Rabu, 09 Januari 2013

Vanni, "Anak Band" Filipina yang Jatuh Hati pada Islam

Ia minta dipanggil Vanni saja. Usianya kini 29 tahun. Sejak kecil, ia menjadi anggota tetap paduan suara di gerejanya, menjadi anggota Parish Youth Ministry, dan kemudian bermusik.

Menginjak remaja, lajang yang kini tinggal di Manila ini bercita-cita menjadi pastor. Ia giat mendalami agama dan banyak berdiskusi dengan pastor senior, antara lain Pastor Benjie. Dari dia pula, ia mengenal Islam pertama kalinya. "Bapa Benjie menceritakan bahwa dalam Islam memuliakan Yesus dan juga ibunya, maria," ujarnya.

Menjelang lulus sekolah menengah, ia semakin banyak menghabiskan waktu di gereja. Ia bulat bercita-cita sebagai pelayan Tuhan.

Namun, ia mengaku, tanda tanya muncul kemudian. "Mengapa dalam kepercayaan Katolik dan juga Kristen, kami lebih banyak bicara soal Yesus? Mengapa bukan Yaweh, Sang pencipta?" ujarnya. Ia berhenti bertanya karena tak ada jawaban yang memuaskannya.

Suatu hari, ia terlibat pembicaraan dengan drummer di band yang dipimpinnya. Sang drummer baru balik Islam, bahasa Filipina untuk orang yang memasuki agama Islam. "Saya tertawa ketika dia bilang alasan kepindahan keyakinannya karena dia mulai kehilangan kepercayaan pada Yesus," ujarnya.

Sang teman, tak menceritakan lebih jauh soal itu, dengan alasan beragama adalah soal keyakinan pribadi.

Vanni yang penasaran, mencari jawabannya sendiri. ia meminjam buku-buku keislaman dari pegawainya yang beragama Islam. Ia juga membeli dua buku yang menurutnya 'sangat mencerahkan', yaitu Christ in Islamkarya Shaykh Deedat dan Islam in Focus, karya Hammudah Abdalati.

Seumur hidupnya bertanya doal Tuhan, baru dalam buku itulah ia menemukan jawaban. Ia makin giat menggali kandungan Islam. Hingga di satu titik, ia berpendapat sama dengan temannya yang lebih dulu berislam.

Ibunya berduka saat ia mengemukakan keinginannya untuk masuk Islam. Teman-temannya juga mencemoohnya. Bahkan, utusan gereja dikirim padanya khusus untuk menyadarkannya. "Namun saya bilang pada mereka, 'Jika kalian bisa menjawab dengan memuaskan pertanyaan saya, maka saya akan menghentikan niat saya'," ujarnya. Mereka semua menggeleng dan pulang.

Apa yang ditanyakannya? Vanni hanya melontarkan satu pertanyaan, "Apakah Yesus pernah mengklaim dirinya Tuhan di hadapan para jamaahnya?"

Ia bulat berislam. Demi menghindari gejolak, ia terbang ke Dubai, menemui sepupunya yang telah lebih dulu menjadi Muslim. Di kota itu, ia bersyahadat di depan ulama setempat yang berdarah Filipina.

"Saya berislam tanggal 23 Mei 2008 setelah hampir setahun persis saya mempelajari Islam," katanya, yang mengaku masih belajar Islam antara lain melalui situs Islamweb.net. (IRIB Indonesia/Republika)

Kisah Ibu dan Anak yang Sama-sama Mencari Tuhan dan Menemukannya dalam Islam

Biasanya di Barat, adalah anak dan bukan orang tuanya yang menjadi mualaf. Tidak demikian dengan Aisha dan Phildel, anaknya. Aisha, keturunan Irlandia, suatu hari memutuskan bahwa dia harus memeluk Islam apapun resikonya. termasuk, kemungkinan akan membuat Phildel, putri semata wayangnya, kecewa.

Di sisi lain, Phildel merasakan hal yang sama. Pencariannya tentang Tuhan, berujung pada Islam. Berikut kisah keduanya:
Aisha: Aku dilahirkan dalam sebuah keluarga Katolik Roma di Dublin pada tahun 1960-an. Sementara Dublin tampak seolah 'terjebak' di abad ke-19, tepat di seberang Laut Irlandia budaya hippie tumbuh subur di London. Sebagai seorang anak, saya bertanya banyak pertanyaan selama pendidikan di sekolah biara. Diskusi agama selain Katolik Roma atau "kejahatan Protestantisme" benar-benar tidak ada.

Pada usia 16 tahun aku meninggalkan Dublin dan datang ke London. Aku larut dalam kebiasaan anak muda yang 'normal' di kota itu: melakukan kunjungan rutin ke pub dan klub. Tapi aku melihat teman-temanku selalu depresi.

usia 20-an tahun, aku memutuskan menikah dan melahirkan putri pertamayang jelita, Phildel. Aku sangat senang tetapi sering merasa seperti sebuah pasak persegi di lubang bundar; seolah-olah aku masih belum menemukan tempat yang tepat bagiku.

Suatu hari aku berbicara dengan seorang wanita mengenakan jilbab. Dia bilang dirinya Muslim dan itu adalah pertama kalinya aku pernah mendengar kata itu. Pada perkembangan berikutnya, di tempat kerja, saya mengenal beberapa Muslim dan mereka mulai bercerita lebih banyak tentang Islam.

Suatu malam aku menemukan diriku berjalan di jalanan dengan Phildel di bawah hujan dan tak tahu harus kemana, setelah bertengkar hebat dengan suamiku dan kami diusir. Aku ingat mengangkat mataku ke langit dan memohon pada Tuhan untuk membantuku entah bagaimana atau memberiku suatu pertanda kalau Dia ada. Entah bagaimana caranya, kami sampai di sebuah rumah yang ternayata milik perempuan berjilbab yang pertama kali aku mengenal Islam darinya!

Setelah menemukan rumah sendiri, aku mulai belajar Islam. Lama aku mempelajarinya, sebelum akhirnya yakin, Islamlah agama yang pas buatku. Phildel membuatku maju-mundur untuk bersyahadat, namun akhirnya aku kuatkan hati dan menjadi Muslim. Aku kini sudah menikah lagi dengan pria Muslim dan memiliki seorang anak dengannya, Amina namanya.
Phildel, yang aku besarkan sebagai seorang Katolik Roma sampai perceraianku, tanpa aku sadari sangat antusias tentang Islam dan mengatakan syahadat sendiri. Dia kemudian memilih nama Zara. Phildel kini memilih tinggal dengan ayahnya.

Phildel: ibuku dan aku sangat dekat, tidak ada seorang pun di dunia ini yang aku cintai selain dia. Pada tahun-tahun menjelang perceraian orang tuaku, kami menghabiskan lebih banyak waktu di sekitar keluarga Muslim.

Setelah perceraian kehidupan kami menjadi semakin sulit; pernikahan orang tuaku mencapai titik yang paling bergolak dan aku lebih dari lega ketika seluruh cobaan berat itu berakhir. Aku menandai perubahan yang positif dalam diri ibu dan ayah saya segera setelah mereka berpisah. Saya pikir sekitar waktu ini ibu saya mengalami pengalaman yang membangkitkan semangat luar biasa di rumah seorang teman dan kemudian menjadi seorang Muslim.

Aku? Meskipun aku tidak pernah dipaksa untuk menjadi seorang Muslim, saya menyadari langkahku menjadi Muslim adalah hasil pengaruh lingkungan. Aku tumbuh di sekitar keluarga Muslim, maka secara tak langsung pikiranku ternegaruh. Itulah sebabnya, setelah bersyahadat, aku sempat kembali ke agama lama; hanya untuk meyakinkanku agama apa sebetulnya yang dipilih hatiku.

Kini aku tinggal terpisah dari ibu - aku tinggal bersama ayah kandungku - dan berpikir Islam adalah agama yang indah. Aku senang membantu di masjid dan berbicara dengan saudara-saudara Muslimku. Kurasa aku hanya ingin mengalami sesuatu yang membuatku tahu ini adalah arah yang perlu aku ambil, arah yang benar, yaitu menjadi Muslim.
Jadi sampai sekarang aku masih belajar. (IRIB/Republika)

Kisah Sulaiman, Atheis yang Menemukan Islam Lewat Ramadhan

Ketika Sulaiman, pertama kali datang ke Bahrain, ia mengharapkan bisa menemui adat-istiadat Timur Tengah. Ternyata harapannya sulit terwujud.

Sebaliknya, Sulaiman menemui dirinya dikelilingi orang asing dari berbagai macam kebangsaan dan keyakinan. Mereka di sana untuk bekerja, untuk mencapai cita-cita masing-masing. "Itu bukan yang saya harapkan, bukan budaya yang ingin saya jumpai," ujarnya.

Jadi, untuk beberapa waktu, Islam tertutupi dari orang-orang yang datang ke Teluk. Bagi Sulaiman, dalam beberapa waktu hidupnya ia tidak menemukan apa pun tentang Islam.

"Saya mendengar Adhzan dan saya pikir ini sangat indah," ungkapnya. Sulaiman sempat bertanya apa makna kata-kata tersebut. Orang-orang pun memberitahunya. Namun sejauh itu, semua hanya informasi. "Yang terasa bagi saya sekedar turisme," tuturnya.

Ramadan di Turki

Sepuluh tahun lalu setelah ia bepergian ke Bahrain menuju Shorjah, lalu Irak, akhirnya ia sampai di Turki, di mana ia menemukan sesuatu yang berbeda. "Itu bukan berarti Islam terlihat lebih baik dan lebih agung di Turki, tidak sama sekali. Faktanya, secara menyedihkan Islam di Turki di tekan di banyak aspek," ungkapnya.

Saat berada di negara itu, Sulaiman menemukan banyak hal luar biasa, salah satunya arsitektur Islam dari periode Ottoman yang ia anggap sangat indah. "Tak butuh waktu lama hingga saya bisa mengenal orang-orang di Turki dengan baik," tuturnya.

Lalu tibalah Ramadhan, sesuatu yang ia saksikan berulang kali di Teluk dan lewat begitu saja, tak ada yang berkesan. Tapi di Turki Sulaiman merasakan hal berbeda. "Saya merasakan sesuatu yang lin. Segera saya sadari bahwa mereka yang berpuasa saat Ramadhan adalah orang-orang yang saya kenal dan saya sukai.

Saat itu ia melihat ada hubungan gamblang antara orang-orang terbaik dengan orang yang berpuasa. Ini menunjukkan pada saya sebagian dari Muslim terbaik dan saya pun tertarik dengan mereka.

Sulaiman tak sekedar tertarik ikut dengan aktivitas mereka. ia pun mulai berpuasa saat Ramadhan meski saat itu ia bukanlah Muslim. "Sungguh membahagiakan di banyak hal, memang sangat menantang di sisi lain, namun sangat menyenangkan," tuturnya.

Sulaiman mengaku menikmati puasa. "Terutama di saat menunggu Adhzan Maghrib dan ketika menunggu dengan diam dan tenang bersama orang-orang lain yang berpuasa sepanjang hari," akunya.

Mereka, meski berpuasa tetap bekerja karena seperti negara bermayoritas Muslim lain, di Turki pun aktivitas publik dan pekerjaan jalan terus. Kenyataan itu memikat Sulaiman, orang-orang berpuasa sepenuhnya dari awal hari hingga senja dan tetap bekerja sepanjang hari.

"Saya juga melakukan itu dan sangat sulit, namun alhamdulillah saya berhasil," ungkapnya. Ia pun terkesan dan merasa melakukan prestasi besar. "Pengalaman itu menginspirasi saya untuk lebih banyak mengkaji Islam," ujarnya.

Membaca Al Quran

Pertama kali membaca ayat-ayat dalam kitab suci Islam, Sulaiman mengaku terpukau. "Karena saya tidak menemukan sesuatu yang asing dalam buku ini," tuturnya.

Ia mendapat terjemahan Al Quran pertamanya saat mulai dekat dengan komunitas Muslim. Kitab suci yang ia terima adalah versi terjemahan Yusuf Ali sehingga ia mampu membaca arti dalam Bahasa Inggris dan memahami maknanya.
Pertama kali membaca ayat-ayat dalam kitab suci Islam, Sulaiman mengaku terpukau. "Karena saya tidak menemukan sesuatu yang asing dalam buku ini," tuturnya

Rupanya ia berpikir kitab itu akan dipenuhi oleh hal-hal berbau mistisisme ketimuran. "Mungkin seperti hal-hal yang orang Barat bisa imajinasikan. Tapi tidak, faktanya saya menyimpulkan isinya jauh berbeda dengan Injil," ujarnya.

Sulaiman mengaku tak pernah bisa memahami Injil. "Injil bagi saya, memiliki banyak kontradiksi, cerita-cerita ganjil yang sepertinya tidak mengadaptasi atau mengantarkan pesan-pesan Kristus," ujarnya. Ia melihat pesan-pesan Yesus tak tercermin di Injil kecuali di beberapa bagian.

Ia pun mengkaji kontradiksi itu lebih dekat dan akhirnya memahami alasannya. "Namun itu bukan lagi hal penting, yang terpenting Al Quran-lah yang sepenuhnya masuk akal,"

Selain membaca Al Qur'an, Sulaiman juga membaca biografi Rasul, kisah kehidupan Nabi Muhammad yan ternyata sungguh menginspirasinya. "Ini sangat menarik karena pria ini adalah pria besar dalam sejarah dan itu fakta. Sesuatu yang bisa saya hubungkan dengan ketertarikan Barat terhadap logika," ujarnya.

Sulaiman terus mengikuti kata hatinya yang kian cenderung pada Islam. "Namun masih belum ada orang yang melakukan dakwa serius kepada saya, tak seorangpun mencoba meyakinkan saya bahwa saya harus berganti jalan menuju jalan lain," ujarnya.

Padahal saat itu keterlibatan Sulaiman dengan kegiatan Islam di komunitas Muslim sudah terlihat. "Jadi saya bisa menyebut diri 'pelajar Islam yang abstrak'. "Saya sebenarnya saat itu bisa saja mengambil studi kajian tentang Islam. Namun itu tak ada nilainya bila anda tak berniat melakukan sesuatu dengan itu, dan sayangnya saya tidak," tutur Sulaiman.

Kembali ke Dubai

Setelah saya kembali dari Turki ke Dubai, oleh Allah Sulaiman ditakdirkan untuk bekerja dengan orang istimewa. "Orang ini yang dulu adalah bos saya kini menjadi sahabat terbaik saya," ujarnya.

"Malam seusai kerja kami akan berdiskusi sambil makan malam. Mungkin juga ketika saat di kantor. Ia akan membantu saya mempelajari hal-hal yang benar dan mengajak saya bertemu orang-orang yang tepat. Ia juga mencoba menjawab beberapa pertanyaan-pertanyaan saya sebaik yang ia bisa," tutur Sulaiman.

Namun, si kawan masih bisa melihat semua keberatan Sulaiman terutama berkaitan dengan logial. "Semua pertanyaan tentang adat dan praktek-praktek ibadah, semua ini keluar dari bawaan sekuler," ungkapnya. Sulaimen mengaku tak pernah benar-benar menjadi seorang Kristen. "Saya hanyalah orang yang agnostik (percaya tuhan tapi tidak percaya agama).

Semua telah digariskan. Setahun kemudian beberapa pria datang padannya, Muslim Eropa. Mereka pengusaha yang tengah memulai proyek besar. Mereka ingin mengenalkan dinar emas Islam sebagai mata uang Muslim. Hingga kini, itu adalah keinginan dan tujuan besar.

Si bos berbicara kepada Sulaiman, "Hei kamu orang keuangan, bagaimana menurutmu tentang ini?" Orang-orang itu adalah Muslim Kaukasia Eropa yang mencoba mengusung aspek praktis tentang islam. Gagasannya, anda tak bisa membayar zakat kecuali dengan dinar emas. Meski ada lima rukun Islam tapi anda mesti menemukan satu alat tepat.
Ia bertanya pada Sulaiman, "Bagaimana menurutmu tentang ide ini?". Sulaiman saat itu telah belajar tentang Islam dan mengetahui maksud rukun tersebut.

Ia menjawab, "Omong kosong, itu tak bisa dilakukan, tak ada yang bisa menguasai sistem keuangan internasional dan itu akan gagal."

Si bos balik menjawab, "Baiklah, mengapa kamu tak kemari dan mengatakan kepada mereka tentang itu."
Sulaiman saat itu dalam mood yang jelek dan sekedar berkata, "Ya tentu, saya akan katakan pada mereka."
Ia diajak sang bos pergi dan bertemu para Muslim Eropa dengan gagasan tadi.

Muslim Eropa dan Syahadatku

Ternyata mereka tak hanya menjawab pertanyaan Sulaiman dari sudut pandang agama, namun mereka juga menjawab dari sudut panjang logika dan ilmiah.

Mereka berkebangsaan Spanyol dan Jerman dan berbahasa Inggris dengan baik. Mereka sangat berpendidikan, bijak dan pengkaji Islam yang beralih menjadi Muslim sekitar 10 atau 20 tahun sebelumnya. Pengetahuan mereka tentang Islam, menurut Sulaiman, sangat besar. "Hingga kini mereka masih melakukan dakwah di penjuru dunia," tuturnya.
Mereka pun berdiskusi. "Kami pergi ke restoran untuk berbincang dan berbincang."

Saat itu Rabu malah di tengah pekan tepat pukul 1.00 dini hari. Mereka berkata pada Sulaiman. "Jadi apakah kamu masih memiliki pertanyaan lagi?"

"Tidak...saya tak punya, saya sudah kehabisan pertanyaan," balas Sulaiman. Merka balik merespon "Kini apa, apakah anda akan menerima Islam?"

"Apa yang bisa saya katakan, saat itu saya hanya bisa menjawab 'Ya'," kata Sulaiman menuturkan situasi malam itu.
Mereka pun mengundang Sulaiman datang ke rumah pada Jumat berikut, dua hari lagi. Saat tiba di sana, rumah dalam kondisi dipersiapkan sangat baik. "Mereka memberi saya pelajaran dan anjuran terakhir, hal-hal yang perlu saya ketahui tentang shalat, wudhu, dan kami pun pergi ke Masjid Jumairah di mana saya mengucapkan syahadat," kenang Sulaiman
Pengalaman berharga yang saat itu ia terima, segera saja ia memiliki ribuan saudara. Mereka memeluk Sulaiman dan bahagia. "Saya tak pernah melihat begitu banyak wajah bahagia, tidak, tak saat di pesta ulang tahun saya, tidak saat perkumpulan Kristen juga dalam pertemuan lain, Di sini banyak orang bahagia dan mereka semua bahagia untuk saya,"
Kini video penuturan Sulaiman bisa diakses di YouTube. Dalam cuplikan itu, Sulaiman berkata, "Kepada mereka yang lahir sebagai Muslim, alhamdulillah anda benar-benar diberkati dan saya hanya berharap anda selalu menghargai dan memperlakukan pemberian itu sebagai hadiah lahir yang sangat besar, yang indah luar biasa.

Bila anda adalah orang yang beralih menjadi Muslim seperti saya, maka selamat pula, alhamdulillah dan selalu bersyukurlah. Saya yakin apa pun kisah anda, apakah itu penemuan tiba-tiba atau penuh dengan argumen menyiksa seperti jalan saya, itu adalah kisah indah dan saya harap telah menuntun anda ke jalan benar.

Bila anda bukan seorang Muslim, lalu saya harus berbagi kepada anda. Lihatlah saya sekarang, hanya seorang pria tua jelek, tapi saya bahagia, lebih bahagia dari sebelumnya dan lebih puas dan lapang ketimbang saya yang pernah ada. Semua keraguan dan ketakutan, semua keinginan dan kerinduan untuk material bodoh, yang fana, tak peduli apa yang saya kumpulkan setelah 70, 80 atau 90 tahun--bila saya beruntung bisa hidup selama itu--akan saya berikan. Saya akan menukarkan itu untuk sesuatu yang abadi.

Saya tidak akan menggurui anda bila anda tak mau mendengar, maka tak anda tak harus mendengar. Hanya, lihatlah apa yang ada di wajah saya. Saya bahagia dan anda dapat bahagia pula, ini sesuatu yang anda perlu pertimbangkan, semoga anda mempertimbangkan.(IRIB Indonesia/Republika)

Mualaf Elena Pouliasi Sempat Salah Duga tentang Kehidupan Muslimah

Melihat penampilannya sekarang, tak ada yang menyangka gadis yang tumbuh di lingkungan kelas menengah Yunani ini belum pernah bersinggungan dengan islam sampai ia menginjak usia 20-an tahun. Elena Pouliasi, kini anggun dalam balutan busana Muslimah. Ia bersyahadat setahun lalu dengan mengambil risiko yang sangat besar, pecahnya hubungan dengan keluarga besarnya. "Setidaknya, orang tua saya tahu saya 'jatuh' ke arah kebenaran, bukan ke jurang narkoba," ia tersenyum menuturkannya.

Elena mengenal Islam jauh dari negerinya, di Inggris. Ia terbang ke negara itu untuk melanjutkan pendidikan, tiga tahun lalu.

Di negara ini, populasi Muslim populasi Muslim cukup banyak. Ia kerap bersinggungan dengan mereka baik di kampus atau di sekitar tempat ia tinggal di London.

"Seperti kebanyakan orang Yunani, aku tumbuh dengan mentalitas bahwa Muslim adalah orang-orang yang ketat dan tertindas. Aku melihat wanita dengan jilbab dan aku prihatin. Mereka sungguh tak punya kehidupan," ia menceritakan apa yang ada dalam pikirannya saat sebelum berislam.

Namun makin dekat dengan mereka, Elena menemukan kondisi yang berbeda. Dua sahabatnya di London berasal dari Arab Saudi - ia menggambarkan mereka sebagai sangat cerdas dan berbakat - dan apa yang dibayangkannya tentang ketertindasan sangat jauh dari kenyataan.

"Mereka secara alami mengenakan jilbab.Tapi mereka sungguh independen," katanya.

Elena mulai mencari tahu tentang Islam. Ia juga kerap membaca Quran dalam terjemahan bahasa Yunaninya. "Aku mulai menyadari bahwa aku keliru selama ini. Aku melihat, sebagai contoh, cinta dan menghormati wanita dan ibu adalah utama dalam Islam," katanya.

Ia makin larut belajar Islam. "Hampir tidak sadar aku berhenti minum dan makan daging babi," katanya.

Proses ini berlangsung sekitar delapan bulan. "Aku merasa aku mulai hidup sebagai seorang Muslim. Aku berhati-hati saat aku pergi, aku lebih berhati-hati dengan pakaian yang kupakai, aku berhenti bersumpah serapah, dan menjadi lebih murah hati dan sopan," katanya.

Pada 15 Mei tahun lalu, ia resmi menjadi seorang Muslim. Jilbab sempat menjadi hal yang dikhawatirkannya. Pada awalnya, ia mengenakan jilbab ketika ia di keluar kantor, tapi begitu masuk halaman kantornya, ia buru-buru melepaskan dan menyimpannya di dashboard mobilnya. Namun, kini ia konsisten mengenakannya, apapun risiko yang dihadapi. Elena kini memiliki kantor sendiri, sebuah biro penerjemah resmi. (IRIB Indonesia/Republika)

Kisah Monica Oemardi Masuk Islam

Bulan suci Ramadhan merupakan bulan yang penuh hikmah buat saya. Saat itu, saya memulai hidup baru sebagai seorang muslimah. Ini adalah hidayah Allah pada saya dan saya sangat mensyukurinya. Sekarang, saya semakin mantap dengan pilihan hati nurani saya itu. Saya siap lahir batin. Termasuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Saya ingin segera bisa menunaikan ibadah umrah. Insya Allah.

Nama saya Monica Oemardi, lahir di Jakarta, 24 tahun lalu. Papa saya berasal dari Blitar dan beragama Islam. Sedangkan mama berasal dari Cekoslowakia dan beragama Kristen Protestan. Mungkin, sebagian pembaca tak asing lagi dengan debut saya selama ini di dunia sinetron. Di antara sinetron yang telah saya bintangi adalah Delima, Takhta, Intrik, Warteg, Misteri Gunung Merapi, Angling Darma, dan lain sebagainya.

Saya berasal dari keluarga Kristen Protestan yang cukup taat. Meskipun demikian, keluarga kami sangat demokratis dalam masalah agama. Setelah menikah, saya pindah agama ke Kristen Katolik, mengikuti suami saya yang pertama. Sebenarnya, agama Islam tak asing lagi bagi saya. Sebab, kebanyakan keluarga papa beragama Islam. Pada waktu kecil, pernah saya ikut-ikutan shalat Id pada Hari Raya Idul Fitri di Bandung. Walaupun hanya sekadar gerakan shalat saja, tapi kegiatan ritual itu sangat berkesan di dalam hati saya.

Mulai Tertarik
Memang, saya sudah lama ingin masuk Islam, tepatnya sekitar bulan Februari-Maret 1998 lalu. Ketika itu, sahabat saya sesama artis, Vinny Alvionita dan Dian Nitami, mengunjungi saya di rumah kos. Ketika kami sedang asyik ngobrol, tiba-tiba terdengar suara adzan magrib dari masjid sekitar rumah kos.

Sahabat saya, Dian Nitami yang muslimah itu, langsung ingin shalat. Tapi, terlebih dulu ia meminta izin kepada saya. Saya dan Vinny beringsut dari tempat duduk untuk menggelar sajadah, karena tempat kos memang sempit. Di dalam kamar kos yang kecil itu, saya perhatikan Dian ketika usai mengambil air wudhu, ia mengeluarkan mukenah putih, kemudian memakainya. Hal itu membuat saya terkesima dan berpikir, Islam itu amat suci, mau menghadap Allah harus menyucikan diri terlebih dulu. Saya amati terus saat Dian melakukan shalat. Hingga tiba-tiba dari mulut Saya terlontar permintaan kepada sahabat saya, Vinny, untuk mengajarkan saya tata cara shalat.

Tentu saja Vinny terkejut mendengar permintaan saya itu. Saya pun tak mengerti apa yang mendorong saya hingga melontarkan ucapan demikian. Dengan wajah tak percaya, Vinny memandangi saya. Saya disuruhnya mengulangi lagi permintaan saya tadi itu.

Mungkin Vinny tak percaya, karena selama ini saya tak pernah minta diajari shalat kepada teman-teman yang sering datang ke tempat kos saya. Tetapi, tiba giliran Dian yang shalat, saya malah minta diajari. ini mungkin hidayah bagi saya melalui kedua sahabat saya itu.

Sejak itu, Vinny memberi saya beberapa buku bacaan. Salah satunya berjudul, "Lentera Hati" yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Quraish Shihab, MA. Setelah membaca buku tersebut, saya semakin terpukau dan mengagumi Islam. Saya pun semakin mendalami Islam lewat buku-buku yang diberikan Vinny, di samping bertanya kepada mamanya Dian Nitami dan keluarga Vinny.

Walaupun saya terus mempelajari Islam melalui buku-buku yang diberikan oleh Vinny, saya masih sering ke gereja. Bahkan, yang mengantarkannya adalah Vinny sendiri. Memang, dalam bersahabat kami saling menghargai, terutama soal agama. la pernah berpesan kepada saya bahwa tak ada paksaan dalam Islam. Kalau ingin masuk Islam, harus dengan pikiran dan hati yang bersih dan sesuai dengan hati nurani.

Hari demi hari, saya terus mempelajari Islam secara mendalam, hingga setelah tak ada keraguan sedikit pun di hati, pada bulan puasa, Januari 1998, hati saya semakin bergetar. Saya menunggu-nunggu kapan waktu yang tepat untuk memeluk Islam.

Gelora hati untuk memeluk Islam mengalahkan segala kesibukan dan persiapan untuk menyambut Hari Natal. Dulu, saya paling suka mempersiapkannya. Bahkan, sebulan sebelumnya saya sudah sibuk merapikan rumah, mencari kado buat mama dan keluarga, dan selalu siap membantu mama mempersiapkan kue-kue Natal. Tetapi, pada saat itu, saya tak melakukan semua itu. Walaupun saya belum memeluk Islam, tapi saya sudah menjalani ibadah puasa.

Masuk Islam
Pada malam menjelang Tahun Baru, 31 Desember 1998 lalu, saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat dibimbing oleh Prof.Dr. H. Quraish Shihab di kediaman seorang pengusaha elektronik, Rachmat Gobel, di kawasan Jalan Saharjo, Jakarta Selatan, dalam acara buka puasa bersama.
Setelah membaca rukun Islam yang pertama itu, saya tak dapat menahan rasa haru, sehingga saya tak mampu lagi membendung air mata. Rasanya dada ini plong sekali, seperti bayi yang baru lahir. Jadi, tahun 1999 itu, buat saya, merupakan tahun untuk memulai "hidup baru" sebagai seorang muslimah.

Walaupun sudah resmi masuk Islam, tapi Pak Quraish Shihab dalam kesempatan itu, juga berpesan agar saya segera meresmikan status keislaman saya itu. Katanya, mengucapkan dua kalimat syahadat berkali-kali, tak apa-apa. Maka, pada hati Jumat tanggal 8 Desember 1999, dengan dilengkapi prosedur administratif, saya mengucapkan ikrar dua kaliniat syahadat di hadapan para saksi di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat.

Mengetahui saya masuk Islam, mama sempat marah. Bukan apa-apa, tapi karena beliau ingin supaya saya dalam hidup ini mempunyai prinsip. Setelah saya jelaskan, beliau pun akhimya menerima keputusan saya itu. Beliau berpesan supaya saya benar-benar menjaga keislaman saya. Tidak simpang siur dan tidak boleh main-main.

Setelah masuk Islam, kehidupan saya terasa lebih tenang. Apalagi setelah perceraian dengan suami pertama yang membawa kabur anak saya, Antonius Joshua (6 tahun). Selama bulan suci Ramadhan tersebut, saya terus menjalankan ibadah puasa. Dan ternyata, puasa dengan dilandasi niat, berbeda sekali dengan puasa tanpa niat. Saya rasakan puasa tanpa niat itu terasa sangat berat. Jangankan menjalaninya, untuk bangun sahur saja berat sekali. Tapi, setelah masuk Islam, saya selalu membaca niat puasa setiap sahur, puasa pun menjadi terasa ringan.

Selama ini saya sahur sendiri. Anehnya, saya bisa dengan mudah terbangun, tanpa ada perasaan yang berat. Dan setelah sahur, saya tidak langsung tidur. Saya hidupkan TV dan mengikuti kuliah subuh. Dari siaran tersebut, saya banyak memperoleh masukan-masukan yang bermanfaat. Saya bertekad untuk menjadi muslimah yang baik, tentunya dengan diiringi doa para pembaca. Insya Allah. (IRIB/iniagamaku)

Niko, Belum Muslim Ikuti Shalat Idhul Fitri

Bertahun-tahun menjadi seorang penganut Kristen Protestan, namun ia baru mengaku merinding saat memasuki Masjid. Itu adalah sekelumit pengakuan Nikko Santosa, 28 tahun, dalam perjalanannya menuju Islam.

Pria keturunan suku Dayak ini dididik dan dibiasakan rutin pergi ke gereja sejak kecil.

Tetapi setelah bertambah usia keimanan Niko menurun drastis, ia jadi sangat malas beribadah. "Mungkin hanya satu tahun sekali saya menginjakkan kaki ke gereja, itu pun pada saat natal," tutur Nikko.

Sikap malas Nikko mengikuti ibadah di gereja tak pernah dihiraukan keluarga besarnya, hingga suatu ketika Nikko memiliki seorang sahabat, seorang Muslim yang taat beribadah. Pertemanan itu terjalin cukup dekat, saking dekatnya Nikko menganggap si sahabat itu layaknya keluarga.

"Teman saya rajin beribadah. Itu yang membuat saya kagum dan menjadi ingin tahu tentang Islam" tutur bungsu dari 4 bersaudara ini Niko begitu penasaran. Sampai-sampai ia yang malas beribadah justru tertarik ikut shalat Idul Fitri.

Tentu saja si teman kebingungan ketika Nikko mengutarakan keinginannya tersebut. Namun setelah Niko berhasil meyakinkannya, ia pun diajak ke masjid untuk ikut shalat Idul Fitri. Itu terjadi pada Idul Fitri setahun lalu.

"Saya juga bingung, saat itu saya cuma ingin sekali ikut shalat saat lebaran, padahal saya gak tau bacaannya, jadi saya cuma ikutin gerakannya aja," kenang Nikko.

Ketika masuk kedalam masjid untuk yang pertama kalinya, ada kejadian yang membuat Nikko merasa aneh. Semua bulu kuduknya meremang dan Nikko merasa gemetar.

"Saya tidak tahu karena apa. Ketika saya ceritakan hal tersebut kepada teman saya, dia hanya menjawab ‘Mungkin itu pertanda dari Tuhan," kisahnya.

Setelah kejadian di masjid itu Nikko menjadi penasaran dan ada keinginan untuk mengetahui Islam lebih dalam. Di saat itu pula ia mulai menjalin hubungan dengan seorang wanita muslim.

Hubungan yang sebelumnya dijalani dengan biasa-biasa saja berubah menjadi lebih berarti, Nikko sangat mencintai wanita Muslim yang telah menjadi kekasihnya. Meskipun mereka menjalin hubungan berbeda agama, tapi keluarga perempuan tak mempermasalahkan. Pasalnya mereka tahu Nikko memiliki keinginan besar dan niat memelajari Islam.

"Keingintahuan saya terhadap Islam membuat keluarga pacar saya menerima saya. Mereka juga sering memberikan pengetahuan-pengetahuan mengenai Islam kepada saya," ujarnya.

Kisah kasih antara Nikko dan si tambatan hati berjalan baik, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Ketika itu pula Nikko memutuskan untuk memeluk Islam. "Keputusan ini saya ambil bukan hanya karena akan menikah, tetapi sebelumnya pun saya pernah mengalami kajadian yang membuat saya ingin tau tentang Islam," tukas Nikko.

Sebelumnya Nikko juga sempat merasa cemas dengan pandangan negatif terhadap Islam disebabkan beredarnya kejahatan-kejahatan yang mengatasnamakan Islam. Tetapi hal itu tak menyurutkan keinginannya untuk menjadi Muslim

"Teror bom yang mengatasnamakan Islam itu saya pikir keliru. Memang sempat membuat saya khawatir dengan Islam tetapi itu tak mempengaruhi keinginan saya, karena setahu saya Islam tak mengajarkan tindakan kekerasan. Untuk orang-orang yang melakukan kekerasan itu bukanlah Muslim," paparnya.

Akhirnya, pada tanggal 17 maret 2011 Nikko mengucapkan 2 kalimat syahadat di Masjid Agung Sunda Kelapa. Perubahan Nikko menjadi seorang muslim tidak mendapat rintangan. Rupanya keluarga Nikko yang mayoritas penganut agama Kristen tidak mempermasalahkan keputusan besar dalam hidupnya tersebut.

"Alhamdulillah keluarga menerima walaupun keluarga besar saya mayoritas Kristen. Seingat saya hanya satu orang paman saya yang masuk Islam" ujarnya.

Nikko merasa beruntung, ia tak seperti kebanyakan Muallaf yang mendapat tentangan keras dari keluarga bahkan beberapa dari mereka sampai dikucilkan keluarganya. Hal tersebut yang membuat Nikko merasa lebih bersyukur.
Kini, pria yang baru beberapa hari menjadi seorang Muallaf itu mengaku pengetahuannya tentang Islam masih sangat sedikit dan ia masih ingin terus belajar Islam. "Untuk Al Qur'an saya baru diajari saat pembinaan Muallaf di masjid Sunda Kelapa dan saya akan menjalani beberapa materi yang akan diberikan pada saat pembinaan," Ungkap Nikko.

Pembinaan Muallaf dirasa sangat memudahkan Nikko, karena materi yang diberikan merupakan tahapan-tahapan dasar yang harus dijalani seorang muslim. Ia diajari cara berwudhu, cara shalat, cara membaca Al Qur'an dan bagaimana seorang Muslim berperilaku. "Saya harap hal ini akan berguna demi memperdalam keilmuan saya tentang Islam.(IRIB Indonesia/Iniagamaku)

Perubahan Perilaku Jason Perez Membuat 55 Orang Terdekatnya Ikut Menganut Islam

Tayangan The New Muslim Cool sangat menyentuh publik Amerika Serikat. Di dalamnya berisi tentang pengalaman rohani salah satu rapper negeri itu, Jason Perez - namanya menjadi Hamza Perez setelah masuk Islam dan pandangannya tentang agama.

Ada satu kutipan satir tapi membuat publik terhenyak tentang betapa SARA di AS mulai memprihatinkan adalah, "Anda seorang ayah tunggal, sekarang Anda menikah lagi, jadi Anda seorang pria yang sudah menikah, Anda muslim, Anda orang Amerika, Anda Puerto Rika, kau dari the hood, Anda seorang seniman, Anda rapper ... terdengar seperti mimpi terburuk Amerika!"

Berikut ini wawancara islamicbulletin.com dengan Jason:
Islamicbulletin: Bisakah Anda ceritakan sedikit tentang diri Anda?
Jason: Saya lahir di Brooklyn, NY. Saya dibesarkan di sebuah proyek perumahan di seberang jalan masjid. Ibu saya membesarkan saya di sana. Setelah saya besar, kami pindah ke Puerto Rico, dan setelah itu kami pindah bolak-balik antara Massachusetts dan Puerto Rico.

IB: Dapatkah Anda menceritakan sedikit tentang pendidikan agama Anda?
J: Ya, ibu saya Katolik. Tapi, nenek saya di Puerto Rico adalah Pembaptis. Selama sekolah, saya selalu di sekolah Katolik.

IB: Bagaimana Anda bisa berpindah menjadi Muslim?
J: Saya memiliki seorang teman bernama Louie Ekuador. Kami tumbuh bersama, dan kemudian kami terlibat dalam penjualan narkoba bersama-sama. Saya adalah pencari kebahagiaan sebagai orang muda, tetapi saya tidak pernah menemukannya. Saya mencoba kehidupan jalanan dan obat-obatan tapi itu hanya membuat saya lebih tertekan. Meskipun kita menghasilkan uang, tidak memberi kita rasa atau kepuasan kebahagiaan. Suatu hari, ia berjalan dengan masjid, dan dia duduk di tangga. Seorang Muslim mendekatinya dan bertanya apa yang dia lakukan di sana dan mulai berbicara kepadanya tentang Islam. Dan dia akhirnya menjadi seorang Muslim. Kami tahu masjid ini karena kami dibesarkan di jalan, tapi, kami tak pernah tahu tentang Muslim dan ajarannya. Satu-satunya hal yang kita tahu tentang mereka adalah bahwa mereka membunuh kambing. Jadi, dalam masyarakat, masjid mereka lebih dikenal sebagai tempat dimana kambing dibunuh. Jadi kita akrab dengan gedung tetapi tidak benar-benar tahu tentang apa yang terjadi di dalamnya. Louise berakhir menjadi Muslim dan sempat menghilang selama 40 hari. Dia pergi dengan Jamaah Tabligh (komunitas guru Islam) menyebarkan Islam.

Namanya pun berubah, menjadi Lukman. Suatu hari Lukman datang berpakaian serba putih dengan seorang syekh bernama Iqbal. Kami sedang bermain dadu, minum, dan merokok saat itu. Tiba-tiba aku melihat sisi berbeda darinya. Ia terlihat lebih bercahaya. Saya bisa melihat perubahan dalam dirinya. Saya pikir, sesuatu yang serius telah terjadi dalam hidupnya. Jadi, saya meninggalkan orang lain yang minum dan merokok dan berjalan ke arah mereka. JDi sana, syekh bertanya apakah aku percaya bahwa hanya ada satu Allah. Aku berkata, "Ya." Dan kemudian dia bertanya apakah saya percaya pada Nabi Muhammad. Terus terang, saya tak pernah tahu tentang Muhammad SAW, tapi saya melihat cahaya dalam karakter dan wajah Luqman teman saya, jadi saya percaya. Saat itu juga saya minta dituntun mengucapkan syahadat, di pinggir jalan. Adik saya yang menyaksikan, ikut pula bersyahadat.

IB: Bagaimana orangtua Anda bereaksi terhadap Anda yang menerima Islam?
J: Keluarga saya awalnya kesal. Tetapi setelah mendapatkan kami bebas dari narkoba dan jauh dari kegiatan berbahaya lainnya, mereka menyukainya. Ibu saya sangat mendukungnya. Dia pikir itu sangat positif. Saya pun menjadi lebih peduli padanya; Saya membantu dalam urusan rumah tangga, dan melakukan apapun yang dimintanya. Dulu sebelum menjadi Muslim, saya tak pernah peduli padanya. Perubahan dalam diri saya membuat kakak saya menjadi Muslim juga. Kemudian salah satu teman saya menjadi Muslim. Lebih dari 55 orang yang kita kenal menjadi Muslim. Kami kembali ke tempat yang sama kita gunakan untuk menjual obat-obatan dan memasang tanda yang mengatakan, "Heroin membunuh kamu dan Allah menyelamatkan Anda!" Jadi, Anda tahu, banyak dari mereka dipengaruhi oleh Lukman. Termasuk saya.

T: Apakah Anda pernah menemukan masalah dengan penerimaan Islam Anda?
J: Pada awalnya, karena saya merek baru Muslim, saya pikir saya harus mendengarkan setiap apa yang dikatakan seorang Muslim. Saya benar-benar tidak ada arah. Beberapa orang mengajarkan saya untuk melihat Muslim lain dan mengkritik umat Islam lain yang berjanggut panjang dan 'pakaian aneh' mereka. Sampai kemudian di satu titik: mengkritik orang menjadi lebih sering sementara mengingat Allah menjadi sedikit. Aku mulai kehilangan rasa manis yang saya alami ketika saya pertama kali menjadi Muslim. Kemudian saya melewati sebuah transformasi besar; hanya melihat kesalahan diri dan bukan kesalahan orang.

IB: Apakah Anda melihat kesamaan antara Islam dan agama-agama lain?
J: Ya, tentu saja. Ini semua terhubung. Saya tahu siapa Yesus, saya melihat gambar yang dikaitkan dengannya, tapi saya tidak benar-benar tahu tentang Yesus selain Natal, dan ayat-ayat yang kita baca diarahkan kepada kita oleh para imam dan pendeta. Kadang-kadang saya merasa kini saya menjadi pengikut Kristus dengan cara yang lebih baik setelah saya menjadi Muslim. Isa adalah Nabi-nya, bukan Tuhan.

T: Apa dampak yang Islam telah pada kehidupan Anda?
J: Islam telah membuka mata saya untuk kesalahan saya sendiri. Sebelumnya, saya punya hal yang disebut nafs. Saya tidak tahu tentang nafs. Islam membuat saya sadar bahwa, di jalanan, Anda selalu mencari musuh. Dan Islam mengajarkan saya bahwa, dalam rangka untuk menemukan musuh saya, saya harus melihat di cermin. Musuh saya adalah diri saya sendiri; nafsu saya.(IRIB/republika)

Pernah Membuat Karikatur Mengolok-Olok Rasulullah, Tina Stylianidou Berislam Setelah Baca Shirah Nabi

Dulu, Keluarga Tina Stylianidou terkenal sebagai keluarga terpandang keturunan Yunani di Turki. Ketika pemerintah Turki memutuskan untuk menendang mayoritas warga negara Yunani keluar dari Turki dan menyita kekayaan mereka, keluarganya kembali ke Yunani dengan tangan kosong. Inilah yang melandasi keluarganya sangat antipati pada Islam.
Dari sisi keluarga ibunya, mereka tinggal di sebuah pulau di Yunani yang persis berbatasan dengan Turki. Selama perang, Turki menduduki pulau dan membakar rumah-rumah mereka. Jadi mereka melarikan diri ke daratan Yunani untuk bertahan hidup. "Tak hanya benci Turki, mereka juga benci Islam," katanya.

Yunani - yang diduduki oleh Turki selama lebih 400 tahun - mengajarkan padanya untuk percaya bahwa untuk setiap kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang Yunani, Islam yang bertanggung jawab. Bahwa Turki adalah Muslim dan kejahatan mereka mencerminkan keyakinan agama mereka. "Jadi selama ratusan tahun kami diajarkan dalam sejarah kami dan buku-buku agama untuk membenci dan mengolok-olok Islam," tambahnya.

Di sekolah, ia mendapat pelajaran bahwa Islam sebenarnya bukan agama dan Muhammad adalah bukan seorang nabi. "Dia hanya seorang pemimpin yang sangat cerdas dan politisi yang mengumpulkan sejumlah aturan dan hukum dari orang-orang Yahudi dan Kristen, menambahkan beberapa ide sendiri dan menaklukkan dunia."

Salah satu tugas dari sekolah, adalah membuat olok-olok tentang dia dan istrinya atau sahabatnya. Ia pun mengerjakan tugas itu dan menerjemahkannya menjadi sebuah karikatur yang diacungi jempol oleh guru-gurunya. "Semua karikatur dan fitnah terhadap dirinya yang diterbitkan di media hari ini sebenarnya merupakan bagian dari kurikulum kami," katanya.

Tetapi, aku Tina, Allah melindunginya sehingga kebencian terhadap Islam, tidak masuk hatinya. Sebagai seorang remaja, dia suka membaca dan tidak benar-benar puas atau yakin dengan kekristenannya. "Saya memiliki kepercayaan pada Tuhan, rasa takut dan mencintai Dia, tetapi untuk hal-hal yang lain bingung. Saya mulai mencari-cari tapi saya tidak pernah mencari terhadap Islam, mungkin karena latar belakang saya menentangnya). Tapi pada akhirnya, Allah mengasihani jiwa saya dan menuntun saya dari kegelapan menuju cahaya kebenaran - Islam - tunduk hanya kepada Satu Allah."

Di tengah kebimbangan, ia dipertemukan dengan seorang pemuda yang telah lebih dulu memutuskan menjadi Muslim. Dari dialah, ia belajar Islam lebih dalam. termasuk, membaca secara lengkap Shirah nabawiyah, sejarah rasulullah Muhammad SAW. Belakangan, ia menerima pinangan pemuda itu dan bersyahadat.

"Menjadi seorang Muslim, saya merahasiakannya dari keluarga dan teman-teman selama bertahun-tahun. Kami tinggal bersama suami saya di Yunani berusaha mempraktikkan Islam tapi itu sangat sulit - hampir mustahil," katanya.
Di kotanya, tidak ada masjid, tidak ada akses ke studi Islam, tidak ada orang berdoa, berpuasa, atau perempuan memakai jilbab (penutup kepala Islam). Yang ada hanya beberapa imigran Muslim yang datang ke Yunani hanya demi alasan ekonomi, dan tidak begitu peduli dengan kehidupan spiritualnya. "Bahkan, mereka lebih Barat ketimbang kami yang orang Barat," katanya.

Dia dan suaminya, harus shalat buru-buru, agar tak diketahui orang. Mereka menandai kalender dengan tanda-tanda tertentu, agar sesuai dengan kalender Hijriyah; terutama Ramadhan dan Dzulhijah.

"Ketika putri saya lahir, kami memutuskan untuk bermigrasi ke sebuah negara Muslim. Kami tidak ingin membesarkannya di lingkungan di mana dia akan berjuang untuk mempertahankan identitas Muslimnya, atau bahkan lebur bersama mereka," katanya.

Sekarang, empat tahun sudah mereka tinggal di Turki. "Saya kerap merasa sangat rindu rumah, dan bertanya-tanya apakah sudah waktunya untuk kembali ke Yunani, negara yang indah dimana saya dilahirkan dan mencoba menemukan cara untuk menggabungkan identitas indah dan budaya nenek moyang Yunani serta identitas Islam saya. Tapi saya merasa bangga dan bersyukur kepada Allah bahwa saya dapat menjadi warga Yunani dan Muslim yang baik," katanya. (IRIB Indonesia/Republika)

Di Tengah Meningkatnya Sentimen Anti Islam, Hannah Snider “Melawan Arus” dan Bersyahadat

Pada 27 Mei 2011, Hannah Snider bersyahadat, mendeklarasi imannya dalam Islam. Namun, wanita Asal Los Angeles, Amerika Serikat ini, mengaku tidak menjadi seorang Muslim pada hari itu. "Saya selalu Muslim, tapi tidak menyadarinya. Saya selalu percaya pada satu Tuhan. Hati saya telah Muslim," katanya.

Pemikiran ini, katanya, tak hanya merupakan salah satu pilar yang paling dasar, namun yang paling penting dari sebuah agama.

Tumbuh dalam lingkungan yang tak pernah bersinggungan dengan Muslim, Hannah tak pernah tahu tentang Islam. "Alasan saya tidak pernah tahu tentang agama agung ini karena tidak ada yang pernah mengatakan kepada saya. Aku punya teman sekamar Muslim, telah bertemu dengan orang Muslim, tapi tak seorang pun memberitahu saya apa yang umat Islam yakini," katanya.

Akhirnya, setelah bertahun-tahun mencoba memahami tentang berbagai agama, seorang teman memintanya menjelaskan keyakinan dasarnya. Saat itu, ia mengaku percaya Tuhan tapi tak menganut satu agamapun. "Dia mengoreksi saya dengan menjelaskan bagaimana Islam masuk ke dalam keyakinan saya, dan saya mulai meneliti dan belajar dan membaca Alquran," katanya.

Jujur, katanya, ia takut ketika menyadari bahwa Islam telah merasuki hidupnya. Tempat dia lahir dan dibesarkan, Amerika, tidaklah 'ramah' untuk umat Islam. "Dan setelah semua gambaran media yang negatif tentang Islam, semua teman-teman saya berpandangan sama tentang agama ini," tambahnya.

Namun, katanya, setelah ditelusuri, kebencian mereka pada Islam bersumber pada kurangnya pengetahuan tentang Islam, dan seringkali dangkalnya pengetahuan akan agama mereka sendiri. Rasa takutnya bakal dikucilkan setelah memeluk Islam sirna, dan ia bertekad untuk bisa menjelaskan lebih jauh tentang Islam pada rekan-rekannya.

Ia pun bersyahadat.

Kini, diakui atau tidak, Hannah bak humas bagi Islam. Orang-orang nyaman mengajukan pertanyaan-pertanyaan padanya tentang agama barunya, baik di toko kelontong, atau di mal, atau di kantor. "Saya tidak pernah tersinggung. Ini adalah bagian dari agama kita untuk menjangkau orang lain dan menyebarkan pesan Islam. Ini disebut dakwah," katanya.

Ia menjelaskan tentang Islam, tanpa pretensi menarik pengikut. "Beragama itu lahir dari kesadaran, bukan paksaan," tambahnya.

Harapannya, kalaupun mereka tidak setuju pada ajaran Islam, setidaknya bisa menoleransi. "Menemukan perbedaan, menemukan kesamaan, dan merangkul mereka. Dan untuk populasi Muslim: sangat penting bahwa kita mengenal orang lain dan membantu mereka untuk memahami agama kita. Bukan bertengkar tentang hal itu dan membiarkan media menggambarkan kita," katanya. (IRIB Indonesia/Republika)

Saat Bertugas di Perang Teluk, Abdal Malik Rezeski Terkesan Kesalehan dan Sikap Rendah Hati Muslim

Ia adalah warga New York kelas menengah sekaligus perwira dalam Angkatan Darat Amerika Serikat (AS). Pada 1991 ia dengan senang hati bergabung melayani negara dalam tugas di Perang Teluk I.

Tahun berikut ia dikirim ke Pakistan, dimana ia bertemu orang saleh dan terkesan dengan mereka. "Mereka baik, orang-orang rendah hati yang mencoba menjalankan ibadah dengan taat," tuturnya.

Ia mulai belajar Islam pertama karena didorong oleh rasa ingin tahu, lalu keluar dari keyakinan. Tepat di akhir tahun, ia menjadi seorang Muslim.

"Ayah saya seorang Yahudi, ibu saya Kristiani," tutur Abdal Malik Rezeski yang tinggal di Dallas. "Islam adalah agama pertama yang masuk akal bagi saya."

Islam adalah salah satu agama yang tumbuh cepat di Amerika. Salah satu penyebab adalah pertambahan imigran dan angka kelahiran yang tinggi di kalangan mereka. Namun seiring waktu, justru lebih banyak warga asli Amerika yang beralih ke Islam.

Mereka tertarik dengan aturan moral ketat yang diusung Islam, sistem keyakinan yang sebenarnya serupa dengan Yudaisme dan Nasrani. Kemiripan itu, menurut ulama, memudahkan langkah-langkah untuk mempraktekan dan beralih ke Islam.

"Pesan langsung mengenai Tuhan, jauh lebih mudah dipahami ketimbang konsep Trinitas, ujar Jane Smith, seorang pakar studi Islam di Hartford Seminary.

Mayoritas warga Amerika yan beralih, 64 persen adalah Afrika-Amerika, demikian menurut The Mosque Report, sebuah kajian nasional yang dilakukan empat organisasi Muslim. Salah satunya adalah Share Muhammed, 48, yang sejak kecil rajin mendatangi gereja kulit hitam.

"Yang langsung menarik perhatian saya dari Islam adalah saya tidak melihat rasisme," ujarnya. Di masjid, wanita itu mengaku bertemu dengan banyak imigran dari penjuru dunia dan kemajemukan Amerika.

Sekitar 6 juta Muslim tinggal Amerika Serikat. The Mosque Report memperkirakan sekitar 30 persen jamaah adalah mualaf.

Namun tak seorang pun tak pasti berapa mualaf di sana karena Muslim tidak mencatat informasi itu. Mereka mengatakan hal itu juga cukup sulit karena orang kerap beralih memeluk Islam tanpa keterlibatan masjid.

"Bagi Muslim, itu adalah antara diri anda dan Tuhan," ujar seorang pakar sosiologi agama, Dr. Behrooz Ghamari-Tabrizi, di Georgia State University. "Sementara dalam Yahudi dan Kristen, anda harus mengikuti ritual formal."

Seperti yang dialami Rezeksi, di hari ia memutuskan memeluk Islam, ia mencari teman-teman Pakistannya. Dengan keberadaan mereka ia mengucapkan dua kalimat syahadt. "Tiada Tuhan selain Allah (swt) dan Muhammad adalah rasul-Nya."

Begitu mengkaji Al Qur'an, kitab suci Muslim, ia mengaku kian tertarik lebih dalam dengan agama tersebut.

"Dengan Islam saya bisa melihat ramuan bagaimana agar berhasil menjalani kehidupan saat ini dan kehidupan masa nanti." ujarnya. "Tidak hanya panduan praktikal mengenai perceraian dan bagaimana memperlakukan anak yatim, tetapi juga petunjuk spiritual yang memaparkan apa Tuhan itu dan bagaimana kita seharusnya berhubungan dengan-Nya."(IRIB Indonesia/Republika)

Berhasil Atasi Prasangka Buruk, Richard Beuchamp Total Menerima Islam

Richard Beauchamp duduk di area parkir memandng para Muslim keluar Masuk. Ia tak pernah sekalipun memasuki masjid dan ia gugup

Begitu berhasil mengumpulkan keberanian untuk masuk, ia disambut hangat. Lelaki itu mengaku dibesarkan dalam tradisi Baptis, namun ia sangat tertarik Islam.

"Mereka luar biasa baik," ujar Beauchamp, 36 tahun, warga asal Irving. "Mudah sekali untuk kembali datang ke sana," tuturnya.

Pada kunjungan berikut bertepatan dengan pelaksanaan shalat Jumat. Beuchamp tidak tahu sama sekali cara Muslim beribadah. Ia pun hanya duduk dan melihat. Hampir semua pria berdiri di lantai. "Kursi hanya digunakan untuk orang tua yang tak sanggup berdiri." ungkapnya. "Saat itu saya larut dalam doa sehingga hampir tidak memperhatikan sekitar."

Apa yang membuat ia tertarik kepada Islam. Rupanya saat usia muda, Beuchamp sudah kecewa dengan Kristen. Ia tidak memahami bagaimana Kristiani meyakini satu Tuhan dan Trinitas sekaligus bersamaan.

Perjalanannya menuju Islam adalah pencarian seorang diri, sesuatu yang umum terjadi pada warga Amerika yang beralih ke Muslim. Ia menemukan Islam lewat buku bahkan sebelum bertemu dan menjalin hubungan dengan seorang Muslim.

Dalam kunjungan rutin ke masjid selama satu tahun, ia meyakini telah menemukan rumah spritual di dalam Islam. Namun Beuchamp menyadari menjadi Muslim berarti mengubah total seluruh gaya hidupnya.

"Saya saat itu memiliki gaya hidup seperti warga Amerika lain berusia 20-an," tuturnya. "Saya keluar ke club malam, minum dan bergaul bebas dengan para wanita. Sebagai muslim kini saya tak bisa lagi bebas bergaul dan bepergian seenaknya dengan teman wanita. Yang pasti saya tak bisa minum lagi."

Saat beralih, ia mendapati respon temannya ternyata jauh lebih keras ketimbang tanggapan kedua orangtuanya. "Gaya hidup saya berubah banyak dan sulit bagi teman saya untuk menerima," ujarnya. "Namun ketika saya membaca tulisan teman-teman Muslim lain, justru kian sulit untuk menengok kebelakang," tuturnya.

Tak dipungkiri oleh Beuchamp, saat tumbuh besar ia memiliki pandangan kelam tentang Muslim. Itu pun sedikit menghambat peralihannya. Cerita-cerita mengenai revolusi Iran, kekerasan dan penangkapan warga Amerika sebagai sandera yang kadang dibunuh di Timur-Tengah membuat ia curiga.

"Benar-benar perjuangan untuk mengatasi prasangka yang telah saya miliki" ungkapnya. Namun pengalaman pertama berkunjung ke masjid langsung mendobrak semua pandangan negatif tadi. "Saya menyaksikan orang-orang yang begitu beriman, tulus dan penuh kasih sayang." tuturnya.

Pada 2006, Beucham pergi ke Indonesia untuk menikahi seorang wanita. Ia mengenalnya lewat sebuah situs kontak jodoh di Internet. "Ia wanita yang baik dan taat," ujarnya.

Ia berkorespondensi lewat internet dengan wanita itu selama enam bulan lalu terbang ke Indonesia untuk bertemu dengannya dan keluarganya. Ia berada di Indonesia ketika serangan 11 September terhadap menara kembar WTC dan pentagon terjadi.

"Banyak warga Amerika seketika itu memiliki pandangan distorsi terhadap Islam." ujarnya. "Itu sungguh melukai hati saya karena Islam telah membawa rasa damai dan tujuan hidup yang sebelumnya tak pernah saya miliki,"(IRIB/republika)

Perjalanan Domenyk Eades: Terpesona Gerakan Sujud

Lewat sebuah strategi gerak cepat, pada 2 Agustus 1990, pasukan tentara Irak berhasil mencaplok Kuwait. Lima hari setelah invasi itu, Arab Saudi meminta bantuan kepada Amerika Serikat (AS). Invasi Irak ke negeri petrodolar itu pun melahirkan Perang Teluk ketika pasukan Paman Sam menggelar Operasi Badai Gurun pada 17 Januari 1991.

Perang Teluk telah membetot perhatian masyarakat dunia ketika itu. Tak terkecuali seorang remaja yang ketika itu berusia 17 tahun, Domenyk Eades. Pria yang tumbuh besar di Australia itu kerap menyaksikan dan membaca berita-berita tentang Perang Teluk dari media massa. Ketika mengikuti isu Timur Tengah itulah, ia tertarik untuk mempelajari Islam.
Islam Telah Membuatnya Menjadi Seseorang yang Lebih Baik dan Membimbingnya untuk Membuat Lingkungan Sebagai Tempat yang Lebih Baik

Hidayah Allah SWT mulai menerangi hatinya. Domenyk pun mulai tertarik untuk mempelajari Islam. "Saya ingin melihat sendiri bagaimana sebenarnya Islam itu dan mengapa Islam sangat penting bagi banyak orang di dunia," ujarnya kepada Republika. Untuk mengenal Islam, ia pun pergi ke toko buku dan membeli Alquran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Selama tiga hari, Domenyk membaca kitab suci umat Islam itu dengan hati-hati. "Itu merupakan sebuah pengalaman yang luar biasa," ungkapnya. Ia pun mulai membandingkan isi Alquran dengan Injil. Menurutnya, banyak karakter dan cerita di dalam Alquran yang juga terdapat di dalam Injil.

Namun, menurut Domenyk, ada sederet hal yang tercantum dalam Injil yang tidak bisa dimengerti. Ia pun mencoba untuk mempelajari Islam lebih dalam lagi. Ketika itu, ia mengaku belum serius untuk menjadi seorang Muslim. "Saya memercayai keberadaan Tuhan dan saya rasa itu cukup," kenangnya.

Domenyk Eades terlahir sebagai seorang Kristiani. Ia mengaku baru mengenal Islam setelah remaja. Ketika masih belia, ia sedikit mengetahui Islam dari beberapa Muslim yang ditemuinya. Namun, mereka pun memiliki pengertian yang sederhana tentang Islam. Ia menyadari banyak kesamaan yang ditemukan antara Kristen dan Islam.

"Keduanya sama-sama mempercayai Tuhan dan adanya surga dan neraka," tuturnya. Meski begitu, ia lebih banyak mengetahui hal-hal negatif tentang Islam dari tayangan televisi yang ditonton dan koran yang dibacanya. Meski tumbuh besar sebagai Kristiani yang cukup taat, Domenyk selalu menghormati orang-orang yang berbeda keyakinan dengannya.
Ia selalu merasa yakin, sangatlah penting bagi seseorang untuk mengikuti sebuah prinsip yang memandu mereka dalam kehidupan. Karena itulah, ia juga sangat meyakini akan keberadaan Tuhan. Domenyk mengetahui bahwa seorang Muslim harus menjalankan perintah agama dan menjalankan ibadah wajib lima kali sehari.

Awalnya, menurut dia, hal itu tampak sangat mengikat dan membatasi. "Seseorang yang berusia 18 tahun tidak suka dibatasi dan diatur," ucapnya. Meski begitu, ia terus membaca dan mempelajari Islam. Domenyk mulai menyadari bahwa Islam tidaklah bermaksud mempersulit hidup umatnya, tetapi justru sebaliknya.

Perlahan tapi pasti, ia mempelajari Islam dan cara membangun hubungan yang kuat dengan Allah SWT. Ia juga mempelajari shalat lima waktu dan berpuasa yang mengubah seseorang dari dalam dan membuatnya menjadi orang yang lebih baik. Ia mengaku, membutuhkan banyak waktu untuk mengerti dengan benar mengenai pelajaran itu.

Hidayah kian menerangi kalbunya. Domenyk mulai melihat pesan positif yang disampaikan Islam sehingga agama yang disebarkan Nabi Muhammad SAW tersebut tak lagi menjadi agama yang asing baginya. Ia mengaku sangat tertarik dengan Islam karena pesan yang dibawa Alquran sangat jelas dan logis.

Ia sangat menyukai bagaimana Alquran memberikan petunjuk untuk hidup yang baik dan bagaimana Islam memberikan pesan yang sangat jelas tentang kesetaraan di antara seluruh umat manusia. "Saya rasa apabila orang-orang benarbenar mengerti tentang Islam, mereka akan melihat bahwa setiap manusia merupakan ciptaan Tuhan dan itu sangatlah berharga," paparnya.

Apabila seseorang memiliki sebuah keyakinan, kata Domenyk, mereka akan memperlakukan orang lain dengan hormat, tidak peduli dari mana mereka berasal dan bagaimana mereka terlihat. Ketika mempelajari Alquran dan Islam, Domenyk mengaku, tidak benar-benar berniat ingin menjadi seorang Muslim.

Hingga akhirnya, ia menemukan pesan di dalam Alquran yang merupakan kelanjutan dari pesan yang diajarkan Yesus. "Saya mulai menyadari apabila saya memercayai Allah dan Muhammad sebagai utusan-Nya, itu berarti saya haruslah menjadi seorang Muslim."

Awalnya, ia merasa ragu dapat mengikuti aturan yang terdapat dalam ajaran Islam. Ia memercayai pesan yang dibawa oleh Islam, tetapi sangat sulit baginya untuk dapat menjalankan shalat lima waktu dan berpuasa di bulan Ramadhan. Untuk dapat shalat tepat waktu pun sangat sulit baginya.

Domenyk juga mengkhawatirkan reaksi yang akan muncul dari teman-teman dan keluarganya apabila ia menjadi seorang Muslim. Karena alasan itulah, ia memerlukan waktu yang cukup lama untuk menjadi seorang Muslim, meski di dalam hatinya ia sudah memercayai satu Tuhan dan Muhammad sebagai utusan-Nya.

Namun, ia belum merasa siap menghadapi hidup baru sebagai Muslim. Hingga pada suatu hari, Domenyk memutuskan untuk menemui beberapa orang Muslim. Ia pergi ke sebuah masjid di dekat tempatnya tinggal. Pengalamannya saat berada di masjid itu telah membuka hatinya.

Kaum Muslim di masjid itu tahu bahwa dia bukanlah seorang Muslim. Namun, mereka menyambutnya dengan sikap ramah dan mengobrol hingga waktu shalat tiba. Saya seorang Anglo-Australia dan saya memberanikan diri ke sana, tuturnya.

Hatinya tergerak ketika melihat gerakan sujud yang dilakukan jamaah dalam shalat. Pemandangan itu meninggalkan kesan yang mendalam baginya. Hati kecilnya mulai berkata, hidup sebagai Muslim bukanlah hal yang mustahil lagi. Saat kuliah, ia bertemu dengan Bukhari Daud, bupati Aceh Besar, yang tengah studi di Australia.

Ia berteman baik dengan Bukhari. Keduanya sering berdiskusi tentang Islam. Bukhari lalu mengundang Domenyk ke rumahnya. Pertemuan itu adalah pengalaman yang menarik. Mereka memperkenalkan saya pada budaya Muslim Indonesia. Di sanalah saya pertama kali mengetahui tentang keramahan Muslim, tuturnya.

Tekadnya untuk memeluk Islam sudah semakin bulat. Di depan Bukhari dan sekelompok Muslim lainnya, Domenyk mengucapkan dua kalimah syahadat dan mengukuhkannya menjadi seorang Muslim di kediaman Bukhari saat studi di Australia.

Islam telah membuat saya menjadi seseorang yang lebih baik dan membimbing saya untuk membuat lingkungan sebagai tempat yang lebih baik, paparnya. Ia pun berhasil meyakinkan keluarganya. Keluarga saya melihat bagaimana Islam memberikan efek positif kepada saya. Hal itu tidak memberikan dampak negatif terhadap hubungan saya dengan keluarga.

Ramadhan Pertama di Indonesia

Ramadhan pertama sebagai Muslim merupakan kenangan yang sangat luar biasa bagi Domenyk Eades. Ia merasa beruntung memiliki banyak sahabat Muslim yang berada di dekatnya. Mereka menghabiskan Ramadhan dengan berbuka puasa bersama dan melaksanakan shalat Tarawih setelahnya.

Ramadhan pertama Domenyk berlangsung di Indonesia pada 1997. Hari itu merupakan pengalaman yang sangat luar biasa, kenang Domenyk. Ia mengaku tidak terlalu sulit untuk membiasakan diri dalam menjalankan ibadah. Domenyk sudah mempelajari bagaimana melaksanakan shalat dan puasa sebelum menjadi seorang Muslim.

Ia menghafal beberapa ayat pendek. Setelah mengucapkan syahadat, tidak terlalu lama baginya membiasakan diri dalam melaksanakan ibadah. Menjadi seorang Muslim membawa banyak perubahan dalam hidup Domenyk. Menurut dia, perubahan itu terjadi dari waktu ke waktu.

Domenyk menjadi seorang Muslim ketika duduk di bangku kuliah. Ia beruntung tinggal di dekat lingkungan Muslim yang kebanyakan berasal dari Indonesia. Tak cuma itu, ia juga bersyukur bisa tinggal di beberapa negara Muslim. Selama beberapa waktu, ia tinggal di Indonesia, terutama di Aceh.

Selama beberapa tahun, ia menetap di negara Arab untuk bekerja dan mempelajari bahasa Arab. Domenyk mempelajari linguistik bahasa Arab di Inggris. Ia menghabiskan bertahun-tahun mempelajari bahasa Arab. Domenyk pun telah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah pada 2007.

Saat ini ia bekerja sebagai dosen senior pada program studi bahasa Arab di Universitas Salford, Inggris. Saat ini, Domenyk mengajar bahasa Arab kepada mahasiswanya di Inggris. Risetnya seba gai dosen di bidang bahasa dan penerjemahan.
Ia juga sudah menyelesaikan penelitiannya di bidang bahasa di Indonesia. Salah satu buku yang ia terbitkan adalah buku mengenai bahasa Gayo, Aceh. Domenyk juga telah memublikasikan berbagai macam artikel, jurnal, dan buku tentang tata bahasa serta dialek bahasa Arab. Ia juga banyak menerjemahkan buku-buku dari bahasa Arab ke bahasa Inggris. heri ruslan (IRIB/Republika)