Sabtu, 12 Mei 2012

Setelah Pencarian yang Lama, Seorang Pemuda Australia Memeluk Islam

Seorang Pemuda Australia mengumumkan keislamannya setelah sekian lama mencari agama yang benar. Pemuda tersebut menuturkan kisahnya, “Kisahku ini berawal ketika aku mencari agama yang benar pada tahun pertama di bangku kuliah. Saat itu ayah dan ibuku bercerai, anjingku mati, dan tragisnya hal itu terjadi dalam pekan yang sama. Dan pada tahun yang sama pula, aku kehilangan temanku. Dari sinilah, aku mulai bertanya, “Kenapa aku ada?” “Apa sebenarnya tujuan hidup ini?” Kemudian aku mulai mencari agama yang benar.
Karena aku orang australia, tentu teman-temanku beragama nasrani. Suatu ketika aku pergi bersama mereka ke perkemahan. Di sana orang-orang sedang mengerjakan shalat sambil bersenandung yang aku tidak memahaminya. Dan yang dapat kutangkap hanyalah ungkapan, “Allah mencintaiku”, hal itu saat aku menanyakan kenapa anjingku mati?
“Banyak pertanyaan yang membuatku bingung. Ketika aku tanyakan kepada pendeta atau dukun, setiap mereka menjawabnya dengan jawaban yang berbeda satu dengan yang lainnya tanpa memberikan satu dalil pun dari kitab suci.
“Aku juga pernah berkenalan dengan seseorang yang menganut agama hindu. Aku menanyakan kepadanya, ‘Apa alasannya meletakkan kepala gajah di atas patung-patung mereka?’. Maka jawabannya pun bukanlah jawaban yang diharapkan”, lanjut pemuda itu.
Pemuda itu menceritakan lebih jauh, bahwa dia juga telah mencari di dalam sekte-sekte di agama Kristen, agama yahudi, dan budha, tapi belum menemukan jawaban yang dapat menyelesaikan masalah-masalah yang membuatnya bimbang dan labil.
Suatu hari, dia ditanya oleh salah seorang temannya tentang agama-agama yang telah dia pelajari. Dia menjawab, bahwa dia telah mencari (agama yang benar) di dalam agama nasrani, budha, dan yahudi. Lalu temannya bertanya kepadanya, “Kenapa kamu tidak berusaha mencari jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan dan meresahkanmu mu di dalam Islam?”, maka dia menjawabnya dengan nada mengejek, “Mereka adalah teroris”. Tapi pada akhirnya dia memutuskan untuk masuk ke dalam salah satu masjid. Di sana seorang berjanggut lebat yang dikenal dengan Abu Hamzah dan beberapa orang menghampiri dan menyambutnya serta sangat memuliakannya. Lalu mengajaknya berbincang-bincang dengan lembut dan penuh hormat. Abu hamzah menjawab setiap pertanyaannya dengan ayat al-Qur’an al-karim.
Pada suatu malam pemuda tersebut berusaha mendapatkan sebuah isyarat yang membawanya masuk ke dalam Islam, ketika ada sebuah kilat dan petir, tapi tidak terjadi sesuatu apapun.
Kemudian dia memutuskan secara tiba-tiba untuk membaca sebagian ayat-ayat al-Qur’an al-Karim, lalu dia menemukan ayat-ayat “Tadabbur” (renungan) tentang penciptaan langit-langit, bumi, matahari, bintang-bintang, dan planet-planet, maka dari sinilah dia memutuskan untuk memeluk Islam.
(akhbrlm/Analsofwah.or.id)
http://video.google.com/videoplay?docid=-2829267874131222228

Memeluk Islam, Pelukis Rusia Ekspresikan Keimanannya Lewat Lukisan

Seorang pelukis kenamaan Rusia, Arcadi Yamortsov, dikabarkan telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan memeluk agama Islam. Pilihan Yamortsov atas Islam jatuh setelah melalui pengembaraan dan pencarian hakikat keimanan yang teramat panjang.
Televisi Rusia berbahasa Arab Rusiya al-Yaum (22/3) mengabarkan, Yamortsov (60) melabuhkan hidupnya pada dermaga Islam setelah bertahun-tahun ia tenggelam dalam penelaahan panjang tentang tiga agama samawi, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam.
Sejak masa kuliah, Yamortsov sangat gandrung dengan kajian agama-agama. Ia pun banyak membaca buku-buku perbandingan agama. Iklim Uni Sovyet yang komunis menjadikannya berada pada posisi yang kosong di hadapan semua agama.
Di usianya yang ke-48, Yamortsov mulai berkenalan lebih jauh dengan Islam. Di samping mengetahui Islam dari buku-buku yang dibacanya, Yamortsov juga mengenal agama pungkasan itu dari orang-orang Tatar-Rusia yang mayoritas Muslim.
Saat bekerja di Ukrania, Yamortsov banyak memiliki kawan kerja orang-orang Tatar itu. Hubungan sehari-hari dengan mereka menjadikan Yamortsov mengetahui lebih jauh tentang Islam.
Hingga akhirnya, Yamortsov memutuskan untuk memeluk agama Islam di usia enam puluhannya. Ia pun mengganti namanya dengan Hasan Yamortsov.
Meski telah menjadi seorang Muslim yang taat, namun pamor Hasan Yamortsov dalam dunia seni lukis tetap bersinar terang. Ia kini banyak melukis lukisan-lukisan keislaman, semisal ka’bah, ayat-ayat Al-Qur’an, masjid, dan lain-lain.
Yamortsov adalah putra pelukis kenamaan Rusia di masa Sovyet, yaitu Carilia Boris Yamorstsov.
sumber :[rta/atjeng/www.hidayatullah.com]

Mantan Gay: Islam Membimbingku ke Jalan Lurus

Ia menyebut namanya Ayub, seorang laki-laki Amerika yang memiliki kecenderungan menyukai sesama jenis alias homoseks. Namun Ayub berhasil melepaskan kecenderungannya itu setelah ia memeluk Islam. Di jaman modern ini, banyak negara yang menerima hubungan semacam itu bahkan melindungi kaum gay dan lesbian dengan alasan hak asasi manusia.
Ia menyebut namanya Ayub, seorang laki-laki Amerika yang memiliki kecenderungan menyukai sesama jenis alias homoseks. Namun Ayub berhasil melepaskan kecenderungannya itu setelah ia memeluk Islam.
Di jaman modern ini, banyak negara yang menerima hubungan semacam itu bahkan melindungi kaum gay dan lesbian dengan alasan hak asasi manusia.
Masyarakat dunia, bahkan di komunitas Muslim, boleh dibilang makin permisif dengan hubungan sesama jenis. Mereka mengaku tidak bisa menolak kelompok ini dan meyakini bahwa Tuhan juga yang telah menciptakan manusia dalam kondisi seperti itu.
Tapi keyakinan itu dibantah Ayub. "Saya menemukan jalan yang berbeda, dengan rahmat Allah, saya berhasil melepaskan diri dari kecenderungan menyukai sesama jenis dan berhasil meninggalkan gaya hidup kaum homo. Saya bisa melakukannya setelah saya memeluk Islam," ujarnya.
"Saya ingin berbagi pengalaman, bukan untuk memicu perdebatan tapi karena saya meyakini bahwa pengalaman saya ini bisa membantu siapa saja yang memiliki menyukai sesama jenis. Saya juga berdoa agar perkataan-perkataan saya bisa memberikan bimbingan bagi para keluarga yang juga sedang berjuang melepaskan salah satu anggota keluarganya dari kecenderungan itu," jelas Ayub.
Ayub mengaku sudah menyukai sesama jenis sejak ia masih remaja. Kecenderungannya itu makin kuat ketika ia di bangku kuliah dan akhirnya malah terjerumus dalam gaya hidup kaum homoseks. Ia secara terbuka menjalani kehidupan sebagai seorang gay selama lima tahun.
"Saya menjalaninya karena ketika itu saya berpikir bahwa saya memang diciptakan begini. Kecenderungan menyukai sesama jenis itu muncul begitu saja tanpa saya mampu mengontrolnya. Saya sendiri bingung bagaimana kecenderungan itu bisa menghinggapi diri saya," tutur Ayub.
Setelah lima tahun menjalani kehidupan nista itu, Ayub mulai berpikir dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengapa dia bisa sampai hidup sebagai gay, pasti ada cara lain untuk memandang sisi kehidupan ini.
Mengenal Islam
Ayub yang mengaku dibesarkan dalam keluarga yang menganut agama Kristen, tidak pernah puas dengan ajaran Kristen. "Saat dan setelah saya lulus dari akademi, saya mengeksplorasi tentang ajaran agama Budha, Hindu dan keyakinan-keyakinan lainnya untuk sekedar meditasi. Tak satu pun dari keyakinan dan agama itu memuaskan dan mampu mendorong saya untuk melepaskan diri dari kehidupan sebagai gay," keluh Ayub.
Sampai akhirnya Ayub mengenal agama Islam dan mempelajarinya secara mendalam. Pada usia 25 tahun, setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, hidup Ayub berubah total. Ketika itu Ayub merasa menemukan kejelasan bahwa apa yang selama ini ia punya nama; Allah, yang telah menciptakan saya dan umat manusia beserta dunia dan seisinya.
"Allah, yang berbicara pada manusia melalui rasulnya Muhammad Saw dan para nabi lainnya, yang telah menyampaikan pesanNya pada umat manusia sejak awal penciptaan dunia," tukas Ayub.
"Jelas sudah buat saya, jika saya ingin mengikuti jalan menuju Allah, saya harus meninggalkan gaya hidup gay saya. Islam menunjukkan pada saya, lewat pengalaman baik internal maupun eksternal bahwa homoseksualitas itu salah dan jika saya tetap melakukannya, akan menghalangi saya untuk mencapai kemajuan spiritualitas," sambung Ayub.
Ayub mengaku tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata mengapa ia begitu yakin dengan Islam. Ia juga mengakui melalui tahun-tahun yang berat untuk menghilangkan kebiasaannya sebagai gay, tapi makin jauh mempelajari Islam, Ayub memiliki tekad yang makin kuat untuk melepaskan diri dari kehidupan yang penuh dosa itu.
"Dengan bantuan dari Allah, saya berhasil memutus hubungan dengan masa lalu saya. Saya juga belajar, sedikit demi sedikit bagaimana mengontrol keinginan yang bisa membawa saya ke perbuatan haram," ujar Ayub.
"Sekarang pun saya masih dalam kondisi rawan, terutama saat saya merasa lemah. Tapi saya berpikir tentang kehidupan ini, apapun yang terjadi jika saya bisa bebas dari 'kegilaan' ini dan membantu orang-orang yang bernasib sama dengan saya, saya akan sukses. Inilah jihad saya dalam hidup," tegas Ayub.
Ayub menyatakan tidak peduli ada orang lain yang menolak pendekatan yang dilakukannya. Untuk mereka yang juga sedang berjuang melepaskan diri dari kecenderungan menyukai sesama jenis, Ayub selalu berkata berdasarkan pengalaman hidupnya bahwa "Anda tidak perlu menjalani kehidupan yang bertentangan dengan apa yang telah Allah gariskan untuk kita. Anda tidak perlu menerima definisi siapa Anda jika itu bertentangan dengan apa yang telah Allah tahbiskan buat Anda sebagai seorang Muslim."
Ayub juga mengingatkan orang-orang yang pernah seperti dirinya untuk tidak perlu malu dengan penolakan dari keluarga, teman atau sahabat karena ada cara lain untuk menolong diri kita sendiri. "Ada saudara-saudara kita yang bisa membantu, seperti mereka dulu juga dibantu orang lain," pesan Ayub.
(ln/readingislam/eramuslim.com)

Sebuah Perjalanan dalam Pencarian

Diperkirakan ada 7 juta populasi kaum Muslim di Amerika Serikat (AS). Jumlah ini, diperkirakan akan terus bertambah. Hailey Woldt mengenakan abaya hitam, mengharapkan sesuatu yang terburuk. Terakhir kali ia mengenakan busana Muslim dengan kerudung – yang menutup seluruh badannya kecuali wajah, tangan dan kaki adalah ketika ia berada di bandara internasional Miami. Ketika itu banyak orang yang menatapnya dan petugas keamanan memeriksa dirinya dengan seksama.
“Saya berharap orang akan berkata, ’sedang apa teroris ini di sini? Kami tidak ingin orang sepertimu berada di sini,’” kata Woldt, gadis katolik bermata biru berusia 22 tahun, mengingat sikap antisipasinya sebelum masuk ke sebuah kedai barbacue lokal. “Saya pikir, saya bahkan tidak akan dilayani.”
Eksperimen Woldt dalam bidang antropologi sosial itu membuka matanya. Disamping mendapatkan “tatapan awal” yang biasa diterima orang asing ketika memasuki pintu sebuah restoran di kota kecil, ia juga mendapat pengalaman yang menyenangkan.
Ketika ia menuju ke kamar kecil, cerita Woldt, “Seorang wanita terkejut [melihat dirinya], tapi ia kemudian tersenyum pada saya. Senyuman kecil itu sangat membahagiakan hati.”
Pengalaman tak terduganya itu merupakan salah satu kejadian yang ia alami dalam perjalanannya sekarang ini. Woldt adalah salah satu anggota tim yang terdiri dari pemuda Amerika berusia 20-an tahun. Tim itu dipimpin oleh seorang ilmuwan Muslim yang disegani. Mereka menjelajahi negara Amerika dalam sebuah misi antropologi. Tujuannnya: mendiskusikan identitas Amerika, identitas Muslim, dan mencari tahu seberapa baik negeri itu mengusung nilai-nilai idealnya pasca peristiwa 11 September.
Misi 6 bulan yang dimulai pada musim gugur itu dipimpin oleh Akbar Ahmed, Ketua Studi Keislaman di American University Washington. Motivasinya tidak sekedar bersifat akademis.
“Sebagai seorang ilmuwan sosial, sebagai seorang Muslim, adalah kewajiban moral untuk terlibat dalam menjelaskan, membicarakan, berdebat dan berdikusi tentang Islam,” papar Ahmed, 65. Ia mengambil cuti khusus selama 1 tahun untuk mengadakan perjalanan tersebut. “Setelah peristiwa 9/11, Islam menjadi agama yang paling sering dibicarakan, kontroversial, dibenci, dan salah dipahami di Amerika. Dan saya tidak bisa tinggal diam melihat hal tersebut,” tambahnya.
Untuk itu Ahmed merancang sebuah proyek yang ditiru dari program Journey into America. Program “voyage of discovery“, begitu ia menyebutnya, adalah bagian dari program yang telah dilakukannya pada tahun 2006. Di mana ia bersama beberapa orang (di antaranya Woldt) mengadakan perjalanan ke negara-negara Islam. Di awal perjalanan mereka mengunjungi masjid, madrasah dan rumah-rumah orang Islam. Dari Syiria hingga Indonesia. Perjalanan tersebut menjadi dasar penyusunan buku Ahmed yang berjudul Journey into Islam: The Crisis of Globalization.
Dalam perjalanannya baru-baru ini di Atlanta, Georgia, Ahmed mengatakan bahwa meskipun perjalannnya ke luar negeri bisa membantu menjawab banyak pertanyaan seputar bagaimana orang Amerika dipandang di manca negara, namun hal itu belum mampu memberikan gambaran yang utuh.
“Pertanyaan-pertanyaan orang Amerika tentang Islam tidak bisa dijawab tanpa mereka bercermin melihat dirinya sendiri dan melihat Muslim dalam konteks sebagai bagian dari kebudayaan dan masyarakat mereka,” terang Profesor Ahmed. Kelompok yang ia pimpin perlu berdialog dengan Muslim dan mencari tahu apa yang mereka ketahui tentang kebudayaan Amerika dan masyarakatnya. Dan bagaimana sebenarnya mereka menyesuaikan diri, berasimilasi atau berintegrasi – atau tidak – dengan lingkungan masyarakat Amerika yang lebih luas.
Untuk tujuan itulah, tim Ahmed berbaur dengan rapper Muslim kulit hitam di Buffalo, New York. Bertemu dengan orang-orang Latin yang beragama Islam di Miami, Florida. Dan mereka juga bertukar cerita dengan para pengungsi serta menjelajahi negeri-negeri yang berbeda seperti Bosnia, Afganistan dan Somalia.
Mereka juga telah menjelajahi Ellis Island di New York, pesisir Plymouth Rock di Massachusette. Menyusuri jalan-jalan yang gemerlap di Las Vegas, Nevada. Serta menyusuri jalan di negara-negara bagian di wilayah selatan.
Selama dalam perjalanan, mereka bertemu dengan para akademisi, pemuka-pemuka agama, petugas penegak hukum dan para aktivis. Cerita tentang pertemuan dan kunjungannya ditulis di blog mereka.
Sejak beberapa tahun lalu perjalanan ini dirasa penting bagi seorang Frankie Martin. Ia seorang kristen Episcopalian berusia 25 tahun. Ayahnya seorang pegawai negeri. Ia dulu tinggal di Kenya ketika kedutaan-kedutaan Amerika di wilayah Afrika Timur dibom pada bulan Agustus 1998. Peristiwa itu menewaskan ratusan orang dan memunculkan isu tentang ancaman dari Al Qaidah dan Usamah Bin Ladin.
“Saya ingat, ketika kembali ke AS dan mencoba membicarakan tentang isu ini [yang berkaitan dengan Islam dan Barat], banyak orang tidak tahu apa-apa mengenai hal itu,” kata Martin. Kemudian terjadi peristiwa 11 September yang mengguncang AS. Saat itu ia mulai kuliah di American University. “Saya ingin tahu mengapa hal seperti itu bisa terjadi, dan apa yang bisa kita lakukan terkait hal tersebut…. Saya ingin belajar lebih banyak tentang dunia Muslim, memahami agama Islam dan membangun sebuah hubungan baik.”
Sebagian proses itu mengharuskan mereka untuk terjun langsung, berada di tempat yang belum pernah mereka masuki sebelumnya.
Pada parade Hari Muslim bulan Oktober di New York, Craig Considine, 23, ikut bergabung di tengah kelompok pemrotes/penentang, untuk melihat secara langsung dan merekam hujatan-hujatan yang dilontarkan. Di antara mereka ada yang menghina Rasulullah Muhammad sehingga membuat suasana semakin panas. Mereka saling menghujat satu sama lain.
Pemuda pembuat film itu tidak merasakan apa-apa hingga akhirnya ia minggir dan mematikan kameranya, kemudian berpikir.
“Kelompok yang menentang/memprotes dan kelompok yang menanggapi, keduanya adalah orang-orang Amerika. Dan mereka sama-sama gagal, tidak bisa saling memahami. Saya sangat kecewa. Seumur hidup belum pernah saya melihat kebencian seperti itu .” kata Considine.
Jonathan Hayden, 30, yang telah bekerja untuk Ahmed selama hampir lima tahun mengatakan bahwa peristiwa yang sederhana pun dapat memberikan pencerahan.
Ia menceritakan tentang sebuah pertanyaan mengharukan yang diajukan oleh seorang wanita dari wilayah Midwestern yang mengakui bahwa ia belum pernah berjumpa dengan seorang Muslim.
“Apakah mereka [orang Muslim] mencintai anak-anak mereka?” Heyden mengingat pertanyaan wanita itu. “Kami bisa menjawab pertanyaannya, ya mereka mencintai anak-anak mereka…. Namun, fakta bahwa wanita itu mengutarakan pertanyaan tersebut, memberikan gambaran yang banyak kepada kita.”
Tujuan utama kelompok itu adalah memberikan pencerahan akan perlunya memahami Islam. Sesuatu yang mereka harap bisa dipenuhi dalam buku yang akan ditulis oleh Ahmed dan sebuah film dokumenter yang akan mereka buat.
“Populasi Muslim di seluruh dunia adalah 1,4 milyar. Pada pertengahan abad ini, akan ada satu Muslim di antara empat orang. Sekarang ini ada 57 negera Muslim. “Pikirkanlah tentang jumlah dan angka tersebut,” kata Ahmed. “Amerika – sebagai negara superpower, sebagai pemimpin dunia – perlu untuk bisa berinteraksi positif dengan seperempat bagian masyarakat dunia itu.”
Ia memperkirakan ada 7 juta Muslim di AS sekarang ini, dan jumlahnya terus bertambah. Mimpi dan harapan mereka, Ahmed, dan yang lainnya adalah sudah pasti, tidak berbeda dengan mimpi dan harapan tetangga mereka yang lain.
Syeikh Salahadin Wazir, yang mengadakan jamuan makan malam bersama mereka dan mengundang kelompok itu untuk shalat Jum’at bersama, menghargai proyek tersebut.
“Sangat penting untuk mengetahui secara lengkap tentang Muslim dari perspektif orang Islam. Kami semua adalah warga negara yang terikat hukum. Kami profesional,” kata Wazir di pelataran Masjid Al Mukminin di Clarkson, Georgia. “Banyak anak-anak kami yang bersekolah, menempuh pendidikan yang lebih tinggi, dan masa depannya cerah.”
Bagi Madeeha Hameed, 21, menjadi bagian dalam proyek ini merupakan sesuatu yang bersifat personal. Mahasiswa pada College of William & Mary di Virginia ini mengambil cuti satu semester untuk melakukan perjalanan sebanyak mungkin, dan sekarang ia sudah kembali kuliah. Ia pindah dari Pakistan ke Virginia bagian Utara sebelum masuk sekolah menegah atas, yaitu sesaat sebelum peristiwa 11 September terjadi.
“Saat itu sangat sulit keadaannya buat saya… Anda tahu bagaimana suasana di sekolah menengah atas,” katanya. “Saya tidak ingin dikenali sebagai seorang Muslim atau orang Pakistan, karena saya ingin bisa bergaul. Saat itu saya sangat kecewa dengan identitas saya.” Setelah membaca buku tulisan Profesor Ahmed, dan berkesempatan untuk turut serta dalam perjalanan kelompoknya, “Sangat membantu untuk bisa menerima identitas saya,” katanya. Dan ia pun bisa semakin menghargai apa yang ada di sekitarnya. Ia melanjutkan, ” Ada banyak hal mengenai negeri ini dan mengenai Islam, yang tidak saya tahu dan pahami sebelumnya.”
[cnn/Dija/www.hidayatullah.com]

Profesor Jeffrey Lang Temukan Hidayah melalui Perantaraan Mahasiswanya

“Adam diturunkan ke bumi bukan karena dosa yang diperbuatnya, melainkan karena Allah SWT menginginkan seorang khalifah di bumi untuk mengatur dan menyejahterakan alam.’’ (Jeffrey Lang). Prof Dr Jeffrey Lang,nama lengkapnya.Sehari-hari dia be -kerja sebagai dosendan peneliti bidangmatematika di Uni -versitas Kansas, salahsatu universitasterkemuka di Amerika Serikat.
Gelar master dan doktor matematika diraihnya dari Purdue University pada tahun 1981. Ia dilahirkan dalam sebuah ke luarga penganut paham Katolik Roma di Bridgeport, Connecticut, pada 30 Januari 1954.
Pendidikan dasar hingga menengah ia jalani di sekolah berlatar Katolik Roma selama hampir 18 tahun. Selama itu pula, menurut Lang—sebagaimana ditulis dalam catatan hariannya tentang perjalanannya mencari Islam— menyisakan banyak pertanyaan tak berjawab dalam dirinya tentang Tuhan dan filosofiajaran Kristen yang dianutnya selama ini.
‘’Seperti kebanyakan anak-anak lain di kisaran tahun 1960-an hingga awal 1970-an, saya melewati masa kecil yang penuh keceriaan. Bedanya, pada masa itu, saya sudah mulai banyak bertanya tentang nilai-nilai kehidupan, baik itu secara politik, sosial, maupun keagamaan. Saya bahkan sering bertengkar dengan banyak kalangan, termasuk para pemuka gereja Katolik,’’ paparnya.
Menginjak usia 18 tahun, Lang remaja memutuskan menjadi seorang atheis. ‘’Jika Tuhan itu ada dan Dia punya belas kasih dan sayang, lalu mengapa ada begitu banyak penderitaan di atas bumi ini? Mengapa Dia tidak masukkan saja kita semua ke dalam surga? Mengapa juga dia menciptakan orang-orang di atas bumi ini dengan berbagai penderitaan?’’ kisah Lang tentang kegelisahan hatinya kala itu. Selama bertahun-tahun, pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus menggelayuti pikirannya.
Dihadiahi Alquran akhirnya Lang baru mendapat jawaban atas berbagai pertanyaan tersebut ketika ia bekerja sebagai salah seorang asisten dosen di Jurusan Matematika, Universitas San Francisco. Di sanalah, ia menemukan petunjuk bahwa Tuhan itu ada dan nyata dalam kehidupan ini. Petunjuk itu ia dapatkan dari beberapa mahasiswanya yang beragama Islam.
Saat pertama kali memberi kuliah di Universitas San Francisco, Lang bertemu dengan seorang mahasiswa Muslim yang mengambil mata kuliah matematika. Ia pun langsung akrab dengan mahasiswa itu. Mahmoud Qandeel, nama mahasiswa tersebut. Dia berasal dari Arab Saudi.
Mahmoud, kata Lang, telah memberi banyak masukan kepadanya mengenai Islam. Menariknya, semua diskusi mereka menyangkut dengan sains dan teknologi. Salah satu yang pernah didiskusikan Lang dan Qandeel adalah riset kedokteran. Lang dibuat terpana oleh jawaban Qandeel, yang di negaranya adalah seorang mayor polisi.
Qandeel menjawab semua pertanyaan dengan sempurna sekali dan dengan menggunakan bahasa Inggris yang bagus.
Ketika pihak kampus mengadakan acara perpisahan di luar kampus yang dihadiri oleh semua dosen dan mahasiswa, Qandeel menghadiahi asisten dosen itu sebuah Alquran dan beberapa buku mengenai Islam.
Atas inisiatifnya sendiri, Lang pun mempelajari isi Alquran itu. Bahkan, buku-buku Islam tersebut dibacanya hingga tuntas. Dia mengaku kagum dengan Alquran. Dua juz pertama dari Alquran yang dipelajarinya telah mem buat dia takjub dan bagai terhipnotis.
‘’Tiap malam muncul beraneka ma cam pertanyaan dalam diri saya. Tapi, entah mengapa, jawabannya segera saya temukan esok harinya. Seakan ada yang membaca pikiran saya dan menuliskannya di setiap baris Alquran. Saya seakan menemukan diri saya di tiap halaman Alquran,’’ ungkap Lang.
Telaah Alquran Sebagai seorang pakar dalam bidang matematika dan dikenal sebagai seorang peneliti, penjelasan yang didapatkannya tidak langsung ia percayai begitu saja. Ia meneliti dan menelaah secara lebih mendalam ayatayat Alquran. Beberapa ayat yang membuatnya kagum dan telah membandingkannya dengan ajarannya yang lama adalah ayat 30-39 surah Albaqarah tentang penciptaan Adam.
Dalam bukunya Losing My Religion: A Call for Help, Jeffrey Lang secara lengkap menjelaskan pergulatannya dalam memahami ayat 30-39 surah Albaqarah tersebut.
‘’Saya membaca ayat tersebut beberapa kali, namun tak kunjung sanggup menangkap apa maksud Alquran,’’ ujarnya. ‘’Bagi saya, Alquran sepertinya sedang menyampaikan sesuatu yang sangat mendasar atau mungkin keliru. Lalu, saya membacanya lagi secara perlahan dan saksama, baris demi baris, untuk memastikan pesan yang di -sampaikan,’’ lanjutnya.
Ketika membaca ayat ke-30 surah Albaqarah, ‘’Dan, ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Malaikat berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi, mereka adalah orang-orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah. Padahal, kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan menyucikan Engkau?’ Allah berfirman, ‘Sesungguhnya, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.’’ Menurut Lang, ayat ini sangat mengganggunya. ‘’Saya merasa sangat kesepian. Seakan-akan penulis kitab suci ini telah menarik diri saya ke dalam ruang hampa dan sunyi untuk berbicara langsung dengan saya,’’ ujarnya.
‘’Saya berpikir, keterangan ayat tersebut ada sesuatu yang keliru. Saya protes. Lalu, saya baca lagi. Saya amati dengan saksama. Sebab, menurut ajaran yang pernah saya dapatkan, diturunkannya Adam ke bumi bukan menjadi khalifah, tetapi sebagai hukuman lantaran dosa Adam. Namun, dalam Alquran, tidak ada satu kata pun yang menjelaskan sebab-sebab diturunkan Adam karena perbuatan dosa,’’ jelasnya.
Menurut Lang, pertanyaan yang di utarakannya sama dengan pertanyaan malaikat yang menyatakan bahwa manusia itu berbuat kerusakan.
‘’Tapi, saya merasa ada sesuatu yang lain dari keterangan ayat selanjutnya.
Allah hanya menjawab, ‘Sesungguhnya, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’ Jawaban ini terkesan sederhana dan enteng, namun mengandung makna yang dalam,’’ ungkapnya.
Lang menjelaskan, dalam Alkitab, jawaban Tuhan atas pertanyaan malaikat disampaikan tentang hukuman yang diberikan karena berbuat dosa. ‘’Penjelasan ini berbeda dengan Alquran. Alquran menjawab pertanyaan para malaikat dengan memperlihatkan kemampuan manusia, pilihan moral, dan bimbingan Ilahi.
Allah mengajarkan manusia (Adam) nama-nama benda.’’ ‘’Ayat tersebut menunjukkan kemu liaan dan kemampuan manusia yang tidak diberikan kepada malaikat,’’ ujarnya.
Bahkan, pada ayat ke-39 dite rangkan, ‘’Adapun orang-orang yang tidak beriman dan mendustakan ayatayat Kami, mereka adalah penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya.’’ ‘’Saya merasa ayat ini makin kuat menyerang saya. Namun, saya semakin percaya akan kebenaran Alquran dan meyakini agama Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW,’’ jelasnya.
Islam rasional
Sekitar tahun 1980-an, belum banyak pelajar Muslim yangmenuntut ilmu di UniversitasSan Francisco. Sehingga, kalau bertemu dengan mahasiswa Muslim di area kampus, menurut Lang, itu merupakan hal yang sangat langka.
Ada cerita menarik tatkala Lang sedang menelusuri kampus. Secara tak terduga, ia menemukan sebuah ruangan kecil di lantai bawah sebuah gereja. Ruang tersebut rupanya dipakai oleh beberapa mahasiswa Islam untuk menunaikan shalat lima waktu.
Kepalanya dipenuhi tanda tanya dan rasa ingin tahu. Dia pun memutuskan masuk ke tempat shalat tersebut.
Waktu itu, bertepatan dengan waktu shalat Zuhur. Oleh para mahasiswanya, dia pun diajak untuk ikut shalat. Dia berdiri persis di belakang salah seorang mahasiswa dan mengikuti setiap gerakannya.
Dengan para mahasiswa Muslim ini, Lang berdiksusi tentang masalah agama, termasuk semua pertanyaan yang selama ini tersimpan dalam kepalanya. ‘’Sungguh luar biasa, saya benar-benar terkejut sekali dengan cara mereka menjelaskan. Masuk akal dan mudah dicerna. Ternyata, jawabannya ada dalam ajaran Islam,’’ tuturnya.
Sejak saat itu, Lang pun memutuskan masuk Islam dan mengucapkan dua kalimah syahadat. Dia menjadi seorang mualaf pada awal 1980. Ia mengaku bahwa dengan menjadi seorang Muslim, banyak sekali kepuasan batin yang didapatkannya.
Itulah kisah perjalanan spiritual sang profesor yang juga meraih karier bagus di bidang matematika. Dia mengaku sangat terinspirasi dengan matematika yang menurutnya logis dan berisi faktafakta berupa data riil untuk menda patkan jawaban konkret.
‘’Dengan cara seperti itulah, saya bekerja. Adakalanya, saya frustrasi ketika ingin mencari sesuatu, tapi tidak mendapat jawaban yang konkret. Namun, dengan Islam, semuanya rasional, masuk akal, dan mudah dicerna,’’ tukasnya.
Prof Lang saat ini ditunjuk oleh fakultasnya sebagai pembina organisasi Aso siasi Mahasiswa Islam guna menjembatani para pelajar Muslim dengan pihak universitas. Tak hanya itu, dia bah kan ditunjuk untuk memberikan ma ta kuliah agama Islam oleh pihak rektorat.
Ia menikah dengan seorang perempuan Arab Saudi bernama Raika pada tahun 1994. Mereka dikaruniai tiga anak, yakni Jameelah, Sarah, dan Fattin. Selain menulis ratusan artikel ilmiah bidang matematika, dia juga telah menulis beberapa buku Islam yang menjadi rujukan komunitas Muslim Amerika. Even Angels ask: A Journey to Islam in America adalah salah satu buku best seller-nya. Dalam buku itu, dia menulis kisah perjalanan spiritualnya hingga memeluk Islam.
Beberapa tahun belakangan ini, Lang aktif pada banyak kegiatan Islami dan dia merupakan pembicara inspirasional yang paling terkenal di sebuah organi sasi pendidikan bernama Mecca Centric. Di sana, dia melayani konsultasi segala sesuatu tentang Islam ataupun kegiatan kepemudaan. (Republika online)

Jumat, 11 Mei 2012

Pemuda Perancis Dapat Hidayah di Inggris

“Aku tidak tahu darimana harus memulai kisah ini. Kenapa saya masuk Islam?,” ujar Abdul seperti disitir dari  2muslims.com. Begitulah, setelah pindah dari Perancis ke Inggris, untuk keperluan studi lanjut, dia menemukan Islam di negeri Ratu Elizabeth itu. Di sana dia mengaku teratrik Islam karena akhlak teman-temannya asal mayoritas berasal dari Malaysia dan Indonesia.
Disana pula dia mendapatkan teman hidupnya, seorang muslimah asal Brunei Darussalam. Lulus kuliah, kedua memutuskan menetap di Brunei dan kini hidup bahagia di sana dengan dua putrid yang mungil. Berikut kisah lengkapnya.

“Namaku Abdul Hakim. Aku dilahirkan 24 tahun yang lalu di tengah teriknya sinar matahari di Spanyol. Ibuku asli Perancis, dan ayah asal Spanyol,” kata Abdul memulai kisahnya.

Abdul tinggal di Spanyol hanya dua tahun. Lalu pindah ke Perancis ikut kedua orangtuanya. Lepas sekolah menengah atas, di usia 18 tahun, Abdul pindah ke Inggris untuk melanjutkan studi di Jurusan Teknik Kimia, Universitas Sheffield.

“Pertama sekali aku ingin tekankan bahwa hingga usiaku 18 tahun, aku tidak suka sama sekali dengan Islam. Kala itu aku baru memasuki tahun pertama kuliah di Inggris,” tukas dia mengenang. Di usia 17 tahun, menurut pengakuannya, dia bahkan pernah bergabung dengan salah satu kelompok ekstrim yang sukanya “memerangi” kelompok Islam lain. Dia menyebut dua alasan masuk grup tersebut,´kisahnya.

“Pertama, karena keluarga dan juga teman-temanku dulunya semua pendukung nasionalis dan rasisme. Jadi aku ingin “membersihkan” lingkungan dari orang-orang yang tak kusukai.  Kedua, pengalaman pribadi di mana aku pernah diserang secara pisik dua kali oleh warga asing asal Aljazair,” kata Abdul tentang masa lalunya.

“Sekarang Anda bisa bayangkan bagaimana pola pikir saya bisa berubah setelah kuliah di Inggris. Anda pasti bertanya-tanya apa dan bagaimana aku bisa menemukan Islam di Inggris,´ kata dia lagi.

Kala studi di Inggris Abdul mengaku menjalin hubungan persahabtan dengan sejumlah siswa asal Asia. Kebanyakan anak-anak dari Malaysia dan Indonesia. Saat itu dia tidak tahu sama sekali teman-teman saya itu semuanya beragama Islam. Sebab sebelumnya dia selalu mengidentikkan Islam dengan Arab.

“Teman-teman muslim yang aku kenal itu semuanya mempraktekkan Islam dalam kehidupan harian mereka. Nah secara perlahan aku menemukan sesuatu yang lain dari Islam. Ini muncul murni dari hatiku,  tanpa ada tekanan atau paksaan dari mereka untuk masuk Islam. Melihat perangai dan perilaku mereka pikiranku tentang Islam mulai berubah. Islam ternyata berbeda sama sekali dari yang pernah kudengar dan kubayangkan di masa lampau. Islam ternyata sangat toleran. Islam berarti kejujuran, keterbukaan, kasih saying dan rasa damai. Yang bikin aku makin terkesan, ternyata orang-orang Islam punya kepedulian terhadap muslim lainnya,” tukas dia panjang lebar.

Apa yang telah diamati Abdul benar-benar membuat dia syok. Saban hari dia semakin termotivasi untuk “mengintip” kelakuan mahasiswa muslim di kampusnya. “Mereka bahkan tidak tahu aku sedang menjalankan misi seperti “spionase terhadap mereka.” Aku benar-benar ingin tahu tentang Islam. Makin hari makin membuncah saja.  Kebencian kini justru berganti dengan keingintahuan. Sebab perangai dan tingkah laku mereka berbanding terbalik dengan prasangka dia akan Islam sebelumnya. Perilaku ternyata lebih hebat daripada sejumlah kata-kata.

”Aku belajar dari mereka tentang perilaku yang benar sebagai seorang muslim. Hal ini jauh dari apa yang pernah kulihat selama di Perancis,” lanjut dia. Kurang dari setahun, Abdul telah belajar banyak hal. Alhasil, dia berani mengambil kesimpulan bahwa Islam itu ternyata amat mengagumkan. “Islam luar biasa!” aku Abdul.

“Pada tahap ini, tanpa sepengetahuan seorangpun, aku mulai mempelajari Islam secara serius. Aku segera mencari mushaf Al-Quran sebagai tahap awal mempelajari Islam.  Aku mencarinya ke mesjid. Namun, untuk mendekat ke mesjid kala itu aku tak punya keberanian sama sekali. Aku takut ketahuan teman-temanku yang muslim. Entahlah aku sedikit tertekan kala itu. Tak tahu apa yang musti kulakukan,” aku Abdul.  

Begitulah, yang namanya hidayah Allah ada saja jalan yang tak diduga-duga oleh hamba-Nya. Seperti kasus Abdul ini, “tanda-tanda” dari Allah mulai terlihat. “Satu hari aku sedang jalan menyusuri kota dan berharap bisa memperoleh Al-Quran. Entah bagaimana aku melewati satu kawasan dimana disana sedang ada pameran Islam,” kisahnya.

Abdul pun tak menyia-nyiakan peluang yang sudah di depan mata. Dia yakin disitu tak ada seorang pun yang kenal dengannya. Awalnya dia agak ragu-ragu namun karena rasa ingin tahu yang sudah membuncah dia pun memberanikan diri meminta sepotong mushaf Al-Quran beserta terjemahannya.

Selepas mendapatkan Al-Quran yang sekian lama dicari-carinya diapun bersegera pulang ke rumah dan langsung mempelajarinya.  “Sedikit demi sedikit aku bisa tahu apa itu Islam. Aku ingin Islam hadir karena usahaku sendiri dan bukan karena paksaan atau tekanan orang lain. Aku juga suka tidak suka adu argumentasi atau berdebat. Aku hanya ingin menemukan jawaban apa itu Islam. Aku benar-benar ingin tahu,” tegas dia.

Beberapa hari berselang, persis selepas aku memperoleh Al-Quran, bulan suci Ramadhan pun tiba. Muncul ide yang kuanggap “gila” kala itu. Aku mau coba berpuasa, kendati belum jadi muslim! Tak hanya itu selama bulan Ramadhan kuhabiskan waktu setiap hari dengan mempelajari Al-Quran,” tutur Abdul.

“Allah akhirnya membuka pintu hatiku. Satu ketika di tengah malam, persis di pertengahan Ramadhan, aku merasakan betapa indahnya Islam itu. Pengajarannya begitu mengagumkan dan penuh makna. Simpel tapi mendasar, dan yang terpenting rasional, mudah dipahami. Ini yang begitu membuatku terkesima, aku sama sekali tidak merasa takut untuk menjadi seorang muslim. Mungkin karena hal ini benar-benar dating dari hati nuraniku sendiri, bukan karena paksaan,” tegas Abdul lagi

Begitulah, akhirnya pada 30 Maret 1997, Abdul mengikrarkan syahadahnya. Prosesi singkat itu berlangsung di kamarnya. Sendirian tanpa ada yang menjadi saksi. “Kala itu, aku ingin shalat tapi belum tahu lagi bagaimana caranya. Gerakan-gerakannya aku tahu, tapi apa yang harus dibaca itu yang aku masih belum tahu lagi. Namun shalat tetap kulakukan sebisa mungkin lima kali sehari, aku dia. Tak berapa lama berselang Abdul pun melakukan prosesi syahadah secara formal di mesjid, di depan para saksi. Dan, saat ini aku dengan bangga sudah dapat menunjuk diri sebagai seorang muslim. Allahu Akbar!, pekiknya gembira.

”Aku berharap banyak orang bisa menjadi kisahku ini sebagai bahan pelajaran. Baik itu untuk yang muslim maupun bukan. Oya jika ada yang mau Tanya-tanya atau silaturrahmi silahkan kirim lewat email saja. Insya Allah aku akan balas,” harap dia..

Abdul mengaku menaruh rasa kagum akan Inggris yang modern, dinamis, nyaman, dan semuanya serba teratur dan terorganisir dengan rapi. “Aku tinggal di kota  Sheffield untuk studi Teknik Kimia selama 4 tahun. Selepas studi aku berencana untuk mencari pengalaman kerja disini,” kata dia.

Menariknya, di tahun terakhir, Abdul bertemu dengan seorang wanita asal Brunei yang juga sedang studi di sana. Di kemudian perempuan melayu itu pun menjadi pendamping hidupnya. “Muslimah asal Brunei itu kunikahi persis  disaat aku menyelesaikan studiku. Tepatnya. Tanggal 20 Juni 1997. Setahun kemudian rumah kami makin semarak dengan kehadiran buah hati kami seorang anak perempuan mungil dan lucu, imbuhnya gembira.

Setelah itu mereka memutuskan pindah ke Brunei. Mereka telah berniat untuk tinggal menetap di negeri yang juga salah satu negeri muslim kaya di dunia. “Kami ingin agar putri semata wayang kami bisa besar dan tumbuh di dalam lingkungan Islami,” kilah Abdul memberi alasan kepindahannya. Dan, Maret 2000 kebahagiaan makin lengkap dengan kelahiran putri kedua mereka.

“Saat ini, baik aku dan istriku, belum ada pekerjaan yang tetap lagi. Namun aku sangat yakin dengan khazanah Allah. Jika menghendaki sesuatu terjadi, maka dengan mudah hal itu segera terjadi. Sebaliknya jika Allah tidak menginginkan sesuatu terjadi, maka juga tidak akan terjadi.  Aku akan terus berusaha sembari berdoa. Semua kuserahkan kepada-Nya untuk memutuskan..Hanya kepada Allah kita meletakkan segala harapan dan mohon pertolongan. Aku meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah,” pungkas Abdul mantap dan penuh keyakinan.
 
[Zulkarnain Jalil/www.hidayatullah.com]

Gadis Amerika itu Bersyahadah di Dalam Bis Kota

Halimah David kini namanya. Dia memeluk Islam tahun 2001 silam. Awalnya, semasa masih remaja, gadis Amerika ini hidup di tengah nuansa Katolik yang kental dibawah bimbingan sang ayah. Namun beranjak dewasa dia melihat ada kontradiksi dalam Kristen. Dia pun mulai mencari kebenaran dengan mendalami berbagai agama, termasuk Islam. Dalam satu perjalanan dengan bus dari Michigan ke Colorado, untuk melanjutkan kuliah di kedokteran, dia berjumpa dengan seorang pemuda muslim asal Afrika.
Dari situlah dia kenal Islam. Dan, menariknya di atas bis antar kota itu juga dia bersyahadah. Masya Allah, hidayah-Nya tak kenal tempat dan waktu. Alhasil, dia justru tertarik belajar Islam ketimbang melanjutkan studi kedokteran. Berikut kisah Halimah, yang setelah menikah memilih tinggal di rumah, mendidik anak sembari menulis buku dan juga mengasuh website Islam.

“Aku dibesarkan dalam keluarga Kristen taat. Ayahku senantiasa memberi petuah Kristen semasa membesarkanku. Dia berusaha keras mengajariku nilai-nilai Kristen,” kata Halimah David tentang latar belakang keluarganya.

"Aku banyak membaca Bibel di saat masih duduk di sekolah dasar dan mengamati sekilas ada hal yang kontradiksi di sana (missal: masalah babi). Memasuki usia 12 tahun, aku makin mengerti dan Kristen makin jauh dari hidup. Tapi aku sendiri tidak tahu apa yang musti kulakukan. Aku terus mencari dan mencari, siapa tuhanku yang sebenarnya. Berdoa agar ditunjukkan pintu kebenaran itu. Jujur, aku benar-benar bekerja keras untuk hal ini," kata dia.

Halimah menyimpan segudang pertanyaan dalam kepalanya: “Kenapa ada manusia di dunia?” atau “Untuk tujuan apa manusia diturunkan?”

Halimah berpikir dengan sistem yang begitu komplek, misal bagaimana manusia diciptakan, lalu bumi diciptakan untuk manusia, tentu ada Maha Pencipta di balik semua itu. Semisal benda, pasti ada desainernya. Atau, tatkala seseorang jalan-jalan di pantai lalu meninggalkan jejaknya di pasir. Maka pasti yang melihat akan menduga ada orang yang baru melewati jalan itu sebelumnya.

"Memasuki usia ke-19, itulah saat-saat yang kritis dalam masa pencarianku. Aku banyak mengadakan perjalanan ke berbagai tempat guna melihat aneka budaya setempat. Ini juga bagian dari proses pencarian tuhan. Kuamati ajaran Taoisme, Budha, Yahudi, Freemansory, Hindu, Animisme, serta banyak lainnya lagi. Tentu saja ajaran Kristen juga jadi bahan pembanding. Aku juga mempelajari Islam melalui literatur yang ada. Kala itu hanya satu dua halaman saja yang kupelajari. Sekilas saja, aku tidak begitu tertarik mempelajarinya lebih jauh. Kuamati Islam menyembah Allah, lalu Muhammad Nabi mereka. Itu saja. Lalu mereka shalat lima kali sehari. Apa, lima kali sehari!?," tukas dia lagi.

"Ketika itu aku mulai berpikir, ah masa sampai sebegitu banyaknya. Kapan pergi kerja, kuliah kalau sebegitu banyak musti ibadah saban hari. Begitu hatiku membatin. Waktu berlalu, aku kembali ke Amerika lagi. Usiaku sudah 21 tahun. Aku masih belum puas dengan semua agama yang telah kupelajari," kata dia heran.

Waktu terus berjalan hingga dia memutuskan untuk kuliah dan diterima di jurusan kedokteran di Universitas Colorado. Menjadi dokter memang impiannya sejak lama. "Konsekuensinya, aku harus pindah dari Michigan ke Colorado. Tak apa-apa demi masa depan," ujarnya.

Saat hari-H, Halimah menggunakan bus umum Greyhound dari Michigan ke Colorado. Perjalanan sedikit panjang dan membosankan. Syukurnya sepanjang perjalanan itu dia punya teman ngobrol dengan seorang pemuda yang dikenalnya dalam bus. Anak muda yang duduk persis di belakangnya. Ternyata dia juga hendak ke Colorado untuk melanjutkan kuliah.

“Namanya Ibrahim, asal dari Afrika. Dia ke Colorado untuk kuliah di jurusan teknik. Kamipun mulai akrab dan ngobrol ke sana kemari untuk menghilangkan rasa jenuh di perjalanan,” kata Halimah.

Yang bikin Halimah tertarik adalah tatkala Ibrahim menyebut dirinya seorang muslim. “Aku tanya apa itu Islam dan dia cerita orang Islam percaya hanya satu Tuhan yaitu Allah dan Muhammad utusan-Nya. Dia cerita juga bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir dan tak ada diturunkan Nabi lagi setelahnya. Aku makin tertarik,” imbuh Halimah.

“Aku simpulkan bahwa ajaran Yahudi berada di belakang dua Nabi, yakni Nabi Isa dan Muhammad. Dan, ajaran Kristen yang dibawa Nabi Isa berada di belakang Islam yang dibawa Nabi Muhammad,” tukasnya. Halimah seakan merasa melihat secercah kebenaran dalam Islam. Ibrahim pun menghadiahinya sebuah buku kecil berisi kumpulan zikir dan doa yang merupakan senjata orang mukmin. Halimah sempat membaca salah satu bagian dari buku itu yang berbunyi:

"Tak ada satu pun yang patut disembah kecuali Allah. Allah satu dan tak bersekutu. Dia Maha Pemilik yang memiliki segala-galanya dan dia Maha Terpuji. Dialah yang Maha Berkuasa atas segala-galanya."

Berawal dari situlah Aminah melihat Islam adalah agama yang sedikit lebih masuk akal dan mudah dimengerti dari sekian agama yang pernah dipelajarinya. Halimah lalu membaca lagi isi buku pemberian Ibrahim itu untuk mendapat petunjuk siapa itu Allah. Dia temukan kalimat lain berbunyi:

"Dengan nama Allah, tak ada sesuatu pun bisa memberikan manfaat dan mudharat baik di dunia maupun di akherat, kecuali dengan seizin Allah. Dia Maha Mendengar dan lagi Maha Mengetahui."

"Ya Allah, segala keberkahan telah banyak kami terima dari Engkau yang Maha Pencipta. Engkau tidak bersekutu. Segala puji hanya bagi-Mu. Terima kasih ya Allah."

“Seketika itu lalu aku menoleh pada Ibrahim dan menanyakannya bagaimana caranya menjadi orang Islam. Dia menyebut aku musti bersyahadah. Dia bilang setiap yang mau masuk Islam musti mengucap duaa kalimah: La ilaha illa llaah Muhammadur Rasuulullah. Hanya itu? Aku lalu dituntunnya untuk mengucap kalimat Syahadah itu. Aku pun bersyahadah saat itu juga. Ya di dalam bus Greyhound, antara Michigan dan Colorado, aku telah jadi seorang muslimah!," kenangnya.

"Subhanallah! Setelah berbincang-bincang hanya sekitar lima belas menit dengan Ibrahim aku menjadi seorang muslim. Inilah cerita tujuh tahun yang lalu,” ujar Halimah memuji Allah. Dia mengaku sangat terkesan dengan kisah keislamannya akhir tahun 2001 silam itu.

Selanjutnya, dengan serta merta dia membatalkan perjalanannya ke Colorado. “Aku tidak melanjutkan sekolah kedokteran. Aku putuskan untuk menghabiskan waktu untuk mempelajari agama yang baru kukenal itu,” kata dia lagi.

Lalu Halimah pun pindah ke Utah. Di sana dia menemukan banyak muslim dan mereka sangat gembira serta menyambut Halimah dengan hangat dan mengenalkannya pada komunitas muslim setempat. Disanalah dia menghabiskan waktu untuk mempelajari Islam secara serius dan sungguh-sungguh.

"Begitulah, setelah mengikuti berbagai kajian Islam, ada beberapa hal yang menurutku sangat penting, yakni: Musti ada Sang Pencipta, karena di dalam kehidupan nyata ada benda-benda ciptaan. Bukti bahwa Tuhan itu ada ditunjukkan melalui kumpulan orang-orang yang berkumpul dan beribadah karena merasa ada "kebutuhan" yang bersifat spiritual. Ini terlihat dari adanya aneka ragam agama dan pemeluknya," ungkapnya.

"Begitupun, kita musti mengikuti agama yang meyakini hanya satu tuhan. Karena, jika ada lebih dari satu tuhan maka otomatis akan sangat komplek dan akan terjadi chaos antara sesama tuhan. Logikanya begitu. Konsekuensinya, semua manusia bertanggungjawab untuk percaya dan yakin kepada Tuhan yang terpatri di dalam setiap diri dan jiwa mereka," pungkas dia.

"Karena itulah dasar dari dilahirkan manusia ini, untuk mengabdi kepada Sang Penciptanya. Seperti termaktub di Surah Azzariyat ayat 56: "Aku menciptakan jin dan manusia hanya untuk mengabdi kepada-Ku.", imbuhnya. Jadi saya rasa Islam hadir untuk menggantikan ajaran Kristen yang telah berbelok arah dengan ajaran Trinitasnya, Satu dalam tiga, Itu sangat tidak rasional.

Halimah juga mendapat hal menarik lain tentang Tuhan di dalam Islam, bahwa jika seseorang manusia tidak mau beribadah kepada-Nya, maka kekayaan-Nya tidak akan berkurang. Sebaliknya jika semua manusia beribadah kepada-Nya, maka kekayaan-Nya juga tidak bertambah gara-garanya hamba-Nya menyembah Dia. Allah itu Maha Sempurna. Dia tak butuh kepada benda-benda, tapi semua benda-benda ciptaan-Nya butuh, itu sebabnya semua umat manusia butuh untuk beribadah kepada-Nya.

"Inilah yang makin memantapkan hati saya untuk terus berada dalam agama yang sangat saya cintai ini. Islam sudah sangat sempurna," tutupnya.

Halimah kini telah menikah dan memilih tinggal di rumah untuk mendidik anak-anaknya. Dia juga menulis buku-buku Islam khusus untuk anak-anak. Tak hanya itu waktunya juga diisi dengan mengasuh tiga website Islam. Salah satunya khusus membahas etika bisnis di dalam Islam. Begitulah.
 

[Zulkarnain Jalil/www.hidayatullah.com]

Tak ada Natal tahun ini ....

Tahun ini, James mengaku tak lagi merayakan Natalan. Ia tak ikut berkumpul dengan keluarganya menyantap kalkun dan alkohol. Tapi ia bahagia! .... James mengakui bahwa perjalanan menuju Islam cukup lama baginya, 'sepuluh tahun' sejak ia berkenalan dengan teman-teman Muslim di tempat kerjanya. Ia tak paham dan agak menyesali kenapa harus begitu lama ?
Suatu petang James datang ke tempat ku memenuhi janjinya untuk memasang scanner dan printer. Ia datang usai bekerja. Ditemani teh hangat ala Inggris, saya bertanya pada sahabat muallaf yang begitu baik menolongku untuk membersihkan komputer dari virus sekaligus membenahi file di komputerku.

“Bagaimana perasaan kamu pada bulan Desember ini? Apakah suasana Natalan tahun ini masih ada pengaruh pada dirimu? tanya saya padanya. “Well I am happy because I can get away this time, completely”, ujarnya ceria. Inilah saat paling bahagia bagi James. “Tanpa perayaan, tidak ada tekanan untuk membeli makanan, maupun alkohol, aku sebenarnya merasa bebas dan ini pertama kali yang pernah saya rasakan. Saya sudah tak akan merayakan Christmas (Natalan) lagi.”

James membuka lagi kenangan masa lalunya. Ia bercerita bahwa tahun lalu, walau ia sudah segan dan wegah merayakan Natalan, namun karena dalam kondisi fikiran masih kacau --antara menghormati orangtua nya dan keraguan terhadap agamanya-- ia masih ingin melakukan kebiasan dan tradisi keluarganya, merayakan Natalan.

Sebagaimana diketahui, hampir setiap keluarga di Inggris, menurutnya, mempercayai bahwa ini bukan perayaaan keagamaan tapi melulu acara tradisi budaya Eropa yang sudah dilakukan ratusan tahun. “Sudah tradisi!”, begitu istilahnya. Mereka berkumpul sekali dalam setahun. Rata-rata keluarga Inggris berkumpul dan menghidangkan masakan ayam kalkun yang di panggang dalam oven lengkap dengan sayur mayur dan ditutup dengan puding krismas yang begitu berat, plus ditambah makanan lainnya dan tak lupa ditemani alkohol. Puncak dari acara ini, tentunya, membagikan hadiah bagi keluarga.

Namun belakangan banyak diakui, kalau acara seperti ini adalah ‘tradisi Pagan’ guna memuja “Dewa Matahari”, dengan cara merayakan malam terpanjang.

Tahun ini, si James tak akan menghadiri perayaan ini. Bertepatan dengan perayaan ulang tahun ibundanya ke 70, ia menjelaskan asalan mengapa kali ini dirinya tak akan menghadiri lagi perayaan ini.

“'So don't worry about chrismast pudding and Turkey Mum I just would not join the christmast this time”, ' ujarnya. “..alhamdulillah mereka paham dan menghargai keputusan saya”, tegasnya.

Sebetulnya banyak yang membujuk James untuk datang dan berkumpul dengan adik dan kakak serta para keponakannya. “Tapi, ibu saya kan tidak akan bisa dan tak paham memasak daging atau ayam halal, lagian walaupun ini bukan acara ritual atau relijius, kalau saya hadir berarti saya merestui perayaan ‘pagan’ mereka”, ujar James. Belum lagi nanti pada acara minum alcohol. “Mereka akan menonton dan mentertawakanku jika tidak minum”, ujarnya.

“Well, masya Allah, mereka menyambut baik dan menghargai keputusanku dan bahkan cukup supportif, dan mereka tahu sekarang saya Muslim dan saya tunjukan sajadah”, ujar James. Begitulah keputusan James. Kali ini, ia merasa terbebas dari beban beratnya.

Jadi apa yang akan kamu lakukan di hari natal nanti?”, tanyaku kembali. “Oh..saya sudah booking tiket 20 Desember ini, kabur ke Spanyol, dengan teman Muslim saya. Ingin melihat Alhambra dan sejarah peninggalan Islam di Spanyol”, ujarnya.

Bagaimana dengan anak-anakmu? “Mereka sama ibunya dan neneknya. Biarkan tahun ini anak-anak sama ibu mereka, merayakan Natal. Nanti jika saya sudah punya rumah sendiri saya ajak mereka pindah kerumahku. And they will follow me…”, ujarnya sambil tertawa lebar seakan yakin kalau anaknya akan mengikuti jejaknya.

Demikian cerita si James. Tapi itu nama masa lalu. Kini, ia kerap dipanggil brother Zakariyya.

Jumpa Pertama

Saya ingat, suatu Ahad, saat pertama kali berjumpa dengannya di sebuah pengajian “StepstoAllah” di Islington, London utara. Jamse saat itu belum Muslim, ia masih mencari-cari dan meyakinkan dirinya. Entah bagaimana saat pengajian usai, ia berbisik kepada Hilaal. “I think now I would like to take shahadah…I like to do it in the mosque, what do you think?”. Dengan serta merta Hilaal menyambutnya. Kamipun terkejut, sekaligus terharu mendengarnya.

Langsung, saya panggil ia dengan 'brother' walau James belum resmi Muslim. “Brother, are sure you want to be Muslim? tanyaku, “Well….hmm yess!”, begitu gaya James berbicara dengan santun dan pelan. Sekalian mengetes keyakinannya, saya bertanya agak lebih serius. “Apa kamu merasa yakin? bagaimana media akan mengungkapkan kita sebagai suatu yang sangat jelek dan extreemist jika kamu memilih menjadi seorang Muslim?”. “Apa tak sebaiknya dibatalkan?”, tanyaku.

"Ya aku mengetahuinya. Mmm saya yakin tentang itu, terutama hari ini, aku kira tentang masalah ini telah aku pikirlan sangat lama. Tak akan menggangguku apapun yang dikatakan media. Sebab aku tidak mempercayai mereka. Dan hari ini aku lebih yakin”, demikian James menambahkan. Ia mengaku, mestinya ia sudah lama bershahadat dan masuk Islam namun ia terlalu banyak pertimbangan. “I am a very slow to decide' ujarnya lagi.

James mengumumkan sekaligus mengundang kami lewat email rencana untuk melakukan shahadat. Di suatu hari Sabtu, di musim panas tahun 2007 , tepat ba'da dzuhurdi Masjid Regent Park, London James mengucapkan dua kalimah syahadat disaksikan beberapa teman. James hari itu mengenakan baju kemeja Koko ala Pakistan berwarna putih. Ia nampak tenang. “Assalamualaikum sister, thank you”, sapanya kepadaku.

Kami mendekatinya dan mengucapkan selamat kepadanya, “Well Done, congratulation, Mabruk…!” Saya menyaksikan penuh haru dan entahlah, akhirnya kami yang wanita atau sister dapat giliran untuk mengucapkan selamat dan hanya dengan isyarat saja, tidak bersalaman. Usai berfoto, kami ke kantin untuk bertasyakur.”Lets go to cantin to celebrate..”, undangnya. Sejak itu, James berganti nama menjadi Zakariyya. “Yes my namae is Zakariyya with two wai (maksudnya y) ..” Di SMS dia serong menyingkatnya menjadi Zak, atau bro Zak. Kadang lebih sering menyingkatnya menjadi initial Z.

Hadiah untuknya dari para sahabat. Ada yang memberi kitab Al-Quran, buku tentang Islam, sajadah dll-nya. Kerlip lampu camera bergantian mengabadikan peristiwa penting ini. Akhirnya kami menikmati minuman dan makanan kecil berupa cheese cake. Ia tak hentinya menyampaikan terima kasih yang tak terhingga, ia merasakan seperti mendapatkan keluarga baru.

Minggu depan kami berjumpa lagi dengan Zakariyya dipengajian. Lalu saya tanya bagaimana perasaan dia sejak ia menjadi Muslim. Konon ia merasa bahagia dan sepertinya betul-betul sudah Muslim begitu lama, padahal baru seminggu.

Ramadhan pertama

Ramadhan tahun 2007 adalah merupakan tahun pertama bagi brother Zak melakukan shaum atau puasa. Baginya shaum merupakan pengalaman spiritual yang luar biasa, walau katanya pada dua hari pertama ia rasakan amat berat. Dan ia bisa memahami seperti apa laparnya, mereka orang-orang miskin yang papa yang tak mampu membeli makan, sedang secara fisik ia merasakan pembersihan racun-racun yang bersemayam ditubuhnya. “I really enjoyed fasting , it is like de-toxed your body, and I felt so light on the third week”, kesannya.

Meski menjadi Islam baru 16 bulan, tapi Zak merasakan seakan sudah lama berislam dan menjadi Muslim seumur hidup. Namun ia mengaku, sesungguhnya secara fitrah dirinya sudah Muslim telah lama. Sebab menurutnyadari dulu ia tak pernah yakin tentang ajaran agamanya.

Zakariyya menuturkan, kedua orangtuanya beragama Kristen tapi hampir tidak mempraktekan agamanya dan tidak ke gereja (they are not church goer). “Saya selalu mengalami kesulitan menerima ajaran Kristen”, kenangnya. “Begitu banyak doktrin yang tidak mudah dicerna dan diterima oleh logika”, tambahnya lagi.

Hal ini menyisakan perasaan dan jiwanya yang kosong secara fisik, ia mengaku sepertinya tak punya arti apa-apa. Ruang yang luas dan besar itu sepertinya betul-betul hampa untuknya. “Ada sesuatu yang mengganjal dan saat itu saya tidak tahu apa.

“Saya berkenalan dengan seorang Muslim sepuluh tahun lalu, seseorang yang setia dan masih tetap menjadi teman baik saya. Saya memiliki juga beberapa teman Muslim yang selalu membuat saya terkesan dengan kebaikan, dan ketenangan teman Muslim ini. Mereka sangat rendah hati, santun dan rasa kemanusiaannya sangat menonjol. Mereka selalu siap menolong, dan selalu siap menjawab semua pertanyaan saya tentang Islam. Terus terang saja bahwa saya tidak pernah terlintas sebelumnya dan terfikir bahwa saya akan menjadi pemeluk Islam. Ini luar biasa.!” ujarnya.

“Pada musim semi tahun 2006, lanjutnya lagi, saya berjumpa seseorang yang memberi saya inspirasi untuk menjamah Al-Quran dan membacanya. Kebetulan saya tinggal dengan teman baik saya ini. Dia amengundang saya untuk membaca Al-Quran. Nah untuk menyentuh dan mengambil kitab Al-quran itu sebetulnya tidak susah dan tidak memerlukan waktu dan tenaga banyak yang mesti saya lakukan. Saya tinggal berjalan dari sofa ke rak buku yang cuma beberapa langkah untuk mendapatkan Al-Quran, mengambil kitab itu dan membacanya.”

Terjemahan pertama yang ia baca adalah Al-Quran yang dipublikasi oleh Penguin Books. Menurutnya, ini bukan sebuah translasi yang terbaik, karena setelah dicermati si penerjemah cenderung untuk menafsikan semaunya dan tidak menerjemahkan secara benar atau dan tidak jujur tentang kebenaran. “Perasaan saya mengatakan seperti itu”, ujar Zakariyya.

Namun ada satu hal yang baik dari penerjemah bahwa ia menyarankan untuk membaca surat-surat pendek dulu sebagai pemula dan permulaan karena surat lainya yang panjang itu sangat kompleks.

“Ayat 55 dari surat Ar Rahman dan ayat-ayat pada surat-surat At-Takwir (surat 81) itu saya kaitkan dan kesimpulan yang saya ambil membuat saya termangu dan merenung yang membuat saya begitu takjub dengan Al-Quran dan agama Islam”, begitu kesimpulannya.

'Saya ingat waktu pertama kali saya membaca Al-Quran, saya merasakan getaran dan dorongan kuat dihati saya. Oh, ingin rasanya saya masuk Islam seketika. Agama Islam dan Al-Quran menawarkan ajaran yang sangat alami, mudah dipahami dan diterima dan dicerna oleh logika dan hati sedang di dalam Al-Quran juga banyak menceritakan kisah-kisah dan kehidupan para Rasul dahulu. Semua ajarannya seakan pas dengan kehidupan saya dan yang saya yakini”, begitu kenangnya.

Hanya dalam waktu dua bulan Zakariyya selesai membaca Al-Quran. “Usai membaca Al-Quran saya katakan kepada teman-teman Muslim dan keluarga tentang 'Penemuan Baru' saya ini, lalu saya katakan kepada mereka bahwa saya ingin masuk Islam dan sekaligus saya katakan alasannya mengapa. Saya katakan kepada mereka bagaimana dan apa itu Islam, juga makna untuk umum serta untuk kehidupan pribadi saya. Alhamdulillah keluarga saya mendukung dan paham akan perasaan saya.”

Sejam memeluk Islam, cukup banyak buku-buku dan literatur yang dibaca Zakariyya. Buku-buku seperti; Kehidupan Muhammad saw yang ditulis oleh Martin Lings dan beberapa buku yang ditulis oleh para muallaf (reverts). Saat ini ia sudah memulai membaca terjemahan Al-Quran lainnya dan membaca buku-buku Sejarah Rasulullah. Ia juga sering mengunjungi beberapa masjid disekitar London dengan beberapa teman, sekaligus mempraktekan sholat. Sekali seminggu, sepulang bekerja, ia belajar membaca Al-Quran dengan IQRA yang diajarkan oleh brother Hilaal.

Sebelum mengakhiri pembicaraan dengan saya, ia mengungkap sebuah ayat paling favorit yang sering ia ingat.

"Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus , yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis) , Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan- perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS An-Nur:35).


[London, 17 Desember 2007. Ditulis oleh Al Shahida]

Sumber: http://www.mualaf.com

Kamis, 03 Mei 2012

Dengar Azan, Liam Neeson Bertekad Menjadi Muslim

Menurut Kantor Berita ABNA, Namanya mungkin mengikuti nama seorang pendeta lokal Irlandia di kampung halamannya, namun Liam Neeson adalah penganut Katolik Roma. Kini, aktor berusia 59 tahun itu setelah mempertimbangkan untuk menjadi seorang Muslim setelah perjalanan kerjanya ke Istanbul akhirnya menyatakan dirinya masuk Islam dan bertekad untuk menjadi muslim yang taat.Menurut The Sun, Neeson mengakui bahwa panggilan doa secara Islam masuk ke dalam jiwanya ketika dia membuat film di Turki. “Azan terjadi lima kali sehari dan untuk minggu pertama hal itu membuat Anda gila. Kemudian, itu begitu saja masuk ke dalam jiwa Anda. Dan itu adalah hal yang paling indah, sesuatu yang indah,” kata Neeson.

"Bahkan sampai saat ini, lantunan azan itu masih mendengung di telinga saya. Terdengar merdu dan indah." Lanjutnya lagi.

Neeson menjelaskan bahwa di Istanbul terdapat sekitar 4.000 masjid. “Sebagian dari mereka sungguh menakjubkan dan itu membuat saya berpikir untuk menjadi seorang Muslim,” aku dia beberapa waktu lalu.

Pria yang lahir di Irlandia tetapi berkewarganegaraan Amerika Serikat ini dibesarkan di Irlandia Utara sebagai penganut Katolik Roma sesuai keyakinan kedua orang tuanya. Namun, pemeran tokoh John "Hannibal" Smith dalam film The A-Team ini memiliki opini sendiri tentang agama.
“Saya dibesarkan sebagai seorang Katolik, tetapi setiap hari saya bertanya kepada diri sendiri, tidak sadar, apa yang kita lakukan di Bumi ini? Untuk apa semua ini?” ungkap pria yang memulai kariernya pada 1973 ini.
“Saya selalu membaca buku-buku tentang Tuhan atau ketiadaan Tuhan dan juga ateisme,” sambung aktor yang pindah ke Amerika pada 1990-an ini.

Pada 2010, Neeson mendapat kritik setelah mengklaim bahwa singa Aslan dalam film The Chronicles of Narnia yang ia isi suaranya tidak berdasarkan kisah Yesus Kristus seperti yang diklaim oleh CS Lewis, tetapi berdasarkan semua pemimpin agama, termasuk Nabi Muhammad SAW. Film terbaru Neeson, The Grey, akan diluncurkan di Inggris Jumat pekan ini.

http://www.abna.ir/data.asp?lang=12&Id=293343

Kisah Seorang Yahudi yang Mengislamkan Jutaan Orang

Fiqhislam.com - Disuatu tempat di Prancis sekitar lima puluh tahun yang lalu, ada seorang berkebangsaan Turki berumur 50 tahun bernama Ibrahim. Ia adalah orangtua yang menjual makanan di sebuah toko makanan. Toko tersebut terletak di sebuah apartemen di mana salah satu penghuninya adalah keluarga Yahudi yang memiliki seorang anak bernama "Jad" berumur 7 tahun.

Jad, si anak Yahudi Hampir setiap hari mendatangi toko tempat di mana Ibrahim bekerja untuk membeli kebutuhan rumah. Setiap kali hendak keluar dari toko –dan Ibrahim dianggapnya lengah– Jad selalu mengambil sepotong cokelat milik Ibrahim tanpa seizinnya.

Pada suatu hari usai belanja, Jad lupa tidak mengambil cokelat ketika mau keluar, kemudian tiba-tiba Ibrahim memanggilnya dan memberitahu kalau ia lupa mengambil sepotong cokelat sebagaimana kebiasaannya. Jad kaget, karena ia mengira bahwa Ibrahim tidak mengetahui apa yang ia lakukan selama ini. Ia pun segera meminta maaf dan takut jika saja Ibrahim melaporkan perbuatannya tersebut kepada orangtuanya.

"Tidak apa, yang penting kamu berjanji untuk tidak mengambil sesuatu tanpa izin, dan setiap saat kamu mau keluar dari sini, ambillah sepotong cokelat, itu adalah milikmu”, ujar Jad sebagai tanda persetujun.

Waktu berlalu, tahun pun berganti dan Ibrahim yang seorang Muslim kini menjadi layaknya seorang ayah dan teman akrab bagi Jad si anak Yahudi

Sudah menjadi kebiasaan Jad saat menghadapi masalah, ia selalu datang dan berkonsultasi kepada Ibrahim. Dan setiap kali Jad selesai bercerita, Ibrahim selalu mengambil sebuah buku dari laci, memberikannya kepada Jad dan kemudian menyuruhnya untuk membukanya secara acak. Setelah Jad membukanya, kemudian Ibrahim membaca dua lembar darinya, menutupnya dan mulai memberikan nasehat dan solusi dari permasalahan Jad.

Beberapa tahun pun berlalu dan begitulah hari-hari yang dilalui Jad bersama Ibrahim, seorang Muslim Turki yang tua dan tidak berpendidikan tinggi.

14 Tahun Berlalu

Jad kini telah menjadi seorang pemuda gagah dan berumur 24 tahun, sedangkan Ibrahim saat itu berumur 67 tahun.

Alkisah, Ibrahim akhirnya meninggal, namun sebelum wafat ia telah menyimpan sebuah kotak yang dititipkan kepada anak-anaknya di mana di dalam kotak tersebut ia letakkan sebuah buku yang selalu ia baca setiap kali Jad berkonsultasi kepadanya. Ibrahim berwasiat agar anak-anaknya nanti memberikan buku tersebut sebagai hadiah untuk Jad, seorang pemuda Yahudi.

Jad baru mengetahui wafatnya Ibrahim ketika putranya menyampaikan wasiat untuk memberikan sebuah kotak. Jad pun merasa tergoncang dan sangat bersedih dengan berita tersebut, karena Ibrahim-lah yang selama ini memberikan solusi dari semua permasalahannya,  dan Ibrahim lah satu-satunya teman sejati baginya.

Hari-haripun berlalu, Setiap kali dirundung masalah, Jad selalu teringat Ibrahim. Kini ia hanya meninggalkan sebuah kotak. Kotak yang selalu ia buka, di dalamnya tersimpan sebuah buku yang dulu selalu dibaca Ibrahim setiap kali ia mendatanginya.

Jad lalu mencoba membuka lembaran-lembaran buku itu, akan tetapi kitab itu berisikan tulisan berbahasa Arab sedangkan ia tidak bisa membacanya. Kemudian ia pergi ke salah seorang temannya yang berkebangsaan Tunisia dan memintanya untuk membacakan dua lembar dari kitab tersebut. Persis sebagaimana kebiasaan Ibrahim dahulu yang selalu memintanya membuka lembaran kitab itu dengan acak saat ia datang berkonsultasi.

Teman Tunisia tersebut kemudian membacakan dan menerangkan makna dari dua lembar yang telah ia tunjukkan. Dan ternyata, apa yang dibaca oleh temannya itu, mengena persis ke dalam permasalahan yang dialami Jad kala itu. Lalu Jad bercerita mengenai permasalahan yang tengah menimpanya, Kemudian teman Tunisianya itu memberikan solusi kepadanya sesuai apa yang ia baca dari kitab tersebut.

Jad pun terhenyak kaget, kemudian dengan penuh rasa penasaran ini bertanya, "Buku apa ini?"

Ia menjawab, "Ini adalah Al-Qur'an, kitab sucinya orang Islam!"

Jad sedikit tak percaya, sekaligus merasa takjub,

Jad lalu kembali bertanya, "Bagaimana caranya menjadi seorang muslim?"
Temannya menjawab, "Mengucapkan syahadat dan mengikuti syariat!"

Setelah itu, dan tanpa ada rasa ragu, Jad lalu mengucapkan Syahadat, ia pun kini memeluk agama Islam!

Islamkan 6 juta orang
Kini Jad sudah menjadi seorang Muslim, kemudian ia mengganti namanya menjadi Jadullah Al-Qur'ani sebagai rasa takdzim atas kitab Al-Qur'an yang begitu istimewa dan mampu menjawab seluruh problema hidupnya selama ini. Dan sejak saat itulah ia memutuskan akan menghabiskan sisa hidupnya untuk mengabdi menyebarkan ajaran Al-Qur'an.

Mulailah Jadullah mempelajari Al-Qur'an serta memahami isinya, dilanjutkan dengan berdakwah di Eropa hingga berhasil mengislamkan enam ribu Yahudi dan Nasrani.

Suatu hari, Jadullah membuka lembaran-lembaran Al-Qur'an hadiah dari Ibrahim itu. Tiba-tiba ia mendapati sebuah lembaran bergambarkan peta dunia. Pada saat matanya tertuju pada gambar benua Afrika, nampak di atasnya tertera tanda tangan Ibrahim dan dibawah tanda tangan itu tertuliskan ayat :

((اُدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ...!!))

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik!!...” [QS. An-Nahl; 125]

Iapun yakin bahwa ini adalah wasiat dari Ibrahim dan ia memutuskan untuk melaksanakannya.

Beberapa waktu kemudian Jadullah meninggalkan Eropa dan pergi berdakwah ke negara-negara Afrika yang di antaranya adalah Kenya, Sudan bagian selatan (yang mayoritas penduduknya adalah Nasrani), Uganda serta negara-negara sekitarnya. Jadullah berhasil mengislamkan lebih dari 6.000.000 (enam juta) orang dari suku Zulu, ini baru satu suku, belum dengan suku-suku lainnya.

Akhir Hayat Jadullah

Jadullah Al-Qur'ani, seorang Muslim sejati, da'i hakiki, menghabiskan umur 30 tahun sejak keislamannya untuk berdakwah di negara-negara Afrika yang gersang dan berhasil mengislamkan jutaan orang.

Jadullah wafat pada tahun 2003 yang sebelumnya sempat sakit. Kala itu beliau berumur 45 tahun, beliau wafat dalam masa-masa berdakwah.

Kisah pun belum selesai

Ibu Jadullah Al-Qur'ani adalah seorang wanita Yahudi yang fanatik, ia adalah wanita berpendidikan dan dosen di salah satu perguruan tinggi. Ibunya baru memeluk Islam pada tahun 2005, dua tahun sepeninggal Jadullah yaitu saat berumur 70 tahun.

Sang ibu bercerita bahwa –saat putranya masih hidup– ia menghabiskan waktu selama 30 tahun berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan putranya agar kembali menjadi Yahudi dengan berbagai macam cara, dengan segenap pengalaman, kemapanan ilmu dan kemampuannya, akan tetapi ia tidak dapat mempengaruhi putranya untuk kembali menjadi Yahudi. Sedangkan Ibrahim, seorang Muslim tua yang tidak berpendidikan tinggi, mampu melunakkan hatinya untuk memeluk Islam, hal ini tidak lain karena Islamlah satu-satunya agama yang benar.

Yang menjadi pertanyaannya, "Mengapa Jad si anak Yahudi memeluk Islam?"

Jadullah Al-Qur'ani bercerita bahwa Ibrahim yang ia kenal selama 17 tahun tidak pernah memanggilnya dengan kata-kata: "Hai orang kafir!" atau "Hai Yahudi!" bahkan Ibrahim tidak pernah untuk sekedar berucap: "Masuklah agama Islam!"

Bayangkan, selama 17 tahun Ibrahim tidak pernah sekalipun mengajarinya tentang agama, tentang Islam ataupun tentang Yahudi. Seorang tua Muslim sederhana itu tak pernah mengajaknya diskusi masalah agama. Akan tetapi ia tahu bagaimana menuntun hati seorang anak kecil agar terikat dengan akhlak Al-Qur’an.

Kemudian dari kesaksian Dr. Shafwat Hijazi (salah seorang dai kondang Mesir) yang suatu saat pernah mengikuti sebuah seminar di London dalam membahas problematika Darfur serta solusi penanganan dari kristenisasi, beliau berjumpa dengan salah satu pimpinan suku Zolo. Saat ditanya apakah ia memeluk Islam melalui Jadullah Al-Qur’ani?, ia menjawab; tidak! namun ia memeluk Islam melalui orang yang diislamkan oleh Jadullah Al-Qur'ani.

Subhanallah, akan ada berapa banyak lagi orang yang akan masuk Islam melalui orang-orang yang diislamkan oleh Jadullah Al-Qur’ani. Dan Jadullah Al-Qur'ani sendiri memeluk Islam melalui tangan seorang muslim tua berkebangsaan Turki yang tidak berpendidikan tinggi, namun memiliki akhlak yang jauh dan jauh lebih luhur dan suci.

Begitulah hikayat tentang Jadullah Al-Qur'ani, kisah ini merupakan kisah nyata yang penulis dapatkan kemudian penulis terjemahkan dari catatan Almarhum Syeikh Imad Iffat yang dijuluki sebagai "Syaikh Kaum Revolusioner Mesir". Beliau adalah seorang ulama Al-Azhar dan anggota Lembaga Fatwa Mesir yang ditembak syahid dalam sebuah insiden di Kairo pada hari Jumat, 16 Desember 2011 silam.

Kisah nyata ini layak untuk kita renungi bersama di masa-masa penuh fitnah seperti ini. Di saat banyak orang yang sudah tidak mengindahkan lagi cara dakwah Qur'ani. Mudah mengkafirkan, fasih mencaci, mengklaim sesat, menyatakan bid'ah, melaknat, memfitnah, padahal mereka adalah sesama muslim.

Dulu da'i-da'i kita telah berjuang mati-matian menyebarkan Tauhid dan mengislamkan orang-orang kafir, namun kenapa sekarang orang yang sudah Islam malah justru dikafir-kafirkan dan dituduh syirik? Bukankah kita hanya diwajibkan menghukumi sesuatu dari yang tampak saja? Sedangkan masalah batin biarkan Allah yang menghukumi nanti. Kita sama sekali tidak diperintahkan untuk membelah dada setiap manusia agar mengetahui kadar iman yang dimiliki setiap orang.

Mari kita renungi kembali surat Thaha ayat 44 yaitu Perintah Allah swt. kepada Nabi Musa dan Harun –'alaihimassalam– saat mereka akan pergi mendakwahi fir'aun. Allah berfirman,

((فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى))

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut.”

Bayangkan, Fir'aun yang jelas-jelas kafir laknatullah, namun saat dakwah dengan orang seperti ia pun harus tetap dengan kata-kata yang lemah lembut, tanpa menyebut dia Kafir Laknatullah! Lalu apakah kita yang hidup di dunia sekarang ini ada yang lebih Islam dari Nabi Musa dan Nabi Harun? Atau adakah orang yang saat ini lebih kafir dari Fir'aun, di mana Al-Qur'an pun merekam kekafirannya hingga kini?

Lantas alasan apa bagi kita untuk tidak menggunakan dahwah dengan metode Al-Qur'an? Yaitu dengan Hikmah, Nasehat yang baik, dan Diskusi menggunakan argumen yang kuat namun tetap sopan dan santun?

Maka dalam dakwah yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana cara kita agar mudah menyampaikan kebenaran Islam ini.
Oleh karenanya, jika sekarang kita dapati ada orang yang kafir, bisa jadi di akhir hayatnya Allah akan memberi hidayah kepadanya sehingga ia masuk Islam.
Bukankah Umar bin Khattab dulu juga pernah memusuhi Rasulullah? Namun Allah berkehendak lain, sehingga Umar pun mendapat hidayah dan akhirnya memeluk Islam. Lalu jika sekarang ada orang muslim, bisa jadi di akhir hayatnya Allah mencabut hidayah darinya sehingga ia mati dalam keadaan kafir. Na'udzubillah tsumma Na'udzubillahi min Dzalik.

Karena sesungguhnya dosa pertama yang dilakukan iblis adalah sombong dan angkuh serta merasa diri sendiri paling suci sehingga tak mau menerima kebenaran Allah dengan sujud hormat kepada nabi Adam –'alaihissalam–. Oleh karena itu, bisa jadi Allah mencabut hidayah dari seorang muslim yang tinggi hati lalu memberikannya kepada seorang kafir yang rendah hati. Segalanya tiada yang mustahil bagi Allah!

Marilah kita pertahankan akidah Islam yang telah kita peluk ini, dan jangan pernah mencibir ataupun "menggerogoti" akidah orang lain yang juga telah memeluk Islam serta bertauhid. Kita adalah saudara seislam seagama. Saling mengingatkan adalah baik, saling melindungi akidah sesama muslim adalah baik. Marilah kita senantiasa berjuang bahu-membahu demi perkara yang baik-baik saja. Wallahu Ta'ala A'la Wa A'lam Bis-Shawab.

Oleh: Mustamid
Penulis adalah mahasiswa Program Licence Universitas Al-Azhar Kairo Konsentrasi Hukum Islam. Facebook; Mustamid

Hidayah diberikan melalui Mimpi

Awal tahun 2002, Karen Bujairami sedang terburu-buru menuju ruang kuliah akuntansi. Ia baru saja pindah tempat tinggal dan hari itu adalah hari pertamanya di kelas yang baru. Sebagai orang baru, ia belum punya kenalan dan belum terbiasa dengan tempat kuliahnya.Sekitar 15 menit kuliah berjalan, seorang gadis masuk ke ruang kuliah, ia terlambat datang ke kelas. Karena tidak terlalu memperhatikan gadis itu, sampai akhirnya ia mengenalnya sebagai Fatima, seorang muslimah asal Lebanon dan berjilbab.

Hari itu, Karen akan mengikuti mata kuliah kedua. Ia melihat Fatima saat masuk kelas dan hatinya tiba-tiba merasa "terikat" dengan gadis muslim itu. Karen lalu bertanya apakah ia boleh duduk di sebelah Fatima. Itulah awal persahabatan Karen dan Fatima. Mereka berdua sangat akrab seolah tak bisa terpisahkan, sehingga para dosen kerap mengomentari mereka dan bertanya apakah mereka berdua bersaudara kandung.

Kala itu, Karen masih memeluk agama Kristen, tapi ia tertarik untuk mempelajari agama Islam yang dianut Fatima. "Fatima selalu menjawab keingintahuan saya dan matanya selalu memancarkan semangat ketika bicara tentang Islam. Hal itu membuat saya kagum, karena saya sendiri tidak terlalu bersemangat dengan agama saya sendiri," kata Karen.

 Ia mengaku sering terlibat perdebatan sengit dengan Fatima saat membahas masalah agama. Perdebatan itu kadang berakhir dengan kemarahan Karen, karena ia tidak mampu memberikan jawaban atau memberikan argumen dalam banyak topik pembicaraan. Karen juga kadang merasa kesal sendiri karena ia tidak mampu memberikan jawaban yang tepat terkait agama Kristen, agamanya sendiri.

 "Saya sangat menghormati Fatima. Saya masih ingat ketika melihat Fatima berwudu dan salat lima waktu sehari, tetap berjilbab di tengah musim panas dan tidak pernah menyebut-nyebut dirinya sedang berpuasa saat bulan Ramadan. Sedangkan saya, berusaha keras untuk bisa rajin gereja setiap minggu, meski saya merasa sebagai penganut Kristen yang taat," ujar Karen.Karen mengungkapkan, meski agama mereka berbeda, ia dan Fatima punya banyak kesamaan dalam banyak hal. Karen misalnya, tidak pernah berkumpul dengan teman-teman lelakinya, tidak suka mengenakan pakaian yang agak "terbuka" dan itu membuat Fatima merasa nyaman berteman dengan Karen.

Mimpi Itu
Suatu hari, Karen dan Fatima sedang berjalan berdua di kampus, menuju ke tempat mereka biasa menikmati makan siang. Mereka berdua sudah sering melakukannya, tapi hari itu, Karen merasakan sesuatu yang menarik perhatiannya. Sesuatu yang mengingatkannya pada mimpi-mimpi yang selalu hadir dalam tidurnya, di awal tahun sebelum ia memulai kuliahnya di kampus itu.

Dalam mimpinya, Karen berjalan bersama dengan seorang perempuan yang mengenakan jilbab. Gadis berjilbab itu berjalan di sisi kanannya. Karen melihat area yang ia lewati saat berjalan dengan gadis itu dalam mimpinya, sama persis dengan area yang ia lihat sekarang, saat berjalan dengan Fatima.

"Orang biasanya tidak terlalu menaruh perhatian pada mimpi, tapi apa yang terjadi hari itu membuat saya syok. Saya menghentikan langkah dan berkata pada Fatima 'Oh Tuhan, Oh Tuhan. Saya pernah melihat ini semua dalam mimpi-mimpi saya dulu'," imbuh Karen.Saat itu, Karen tidak pernah teman seorang muslim, atau bergaul dengan Muslim.

Bermimpi tentang muslim sungguh aneh buat Karen. Tapi apa yang ia lihat dalam mimpinya, benar-benar sama dengan apa yang terjadi siang itu, saat ia berjalan di kampus bersama Fatima."Orang mungkin berpikir itu cuma mimpi, siapa yang peduli. Tapi saya meyakini, mimpi itu murni petunjuk dari Tuhan dan atas kehendakNya, persahabatan saya dengan Fatima adalah sebuah perkenalan saya dengan Islam," ujar Karen.

Sejak hari itu, dengan alasan yang Karen sendiri tidak memahaminya, ia makin tertarik dan lebih tertarik lagi pada Islam. Karen mulai banyak melontarkan pertanyaan tentang Islam, dan makin kehilangan kehilangan keyakinannya pada agamanya sendiri. Karen memegang teguh prinsip hidupnya, jika ia ragu dengan agamanya sendiri, maka ia harus mencari jawaban atas keraguannya itu dan pasti ada sesuatu yang salah dengan agama yang membuatnya ragu.

Karen lalu mendapat sebuah DVD dari Fatima, DVD Syaikh Ahmad Deedat yang berdebat dengan sejumlah pendeta Kristen. Setelah menyaksikan DVD itu, Karen menyadari bahwa agama yang dipeluknya bukanlah agama yang benar, karena para pendeta Kristen yang ia lihat di DVD itu tidak bisa memberikan jawaban meyakinkan terhadap pertanyaan-pertanyaan seputar ajaran Kristen, yang selama ini diyakini Karen sebagai agamanya.Waktu itu, Karen hidup bersama dengan mantan pacarnya yang juga seorang Kristiani yang taat. Lelaki itu mencoba menenangkan Karen dan menuding Fatima sudah menyuci otak Karen dengan ajaran Islam. Karen yang masih bingung, mendatangi Fatima keesokan harinya dan mengatakan bahwa ia tidak mau membicarakan soal agama lagi.
 
"Fatima merespon perkataan saya dengan tenang. Ia mengatakan, 'Kewajiban saya untuk menyampaikan pesan-pesan Islam, jika kamu tidak mau menerimanya, itu adalah pilihanmu. Tapi saya sudah melakukan kewajiban saya. Jadi, di hari Kiamat nanti, kamu tidak menuduh bahwa saya tidak menyampaikan pesan Islam itu," tutur Karen menirukan jawaban Fatima.

Hidayah yang Indah
Tahun berganti tahun, Karen dan Fatima tetap bersahabat baik. Karen mulai sering menghabiskan waktunya bersama keluarga Fatima. Melihat sikap dan perilaku keluarga Fatima, apresiasi Karen terhadap Islam makin bertambah."Saya senang menghabiskan waktu dengan keluarga Fatima. Mereka tidak minum minuman keras, tidak melakukan hal-hal yang haram. Saya merasa itulah masa-masa terbaik sepanjang hidup saya. Selama delapan tahun, saya melewati banyak tahapan dan saya meyakini, ini adalah kehendak Tuhan, ini adalah ujian-Nya untuk menunjukkan dan membimbing saya pada jalan Islam," tukas Karen.Tahap pertama, kata Karen, adalah ketidaktahuannya, ia menolak semua agama, termasuk Kristen atau Islam. Ia tidak mau menerima ajaran apapun dari kedua agama itu. Tahap kedua, merupakan tahap pemberontakannya. "Saya mulai berontak, melawan orang-orang yang saya cintai dan menyerahkan diri pada hasutan-hasutan setan," ujar Karen.Tahap pemberontakan itu mencapai puncaknya pada tahun 2008, yang ia sebut sebagai tahun terburuk. Karena mengalami banyak masalah dan ia berjuang untuk mengatasinya sendiri. Kehidupan Karen mencapai titik terendah. Ia memutuskan hubungan dengan kekasihnya yang sudah terjalin selama 7 tahun, pekerjaannya kacau, kehilangan teman yang baik dan bergaul dengan orang-orang yang buruk dan hubungan dengan keluarganya juga jadi memburuk. Saat itu, Karen sembunyi dari Fatima. Karen merasa bersalah dan ia tidak mau sahabatnya itu kecewa melihat perilaku buruknya.Tahap ketiga kehidupan Karen adalah tahap "terbangun dari tidur'. Karen bertemu dengan seorang muslim lagi, yang berani memaksanya untuk menghentikan perilaku buruknya. Bagi Karen, apa yang dilakukan muslim itu sedikit kasar, tapi saat itu Karen tidak mau mendengar nasehat siapa pun. Ia bersyukur akhirnya ada orang yang bisa "memaksa" dan "mengontrol" dirinya sehingga ia bisa keluar dari kehidupannya yang kacau."Di hari saya menyaksikan DVD Ahmad Deedat, saya sudah tahu bahwa saya akan menjadi seorang muslim. Saya cuma perlu tekad yang bulat untuk menuju arah yang benar. Tuhan bekerja dengan caranya yang terbaik. Dia menunjukkan Islam pada saya delapan tahun yang lalu, ketika saya pertama kalinya bermimpi tentang seorang muslimah berjilbab yang kemudian menjadi sahabat baik saya ...""Dia menunjukan pada saya bagaimana rasanya tidak percaya dengan apapun. Dia menunjukkan pada saya, seperti apa rasanya menjalani gaya hidup yang haram, dan sekarang ia menunjukkan pada saya, bagaimana rasanya menjalani kehidupan yang halal dan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki dari kehidupan yang halal itu," papar Karen.Akhirnya, pada tanggal 1 Januari 2009, Karen mengucapkan dua kalimat syahadat, disaksikan oleh ayahnya dan sahabatnya, Fatima. "Alhamdulillah, saya bangga menjadi seorang muslim," tandas Karen Bujairami.(IRIB)

http://myquran.org/forum/index.php/topic,75920.0.html