bahasa Inggris sangat kurang, ia tidak punya akses ke literatur Islam yang baik. Namun, dengan bantuan kamus bahasa Inggris, ia membaca “Pengantar Islam” oleh Muhammad Hamidullah Paris dengan penuh ketekunan dan memuji ini sebagai buku terbaik yang pernah dibaca. Di hadapan Dr Shoreibah, aku menghabiskan waktu satu jam lagi dengan Mr Kostelwitz, membandingkan kisah-kisah Alkitab para leluhur dan nabi-nabi dengan rekan-rekan mereka di Al-Qur’an. Aku menunjuk inkonsistensi dan interpolasi dari Alkitab, saya menunjukan penggambaran Nabi Nuh yang diduga seorang pemabuk, menuduh perzinahan Nabi Dawud dan penyembahan berhala oleh Sulaiman (Larangan Allah) dan bagaimana Al-Qur’an mengangkat semua patriark ke status nabi-nabi asli dari Allah dan membebaskan mereka dari segala kejahatan (yang dituduhkan Injil). Saya juga menunjukkan mengapa Ismail dan bukan Ishak yang Allah perintahkan Ibrahim untuk ditawarkan sebagai Qurban. Dalam Alkitab, Allah mengatakan kepada Ibrahim: “Ambillah anak Mu, hanya anak-Mu yang Engkau kasihi dan menawarkan dia kepada-Ku sebagai Qurban. ”Ismail lahir 13 tahun sebelum Ishak tetapi komentator Alkitab Yahudi menjelaskan bahwa kepergiannya akan meremehkan ibu Ismail, Hagar, karena hanya seorang selir dan istri Ibrahim yang tidak nyata sehingga mereka mengatakan Ishak adalah anak satu-satunya yang sah. tradisi Islam, dengan bagaimanapun, Siti Hajjar ditingkatkan status sebagai istri penuh sama dalam segala hal dengan siti Sarah. Mr Kostelwitz mengungkapkan rasa terima kasihnya yang terdalam kepada saya untuk menghabiskan begitu banyak waktu, menjelaskan kebenaran-kebenaran itu kepadanya. Untuk mengungkapkan rasa syukur ini, dia bersikeras kepada Dr Shoreibah dan saya mengundang makan siang di toko makanan Kosher Yahudi di mana ia selalu pergi untuk makan siang. Mr Kostelwitz memberitahu kami bahwa ia ingin melebihi daripada apa pun itu untuk memeluk Islam, tetapi ia takut ia tidak bisa menahan tekanan dan kezaliman yang ia harus terima dari keluarga dan teman-temannya. Aku menyuruhnya untuk berdoa kepada Allah untuk membantu dan memberikan kekuatan, dan ia berjanji bahwa ia akan melakukannya. Ketika ia meninggalkan kami, aku merasa terhormat telah berbicara dengan orang yang baik dan penuh kelembutan. Q: Apa Dampak Islam terhadap hidup Anda? J: Dalam Islam, pencarian saya untuk nilai-nilai absolut begitu memuaskan. Dalam Islam saya menemukan semua kebenaran, baik dan indah dan yang memberikan arti dan arah bagi kehidupan manusia (dan kematian), sedangkan dalam agama-agama lain, Kebenaran adalah cacat, menyimpang, terbatas dan fragmentaris. Jika ada orang yang memilih untuk bertanya padaku bagaimana aku tahu ini, saya hanya bisa menjawab bahwa pengalaman hidup pribadi saya sudah cukup untuk meyakinkan saya. kepatuhan saya kepada iman Islam adalah suatu keyakinan, tenang sejuk tetapi sangat intens. Saya memilikinya, saya percaya, selalu berusaha untuk menjadi seorang Muslim di hati dengan perilaku, bahkan sebelum aku tahu ada hal seperti itu sebagaimana dalam Islam. konversi saya terutama formalitas, tidak melibatkan perubahan radikal sama sekali dalam hati saya melainkan hanya membuat resmi apa saja yang telah terpikirkan dan dirindukan selama bertahun-tahun. (cahyaiman.wordpress.com)

Mark Hanson, Menemukan Islam Lewat Makna Kematian

Republika.co.id - Beberapa hari setelah serangan terhadap menara kembar World Trade Center (WTC) di New York, seorang agen Biro Penyelidik Federal (FBI) Amerika Serikat menelepon rumah Syekh Hamza Yusuf (Mark Hanson) dengan alasan yang hingga kini belum jelas. "Dia tidak di rumah," kata sang istri. "Saat ini, dia sedang bersama Presiden George W Bush." Tapi, agen FBI tadi tidak begitu saja percaya. Maka, dia segera menghubungi Gedung Putih untuk mengonfirmasi. "Benar. Beliau berada di sini (Gedung Putih)," jawab petugas keamanan kepresidenan di ujung telepon sana. Setelah itu, sang agen tidak pernah lagi menelepon kediaman Syekh Hamza.
Ya, Syekh Hamza Yusuf memang bersama presiden Bush saat itu. Dia datang ke Gedung Putih sebagai perwakilan dari masyakarat Muslim AS bersama sejumlah tokoh lintas agama untuk memberikan masukan serta pemikiran kepada presiden terkait penyikapan terhadap insiden yang terjadi.

Seperti dilaporkan situs The Guardian, Syekh Hamza sempat mengingatkan Presiden Bush bahwa respons Pemerintah AS dengan menggelar pengamanan bertajuk Operation Infinite Justice --yang berterminologi militer-- sangat menyakiti hati umat Muslim. Presiden Bush mendengarkan masukan ini.

Menurut Syekh Hamza, dirinya sangat menyayangkan bahwa Pentagon, sebagai pihak yang memilih tajuk operasi pengamanan itu, kurang memahami masalah ini karena tidak memiliki staf yang memahami isu-isu keagamaan. Atas keberatan tersebut, Pemerintah AS pun mengganti sebutan tadi.

Syekh Hamza Yusuf, yang juga dikenal dengan Imam Hamza Yusuf, bukanlah orang sembarangan. Di AS, dia merupakan salah seorang cendekiawan, ulama, dan tokoh Muslim AS yang sangat disegani. Kiprahnya tidak hanya pada bidang agama, namun juga pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Inilah yang membuat Pemerintah AS memilihnya untuk mewakili umat Muslim dan bertemu dengan presiden George W Bush.

Ketika gencar sorotan terhadap umat Islam usai kejadian 11 September 2001, Syekh Hamza berdiri di baris depan sebagai tokoh yang gencar menentang cara-cara kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Maka itu, pemikirannya kerap berseberangan dengan sebagian kalangan yang beraliran radikal.

Dalam berbagai kesempatan, Syekh Hamza senantiasa memperingatkan umat Muslim agar memahami Islam dengan baik, kembali kepada akidah yang murni, serta menjauhi jalan kekerasan, intoleransi, dan kebencian. "Ini harus menjadi perhatian umat Islam dan harus menjadi bagian hidupnya kendati dia tinggal di negara non-Muslim dan kerap mengalami diskriminasi. Tunjukkan bahwa Islam itu ramah dan toleran," tegasnya.

Pemikirannya ini tentu tidak bisa dilepaskan dari latar belakang keislamannya. Di sini, mungkin orang akan kaget ketika mengetahui bahwa sejatinya Syekh Hamza adalah mualaf. Pria kelahiran Wala-wala, negara bagian Washington, tahun 1960 itu bernama asli Mark Hanson.

Orang tuanya merupakan dua akademisi ternama di AS. Ayahnya adalah profesor bidang filosofi, sementara ibundanya adalah pakar bidang lingkungan. Tak heran bila jiwa kecendekiawanan sudah mengalir dalam darahnya.

Masa kecil Mark Hanson pun dilingkupi semangat pendidikan serta ilmu pengetahuan. Saat beranjak dewasa, dia dimasukkan ke sekolah Kristen. Hingga pada suatu hari, tahun 1977, usianya sekitar 17 tahun, Mark mengalami kecelakaan hebat. Kepalanya terbentur keras yang hampir saja merenggut nyawanya.

Mark tak pernah melupakan peristiwa itu. Dia merenung, yang pada akhirnya membawa dirinya tertambat pada satu pertanyaan krusial tentang kematian. "Saya merasa mengalami konfrontasi dengan kematian. Inilah yang membuat saya melakukan refleksi diri, introspeksi, dan menyelami lebih dalam tentang kematian. Apa dan bagaimana sesudah mati," kata Syekh Hamza dalam laman pribadinya.

Pergulatan itu yang terjadi pada diri Syekh Hamza. Introspeksinya lantas bersinggungan dengan unsur agama, yang dari pengakuannya, hal itu tidak bisa terhindarkan manakala dia pernah mendalami agama di sekolah seminari. Dari situlah, ayah lima anak ini memulai pencariannya akan makna kematian.

Mark Hanson menggali berbagai hal mengenai kematian dan kehidupan setelah mati dari Injil dan literaturliteratur Nasrani lainnya. Cukup lama waktu yang dihabiskannya, namun belum juga merasa tercerahkan dan menemukan jawaban dari keingintahuannya. Dia pun memutuskan mempelajari dari sumber agama lain, termasuk Islam, sebagai perbandingan.

Dan, Islam-lah yang membuatnya takjub. Syekh Hamza menguraikan, "Tidak ada penjelasan lebih detail dan mendalam menyangkut hal-hal yang terjadi setelah kematian seperti tercantum dalam literatur Islam. Ini sungguh menakjubkan.

"Islam sangat jelas menguraikan berbagai hal mengenai kematian dan setelahnya. Misalnya, di alam kubur manusia harus menghadapi pertanyaan dari malaikat, adanya hukuman atau pahala bagi tiap-tiap manusia sesuai amal perbuatan, hingga penghitungan di Padang Mahsyar. Sulit menemukan yang terperinci ini dalam agama lain. Islam telah memberikan jawaban yang sangat mencerahkan," papar Syekh Hamza.

Apa yang dia tangkap dari ajaran Islam tentang kematian adalah kehidupan di dunia hanya sementara. Adapun manusia akan mengalami momen yang lebih kekal di akhirat kelak. Jadi, dari perspektifnya, apa yang dilakukan semasa di dunia haruslah berorientasi pada pembekalan diri untuk bersiap memasuki alam akhirat.

Ketertarikannya terhadap Islam semakin besar. Namun, semakin dia belajar tentang Islam, semakin dia mengetahui ada aspek tertentu dari agama ini yang membuatnya harus merenung. Saat itu, pada akhir tahun 70-an, sedang timbul ketegangan di Iran usai tumbangnya rezim Shah hingga menyeret Islam pada stereotipe negatif di kalangan Barat.

Mark Hanson gundah gulana. Untuk satu waktu, dia mengaku tidak ingin menjadi Muslim. Akan tetapi, dia tidak bisa menelikung batinnya untuk terus mendalami agama Islam. "Alhamdulillah, saya telah berulang kali menemukan kebenaran dalam hidup dan kini saya harus memilih, meninggalkan atau menjadi seorang Muslim. Atas rahmat Allah, saya memilih Islam," ujar dia.

Usianya ketika itu belum genap 18 tahun. Namun, Mark sudah berketetapan hati. Dia mengucapkan dua kalimat syahadat dan resmilah menjadi seorang Muslim. Apa yang dilakukannya setelah itu? Mark langsung mengambil Alquran terjemahan dan membacanya terus-menerus. "Sebelumnya, saya tidak pernah membaca Alquran. Begitu membaca beberapa ayat, saya semakin mantap dengan keyakinan saya," tegas Syekh Hamza.

Rasa hausnya akan ilmu agama semakin membuncah. Meski demikian, Mark merasa tidak akan banyak hal yang bisa diperoleh jika terus tinggal di Amerika. Oleh karena itu, dia memilih meneruskan studinya di Inggris.

Menimba ilmu Di negara Eropa tersebut, Mark bergabung dengan komunitas Muslim setempat dan menimba pengetahuan tentang ilmu dan tradisi Islam. Tapi, dia ingin memperoleh lebih, kali ini keinginannya adalah belajar bahasa Arab dan itu harus dicapainya di sumbernya langsung, yaitu dunia Arab.

Kesempatan langka didapat saat bertemu Syekh Abdullah Ali Mahmoud, seorang faqih dan alim sekaligus tokoh spiritual dari Uni Emirat Arab. Melihat semangat Mark yang meletup-letup untuk belajar bahasa Arab dan agama, Syekh Abdullah bersedia memfasilitasinya untuk belajar di UEA.

Sejumlah madrasah terkenal tercatat pernah menjadi tempatnya menekuni agama dan bahasa, seperti Ma'had al Islami, Islamic Institute di al-Ain, dan lainnya. Di samping itu, sederet ulama berpengaruh pun pernah menjadi gurunya, misalnya Syekh Ahmad Badawi untuk ilmu hadis, Syekh Hamid untuk bahasa Arab, Syekh Abdullah Ould Siddiq untuk bidang ilmu fikih, serta masih banyak lagi. (Red: irf)

Pekerja Kasino itu Memutuskan Menjadi Mualaf

Republika.co.id - DUBLIN, Hidayah itu datang melalui Mou, gadis sederhana yang dikenal Sergio Corcoles tahun lalu. Sergio, sehari-hari bekerja di sebuah kasino di Dublin, Irlandia, merasa ada yang kurang di hatinya, dan segera terisi setelah berkenalan dengan Muo dan agamanya, Islam.
Maka usai bekerja, ia selalu menyambangi masjid terdekat. Pria yang tinggal di kawasan Castleknock inipun makin mantap dengan pilihannya. "Meski cinta pada Muo yang membimbing saya pada Islam, namun saya mantap dengan pilihan keyakinan saya saat ini, dengan atau tanpa Mou," ujarnya.

Sergio dibesarkan dengan tradisi Katholik di Spanyol. Islam dikenalnya saat masih tinggal di Madrid. Saat menjadi imigran di Dublin, ia makin mengenal dan bersimpati pada agama ini. Hingga akhirnya ia mengenal Mou yang membawanya makin dalam mengenal Islam.

"Dia tak pernah memaksa saya tentang agamanya. Bahkan ketika saya berkata padanya hendak masuk Islam, ia yang meminta saya berpikir ulang tentang keputusan ini," ujarnya.

Sergio kemudian berkomunikasi secara intens dengan imam Al-Mustafa Islamic Center di Dublin, Syekh Umar Al Qadri. Akhirnya, ia mantap dengan pilihannya. "Saya bangga menjadi bagian dari komunitas Muslim di Dublin. Mereka beda dengan yang lain, sangat inklusif," ujarnya.

Menurutnya, Islam memberikan "tali" yang bisa dipegangnya. "Sebelum sesuatu yang buruk menimpa saya, saya sudah berpegangan padanya (Islam) dan selalu memohon pada Allah agar membuka tangan-Nya untuk menerima saya," ujar Sergio yang kini tengah berusaha mencari pekerjaan lain. nIrish Independent (Red: siwi | Sumber: Irish Independent)

Karen Meek, Lima Bulan Menjelang Pernikahan, Membawanya ke Islam

Eramuslim.com - Lima bulan sebelum hari pernikahannya, Karen Meek shock mendengar pengakuan Eric, tunangannya. Eric mengatakan bahwa ia sudah menjadi seorang Muslim. Pengakuan itu bagai petir di siang bolong buat Karen yang seperti warga Rusia lainnya, tidak menganut agama apapun alias ateis.
"Saya pikir ia (Eric) sudah mengalami cuci otak. Tiba-tiba saja ia berhenti minum minuman beralkohol. Ia salat lima waktu sehari dan tidak mau lagi makan daging babi," cerita Karen tentang perubahan perilaku tunangannya.
Sementara Eric, yang semula penganut Kristen Baptis, tapi kemudian menjadi seorang atheis, selama berbulan-bulan mempelajari Islam tanpa memberitahu Karen, hingga akhirnya ia memutuskan menjadi seorang Muslim.
Meski shock Karen tetap ingin melanjutkan rencana pernikahannya dengan Eric. Karen lalu mencari berbagai referensi, mulai dari buku sampai video tentang Islam, untuk memahami agama baru yang dianut calon suaminya. Tapi ia sama sekali tidak berharap akan masuk Islam.
"Saya tumbuh dewasa dengan pola pikir bahwa agama adalah sesuatu yang bodoh. Saya tidak percaya adanya Tuhan. Saya tidak memikirkan bagaimana dunia ini diciptakan, dan terus terang, saya tidak peduli," ujar Karen.
Namun Karen mengakui bahwa agama Islam memberikan penjelasan paling logis tentang Tuhan dan penciptaan alam semesta dan sulit bagi Karen membantahnya.
Karen akhirnya menikah dengan Eric. Ia masih terus mempelajari Islam dan untuk pertamakalinya ia mencoba menunaikan salat, saat suaminya bekerja di kantor. Ia belajar salat sendiri dari sebuah buku.
"Sampai pada titik ini, saya melakukan segala sesuatunya dengan diam-diam. Saya tidak cerita pada Eric. Saya tidak mau memeluk agama hanya karena suami saya memeluk sebuah agama. Saya ingin menemukan jalan saya sendiri," ungkap Karen.
"Karena berlatar belakang atheis, saya lebih mudah menerima Islam dibandingkan seorang Kristiani, karena dalam hal ini saya tidak perlu melepas agama apapun," sambungnya.
Karen dan suaminya mulai sering melakukan pertemuan dengan komunitas Muslim untuk belajar Al-Quran. Hingga akhirnya, Karen membulatkan tekad untuk mengikuti jejak suaminya memeluk agama Islam. Karen pun mengucapkan dua kalimat syahadat dan resmi menjadi seorang muslimah.
Tapi pilihan Karen membuat orang tuanya kaget. "Suatu hari, ia datang dengan mengenakan gaun panjang dan jilbab. Saya terkejut dibuatnya," kata ayah Karen, Ray Alfred.
Alfred mengaku merasa asing melihat anak perempuannya ketika itu dan ia merasa khawatir dengan keselamatan Karen saat terjadi serangan 11 September 2001 di AS.
"Anda ingin mencintai anak Anda, tapi ketika mereka melakukan sesuatu yang asing bagi Anda. Hal ini sangat sulit," ujar Alfred, "Saya akan memberikan apa saja asalkan ia tidak memeluk agama itu (Islam)."
Ibu Karen mengungkapkan komentar serupa, yang terus terang mengatakan bahwa ia tidak suka dengan jilbab yang digunakan puterinya. "Karen adalah seorang gadis cantik dengan rambut yang indah," kata Jane Barret.
Karen memahami kegundahan kedua orang tuanya mendengar ia sudah menjadi seorang muslimah dan mengenakan busana muslim. Karena sendiri mengaku butuh waktu berbulan-bulan sebelum ia memutuskan untuk berjilbab.
"Saya hanya memakai jilbab jika pergi ke tempat-tempat yang saya rasa tidak akan ada orang yang mengenal saya," ujar Karen sambil tertawa.
Tapi sekarang, Karen selalu mengenakan jilbab kemanapun ia pergi, termasuk ke tempat kerjanya dimana ia bekerja sebagai staf akuntan di sebuah jaringan restoran.
Karen mengatakan, memeluk Islam telah membuatnya melihat kehidupan dengan cara pandang yang baru. "Dari seorang yang tidak percaya Tuhan menjadi orang yang percaya Tuhan, rasanya sungguh luar biasa. Islam membuka mata saya terhadap banyak hal yang selama ini saya abaikan. Terutama, bahwa kehidupan adalah sebuah karunia," tukas Karen menutup kisahnya. (ln/MCC)

Rabu, 13 Maret 2013

Jacques Yves Costeau, Penemu Sungai Dalam Laut Itu Pun Masuk Islam

Artikelislami.wordpress.com - Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain masin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi. (Q.S Al Furqan:53) Jika Anda termasuk orang yang gemar menonton acara TV `Discovery Chanel’ pasti kenal Mr. Jacques Yves Costeau, ia seorang ahli Oceanografer dan ahli selam terkemuka dari Perancis. Orang tua yang berambut putih ini sepanjang hidupnya menyelam ke berbagai dasar samudera di seantero dunia dan membuat film dokumenter tentang keindahan alam dasar laut untuk ditonton oleh seluruh dunia.
Pada suatu hari ketika sedang melakukan eksplorasi di bawah laut, tiba-tiba Captain Jacques Yves Costeau menemui beberapa kumpulan mata air tawar-segar yang sangat sedap rasanya karena tidak bercampur/tidak melebur dengan air laut yang asin di sekelilingnya, seolah-olah ada dinding atau membran yang membatasi keduanya.
Fenomena ganjil itu membuat bingung Mr. Costeau dan mendorongnya untuk mencari tahu penyebab terpisahnya air tawar dari air asin di tengah-tengah lautan. Ia mulai berpikir, jangan-jangan itu hanya halusinansi atau khalayan sewaktu menyelam. Waktu pun terus berlalu setelah kejadian tersebut, namun ia tak kunjung mendapatkan jawaban yang memuaskan tentang fenomena ganjil tersebut.
Sampai pada suatu hari ia bertemu dengan seorang profesor muslim, kemudian ia pun menceritakan fenomena ganjil itu. Profesor itu teringat pada ayat Al Quran tentang bertemunya dua lautan (surat Ar-Rahman ayat 19-20) yang sering diidentikkan dengan Terusan Suez. Ayat itu berbunyi “Marajal bahraini yaltaqiyaan, bainahumaa barzakhun laayabghiyaan…” Artinya: “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing.” Kemudian dibacakan surat Al Furqan ayat 53 di atas.
Selain itu, dalam beberapa kitab tafsir, ayat tentang bertemunya dua lautan tapi tak bercampur airnya diartikan sebagai lokasi muara sungai, di mana terjadi pertemuan antara air tawar dari sungai dan air asin dari laut. Namun tafsir itu tidak menjelaskan ayat berikutnya dari surat Ar-Rahman ayat 22 yang berbunyi “Yakhruju minhuma lu’lu`u wal marjaan” Artinya “Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.” Padahal di muara sungai tidak ditemukan mutiara.
Terpesonalah Mr. Costeau mendengar ayat-ayat Al Qur’an itu, melebihi kekagumannya melihat keajaiban pemandangan yang pernah dilihatnya di lautan yang dalam. Al Qur’an ini mustahil disusun oleh Muhammad yang hidup di abad ke tujuh, suatu zaman saat belum ada peralatan selam yang canggih untuk mencapai lokasi yang jauh terpencil di kedalaman samudera.
Benar-benar suatu mukjizat, berita tentang fenomena ganjil 14 abad yang silam akhirnya terbukti pada abad 20. Mr. Costeau pun berkata bahwa Al Qur’an memang sesungguhnya kitab suci yang berisi firman Allah, yang seluruh kandungannya mutlak benar. Dengan seketika dia pun memeluk Islam.
Subhanallah… Mr. Costeau mendapat hidayah melalui fenomena teknologi kelautan. Maha Benar Allah yang Maha Agung. Shadaqallahu Al `Azhim. Rasulullah s.a.w. bersabda:
Sesungguhnya hati manusia akan berkarat sebagaimana besi yang dikaratkan oleh air.” Bila seorang bertanya, “Apakah caranya untuk menjadikan hati-hati ini bersih kembali? Rasulullah s.a.w. bersabda,Selalulah ingat mati dan membaca Al Quran.
Wallahu a’lam.

Abdul Aziz Myatt : Al-Qur'an adalah Ajaran yang Masuk Akal

Kotasantri.com - Indra Widjaja - Sebagai seorang aktivis kelompok sayap kiri dan pendukung Neo-Nazi, lelaki asal Inggris ini menempuh perjalanan panjang dan berliku, sebelum akhirnya memutuskan untuk memeluk agama Islam. Ego sebagai bagian dari masyarakat Barat yang modern dan maju, menghalanginya untuk menemukan cahaya Islam. Namun ia yakin, Allah SWT telah membimbing dan memberikannya hidayah, hingga ia masuk ke sebuah masjid, mengucapkan dua kalimat syahadat, dan menjadi seorang Muslim dengan nama Abdul Aziz Myatt.
Perkenalan Myatt dengan Islam berawal ketika ia berlibur ke Mesir. Di negeri Piramida itu, ia berkunjung ke sebuah masjid dan hatinya tersentuh dengan keindahan suara adzan yang dilantunkan dari masjid itu, meski ia belum mengerti apa itu adzan. Sejak itu, Myatt mulai ingin tahu tentang Islam dan setiap berlibur ke Mesir, ia mencari kesempatan untuk berbincang-bincang dengan Muslim Mesir dan menanyakan tentang agama mereka.
Myatt juga membeli sebuah Al-Qur'an, membacanya sedikit demi sedikit, hingga ia berkesimpulan bahwa ajaran Al-Qur'an adalah ajaran yang masuk akal dan makin membuatnya kagum dengan Islam dan umat Islam.
"Semakin banyak saya bertemu dengan Muslim, saya semakin mengagumi mereka," kata Myatt.
Ketika itu, Myatt tidak langsung berpikiran untuk masuk Islam. Ia masih dikuasai oleh egonya, cara hidupnya sebagai orang Barat, dan dua hal yang membuatnya menahan diri untuk tidak mengapresiasi Islam secara penuh dan mempelajarinya lebih jauh lagi.
Dua hal itu adalah, pertama, karena keyakinannya yang tertanam sejak lama pada alam semesta. Keyakinan bahwa umat manusia adalah milik dari seorang "ibu", yaitu "bumi". Kedua, karena budaya bangsanya yang membuatnya merasa lebih mulia dan superior dibandingkan bangsa lainnya. Selama puluhan tahun, Myatt terombang-ambing dalam keyakinan itu, yang ia pikir sebagai sumber dari zat yang suci. Belum lagi posisinya sebagai aktivis kelompok sayap kiri dan Neo-Nazi yang membuat banyak orang, termasuk para wartawan, yang menilainya sebagai politisi yang jahat.
"Ketika itu saya masih bersikap arogan, yang hanya percaya dengan keyakinan saya sendiri dan dalam memahami apa yang telah saya raih," imbuh Myatt.
Hatinya tergerak kembali untuk mulai serius mempelajari Islam ketika ia beralih profesi, mengelola sebuah peternakan. Ia bisa bekerja selama berjam-jam seorang diri. Kedekatannya dengan alam, mengetuk jiwa dan rasa kemanusiaannya. Ia mulai menyadari kesatuan alam semesta dan bagaimana ia menjadi bagian dari semua itu yang diciptakan oleh Tuhan.
Jauh di dasar hatinya, Myatt mengakui bahwa alam semesta ini tidak terjadi secara kebetulan, tapi memang diciptakan. Terkadang keyakinan dan ego lamanya muncul. Ia merasakannya seperti berperang dengan godaan setan. Namun ia makin meyakini di dalam hatinya tentang satu-satunya Sang Maha Pencipta.
"Untuk pertama kalinya saya merasa diri saya begitu kecil. Kemudian tanpa sengaja, saya mengambil Al-Qur'an dari rak buku, Al-Qur'an yang saya beli waktu berkunjung ke Mesir. Saya mulai membacanya dengan seksama. Sebelumnya, saya hanya membolak-balik lembarannya dan membaca sepintas lalu beberapa ayat," tutur Myatt.
"Apa yang saya temukan dalam Al-Qur'an adalah hal-hal yang logis, alasan, kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan keindahan," sambungnya.
Myatt makin tertarik untuk lebih mendalami agama Islam. Ia pun mencari informasi tentang Islam lewat internet dan membaca banyak artikel tentang agama Islam di situs-situs Islam. Dengan melepaskan semua prasangka dan arogansinya, Myatt harus mengakui kalau agama Islam adalah agama yang mulia.
"Saya merasakan menemukan ajaran tentang kemuliaan, rasa hormat, rasa saling percaya, keadilan, kebenaran, kemasyarakatan, mengingat Tuhan setiap hari, disiplin diri, penyikapan terhadap materi dari sisi spiritual, dan pengakuan bahwa kita adalah hamba yang harus mengabdi pada Tuhan," papar Myatt.
Ia juga mempelajari sosok Nabi Muhammad SAW dan kehidupannya. Bagaimana Rasulullah menyebarkan agama Islam dan membentuk sebuah peradaban manusia, yang membuat Myatt terkagum-kagum.
"Bagi saya, ia (Rasulullah) adalah manusia sempurna dan contoh sempurna yang harus kita tiru," tukas Myatt.
Ia melanjutkan, "Semakin banyak saya tahu tentang Islam, semakin banyak keraguan dan pertanyaan dalam diri saya yang terjawab selama hampir 13 tahun belakangan ini. Saya benar-benar merasa bahwa saya akhirnya 'pulang ke rumah', menemukan jati diri saya. Rasanya seperti ketika saya pertama kali tiba di Mesir dan berkeliling kota Kairo dengan menara-menara masjid dan suara adzannya."
Myatt merasa bahwa hijrahnya ke agama Islam bukan sebuah pertanyaan lagi, tapi sebuah tugas yang harus dilakukan. Karena saya telah menemukan kebenaran bahwa Tiada Tuhan Selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusanNYa.
Myatt kemudian mendatangi sebuah masjid dan menyatakan ingin menjadi seorang Muslim. Ia diterima oleh jama'ah masjid dengan hangat dan penuh rasa persaudaraan, yang membuatnya terharu dan meneteskan air mata. Ia bersyukur Allah SWT telah menunjukannya jalan yang benar.
Penulis Indra Widjaja
 
Dari mualaf.com

Jared: Kebenaran Itu Ada pada Islam

Fiqhislam.com - Jared seorang penganut Kristen. Namun, ia tidaklah menjalani kewajiban sebagaimana penganut Kristen lainnya. Ia hanya memandang ajaran Kristen sebatas tradisi.

"Saya memang merayakan Natal atau Paskah. Tapi urusan spiritual tidak jadi prioritas," kata dia seperti dikutip Onislam.net, Ahad (10/3).

Perkenalannya dengan Islam berawal dengan pemberitaan media massa AS. Saat itu, banyak informasi yang ia dapat. Ini yang membuatnya tidak perlu lagi berkomunikasi dengan Muslim.

Namun, cerita itu berubah ketika ia bekerja di sebuah pasar swalayan di  Fort Collins. Di sana, pandangan negatif tentang Islam yang banyak ia dengar dari pemberitaan media massa AS gugur dengan sendirinya.

"Satu alasan pengetahuan saya tentang Islam adalah karena media massa AS mengatakan pada saya ada orang di luar sana yang mencoba untuk menyakiti saya, dan orang itu disebut Muslim," kata dia.

Ia coba meredam apa yang diketahuinya dengan mempelajari agama dunia Timur. Ia pelajari Hindu, Sikh dan lainnya. Namun, Islam luput dari perhatiannya. Beruntung baginya, ada seorang Muslim yang membantunya untuk mempelajari tentang Islam. Muslim itu memberikannya salinan mushaf Alquran.

"Ketika saya membacanya, saya teringat dengan apa yang disampaikan dalam perjanjian lama," kata dia.

Setelah itu, ia coba untuk menggali lebih dalam. Ketika ia datang, tepat hari Jumat. Saat itu, setiap Muslim begitu sibuk, ada yang tengah membersihkan jalan-jalan, lalu ada yang menyiapkan karpet. Apa yang dilihatnya membuat Jared terkesan.

"Mereka seperti keluarga. Apa yang tengah mereka persiapkan," kata dia.

Dari sekian hal yang berkesan baginya adalah Islam meyakinkannya tentang hakikat kebenaran.  Ini yang tidak didapatkannya ketika bertanya tentang ajaran Kristen kepada pemuka agama.

"Nabi Muhammad sendiri mempersilahkan kita untuk bertanya tentang kebenaran Islam," kata dia.

Dari perbincangan itu, ia menyimpulkan, Islam adalah agama yang tepat. Tak lama, ia pun mengucapkan dua kalimat syahadat.

Usai mengucapkan syahadat, ia mencoba untuk memberitahu orang tuanya terkait keputusannya menjadi Muslim. Diawal, orang tua Jared tidak berkenan dengan keputusan buah hatinya itu. "Ibu saya selalu mengatakan Islam itu agama teroris. Hingga saat ini, ibuku belum menerima keputusanku," kata dia.

Meski begitu, hubungan kurang harmonis dengan orang tuanya tidak berdampak pada kerabatnya yang lain. Dalam setiap kesempatan, Jared selalu menjelaskan identitasnya. Ia katakan tidak lagi mengkonsumsi daging babi atau menenggak alkohol.

"Saya selalu mencoba untuk memberitahu siapa saya, dan tidak ada perubahan apapun terkait identitas baru saya," kata dia.

Itu pula yang dilakukannya di lingkungan pekerjaan. Ia selalu mencoba menjelaskan identitasnya sebagai Muslim. Ia tolak untuk menjual daging babi dan alkohol, kendati itu adalah tugasnya. "Saya akan melakukan apapun untuk tidak melanggar apa yang ditetapkan agamaku," tegasnya.
[yy/
republika.co.id]

Senin, 11 Maret 2013

Rasheed: Tetap ke Gereja, Tapi Menunaikan Shalat dan Tidak Makan Babi

Nama saya adalah Rasheed. Saya berasal dari Florida, Amerika. Usia saya 24 tahun. Saya memeluk Islam ketika berusia 17 tahun, yaitu pada tahun 2004. Kini saya bekerja sebagai teknisi makmal optikal.
Secara umumnya saya seperti anak-anak gereja yang lain, saya dibesarkan di Gereja Utara Baptist. Saya sering ke gereja; mempelajari Injil dan servis, maka saya kenal dengan Injil saya. Saya tidak punya pengetahuan yang luas, tetapi dalam usia 13 hingga 17 saya dihitung agak berpengetahuan.
Bagaimana saya memandang Islam
Sebelum saya memeluk agama Islam, saya merupakan penganut Kristen Trinitarian, sebagai seorang Baptis Utara, saya memang memegang kuat ajarannya. Saya tidak mengetahui banyak mengenai Islam. Mungkin karena kesan negatif yang digambarkan oleh media berkaitan Islam. Maka saya tidak berminat dengan Islam, takut dengan apa yang mungkin saya ketahui. Saya hanya bersandarkan kepada apa yang diberikan oleh berita-berita.
Saya tidak begitu mengetahui Islam, tetapi saya melakukan penelitian ke atas agama lain seperti Buddha dan Hindu, dan itupun karena rasa ingin tahu dan minat yang murni terhadap budaya Timur. Besar dalam kepercayaan Kristen, ketika mempelajari Injil, anda akan menemui informasi dasar berkaitan Judaisme karena Perjanjian Lama lama bergabung di dalam Injil. Maka saya mengetahui sedikit berkaitan Judaisme, ajaran dasar Hindu dan Buddha, sedikit berkaitan Taoisme, dan Shinto. Saya melakukan penelitian sedikit banyak atas ajaran-ajaran agama dunia.
Saya tidak pernah melakukan perjalanan untuk mencari kebenaran karena saya telah dibesarkan dalam gereja yang saya rasakan punya kepercayaan yang bisa saya pegang. Apa yang sebenarnya sedang terjadi waktu itu adalah ada seorang pria yang baru masuk Islam. Kami berkawan baik pada waktu itu. Dibesarkan dalam Kristen, dan memandangkan dia meninggalkan agama kami, saya merasa tersinggung dan timbul rasa yang kuat untuk membawanya pulang ke agama Kristen. Tanpa mengetahui apa-apa tentang Islam.
Saya berusaha keras, dan oleh karena itu saya akhirnya melakukan penelitian tentang Islam secara sendirian, dan juga bertanya kepadanya.Kami melakukan berbagai pembahasan berkaitan hal-hal doktrin. Kami berbincang, dan dia akan mengajar saya semua aspek Islam. Apa yang ingin saya katakan ialah, dulu memang saya tidak mengetahuinya, ia masuk akal, dan saya tidak dapat berkata apa-apa. Sebagai kesimpulan upaya saya untuk menyeretnya kembali menjadi kebalikan, malah dia yang membawa saya kepada Islam. Alhamdulillah.
Kehidupan selepas Islam
Saya secara jujur bisa mengatakan bahwa kehidupan saya tidak banyak berubah karena cara saya dibesarkan. Saya biasa ke gereja. Makanya cara hidup tidak begitu berubah. Kecuali kini saya menunaikan shalat dan tidak lagi makan babi. Saya tidak pernah minum alkohol, makanya saya tidak merasa kehilangan.
Mempercayai Tuhan memang terdapat dalam ajaran Trinitarian, saya memang menerimanya sejak dari mula. Sebenarnya saya tidak begitu memahaminya. Jika anda tidak mempercayainya, bagaimana anda bisa mengatakan bahwa anda percaya kepadanya?
Sebenarnya saya tidak pernah menyakini konsep Trinitas. Saya percaya bahwa memang Tuhan itu wujud, apa yang berubah ialah kepercayaan saya kepada Nabi Isa as. Hubungannya dengan Tuhan, hubungannya dengan kita. Itulah yang berubah.
Cara hidup yang sempurna
Dari kedalaman hati saya bisa mengatakan lakukanlah, karena bagi saya Islam merupakan cara hidup yang harus diikuti oleh manusia. Ia merupakan cara hidup yang lengkap yang tidak akan temui dalam agama lain. Ia merupakan ajaran yang paling logik yang tidak akan anda temui dalam agama lain. Ia merupakan sesuatu yang masuk akal, cara hidup yang telah dianjurkan dan digalakkan oleh Tuhan merupakan cara hidup yang sempurna.
Nasihat saya ialah anda harus memastikan bahwa itulah yang anda inginkan dalam hidup ini dan lakukanlah. Jangan bimbang dan percayalah kepada Tuhan. SEandainya anda punya rekan-rekan muslim yang sedang mengajari anda, jangan malu; atau ragu-ragu, minta mereka bawa anda ke masjid tempat mereka pergi, berbincanglah dengan imam mereka atau orang-orang yang punya pengetahuan tentang Islam.
Jika anda telah memilih jalan ini, tahniah. Saya akan mendoakan semoga anda terus mendapat bimbingan dan kejayaan dalam hidup ini dan hidup di akhirat kelak; sebuah kehidupan yang benar.
Nasihat saya ialah; berwaspadalah dari mana anda mendapat informasi. Jangan segera mengikuti sembarang mazhab dengan slogan atau semacamnya. Pelajari informasi yang anda dapati, berjalan lambat; ia merupakan awal perjalanan. Anda baru saja mulai. Anda tidak bisa mencapai kebenaran akhir hanya setahun atau sedemikian. Ambil waktu anda. Senantiasa pastikan bahwa niat anda bersih, dan apa saja anda lakukan adalah demi Tuhan, dan berdoalah.
Saya berharap apa yang saya sampaikan akan memberi manfaat kepada anda. InsyaAllahmemberikan inspirasi untuk anda memeluk Islam serta mencapai kemajuan dalam menuju jalan ini. (IRIB Indonesia/onislam.net)