Kamis, 13 September 2012

David Bryant (Jihad Abdulmumit): Islam Tempatku Berlindung

Eramuslim.com - Jihad Abdulmumit menghabiskan hampir separuh hidupnya di dalam penjara. Tempat dimana ia mengalami tindakan rasial dan diskriminasi yang pemicunya cuma dua, jika tidak karena ia warga kulit hitam, pemicu yang lain adalah karena ia seorang Muslim.

Pengalaman itu membuat Jihad sangat menghargai arti kebebasan sehingga ia selalu berusaha memanfaatkan setiap detik waktunya dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat.

"Saya melihat kebebasan dengan cara pandang berbeda. Adalah sesuatu yang sangat berharga memiliki kemampuan yang bebas untuk mengekespresikan dri sendiri dengan cara yang sehat dan bermanfaat serta memberikan inspirasi tentang kebesaran dan kemampuan diri seseorang, tanpa adanya hambatan, diskriminasi, penindasan dan rasa dendam," ujar Jihad tentang makna kebebasan bagi dirinya.

Jihad mendapatkan hidayah Islam ketika ia masih berada dalam tahanan. Tahun 1979, Jihad yang ketika itu masih bernama David Bryant ditangkap, diadii dan divonis hukuman penjara selama lebih dari 23 tahun karena keterlibatannya dalam organisasi Black Liberation Army dan Black Panther Party, dua organisasi yang menyerukan angkat senjata untuk pertahanan diri dan pembebasan warga kulit hitam di AS.

"FBI tidak menganggap orang kulit hitam sebagai teroris, tapi melihat mereka sebagai penjahat," kata Jihad, meski ia menjalani hukuman dengan status tahanan politik.

Empat bulan menjalani tahanan dan isolasi, Jihad menemukan cahaya Islam. "Saya sangat terinspirasi dan termotivasi untuk belajar bahwa Tuhan, Allah Swt, bukan seorang manusia, tapi Sang Pencipta atas segala sesuatu," Jihad mengungkapkan perasaannya saat pertama kali menunaikan Salat Jumat berjamaah sebagai seorang mualaf.

Oleh komunitas tahanan Muslim di penjara, ia diberi nama Jihad Daud Abdulmumit setelah ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Teman-teman Muslinya memilih nama itu karena ia adalah anggota Black Liberation Army. "Saya kira mereka berpikir bahwa nama 'Jihad' cocok untuk saya," ujarnya.

Jihad mengungkapkan, salah satu dari hal-hal paling buruk di penjara adalah berada di sel isolasi selama berhari-hari. Jihad juga mengatakan bahwa ia banyak mengalami tindakan rasial karena ia warga kulit hitam. "Meski petugas penjara atau petugas konsultasi memperlakukan Anda sama seperti tahanan lainnya, tindakan rasial tetap masih terlihat jelas," ungkap Jihad.

Tapi ketika Jihad memeluk Islam, ia menemukan "tempat berlindung" yang membantunya melalui masa-masa terberat dalam hidupnya. "Islam mengajarkan saya bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Maka, saya menerima pengalaman saya di penjara dengan sikap tenang dan kesabaran," ujar Jihad.

Ia mengatakan, banyak tahanan yang Muslim menghadapi perlakuan rasial dengan cara yang justeru membuat mereka akhirnya dihormati oleh tahanan lainnya. "Tahanan Muslim mendapatkan rasa hormat dari otoritas penjara karena kematangan jiwa para tahanan Muslim dan kedisiplinan mereka, serta sikap moral yang kami tunjukan. Otoritas penjara mengakui hal itu," tukas Jihad.

Sejak bebas dari penjara, Jihad memanfaatkan hari-harinya dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat dan tetap menjadi seorang Muslim. Kini ia menjadi seorang motivator, penulis buku dan aktif dengan berbagai kegiatan di kemasyarakatan. Untuk itu Jihad mengaku menjadi seorang yang beruntung. (ln/iol)

http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=11365:david-bryant-jihad-abdulmumitdavid-bryant-jihad-abdulmumit-islam-tempatku-berlindung-islam-tempatku-berlindung&catid=66:mualaf&Itemid=364

Lim Pei Chan : Menelusuri Sungai-sungai Hidayah

KotaSantri.com - Indra Widjaja - Namaku Lim Pei Chan, seorang keturunan Tiong Hoa bersuku Han dan masih satu kampung dengan Khong Cu sang pembawa agama Khong Hu Cu, Shan Tung. Dua puluh dua tahun lalu, nama itu aku sandang dari seorang ahli nujum keluarga. "Aliran Sungai besar dari Utara," nama yang tidak terlalu buruk aku kira. Kehidupanku di negeri ini bermula dari terdamparnya kakekku, Lim Man Ie, di pesisir pantai Sumatera Utara tahun 1945. Saat itu, ia sedang melarikan diri dari negerinya, Tiongkok, karena peperangan besar yang terjadi di sana.

Di Sumatera, kakek mengenal seorang gadis desa yang manis lagi baik bernama Tan Gek Nai yang kemudian ia persunting jadi istrinya. Dari hasil pernikahan itu, lahirlah papa dan pamanku.

Sayang, kebahagiaan itu tidak bertahan lama karena nenekku meninggal setelah melahirkan pamanku, saat itu papa baru berumur tujuh tahun. Pada saat papa berumur delapan tahun, kakek pun menyusul isterinya karena sakit diabetes dan cidera pinggang yang dideritanya.

Dalam keadaan yatim piatu, papa harus berusaha menghidupi dirinya sendiri. Saat itu, ia numpang dengan pamannya di Simpang Tiga. Di sana ia dipekerjakan sebagai pembantu hingga menikah dengan seorang penjaga toko kelontongan.

Papa dan mamaku dibesarkan dengan pendidikan yang kurang. Papa seorang lulusan SMA dan mama hanya bersekolah sampai kelas tiga SD sekolah Cina, karena sekolah itu akan dibongkar paksa karena peristiwa GestOk (PKI, red).

Aku dibesarkan dalam budaya Tiong Hoa yang cukup kental. Dari kecil, aku sudah diajak oleh papa untuk belajar berdagang dan diajarkan berbagai ilmu tentang dagang serta semua keahlian pendukungnya.

Papa seorang perokok dan peminum. Meski demikian, ia tidak pernah ngamuk-ngamuk seperti kebanyakan peminum. Jadi, sejak umur tujuh tahun aku sudah cukup sering minum bir bersama papa, atau pernah satu sempat aku diajak nonton tarian setengah bugil bersama-sama orangtua. Namun, semua itu tidak pernah aku lakukan tanpa orangtua. Hal yang paling dilarang saat itu oleh papa adalah berjudi, merokok, dan main perempuan.

Saat kelas dua SLTP, ada kegundahan yang tak dapat kujelaskan tentang sesuatu yang mengganjal dalam dadaku. Prinsipnya, aku hanya ingin benar-benar meyakini bahwa my religion is the true way of life dan bukan seorang penganut agama keturunan.

Aku memulai perjalanan ruhaniku dari agama Buddha Theravada (Buddha Thailand), Mahayana (Buddha Tiongkok), Tantrayana (Buddha Tibet), Ekayana (Buddha campuran), Buddhayana, Tridharma (Perpaduan agama Buddha, Khong Hu Cu, dan Taoism).

Karena rasa yang mengganjal itu belum terlunaskan, maka aku mempelajari ilmu Taoism Tiongkok dan Taiwan, lalu Hindu Bali dan Hindu India. Masa pencaharian diwarnai suatu tragedi di keluargaku, mamaku menderita Hipertensi dan harus masuk rumah sakit.

Pada saat mama diperiksa, aku mulai putus asa dengan keadaannya. Saat itu aku hanya teringat, bahwa aku harus memohon kepada yang bernama Tuhan, agar mama disembuhkan. Selang beberapa saat, sakit mama mereda. Yang aku panggil saat keadaan terjepit itu adalah Tuhan, bukan nama dewa-dewi yang kukenal ataupun yesus. Fitrah asalku mengatakan bahwa aku butuh Tuhan, tempat aku memohon dan berlindung dalam setiap keadaan.

Sakit yang dialami mama sudah sekitar setengah tahun. Hampir sepuluh juta, uang yang terkuras demi pengobatan mama. Keadaan keluarga semakin morat-marit, tapi mama tak kunjung sembuh. Sejak mama di rumah sakit, akulah yang tinggal di rumah melayani papa dan adikku, dari mulai memasak, membereskan rumah, dan semua yang biasa dilakukan mama.

Saat itu, datanglah tetanggaku yang beragama Nasrani menawarkan untuk refresh ke Gadog Puncak. Tawaran itu aku sambut dengan baik. Kami berangkat jam 4 sore dan sampai di sana sekitar jam 10 malam. Di sana, kami tidur dahulu sampai jam 00.00. Kemudian dibangunkan untuk mendengarkan khutbah malam seorang pendeta dari Sulawesi. Saat itu, kami yang tidak semuanya Kristen pun ikut kebaktian malam. Di villa itu ada yang beragama Khatolik, Buddha, Khong Hu Cu, dan kalau tidak salah ada pula yang beragama Islam.

Si pendeta memulai khutbahnya malam itu selama dua sesi. Sesi pertama adalah kesaksian, ia mengakui bahwa dia tadinya beragama Islam namun ia tidak menemukan kedamaian di sana. Anak dan istrinya pun bergantian bicara tentang keadaan mereka yang buruk ketika beragama Islam. Sesi kedua, ia berusaha agar kami yang di sana berucap "haleluya" bersama-sama.

Setelah sekian lama mengikuti kegiatan mereka, termasuk mencoba untuk mengkristenkan kedua orangtua saya dengan dalil-dalil gerejawi, timbul sebuah pertanyaan yang paling mendasar dalam diri saya, mengapa aku semakin ragu terhadap Yesus. Keraguan itu aku tanyakan kepada gembala gereja, tapi yang kudapat hanyalah doktrin-doktrin gerejawi.

Aku semakin tidak percaya lagi dengan doktrin-doktrin gerejawi tentang Yesus. Aku berusaha menghilangkan gambaran Yesus dari pandanganku dengan mengatakan bahwa aku tidak mencintainya lagi. Di kemudian hari, aku baru sadar bahwa hampir saja aku menjadi korban Kristenisasi sepertinya dengan metode hipnotis diri dan jin.

Setelah itu, aku kembali pada agama semula, Khong Hu Cu. Lagi-lagi Allah memberikan hidayah kepadaku melalui pengalaman ghaib.

Ketika itu aku sedang sembahyang di sebuah kelenteng. Seperti biasanya, aku mulai mengambil Hio atau dupa panjang, menyalakannya, dan mulai menancapkannya di setiap dewa-dewi yang telah ditentukan sambil berdo'a.

Ketika sampai di dewa terakhir, ada sebuah suara yang berbicara di telinga kananku. Dia bertanya tentang apa yang sedang aku sembah. Aku menjawab, bahwa yang aku sembah itu adalah Buddha. Lalu ia bertanya lagi tentang yang mana Buddha itu. Aku menunjuk patung Buddha untuk menjawab pertanyaan itu.

Ia bertanya lagi tentang yang aku tunjuk itu. Dengan sedikit merasa salah, aku mengatakan bahwa itu patung. Ia bertanya lagi tentang siapa yang menciptakan patung? Aku menjawab, manusia!

Ia bertanya lagi siapa yang menciptakan manusia? Aku mengatakan, Tuhan! Sayup tapi pasti, suara itu mengatakan. "Itulah yang kamu cari. Carilah Tuhanmu, Tuhan Yang Menciptakan kamu dan aku, Tuhan Pencipta semesta alam ini, Tuhan Yang Membuat semua yang tiada menjadi ada. Ia Yang Pertama dan Terakhir.

Ketika aku bekerja sebagai pencuci diesel, dari stasiun Poris, naik sekeluarga Muslim yang terlihat taat agamanya. Betapa harmonis dan hangatnya keluarga mereka. Semuanya itu membuatku penasaran, hingga aku memberanikan bertanya pada bapaknya tentang resep membina keluarga seperti itu. Jawabannya sangat menakjubkan, "Allah lah yang telah membentuk keluarga seperti ini."

Allah terus membimbingku untuk kembali kepadaNya lewat berbagai peristiwa yang memberikan hikmah mendalam pada diriku. Semuanya membuatku semakin merasa perlu mencari obat kegelisahan hatiku. Hidayah terakhir yang terjadi padaku adalah sebuah perjalanan ruhani. Aku mengalami empat hal yang membuatku tidak lagi dapat berpaling dari kebenaran Islam dan kerinduanku untuk segera menghampiri agama Allah itu.

Perjalanan pertama adalah aku mati suri selama enam jam. Di perjalanan, rohku sampai di suatu tempat yang sangat putih bersih yang di sana aku memakai sorban putih, gamis putih, dan memegang tasbih putih serta mulai berjalan menuju sajadah yang berwarna putih. Sayup-sayup terdengar bacaan Yaasiin dari seorang laki-laki, ketika aku sudah mulai duduk di atas sajadah putih itu. Aku pun mulai mengucapkan satu kata yang belum pernah aku ucapkan sebelumnya, "Subhanallaah", aku bertasbih terus sampai adzan subuh sayup-sayup berkumandang.

Perjalanan kedua, aku terbang di kegelapan malam. Aku melihat sebuah cahaya keemasan yang setelah aku dekati ternyata sebuah mushala kecil yang terbuat dari kayu cendana. Setelah aku masuk mushala itu, aku mulai membaca Al-Qur'an yang sebelumnya belum pernah aku mengerti.

Perjalanan ketiga, ketika mau tidur, ada sebuah bayangan memakai gamis dan sorban putih masuk lewat jendelaku. Selama kurang lebih lima menit, ia mengatakan, "Laa Ilaaha illallaah." Pada pertemuan selanjutnya, ia memakai sorban dan jubah hitam serta masih melafalkan kalimah Thayyibah.

Perjalanan keempat, aku diperjalankan melihat padang Mashyar, di mana aku melihat samudera manusia berkumpul. Akhwat di sebelah kananku dan yang ikhwan di sebelah kiriku. Mereka semua berpakaian jilbab putih-putih dan kebaya bagi yang akhwat dan sorban atau peci putih bagi yang ikhwan.

Aku berjalan menembus milyaran manusia itu dan sampai di sebuah masjid. Aku masuk ke dalamnya, dan di sana terlihat pula jutaan manusia. Ketika aku hendak berkumpul dengan orang-orang itu, ada seorang nenek-nenek yang memanggil ke depan dan meminta aku membaca Yaasiin, tetapi aku tolak karena aku tidak dapat membacanya.

Alhasil, aku dikurung di suatu tempat di dalam masjid itu. Tidak begitu lama, aku dikeluarkan dari tempat itu dan diminta untuk membaca Yaasiin sekali lagi. Aku menolaknya kembali. Setelah itu, nenek tersebut tertawa dan mengatakan, "Sejak kamu dilahirkan di atas dunia ini, kamu telah ditidurkan di atas sajadah."

Seketika itu aku bangun dan langsung pergi ke mushalla SMU-ku dan berwudhu sekedarnya serta memohon kepada Allah. Jikalau memang ini yang Allah inginkan, maka aku memohonkan agar Dia memudahkan jalanku untuk memeluk Islam. Alhasil, beberapa hari setelah itu, tepatnya 28 Ramadhan 1420 H, di Masjid Lautze, Pasar Baru Jakarta, aku ber-Islam.

Sumber: mualaf.com

Caroline Bate, Kecenderungan Baru Mualaf di Inggris


Swaramuslim.net - Caroline Bate adalah tipikal perempuan Inggris yang terpelajar. Ia pernah mempelajari bahasa Rusia dan Jerman sebelum akhirnya memilih jurusan manajemen dan mendapatkan gelar kesarjanaan di bidang itu dari Universitas Cambridge.Lalu apa yang membuat Caroline istimewa? Yang membuatnya istimewa adalah minatnya terhadap agama Islam. Caroline mempelajari Islam dan merasa dirinya sebagai Muslim meski secara resmi ia belum mengucapkan dua kalimat syahadat.

Caroline mewakili kalangan muda, kulit putih dan terpelajar di Inggris yang cenderung memiliki minat untuk mempelajari agama Islam. Sejumlah masjid di London mengakui adanya kecenderungan yang makin meningkat itu, bahkan bukan hanya berminat mempelajari Islam tapi juga menyatakan diri masuk Islam, terutama sejak peristiwa serangan 11 September 2001 di AS. Seperti Caroline, warga Inggris yang masuk Islam kebanyakan berasal dari kalangan kelas menengah yang sudah mapan, punya karir yang bagus dan memiliki latar belakang kehidupan pribadi dan sosial yang bahagia.

Dalam artikel "Wajah Baru Islam" yang dimuat di situs Islam For Today, penulisnya, Nick Compton menyebutkan bahwa trend semacam itu bukan hal yang baru di Inggris. Ia menyebutkan sejumlah warga asli Inggris ber "darah biru" yang memutuskan untuk menjadi seorang muslim, misalnya Jonathan Birt, putera dari Lord Birt yang masuk Islam pada tahun 1997 dan Joe Ahmed Dobson, putera mantan Menteri Kesehatan Inggris.

Seperti di negara Barat lainnya, isu Islam radikal juga mengemuka di Inggris pasca peristiwa 11 September. Di Inggris, tokoh muslim Abu Hamza Al-Masri ditudingsebagai tokoh radikal yang telah mencekoki anak-anak muda Muslim dengan pemikiran ekstrim. Tapi di sisi lain, justeru makin banyak kalangan kulit putih dari kelas menengah di Inggris yang masuk Islam. Kebanyakan dari mereka mengetahui Islam dari teman-temannya, dari buku bacaan dan dari para juru dakwah di Inggris yang meyakinkan mereka bahwa Islam bukanlah agama misionaris seperti agama Kristen.

Caroline memiliki pengalaman unik bagaimana pertama kali mengenal Islam dan meyakininya sebagai agama yang sempurna dan paling masuk akal. Semuanya berawal ketika teman sekolahnya menikah dengan seorang muslim asal Tunisia. "Tadinya saya cuma ingin mempelajari sisi budayanya dan bukan agamanya. Tapi dari literatur yang saya baca mendorong saya untuk juga membaca tentang ajaran Islam, yang menurut saya sangat masuk akal dan sempurna," kata Caroline.


Aisya (d/h Eleanor Martin)

Lain lagi pengalaman Roger (bukan nama sebenarnya) yang berprofesi sebaga dokter. Ia mengatakan, sekitar satu setengah tahun yang lalu ia sering membicarakan tentang Islam dengan rekan-rekan kerjanya yang Muslim. "Semua yang saya dengar tentang Islam dari media massa adalah Hizbullah, kelompok gerilya dan sejenisnya. Lalu saya mulai mengajukan beberapa pertanyaan tentang Islam pada kolega saya yang Muslim dan saya sangat prihatin dengan ketidaktahuan saya selama ini," aku Roger yang kemudian memutuskan masuk Islam.

Bagi para mualaf itu, memeluk Islam ibarat melakukan 'operasi penyamaran'. Mereka harus membaca, bicara, mendengarkan dan belajar tentang Islam secara diam-diam. Yang paling berat adalah ketika mereka harus mengakui keislaman mereka pada teman-teman dan keluarga. Banyak diantara mualaf baru itu yang menghadapi rasa takut, skeptis bahkan respon berupa sikap kebencian.

Eleanor Martin, seorang artis di era tahun 1990-an yang kemudian dipanggil Aisya adalah salah seorang mualaf di Inggris yang mengalami masa-masa berat itu. Ia mengenal Islam dari Mo Sesay, seorang muslim, dalam satu acara yang sama-sama dibintangi oleh Eleanor.

"Yang ada di pikiran saya tentang Islam adalah orang Islam suka membunuh dan lelaki muslim suka memukul perempuan. Tapi pikiran itu berubah setelah saya melihat perilaku Mo Sesay. Kami berdiskusi dan Sesay membuka mata saya tentang Islam yang sebenarnya," ungkap Eleanor yang masuk Islam pada tahun 1996.

Awalnya, Eleanor menyembunyikan keislamannya karena takut menghadapi reaksi keras dari teman-teman dan keluarganya. "Saya sangat khawatir dengan reaksi ayah. Ia seorang Kristiani yang taat dan memilih berhenti dari pekerjaannya untuk menjadi pendeta," ujar Eleanor.

Ia lalu bertemu dengan seorang aktor Amerika keturunan muslim Afrika bernama Luqman Ali. Keduanya menikah dan Eleanor punya alasan untuk memberitahukan keislamannya pada keduaorangtuanya. "Saya pulang ke rumah dan berkata, 'saya ingin mengabarkan bahwa saya sudah menikah dan saya sekarang seorang muslim'. Ibu saya menyambut gembira tapi ayah saya langsung berkomentar 'saya pikir saya ingin minum-minum sekarang'," tutur Eleanor menceritakan pengalamannya masuk Islam.

Namun sebagian mualaf mengakui bahwa tinggal di negara yang multi etnis lebih mudah bagii seorang mualaf. Stefania Marchetti kelahiran Milan, Italia yang hijrah ke London untuk kuliah mengakui, kemungkinan akan sulit baginya untuk masuk Islam di Italia. "Media massa Italia sangat anti-Islam dan masyarakat Italia pada umumnya beranggapan bahwa semua lelaki muslim adalah teroris dan semua perempuan muslim adalah budak," ungkap Marchetti yang awalnya beragama Katolik dan masuk Islam pada tahun 2001.

Masjid-masjid di Inggris memberikan bimbingan bagi para mualaf baru dalam menjalani kehidupan baru mereka sebagai muslim. Berdasarkan sensus tahun 2001, jumlah Muslim di Inggris mencapai 1,6 juta jiwa. Sejak sensus itu terjadi kenaikan jumlah muslim di Inggris sebanyak 400.000 orang. Dan menurut Mendagri Inggris, Jacqui Smith pada tahun 2008 tercatat 10 ribu jutawan Muslim di Inggris dan secara umum komunitas Muslim Inggris telah memberikan kontribusi sebesar 3,1 miliar pounsterling per tahun bagi perekonomian Inggris. (ln/IFT/MualafOnline/eramuslim)

Fathima Lienberg, Kartu Identitas Muslim yang Membanggakan

Nama saya Fathima Lienberg, seorang wanita kulit putih yang memeluk Islam pada tahun 1995. Saya sangat bangga bisa mengatakan: Saya seorang Muslim! Saya masuk Islam bukan karena putra saya. Bagi saya itu adalah perjuangan yang panjang dan berat, karena harus mengorbankan pekerjaan, teman, dan keluarga.

Sebelum memeluk Islam, saya adalah seorang Kristen yang sangat taat, pengikut Gereja Pantekosta. Saya biasa memungut anak-anak jalanan lalu membawa mereka ke gereja dan sekolah minggu. Kehidupan saya hanya berkutat seputar membaca dan mempelajari Bibel. Hingga satu hari, anak laki-laki saya bercerita tentang Islam.

Suatu hari, ia datang dan berkata, "Ibu, mengapa ibu tidak menjadi seorang Muslim saja?"

Saya sangat terkejut sekali mendengarnya dan langsung mengatakan, "Tidak akan pernah."

Lalu putra saya berkata, "Ibu, Islam itu agama yang murni dan bersih. Mereka shalat lima kali sehari."

Saya kemudian memutuskan akan membaca buku-buku dan terjemahan Al-Quran. Semakin saya baca Al-Quran, semakin saya yakin Islam adalah agama yang tepat untuk saya. Saya pun berpaling ke Allah, dan akhirnya menemukan kedamaian dan ketenangan.

Saya menyembunyikan tentang keislaman ini dari keluarga, hingga satu hari saya putuskan untuk menelepon saudara laki-laki saya.

Ia sangat terkejut, karena kami adalah keluarga Kristen yang sangat taat dan alim. Saya adalah satu-satunya yang pindah memeluk Islam. Keluarga menelepon dan mengatakan agar saya tidak perlu menghubungi mereka lagi, karena saya bukan lagi bagian dari keluarga. Saya sangat mencintai mereka dan merindukannya, tapi saya tahu satu saat pasti akan bertemu kembali. Insya Allah.

Saya sangat gembira ketika mendapatkan 'kartu identitas Muslim', rasanya seperti berdiri di atas atap tertinggi dan berteriak, "Saya seorang Muslim." Saya kehilangan keluarga, tapi saya memperoleh keluarga baru dalam Islam.

Keluarga saya, umat Islam, sangat mengagumkan. Saya sulit untuk mengungkapkannya. Saya ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada keluarga Fakhruddin. Saya mencintai kalian, yang telah memperlakukan saya layaknya keluarga sendiri. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian.

Semoga Allah membalas kebaikan Appa Tasneem. Ketika saya berada di Madrasahmu bersama anak-anak kecil, rasanya seperti dikelilingi malaikat kecil di surga. Saya sangat gembira, karena Allah Ta'ala memilih saya untuk menjadi seorang Muslim.

Saya langsung memakai hijab begitu memeluk Islam, dan tidak akan pernah menanggalkannya. Harapan saya hanyalah bisa pergi ke Mekah, meskipun saya ragu apakah mungkin bisa. Tapi insya Allah, satu hari Allah akan memampukan saya pergi ke sana. Setiap kali saya ingin dekat dengan Allah, maka saya melakukan sunnah-sunnah yang diajarkan Nabi kita tercinta Shalallahu Alaihi Wasallam.

Kertas-kertas tidak akan cukup untuk menceritakan apa yang ingin saya ungkapkan tentang Islam. Saya berterima kasih pada keluarga Kazi, dan para ulama di Jamiatul Ulama serta saudara kita Ahmad Deedat.

Islam adalah pedoman hidup. Islam artinya kedamaian dan Muslim adalah orang yang mencari kedamaian dengan cara beribadah pada Allah Ta'ala.

Bukanlah hal yang mudah bagi saya, seorang wanita Muslim kulit putih yang hidup di antara umat Kristen. Tapi, saya tegakkan kepala ini dan sangat bangga menjadi seorang Muslim. Jadi saudara-saudaraku semua yang dilahirkan sebagai Muslim, namun belum menjadi Muslim yang taat, maka masih ada kesempatan. Mulailah sejak esok atau mungkin malam ini, tegakkanlah kepala-kepala kalian dan tunjukkan pada dunia, bahwa kalian bangga menjadi orang Muslim.

di/is/www.hidayatullah.com

Hidayah Allah turun kepada Aminah Assilmi

Aminah Assilmi Saat menjadi pembaptis dari Oklahoma wanita ini mempelajari Islam untuk mengajak teman sekampusnya memeluk Kristen. Tapi yang terjadi kemudian sungguh jauh dari dugaan. Namanya Aminah Assilmi. Saat kuliah dia mengambil program studi pariwisata di sebuah perguruan tinggi di Amerika. Pertama kali dia bertemu orang Islam saat kuliah, tepatnya pada tahun pertama memasuki dunia akademik perkuliahan.

Saat perkuliahan berlangsung, Aminah biasanya duduk di barisan terdepan. Dia selalu mencatat dan mengingat penjelasan para dosen. Dia adalah peraih beberapa penghargaan di kampusnya, sebuah prestasi yang membuat namanya mudah diingat orang.

Aminah bukan orang yang mudah bergaul. Agak sulit baginya untuk memulai pembicaraan, terlebih menjadi pemecah keheningan. Aminah mau berbicara jika terpaksa.

Hanya kepada satu golongan saja dia sungguh merasa nyaman, dan mudah berinteraksi. “Anak-anak adalah sekumpulan orang yang membuat saya nyaman,” terangnya.

Kalau sudah bersama mereka, senyuman perempuan ini terlihat bagai bunga merekah di musim semi. Senyuman itu muncul bukan karena kesenangan materi, tapi karena sebuah kebahagiaan bercengkerama sekaligus mendidik makhluk Tuhan yang masih suci dari dosa pengotor hati.

Mungkin menjadi beban pikirannya juga jika selama ini dia sulit bergaul dengan teman-temannya. Entah dia merencanakan untuk menghilangkan kelemahannya itu atau tidak, yang jelas dia terpilih mengikuti drama teaterikal.

Tak sanggup rasanya meneruskan kegiatan ini. Bayangkan, berhadapan dengan sedikit orang saja Aminah sulit memulai pembicaraan, apalagi ketika berhadapan dengan ratusan atau ribuan orang yang menonton pentasnya.

“Sangat mengerikan,” kesannya, “di hadapan kelas saja saya tidak berani bertanya bagaimana caranya pergi ke panggung berhadapan dengan orang banyak?”

Sesampainya di rumah, dia keluhkan masalah itu kepada suaminya. Berdasarkan saran suaminya, Aminah perlu menjelaskan kepada gurunya tentang kekurangannya itu, dan mengganti kegiatan drama teaterikal dengan seni lukis.

Kali ini Aminah berani berhadapan dengan gurunya. Dan berhasil. Permintaan Aminah diterima. Hari berikutnya dia masuk kelas seni lukis dengan penuh bahagia. Tidak ada lagi yang menonton, yang melihat wajah Aminah hanya koas, kertas, atupun kain kanvas untuk melukis.

Ketika membuka pintu kelas perasaan gamang mulai menghantui pikirannya. Pada mulanya dia mengira pengikut kelas seni lukis adalah orang-orang sebangsanya, orang Amerika, atau kulit putih pada umumnya. Ternyata bukan. Kelas itu penuh dengan orang Arab Muslim. Aminah menganggap mereka “penunggang onta”

Dalam pikiran Aminah, orang-orang Muslim tidak bisa dipercaya. Mereka dianggap penipu dan selalu dibenci. Keinginan untuk melangkah masuk dia tahan. Pintu kelas ditutupnya dan kembali pulang. “Bagaimana bisa saya berkumpul dengan penyakit membahayakan, bisa tertular juga di kemudian hari,” ungkapnya mengenang isi hatinya saat itu.

Kembali dia melapor tentang kejadian itu kepada suaminya. Aminah bisa saja memutuskan langsung apa yang hendak dia perbuat kemudian, tetapi harus dipikirkan dulu, barangkali Tuhan punya maksud tertentu, begitu suaminya memberi saran.

Di samping itu, dia juga tidak mau menyia-nyiakan beasiswanya. Kalau disia-siakan, huruf F, abjad yang menggambarkan nilai terendah mahasiswa, akan merenggut beasiswanya.

Suatu ketika dia paksa dirinya masuk kelas. Dia masuk dan mengikuti kegiatan kelas. Di saat pengajar tidak ada dia berdiri di depan kelas, menjelaskan betapa cintanya Yesus kepada semua manusia. “Saking besar cintanya, dia korbankan dirinya untuk menebus dosa-dosa kalian semua,” ungkapnya. Yang harus dilakukan manusia kini hanyalah mengakui keyakinan itu di dalam lubuk hatinya.

Para pelajar Islam itu diam saja. Dengan penuh sopan – tanpa tindakan anarkhis sedikit pun – mereka menolak ajakan Aminah.

Tidak putus asa, kali lain Aminah mencoba membenarkan ajaran Yesus dengan meminjam argumentasi-argumentasi Islam. Dia pelajari al-Qur’an. Dia baca 15 buku Islam, salah satunya sahih Bukhari. Tanpa dia sadari, mempelajari ajaran Islam mengubah kesehariannya. Biasanya setiap Jumat dan Sabtu selalu pergi ke bar, atau ke sebuah pesta, bersama suami. Setelah mempelajari Islam tidak lagi. “Sedikit berubah memang, tapi cukup mengganggu suami saya,” ungkapnya.

Kepribadiannya pun ikut berubah. Aminah terlihat lebih sering tutup mulut dan menjaga jarak, tidak seperti biasanya. Karena merasa terganggu, sang suami meninggalkannya. Aminah pindah ke sebuah apartemen bersama anak-anaknya.

Di apartemen baru itu – suatu ketika – seseorang mengetuk pintu. Apartemen Aminah kedatangan seorang Muslim. Tamu itu bernama Abdul Aziz al-Syaikh. Sabar orangnya. Dalam berdiskusi tidak pernah menjatuhkan lawan bicara. Sang tamu bertanya apakah Aminah mempercayai keesaan Tuhan, dan mengakui kenabian Muhammad. Kedua jawabannya adalah iya.

“Selamat, Anda sudah menjadi seorang Muslim,” ungkap tamu itu. Aminah membantah. “Saya tidak ingin menjadi Muslim. Saya ini orang Kristen,” ungkapnya.

Terbayang dalam hati, dirinya tidak bisa menjadi Muslim. “Apa kata suamiku nanti jika aku Muslim. Bisa-bisa cerai nanti, dan keluargaku bisa mati,” keluhnya jika benar dia sudah menjadi Muslim.

Atas kekhawatiran Aminah, Abdul Aziz menjelaskan, untuk memahami pengetahuan, dan menggapai hirarki spiritual, seseorang itu ibarat menaiki tangga. Satu per satu anak tangga dipijak. Jika satu anak tangga saja diabaikan, maka berpotensi jatuh. Dan Syahadah adalah anak tangga pertama yang harus dipijak.

Pada bulan Mei 1977 – tanggal 21 tepatnya – Aminah mengucap Syahadah, memalingkan keyakinannya dari Kristen ke Islam. Masih ada keraguan yang dia terima. Meski bersyahadah, dia tidak mau memakai jilbab.

Memang benar, syahadah adalah pondasi awal yang kuat bagi bangunan pengetahuan spiritual, menjadi pintu awal menuju ridha Ilahi. Dan rasanya, semenjak mengucapkan syahadah, terbuka peluang Aminah menggapai keduanya.

Semenjak itu, Abdul Aziz sering datang ke rumahnya untuk berdialog. Kepada Aminah dia menjelaskan, ”Bertanya adalah salah satu cara menggapai pengetahuan.”

Semakin sering dia mempelajari Islam semakin dalam ilmu yang didapat. Aminah memutuskan untuk mengenakan jilbab. “Sudah lupa saya kapan pertama kali berjilbab,” ungkapnya, “itu saya lakukan begitu saja.”

Setelah sekian lama mempelajari Islam dia berkesan, pada mulanya tidak bermaksud menemukan apapun yang dia inginkan untuk hidupnya sekarang ini. “Kini aku menyadari Islam mengubah kehidupanku,” jelasnya, “dan tidak seorang pun meyakinkanku mencapai kedamaian, cinta, dan kesenangan karena Islam.

Berat terasa. Kehidupannya hanya sebatang kara, tinggal di lautan manusia tapi dianggap seperti bukan manusia. Aminah yang kini berjilbab dipandang sebagai makhluk teraneh di dunia. Dia bercerai dari suaminya. Anak-anaknya diasuh oleh suaminya, begitu pengadilan memutuskan, karena agama Aminah dianggap ancaman bagi perkembangan psikologi anak.

Hati Aminah sungguh terluka. Pikirannya terus merekam perpisahan dengan anak-anaknya, buah hati yang dia lahirkan dengan taruhan nyawa. Setelah buah hatinya pergi seluruh keluarganya ikut meninggalkan Aminah. Teman-temannya pun menghilang. Pekerjaan pun sirna.

Di tengah kesedihan itu, hanya seorang saja yang mau menemaninya. Hanya neneknya saja yang mau menampung. Dan ikut menjadi Muslim. Sayang tidak lama kemudian dia meninggal.

Dalam kesehariannya, Aminah selalu mempelajari Islam. Banyak perubahan terjadi di kemudian hari, dari sosok yang alergi tampil di depan publik menjadi seorang orator. Dia berceramah dari satu seminar ke seminar lainnya.

Beberapa tahun kemudian kesendiriannya mulai terobati. Sang Ibu yang menolaknya kini memanggilnya kembali, dan menyatakan ingin menjadi Muslim.

“Apa yang harus aku lakukan,” tanya sang ibu. Aminah dengan rendah hati menjawab, hanya dengan mengakui keesaan Tuhan dan mengakui Muhammad sebagai nabi.

“Itu saja?” ungkap sang ibu terkesima, betapa mudahnya menjadi seorang Muslim, “semua orang pun bisa mengetahui itu.” semenjak itu sang ibu memeluk Islam. “Tapi jangan kasih tahu ayahmu dulu ya,” pesannya.

Tidak lama kemudian diketahui, sang ayah rupanya sudah lebih dulu memeluk Islam. saudaranya juga demikian. Sang suami yang dulu menceraikannya juga ikut menjadi Muslim.

Sebuah pertemuan dengan sang suami terjadi. Di hadapan Aminah, sang suami meminta maaf atas kesalahannya. “Aku sudah memaafkanmu sejak dulu,” ungkap Aminah.

Kini Aminah tidak lagi sebatang kara. Keluarganya kini kembali dengan utuh. Anak pertamanya, Whittney, menyusul menjadi Muslim.

Bertahun-tahun berdakwah tanpa putus asa. Bukan tanpa hasil, di dunia saja dia sudah merasakan, betapa bahagianya kembali berkumpul bersama keluarga. Begitulah Aminah berjuang. Tiada yang dia yakini kecuali Islam, agama yang baginya patut dibela, dan diperjuangkan. (sabily.com/azzamudin.wordpress.com)

Peter Scott: Kebencian itu Awal dari Hidayah

Rabu, 10 Pebruari, kota New York sedang dilanda badai salju. Sejak tengah malam lalu, salju turun tiada henti membuat jalanan menjadi sepi dan licin. Kebanyakan warga memilih tinggal di rumah, berbagai institusi ditutup sementara, termasuk sekolah-sekolah dan bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Aku sendiri cukup malas untuk meninggalkan rumah pagi. Tapi entah apa, rasanya aku tetap terpanggil untuk melangkahkan kaki menuju kantor PTRI, dan selanjutnya ke Islamic Center. Ternyata kantor PTRI juga pagi ini hanya dibuka hingga pukul 12 siang.

Aku segera menuju Islamic Cultural Center of New York dengan tujuan sekedar shalat dzuhur dan asar sekalian. Lazimnya, ketika ada badai salju atau hujan lebat, jama’ah meminta untuk menjama’ shalat. Setiba di Islamic Center aku segera menuju ruang shalat, selain untuk melihat apakah pemanas ruangan telah dinyalakan atau belum, juga untuk shalat sunnah.

Tiba-tiba saja Sekretaris memanggil, “Some one is waiting for you!”. “Let me do my sunnah and will be there!,” jawabku.

Setelah shalat sunnah, segera aku menuju ke ruang perkantoran Islamic Center. Di ruang tamu sudah ada seseorang yang relatif berumur, tapi nampak elegan dalam berpakaian. “Hi, good morning!,” sapaku. “Good morning!,” jawabnya dengan sangat sopan dan ramah. “Waiting for me?,” tanyaku sambil menjabat tangan. “Yes, and I am sorry to bother you at this early time,” katanya sambil tersenyum.

Aku mengajak pria berkulit putih tersebut ke ruangan kantor aku. Dengan berbasa-basi aku katakan “Wah mudah-mudahan Anda diberikan pahala atas perjuangan mengunjungi Islamic Center dalam suasana cuaca seperti ini,” kataku. “Oh not at all!. We used to this kind of weather,” jawabnya.

“So, what I can do for you this morning,” tanyaku memulai pembicaraan. Tanpa aku sadari orang tersebut masih berdiri di depan pintu. Barangkali dia tidak ingin lancang duduk tanpa dipersilahkan. Memang dia nampak sopan, tapi dari kata-katanya dapat dipahami bahwa dia cukup terdidik.

“Please do have your sit!,” kataku. “Thanks sir!,” jawabnya singkat.

Setelah duduk Aku ulangi lagi, pertanyaan sebelumnya “what I can do for you this morning?.” Sambil membalik posisi duduknya, dia melihat ke arahku dengan sedikit serius, tapi tetap dengan senyumnya. “I am here for….,’ seolah terhenti..”for some clarifications!,” jawabnya. Intinya, ia mengaku telah banyak membaca, mengamati dan belajar agama. "Harus jujur Aku tahu tentang hal itu banyak," jelasnya.

“That’s great!,” selaku. Dia mengaku, dari waktu ke waktu, pertanyaan tentang agamanya terus bertambah. Sementara perasaan terhadap Islam justru makin tumbuh.

Pria itu, merubah posisi duduknya dan bercerita. "Aku dulu sangat marah. Aku benar-benar membenci agama ini!, jelasnya. “Aku merasa agama dan para pengikutnya telah menyerbu negara saya, “ tambahnya dengan sangat serius. "Jadi, apa yang terjadi?, pancingku menyambung ceritanya.

Singkatnya, aku menuliskan beberapa catatan ceritanya, bagaimana kebenciannya kepada agama Islam menjadi awal ‘kehausan’ untuk mencari tahu.

Suatu hari dia membeli makanan di pinggir jalan (Halal Food) di kota Manhattan. Sekedar untuk diketahui, mayoritas mereka yang jual makanan di pinggir jalan di kota New York adalah Muslim. Lalu menurutnya, di gerobak penjual makanan itu tertulis “Laa ilaaha illa Allah-Muhammad Rasul Allah” dalam bahasa Arab. Kebenciannya yang amat sangat kepada Islam, membuatnya tidak bisa menahan diri untuk mengata-ngatai penjual makanan itu dengan kalimat, “don’t turn people away from buying your food with that ….(bad word)’, katanya sinis!.

Tapi menurutnya lagi, sang penjual itu tidak menjawab dan hanya tersenyum, bahkan merespon dengan “Thank you for coming my friend!.”
Singkatnya, menurut dia lagi, sikap ramah si penjual makanan itu selalu teringat dalam pikirannya. Bahkan sikap itu menjadikannya merasa bersalah, tapi pantang untuk datang meminta maaf. Ketidak inginannya meminta maaf itu, katanya sekali lagi, karena kebenciannya kepada agama ini (Islam, red). "Itu benar-benar membuat saya marah kepada diri saya, namun di saat yang sama, saya benar-benar ingin tahu,” sambungnya.

“Awalnya, aku hanya googling beberapa informasi mengenai agama. Kemudian mendengarkan beberapa ceramah di Youtube (terutama ceramah Hamzah Yusuf), “ ujarnya. Setelah itu kemudian membeli beberapa buku karangan non Muslim, termasuk sejarah Rasul oleh Karen Amstrong, Syari’ah oleh John Esposito, dll.

"Semakin saya pelajari, semakin aku merasa menjadi curiga dan bingung,” akunya. “Tapi apakah Anda pernah berpikir sebelumnya, mengapa begitu?,” ujarku. “Saya tidak tahu, saya kira faktor media, katanya. Yang jelas, setiap kali dia melihat pemboman, pembunuhan, pengrusakan, dan bahkan beberapa aksi film, ada-ada saja Muslim yang terkait. "Saya benar-benar tidak tahu dan bingung, apa yang sedang dipraktikkan orang-orang Islam ini?."

Dia kembali berbicara panjang, seolah menyampaikan ceramah kepadaku tentang “jurang besar” antara ilmu tentang Islam yang dia pahami dan berbagai perangai yang dia lihat dari beberapa Muslim selama ini. Di satu sisi, dia kagum dengan sikap penjual makanan tadi. Tapi di satu sisi, dia marah dengan sikap beberapa orang Islam yang justru melakukan apa yang disebutnya sebagai “kejahatan atas nama Islam.” “Dan demikian, aku pada pihak mana? Apakah suatu hari nanti aku akan menjadi seorang Muslim?, tanyanya pada dirinya sendiri.

Setelah selesai, aku kemudian memulai mengambil kendali. “Pertama, saya ucapkan selamat!,” kataku singkat. Tapi justu nampak bingung dengan ucapanku itu.

Segera aku sambung ‘You have been a real American!’. Dia tersenyum tapi masih belum paham.

“Kemarahan Anda dapat dimengerti,” kataku. Pertama-tama, karena Anda tidak tahu dan akan mencari serta bertanya tetang itu. Kedua, faktor media dan obat untuk itu adalah memperjelas. Dan saya pikir Anda melakukan yang kedua, “ tambahku

Aku mengajaknya mendiskusikan berbagai hal. Mulai dari sejarah peperangan, terorisme, pembunuhan, pengrusakan, dari dulu hingga sekarang. Dan sebaliknya, bagaimana Islam telah memainkan peranan besar dalam membangun peradaban manusia.

“Sepanjang sejarah manusia, apa yang Anda lihat sekarang ini tidaklah terlalu mengejutkan dan hal baru. Berapa banyak nyawa telah diambil, properti dihancurkan dan rumah rusak?,” tanyaku. "Dan dari awal Nabi Muhammad mengajarkan agama ini pada abad ke-7 di Arabia, hingga hari ini, berapa banyak perang dan pembunuhan yang telah melibatkan Muslim sebagai pelaku?,” pancingku lagi.

Dia nampak hanya geleng-geleng kepala dengan contoh-contoh yang aku berikan. Dari Hitler, Stalin, Perang Dunia I dan II, Hiroshima dan Nagasaki , dst. Berapa diantara mereka yang terbunuh, dan siapa yang melakukan? Peperangan di Iraq, berapa yang terbunuh ketika jet-jet Amerika mendrop boms di perkampungan- perkampungan? Siapa mayoritas tentara Amerika?

Kemudian, pernahkan dilakukan studi secara dekat, untuk mengetahui apakah benar bahwa pemboman, pembunuhan, pengrusakan yang dilakukan oleh beberapa Muslim selama ini, walau atas nama Islam, memang dibenarkan oleh Islam? Dan benarkah bahwa memang motifnya karena memjuangkan Islam dan Muslims, atau karena memang Islam dan Muslim adalah jembatan menuju kepada ‘interest’ tertentu?, ceritaku panjang lebar.

Tak terasa, waktu adzan dhuhur telah tiba. “Sorry, that is what we call adzan or the call to pray,” jelasku. Aku diam sejenak, dia juga nampak diam mendengarkan adzan dari Sheikh Farahat, muadzin yang baru diterima sebagai pegawai di Islamic Center. Suara tammatan Al-Azhar ini memang sangat indah.

Setelah adzan, aku kembali menyambung pembicaraan. Saat ini kita membicarakan berbagai ketidakadilan yang terjadi di berbagai belahan dunia, dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Secara ekonomi hanya segelintir yang menikmati kue alam, secara politik ada pemaksaan sistemik kepada negara lain, dst.

“Dengan semua ini, dan tidak ada cara untuk mengatakan bahwa pembunuhan, terutama ketika kita sampai pada kehidupan dan warga sipil tak berdosa, adalah dibenarkan atas nama berjuang untuk keadilan,” lanjutku.

Tapi karena waktu sangat singkat, aku bertanya “Apa pendapatmu? Apakah ada hal yang membuat Anda berkeberatan?, " pancingku. Dia nampak diam, tapi tersenyum dan mencoba berbicara.

“You are right!,” katanya singkat. "Aku sudah tidak adil untuk diri saya sendiri! Asosiasi saya terhadap Islam dan perilaku sebagian kaum Muslim benar-benar tidak adil.”

“You got the point, sir!”, jawabku singkat. “Sekarang, saya meminta izin sesaat untuk shalat.”

Tiba-tiba saja dia melihatku dengan sedikit serius. Kali ini tanpa senyum dan berkata “Apa yang harus aku lakukan untuk menjadi seorang Muslim?” tanyanya. “Are you serious?” tanyaku. “Yes!” , jawabnya singkat. “Follow me!”, ajakku.

Aku ajak dia ke ruang wudhu, mengajarinya berwudhu, lalu ke ruang shalat. Sambil menunggu waktu iqamah, aku menyampaikan kepadanya. "Apa yang akan saya lakukan adalah membawa Anda untuk menyatakan iman Anda yang baru dengan apa yang kita sebut syahadat. Dan itu adalah untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan yang layak untuk disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya,” jelasku seraya mengingatkan apa yang pernah dia lihat dahulu di gerobak penjual makanan itu.

Sebelum iqamah dimulai aku ajak, Peter Scott, begitu nama pria tersebut, ke depan jama’ah dan menuntunnya mengucapkan “Asy-hadu anlaa ilaaha illa Allah wa asy-hadu anna Muhammadan Rasul Allah,” seraya diikuti gema takbir sekitar 200-an jama’ah shalat Dhuhr hari ini.

“Peter, Anda seorang Muslim sekarang, seperti orang lain di sini hari ini. Tidak ada diantara Anda yang kurang. Sebenarnya, Anda lebih baik dari kami karena Anda dipilih untuk menjadi, bukan hanya dilahirkan ke dalamnya dan mengikutinya,” jelasku sambil meminta untuk mengikuti gerakan-gerakan shalat sebisanya, tapi dengan konsentrasi.

Oleh: M. Syamsi Ali

Allahu Akbar! Semoga Peter selalu dijaga dan dijadikan pejuang di jalanNya! [New York, 10 Pebruari 2010/www.hidayatullah.com]

Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York dan penulis rubrik "Kabar Dari New York" di www.hidayatullah.com

Jacob van Blom, Mengapa Warga Belanda Memilih Islam?

AMSTERDAM – Jacob van Blom, yang lahir dan besar di Rotterdam, memiliki mata biru terang dan jenggot berwarna merah. Ia adalah pendukung Feyenoord dan menjalankan usahanya sendiri. Sebelas tahun lalu, ia masuk agama Islam. Ia mengatakan bahwa orang-orang keliru melihat Islam sebagai budaya asing yang tidak ada hubungannya dengan Belanda , “namun jika Anda memisahkan ajaran intinya dari aspek budaya, kau akan melihat ajaran indah yang benar bagi setiap orang.”

Mengapa orang Belanda masuk Islam? Dan mengapa yang lainnya memandang mereka dengan kebencian dan kecurigaan?

“Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,” ketika Jacob mengucap dua kalimat Shahadat itu matanya berbinar dengan penuh cinta.”Saya dibesarkan sebagai seorang Kristen, namun saya selalu memiliki pemikiran saya sendiri. Dalam Islam, saya menemukan sebuah teori yang telah lama saya yakini. Cocok dengan apa yang saya pikirkan tentang Tuhan.”

Istri Jacob, Stefanie Danopoulos juga tumbuh besar di Rotterdam. Ibunya yang orang Belanda dan ayahnya yang orang Yunani membesarkan dirinya dalam Gereja Ortodoks Yunani. Awalnya, ia tidak merasa senang sama sekali suaminya masuk Islam, namun akhirnya ia menyusul jejak sang suami.

“Ketika suami saya mengumumkan bahwa ia masuk Islam, saya kira ia telah gila. Kau hanya mendengar hal-hal yang buruk tentang Islam dari media, sehingga itu pulalah yang ada dalam pikiran saya. Namun kemudian saya mulai belajar lebih jauh tentang Islam dan itu mengubah perasaan saya.”

Keluarga Stefanie pelan-pelan mulai berdamai dengannya. “Awalnya mereka sangat negatif, namun setelah beberapa tahun mereka menyadari bahwa saya tidak banyak berubah. Saya menjadi sedikit lebih tenang daripada sebelumnya. Orang-orang Ortodoks Yunani sangat relijius dan beberapa dari mereka hanya senang bahwa setidaknya saya percaya akan Tuhan.”

Namun, masyarakat kebanyakan tidak sepengertian itu. Setelah serangan 11 September terhadap AS, Stefanie, yang mengenakan jilbab, beberapa kali diludahi. Terlepas dari hal itu, mereka berdua merasa bahwa mengenakan pakaian yang mencerminkan keyakinan mereka adalah hal yang penting. “Saya tidak peduli jika orang-orang memandang saya aneh di jalan. Saya adalah penganut yang taat dan orang-orang dapat melihatnya dari cara saya berpakaian.”

Jacob mengatakan bahwa ia tahu kepindahannya ke Islam membuat beberapa orang menjadi takut atau marah. “Orang-orang Belanda telah tinggal di bagian planet ini selama bertahun-tahun dan telah mengembangkan sebuah masyarakat dan kebudayaan yang kaya. Saya dapat membayangkan bahwa mereka tidak terlalu senang jika ada kebudayaan dominan tiba-tiba mengambil alih di tengah-tengah semua itu.”

Ketika ditanya tentang kelompok Hofstad, sebuah kelompok Muslim radikal yang didakwa merencanakan serangan di Belanda dan yang pemimpinnya, Mohammad Bouyeri, membunuh pembuat film Theo van Gogh di tahun 2004, Jacob mencela mereka sebagai “para remaja yang berbuat ulah.”

“Mereka hanya sekelompok remaja terisolasi. Jika mereka ada di stadion Feyenoord sini, orang-orang akan menyebut mereka hooligan. Ekstremis Muslim, hooligan, semua itu sama.”

Jacob mengatakan rasa takut akan Islam terutama disebabkan oleh kurangnya informasi. “Di Belanda sini, orang-orang hanya tidak tahu hal-hal dasar tentang Islam. Begitu juga di dalam kepemerintahan, kepolisian, dan agen keamanan.Menurut saya itu sangat menyedihkan. Itulah bagaimana Anda membuat orang-orang ketakutan.”

rin/ie/www.suaramedia.com

Zarif Aarif: Aku Tersentuh dengan Toleransi yang Diajarkan Islam

Zarif Aarif adalah nama Islamnya sekarang. Pria Australia yang dibesarkan dalam keluarga yang menganut agama Kristen memutuskan masuk Islam karena begitu terkesan dengan toleransi yang diajarkan Islam terhadap penganut agama lain. Ia pertama kali mengenal Islam saat remaja ketika berkunjung ke Maroko dan ke Granada sebuah kota di distrik Andalusia, Spanyol.

Di Maroko, Aarif terpesona melihat seni budaya Islam dan ikut merasakan atmosfir budaya islami dalam kehidupan sehari-hari penduduk negeri itu. Di Alhambra ia menyaksikan pemandangan berupa arsitektur bangsa Moor dalam wujud perkebunan yang di bagian dibawahnya mengalir sungai-sungai.

Pemandangan yang membuatnya tersentuh dan kagum. Di masa kecilnya dulu, Aarif lebih senang berayun-ayun di tali lonceng gereka sambil berteriak-teriak menirukan Tarzan daripada ikut latihan paduan suara gereja. Ia selalu punya alasan untuk menghindari Tuhan dan tidak ikut kebaktian di gereja. Tapi di suatu pagi, 16 tahun kemudian, entah mengapa ia memutuskan untuk pergi ke gereja.

Beberapa bulan kemudian, ia seperti benar-benar menjadi seorang Kristiani dan beberapa tahun kemudian ia mendaftarkan diri ke sebuah perguruan tinggi ternama di Tabor untuk meraih gelar sarjana di bidang Alkitab.

Di sanalah ia mulai menemukan desas-desus yang selama ini beredar di kalangan orang-orang Kristen, yang menurutnya kadang melecehkan dan ia tidak yakin informasi yang didengarnya benar. Tapi informasi itu juga ia dengar dari para pemasok buku ke toko yang ia kelola. "Sejarah Kristen menjadi pembuka mata saya bahwa apa yang terjadi selama dan sesudah perang Salib benar-benar menggangu para penganut agama ini," ujarnya.

Beberapa tahun kemudian, Aarif mulai meninggalkan ibadah formalnya karena ia tidak sepakat dengan doktrin yang menempatkan Tuhan dalam kerangka yang dibatasi oleh definisi-definisi. Ia juga menilai organisasi Kristen lebih condong berpolitik dan menonjolkan diri, dibandingkan sebagai wakil sebuah agama. Ia akhirnya memutuskan keluar dari agama Kristen.

Beberapa tahun setelah itu, Aarif sempat tinggal beberapa waktu di Jeddah dan Riyadh karena mengerjakan proyek sebuah perusahaan investasi. Meski sudah tidak pernah ke gereja lagi, ia masih memiliki keyakinan terhadap agama Kristen dan ingin tahu lebih banyak tentang Islam. Ia ingin tahu perbedaan antara Kristen dan Islam.

Suatu hari, Aarif pergi ke sebuah toko buku Islam di dekat hotelnya menginap dan membeli beberapa buku literatur tentang Islam. "Kemudian saya bertanya pada penunjuk jalan saya selama di Saudi, namanya Mahmoud atau Muhammad, saya lupa, dimana saya bisa mendapatkan Al-Quran," kenang Aarif. Pemandunya memberikan rekomendasi terjemahan Al-Quran yang bagus dan malam itu Aarif mulai membaca dan berdoa agar memberikan bimbingan padanya saat membaca terjemahan Al-Quran. Ayat-ayat pertama yang ia baca adalah tentang para ahli kitab-umat Kristiani dan Yahudi-yang menjadi bagian dari umat Allah. Ayat-ayat itu membuka matanya akan sebuah agama yang mengajarkan toleransi bahkan terhadap keyakinan yang bertentangan dengannya.

Tujuh tahun kemudian Aarif bertemu dengan seorang Muslimah asal Indonesia. Mereka saling berkirim surat dan berdiskusi lewat internet. "Pada saat itu, saya melihat lebih ke dalam Islam, dan apa yang mungkin berarti buat saya secara pribadil Saya lalu mengunjungi Indonesia; kami bertemu lagi dan berbicara tentang masa depan. Saya melamarnya dan ia menerima," tutur Aarif.

Ia lalu mengurus dokumen-dokumen resmi untuk menikah di Australia. Saat itu Aarif belum masuk Islam, tapi ia sangat menghormati keyakinan isterinya. Hingga pada titik tertentu ia merasa perbedaan agama tidak membuat nyaman pernikahannya.

"Saya berpikir dan merenung. Mengajukan banyak pertanyaan dan berdoa selama berbulan-bulan sampai saya merasakan kedamaian dalam hati saya tentang jalan yang akan saya ambil," ungkap Aarif.

"Sungguh, tidak ada alasan bagi saya untuk tidak memeluk Islam. Saya akui saya bukan tipikal orang yang rajin ibadah, tapi saya pikir kemalasan itu bisa dihilangkan dengan kemauan dan tekad," sambungnya.

Saya pun berkomitmen dan mulai belajar salat. Saya kemudian pergi ke masjid di Perth, bicara dengan imam disana dan mengucapkan syahadat di masjid itu. "Meski saya sudah beberapa tahun masuk Islam, saya masih dalam tahap belajar dan saya menikmati proses belajar itu," tukasnya.

ln/readislam/eramuslim.com

Amalia Rehman, Yahudi AS Memeluk Islam

Meski sudah 20 tahun berselang, Amalia Rehman, tidak bisa melupakan peristiwa bersejarah yang telah mengubah jalan hidupnya. Peristiwa ketika ia memutuskan mengucap dua kalimat syahadat dan menjadi seorang Muslim. Amalia lahir dari keluarga Yahudi, ibunya seorang Yahudi Amerika dan ayahnya seorang Yahudi Israel. Ayah Amalia, Abraham Zadok bekerja sebagai tentara pada masa-masa pembentukan negara Israel tahun 1948.

Kedua orang tuanya termasuk Yahudi yang taat, tapi menerapkan sistem pendidikan yang lebih moderat pada Amalia dan kedua saudara lelakinya. Amalia dan keluarganya pergi ke sinagog hanya jika ada perayaan besar agama Yahudi. Sejak kecil Amalia dikenal sebagai anak yang cerdas dan ambisius. Pada usia 13 tahun, Amalia mulai merasa ingin menjadi orang yang lebih relijius. Karena ia menganut agama Yahudi, maka Amalia berniat memperdalam ajaran agama Yahudi.

Tapi, setelah mempelajari Yudaisme, Amalia merasa belum menemukan apa yang dicarinya. Ia lalu ikut kursus bahasa Ibrani, itupun tak membantunya untuk menemukan hubungan relijiusitas agama yang dianutnya.

Kemudian, sambil kuliah di bidang psikologi di Universitas Chicago, Amalia mengambil kursus Talmud. Amalia menyebut masa itu sebagai masa yang paling membahagiakannya, karena ia melihat titik terang dari apa yang dicarinya selama ini soal agama Yahudi yang dianut nenek moyangnya. Meski akhirnya, ia menyadari bahwa agama Yahudi ternyata tidak memakai kitab Taurat. Para pemeluk agama Yahudi, kata Amalia, tidak mengikuti perintah Tuhan tapi hanya mengikuti apa kata para rabbinya.

"Semua berdasarkan pada siapa yang menurut Anda benar, sangat ambigu. Agama Yahudi bukan agama sejati, bukan agama kebenaran," ujar Amalia.

Amalia mulai mengenal agama Islam ketika ia pindah ke California untuk berkumpul bersama keluarganya. Di kota itu, Amalia berkenalan dan berteman dengan orang-orang Arab yang sering berbelanja di toko orangtuanya yang berjualan kacang dan buah-buahan yang dikeringkan di pasar petani San Jose.

"Saya tumbuh sebagai orang Yahudi dan didikan Yahudi membuat saya memandang rendah orang-orang Arab," kata Amalia.

Meski Amalia memiliki prasangka buruk terhadap orang-orang Arab, Amalia mengakui kebaikan orang-orang Arab yang ia jumpai di toko ayahnya. Ia bahkan berteman akrab dengan mereka. "Satu hal yang menjadi perhatian saya tentang orang-orang ini, mereka selalu bersikap baik satu sama lain dan saya merasakan betapa inginnya saya merasakan seperti mereka, sebagian hati saya ingin memiliki perasaan yang indah itu," imbuhnya.

Suatu sore, saat Amalia dan teman-teman Arabnya menonton berita di televisi yang membuatnya bertanya-tanya tentang hari kiamat yang tidak pernah ia kenal dalam agama Yahudi. Pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepalanya tentang Islam ketika itu, bagi Amalia adalah cara Tuhan untuk mendekatkan diri pada Islam.

"Allah mendekati manusia dengan cara pendekatan yang manusia butuhkan. Allah mendekati saya dengan cara yang saya butuhkan, dengan menimbulkan rasa keingintahuan saya, rasa lapar terhadap ilmu, rahasia kehidupan, kematian dan makna kehidupan," ujar Amalia.

Hingga suatu hari, Amalia mengatakan pada teman-teman Arabnya bahwa ia sedang mempertimbangkan ingin menjadi seorang Muslim. Pernyataan Amalia tentu saja mendapat dukungan dari teman-teman Arabnya, tapi tidak dari kedua orangtuanya.

Sampai Amalia benar-benar mengucapkan dua kalimat syahadat, kemudian menikah dengan salah seorang pria Arab dan memiliki seorang puteri bernama Ilana, teman-teman Yahudi dan orangtua Amalia masih belum menerima keislaman Amalia. Kedua orang tua Amalia bahkan memanggil suaminya dengan sebutan rasis "Si Arab". Ibu Amalia sampai akhir hayatnya bahkan tidak mau berkomunikasi lagi dengan puterinya.

"Saya tidak suka Muslim, mereka komunitas kelas bawah. Mereka melempari orang-orang Israel dengan batu, membunuh orang-orang Yahudi, saya tidak percaya pada mereka. Ibu Amalia memandang suami Amalia yang Arab adalah musuh. Ibu Amalia sangat zionistis dan sangat membenci Islam," tukas Abraham, ayah Amalia.

Itulah masa-masa terberat Amalia setelah menjadi seorang mualaf, tapi ia tidak pernah menceritakan kesulitannya pada suaminya. Seorang teman dekat Amalia, Emma Baron mengatakan bahwa sahabatnya itu pandai menyembunyikan perasaannya dan kesedihannya, termasuk ketika Amalia berpisah dengan suaminya.

Harapan kembali tumbuh di hati Amalia saat ia bertemu dengan seorang Muslim asal Pakistan bernama Habib. Pernikahannya dengan Habib hanya membawa sedikit perubahan bagi hubungan Amalia dengan keluarganya. Hubungan mereka mulai membaik tapi ayah dan kedua saudara lelaki Amalia tetap memandang Muslim bukanglah orang yang beragama, pengkhianat, anti-Yahudi dan anti-Israel.

"Saya sudah berusaha bersikap baik pada mereka, tapi saya gagal. Mereka mungkin lebih senang melihat saya jadi biarawati ketimbang menjadi seorang Muslim," keluh Amalia.

Tapi hati Amalia sedikit terhibur, karena ibu tirinya Annete bisa menerimanya. Annete sendiri awalnya seorang Kristiani yang kemudian pindah ke agama Yahudi saat menikah dengan ayahnya, sepeninggal ibu kandungnya. Annete memuji Amalia sebagai orang bersikap dewasa dan teguh pada keyakinannya meski kerap mendengar komentar-komentar pedas dari ayahnya.

Amalia yang kini berusia 43 tahun mengakui mengalami pasang surut dalam kehidupannya sebagai seorang mualaf. Tapi ia mengakui menemui ketenangan jiwa dalam Islam. "Saya sudah menemukan kebenaran itu," tandas Amalia yang sekarang hidup bahagia dengan suaminya Habib dan empat anak-anaknya. (ln/jfa.com/eramsuslim)


Richard Leiman: Al-Quran Membimbingku ke Jalan Islam

Richard Leiman, seorang Yahudi AS, sejak kecil sering mendengarkan siaran BBC World Services terutama siaran tentang Timur Tengah. Dari BBC, ia bukan hanya sering mendengarkan lagu-lagu khas Timur Tengah yang digemarinya tapi juga lantunan ayat-ayat suci al-Quran. Tapi ketika itu, Leiman kecil belum paham tentang al-Quran apalagi mengenal Islam.

"Ketika saya dewasa, saya masih mendengarkan BBC World Service. Di BBC, setiap hari ada acara yang namanya 'Words of Faith', isinya ceramah pendek antara lima sampai delapan menit dari para pemuka agama yang mewakili lima agama yang ada di Inggris Raya. Dari seluruh penceramah, yang paling saya sukai ceramah-ceramah dari para pemuka agama Islam," ujar Leiman.

"Tiap kali perwakilan dari Muslim bicara, saya merasa ingin tahu lebih jauh tentang Islam. Kesan saya tentang Islam, bahwa orang yang memeluk agama Islam adalah orang yang hidupnya bahagia. Orang Islam tidak seperti orang yang digambarkan oleh media massa Amerika. Saya menolak percaya apa yang digambarkan media massa AS tentang umat Islam yang begitu mencintai Allah. Dan karena latar belakang saya Yahudi, satu hal yang menyatukan saya dengan Islam adalah keyakinan bahwa Allah itu satu," papar Leiman.

Pertemuan Pertama dengan Muslim

Meski tinggal di AS, Leiman mencari pekerjaan sampai di Inggris dan sempat tinggal beberapa waktu di Inggris untuk mencari peluang kerja. Leiman kembali ke AS karena tidak mendapatkan pekerjaan, tapi tetap rajin menulis lamaran kerja ke perusahaan-perusahaan di Inggris yang alamatnya ia dapatkan dari sebuah majalah yang diberikan sebuah agensi tenaga kerja di Inggris.

Usaha Leiman yang ahli dalam bidang program komputer ini membuahkan hasil. Ia diterima bekerja di perusahaan Logo Tech. Di perusahaan inilah ia bertemu dengan seorang Muslim untuk pertama kalinya. Nama Muslim itu Anis Karim yang juga supervisor di tempatnya bekerja.

Pada Karim, Leiman bertanya dimana ia bisa mendapatkan al-Quran dengan terjemahan. Tanpa disangka, beberapa hari kemudian, Karim memberikannya sebuah al-Quran. Karim juga meminta Leiman agar dalam keadaan bersih, paling tidak mandi dulu sebelum membaca al-Quran. "Tapi saya tidak pernah menunjukkan al-Quran itu pada orang lain, khawatir mereka menghina saya jika terlihat membaca al-Quran," kata Leiman.

Setelah mendapatkan al-Quran dari Karim, keesokan harinya Leiman langsung membaca terjemahan al-Quran setelah ia mandi dan sarapan pagi. "Saya menemukan perintah "bacalah", perintah Allah pada Malaikat Jibril untuk disampaikan pada Rasulullah Muhammad saw, meskipun Rasulullah tidak bisa membaca dan menulis," tutur Leiman menceritakan pengalaman pertamanya membaca al-Quran.

Saat itu sekitar tahun 1990-an. Leiman merasakan ketertarikan yang luar biasa pada Islam meski ia baru membaca 10 halanam al-Quran. "Sulit menjelaskan dengan kata-kata. Saya baru membaca 10 halaman, pada titik itu, hati kecil saya berkata, inilah agama buat saya. Makin banyak saya baca, saya makin penasaran dan makin menyukai apa yang saya baca," ujar Leiman.

Tapi pengetahuan Leiman baru sampai sebatas itu. Leiman belum tahu lebih detil tentang Islam bahkan tentang salat. Leiman cuma tahu orang Islam sujud ketika salat. Namun, tiap kali Karim mengajaknya pergi ke masjid di London, Leiman selalu ikut. Dari situ ia tahu bahwa umat Islam menunaikan salat lima waktu sehari semalam dan Leiman mulai mencoba salat pada malam hari sebelum ia tidur dan pada pagi hari, saat ia bangun.

Sayangnya, persahabat Leiman dan Karim berakhir karena ijin kerjanya di Inggris habis dan Leiman harus kembali ke AS.

Menjadi Seorang Muslim

Di AS, Leiman menganggur untuk beberapa tahun dan akhirnya ia pergi ke Huntsville, Alabama ke tempat ayahnya. Di kota inilah, Leiman menemukan kembali jejak Islam yang pernah ia pelajari ketika di Inggris.

Berawal dari rencananya berkunjung ke Indonesia bersama saudara perempuannya. Saudara perempuan Leiman memintanya membantu mencarikan perhiasan khas Islam yang akan diberikan pada sahabatnya di Indonesia. Leiman tidak tahu apakah di kotanya ada komunitas Muslim. Ia kemudian ingat ada sebuah toko bernama Crescent Import yang dikiranya dimiliki oleh Muslim, tapi ternyata bukan.

"Tapi Allah memberi petunjuk pada saya. Saya berbincang dengan pemilik toko dan ia memberitahu saya agar datang saja ke Huntsville Islamic Center jika ingin mencari perhiasan khas Islam," imbuhnya.

Leiman mengaku bersyukur pada Tuhan yang telah mengarahkannya ke masjid. "Saya agak takut masuk ke tempat itu untuk bertemu imamnya karena buat saya masjid adalah tempat suci. Tapi tiba-tiba saya ingat pernah bertemua seorang perempuan berjilbab dan bertanya tentang Islam. Perempuan itu juga menyuruh saya ke tempat ini. Saat itulah saya punya keberanian masuk ke masjid," tutur Leiman.

Ia berhasil menjumpai imam masjid, yang mengundangnya untuk ikut salat berjamaah. Inilah titik perubahan hidup Leiman. Ia mulai rutin datang ke masjid setiap seminggu sekali pada malam hari. Makin sering ia datang, makin kuat dorongan untuk ikut salat di masjid. Akhirnya, hampir tiap waktu salat Leiman menunaikan salatnya di masjid kecuali saat Ashar dan Magrib karena saat itu ia masih berada di kantor.

Bulan November 1996, Leiman baru secara terbuka mengucapkan dua kalimat syahadat dan resmi menjadi seorang Muslim. Sejak itu, ia selalu salat Dzuhur dan Ashar sendirian atau berjamaah dengan sesama Muslim lainnya di sebuha masjid kecil di dekat tempatnya bekerja.

"Saya dengan bangga membawa sejadah saat berjalan di lorong kantor, dan menjawab pertanyaan setiap orang yang bertanya apa yang saya bawa. Setiap orang bertanya, saya jawab bahwa saya adalah seorang Muslim dan yang saya bawa adalah sajadah untuk alas salat," ujar Leiman bangga.

"Di meja kerja, saya juga menempelkan beberapa hiasan islami, termasuk di komputer saya yang selalu menggunakan gambar latar Ka'bah atau masjid," sambungnya.

"Sekarang saya seorang Muslim, saya tidak mau kembali ke masa saya menjadi seorang non-Muslim!" tandas Leiman.

(ln/readingislam/iol/eramuslim.com)

Abdul Rahman, Mualaf Yang Membimbing Para Mualaf

Seseorang yang baru masuk Islam, kadang menghadapi proses yang sulit dan membingungkan. Para mualaf ini tak jarang harus menghadapi reaksi keras dari pihak keluarga atau menemui kesulitan untuk sekedar menemukan toko terdekat yang menjual daging halal.

Untuk membantu para mualaf baru ini melewati masa transisi, Muslim di Wales membuat proyek yang disebut New Muslim Project Wales (NMPW). Proyek ini juga menawarkan kelas-kelas pendidikan agama Islam, menggelar kegiatan sosial dan sistem pertemanan atau pendampingan bagi para mualaf baru.

Proyek ini digagas oleh Richard Fairclough, yang setelah masuk Islam bernama Abdul Rahman bersama sesama mualaf lainnya. Abdul Rahman, 57, membuat inisiatif ini berdasarkan kegiatan serupa yang dilakukan oleh New Muslim Project di wilayah Inggris Raya.

NMPW berusaha mendata para mualaf-mualaf baru di seluruh Wales dan dari data tersebut, terlihat bahwa terjadi peningkatan jumlah mualaf dalam jangka waktu yang cukup cepat. "Saya tidak ingin main-main dengan jumlah angka ... tapi saya tercengang ketika memperbaharui database ternyata terjadi peningkatan jumlah mualaf yang cukup cepat," kata Abdul Rahman seperti dikutip WalesOnline.

Menjadi Seorang Muslim

Abdul Rahman sendiri, sebelum masuk Islam adalah seorang Kristiani yang aktif dan taat. Suatu ketika ia pindah ke Afrika Selatan dan mendengar adzan. Ia sangat terkesan mendengar panggilan salat itu dan mulai tertarik untuk mengetahui lebih dalam figur Rasulullah Muhammad saw.

"Saya tiba disana (Capetown, ibukota Afrika Selatan) pada tahun 1992, tak berapa lama setelah sistem apartheid di negeri itu dihapus. Saya sering melihat sekelompok Muslim kulit hitam disana ... dan saya perhatikan setiap hari Jumat, banyak toko milik Muslim tutup dan mereka melakukan kegiatan ibadah," kisah Abdul Rahman mengenang pengalamannya saat di Afrika Selatan.

Ia melanjutkan ceritanya,"Di lingkungan saya, ada tiga atau empat masjid. Saya sering mendengar adzan, dan kedengarannya indah sekali ... lalu saya mendengar kisah tentang Nabi Muhammad dan saya tertarik untuk mengetahuinya lebih jauh."

"Saya punya kepercayaan dan keyakinan sebagai seorang Kristiani, tapi yang temukan dalam Islam tenyata lebih simpel dan tidak bertele-tele," ujar Abdul Rahman.

Abdul Rahman mengucapkan dua kalimat syahadat pada tahun 2002 ketika ia kembali ke Wales. Pengalamannya menjalani kehidupan baru sebagai seorang Muslim, menjadi bekal baginya untuk membantu para mualaf baru yang menghadapi masalah dengan keluarganya.

Abdul Rahman mengatakan, bahwa seseorang yang baru masuk Islam juga harus meninggalkan kebiasaan hidupnya yang lama, yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, misalnya berhenti minum-minuman beralkohol. Itu artinya orang bersangkutan juga akan mengalami perubahan dalam kebiasaan sosialnya bahkan mungkin harus mencari teman baru.

"Sebagai Muslim, saya tidak minum minuman beralkohol karena Allah melarangnya seperti yang disebutkan dalam al-Quran. Itu artinya saya harus menjaga jarak dengan semua teman-teman yang dulu biasa pergi minum-minum dengan saya," kata Abdul Rahman.

Ia menambahkan, "Sebagai mualaf, seseorang harus bisa menghadapi reaksi negatif, misalnya dari media massa yang kerap menggambarkan umat Islam sebagai teroris, yang dengan segala keyakinannya menjadi seorang yang fanatik, menginterpretasikan segala sesuatunya dengan negatif dan mungkin mengatasnamakan agama untuk membenarkan perbuatannya."

"Tapi itu semua tidak selalu benar, karena mayoritas umat Islam tidak seperti itu," sambung Abdul Rahman.

Ia menekankan, bahwa proyek bimbingan untuk para mualaf baru yang dikelolanya hanya untuk para mualaf yang usianya sudah dewas dan memutuskan masuk Islam atas keinginannya sendiri. Para mualaf baru yang bergabung dengan proyek ini mendapatkan paket berisi sajadah, al-quran dan buku biografi Nabi Muhammad saw. Para anggotanya juga bisa ikut serta dalam layanan milis agar bisa menjalin komunikasi dengan para mualaf lainnya.

"Kami tidak sedang membuat orang pindah agama. Mereka adalah orang-orang dewasa yang membuat keputusannya sendiri dan mereka ingin tahu dimana letak masjid terdekat, dimana mereka bisa beli daging halal dan pakaian apa yang selayaknya mereka pakai," tukas Abdul Rahman.

"Kami tidak berkeliling dari pintu-pintu. Seorang Muslim akan mengetuk pintu rumah Anda, hanya untuk menawarkan bantuan," ujarnya.

Meski prioritas utamanya adalah para mualaf, proyek yang digagas Abdul Rahman juga membuka pintu untuk mereka yang terlahir sebagai Muslim dan ingin belajar lebih dalam tentang agama Islam, atau mereka yang selama ini merasa tersesat dan ingin kembali ke jalan yang lurus.

(ln/abyeramuslim.com)

Minggu, 09 September 2012

Dr. Periyadarshan, Pakar Psikoterapi Atheis Terkenal India

Eramuslim - Seorang ahli psikoterapi terkenal India menyatakan dirinya masuk Islam pada hari Kamis lalu. Dr. Periyadarshan yang merupakan ahli psikoterapi dan seorang atheis, setelah memeluk agama Islam, ia mengganti namanya menjadi Abdullah, seperti dilaporkan Arab News pada hari Jumat.

Dr. Abdullah mengatakan dalam salah satu pernyataannya bahwa agama Islam adalah satu-satunya agama di dunia yang mengikuti kitab suci yang langsung diwahyukan dari Allah SWT.

Dia mengatakan bahwa sebagai orang yang mempelajari perbandingan agama, ia meyakini bahwa kitab-kitab suci dari agama lain tidak secara langsung di wahyukan Allah kepada manusia. Dia menambahkan bahwa hanya Al-Quran lah kitab suci yang masih dalam format yang sama seperti yang di wahyukan kepada nabi Muhammad SAW dari Allah SWT.

Dr. Abdullah adalah seorang dosen tamu di Universitas California Los Angeles. Dia juga sempat bermain dalam film Tamil terkenal berjudul "Karuthamma", sebuah film yang berkisah tentang peristiwa pembunuhan bayi perempuan yang baru lahir yang banyak terjadi di beberapa desa-desa terpencil di India.

"Saya terkenal di India sebagai seseorang yang berteologi Atheis dan saya kemudian menjadi sadar bahwa hanya agamalah satu-satunya jalan keluar bagi umat manusia baik di dunia maupun di akhirat," katanya dalam sebuah pernyataan.

Dr. Abdullah direncanakan Sabtu kemarin (13/3) akan melaksanakan ibadah umroh pertamanya ke kota-kota suci Makkah dan Madinah. (fq/iina)