Sabtu, 04 Juni 2011

Amarico Sarmento Pernah Tahan Keinginan Peluk Islam Demi Sang Ayah

REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG — Februari tahun lalu, tepatnya 2 Februari 2010, Amarico Sarmento memutuskan memeluk Islam. Nama Amarico Sarmento segera berganti menjadi Muhammad Amiruddin.

Keinginan Amir, demikian sapaan akrabnya sekarang, untuk memeluk Islam sebenarnya sudah ada semenjak kecil. Namun, orang tua, khususnya sang ayah, mewanti-wanti agar Amir tidak masuk Islam. Amir yang berusia belia saat itu takut dan khawatir dengan ancaman sang ayah yang akan membuangnya dan tak membiayai sekolah.

Selepas menyelesaikan pendidikan sekolah menengah, Amir yang merasa tidak lagi membebani orang tua dengan biaya sekolah, segera memutuskan untuk memeluk Islam. Amir mengaku memeluk Islam tanpa paksaan ataupun ajakan dari orang lain.

Bagi Amir, berislam adalah pilihan hati, tak bisa dibanding-bandingkan agama lama dan barunya. Dia masih ingat, ketika melihat temannya yang Muslim shalat dia merasa tertarik. Dia seolah tidak pernah melihat nuansa ritual yang kental seperti itu sebelumnya.

Baginya, agama juga tak sekadar ritual semata. Sebuah agama diharapkannya memberikan cahaya penerang sebagai penuntun dalam menjalani kehidupan. “Saya banyak baca, saya banyak bertanya tentang Islam, Alhamdulillah pilihan saya tidak salah,” kenang Amir.

Kini, Amir tengah mendalami pendidikan agama di Pesantren Pembinaan Muallaf Annaba Center. Di pesantren itu, Amir belajar bahasa arab, bahasa yang menurutnya sulit untuk diucapkan. Dia belajar Iqra, shalat, dan puasa Senin-Kamis. Dia mengaku banyak mendapatkan bimbingan yang luar biasa dari guru di pesantren.

Dia sadar, sebagai seorang Muslim, dia belum sempurna menerapkan ajaran Islam. Namun, dia terus bekerja keras untuk lebih menyelami ajaran-ajaran Islam. “Islam itu luar biasa. Islam itu agama yang baik. Makanya saya heran mengapa Islam banyak dicap sebagai teroris,” kata dia.


Kenyang diolok-olok


Amir sadar, keputusannya memeluk Islam memunculkan konsekuensi; docemooh lingkungannya. Ia selalu diolok-olok teman-temannya ketika tahu bahwa dirinya seorang Muslim.

Bagi dia, olok-olok itu malahan mempertajam keyakinan Amir atas pilihannya. “Setiap kali diolok-olok, saya selalu katakan, saya sudah memilih Islam, saya pun siap dengan segala macam konsekuensi dari pilihan tersebut,” kata dia.

Keputusannya memeluk Islam membuat orang tuanya marah besar. Dia pun dikucilkan dari keluarganya. Setiap kali, Amir berusaha menjalin komunikasi, respons yang diterima sangat meyakitkan.

Amir punya mimpi, selesai mendalami ilmu dan Islam, dia berniat untuk menjadi pendakwah. Dia punya cita-cita untuk memberikan perlindungan terhadap saudara-saudara Muslimnya yang berada di Timor Leste. Menurut dia, saudara-saudaranya itu acapkali mendapatkan ancaman dan intimidasi. Akibatnya, kata Amir, sebagian dari saudaranya yang Muslim meninggalkan Islam. Amir juga punya impian untuk mengislamkan keluarganya.

Redaktur: Siwi Tri Puji B
Reporter: Agung Sasongko

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/11/05/05/lkp5n7-amarico-sarmento-pernah-tahan-keinginan-peluk-islam-demi-sang-ayah

Sebelum Menganut Islam, Faustino Pernah Lempari Mushala dengan Batu

REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG - Tak ada mimpi bukan pula ajakan dari seseorang. Namun dalam lubuk hati terdalam, Faustino begitu tertarik dengan Islam. Perkenalan Muhammad Ilyas, demikian nama baru Faustino, dengan Islam terbilang biasa-biasa saja. Bahkan, dia sempat beradu mulut dengan seorang Muslim yang kala itu tengah membangun sebuah mushala.

Ia tersinggung, si Muslim menganggap remeh peringatannya soal kemungkinan banjir. Apalagi, diskusi berubah menjadi saling memojokkan ajaran agama masing-masing. Ia mengambil batu, melempari mushala itu.

Namun, setelah amarah reda, ia membenarkan si Muslim tentang materi perdebatan itu. Dia pun mulai banyak membaca buku dan berdiskusi. Dia pun tahu, fakta yang dibicarakan si Muslim dalam perdebatan sengit itu ternyata benar.

Singkat cerita, Ilyas pun berinisiatif mendatangi mushala untuk bertemu sang kakak yang telah menjadi penganut Islam. Saat itu, usai jajak pendapat, suasana Timor Leste sangat mencekam. Muslim dimusuhi.

Saat itu, lepas tengah malam. "Mengapa kau ke sini," tanya sang kakak, seperti ditirukan Faustino. Ia wawswas, di belakang adiknya ada orang lain yang akan menyeretnya keluar, bahkan membunuhnya.

Melihat kondisi aman, sang kakak mengatakan agar ia besok pagi datang lagi, bertemu Pak haji, ketua takmir mushala.

Pagi, pukul 09.00 di bulan Februari 2008, Faustino mengikrakan dua kalimat syahadat.

***

Usai memeluk Islam, ia memutuskan untuk pergi ke Dili untuk belajar Islam. "Sudah masuk Islam tapi tidak tahu apa-apa. Akhirnya saya lari ke Dili, ibukota Timor Leste, saya belajar disana,” katanya.

Selama belajar di Dili, kemampuan Faustino tidak berubah. Ia labil. Dalam kondisi ini, seorang temannya yang telah lebih dulu menganut islam, mengiriminya satu keeping CD dialog Ustadz Nababan dengan seorang Nasrani. Dalam CD tersebut, diceritakan bagaimana Ustad Nababan berhasil mematahkan setiap dalil dari kitab suci lamanya. Dari CD itu, keimanan Ilyas yang labil segera naik kembali.

“Saya makin mantap memilih Islam sebagai jalan kehidupan," ungkap pria yang kini sehari-hari dipanggil Ilyas itu.

Ilyas pun memutuskan untuk hijrah ke Jepara pada tahun 2008. Di pondok itu, Ilyas harus belajar dengan anak kecil. “ Saya di pondok itu, ada dua teman dari Timor Leste, kami yang tertua. Dan kami sama sekali tidak bisa membaca huruf Arab, tapi Alhamdulillah, dengan belajar, saya pun bisa,” kenang dia.

Selepas dari pesantren di Jepara, Ilyas pun ingin melanjutkan pendidikan di Jakarta. Ternyata, mencari pendidikan Islam di Jakarta begitu sulit bagi Ilyas. Sejumlah tempat dia sambangi. Dia bahkan sempat mengunjungi masjid Kubah Emas. Di masjid itu, Ilyas mendapat diarahkan untuk mengunjungi pesantren AJ-Jamiah.

Namun sayang, pesantren tersebut sudah penuh. Terasa patah arang, Ilyas mengunjungi rumah ustadz Arifin Ilham. Lagi-lagi, Ilyas harus menerima kenyataan pahit; yayasan hanya menerima anak yatim dan piatu.

Beruntung, ada yang menuntunnya bertemu Ustadz Nababan. Akhirnya, ia belajar di pesantren Pembinaan Muallaf Annaba’ Center, Tangerang Selatan.

Sayangnya, cita-cita Ilyas di sekolah formal kandas. Rahasia keislamannya yang semula ditutup rapat, bocor pada orang tuanya. Biaya pendidikan pun terhenti.

“Orang tua saya hanya tahu kalau saya kuliah di Jawa. Mereka tidak tahu kalau saya sudah memeluk Islam,” kata dia. Kini, komunikasi antara Ilyas dan keluarganya terputus. Tiga bulan lalu, Ilyas coba mengontak keluarganya. Namun, tidak jua mendapatkan balasan.

Kuliahnya terhenti, karena tak ada biaya lagi.

Dia berharap, suatu saat bisa meneruskan kuliah. Sambil terus menekuni jalan dakwah. "Insya Allah, saya mantap dengan Islam," katanya.

Redaktur: Siwi Tri Puji B
Reporter: Agung Sasongko

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/11/05/06/lkrkiq-sebelum-menganut-islam-faustino-pernah-lempari-mushala-dengan-batu

Menjadi Muslim adalah Hal Terindah dalam Perjalanan Hidup Saya

REPUBLIKA.CO.ID, Ia meminta dipanggil Jill saja. Menganut Islam beberapa tahun lalu, dia kini mantap menjadi Muslimah. "Insya Allah, Islam akan saya bawa sampai maut menjemput," ujarnya. Berikut kisahnya tentang pilihannya pada Islam:

"Saat remaja, saya bekerja sampingan di sebuah restoran milik orang Palestina. Ya, pemilik itu seorang Muslim. Ini kali pertama saya, remaja kulit putih kelahiran Amerika, bersinggungan dengan Muslim. Dia shaleh. Dia memperlakukan karyawan dengan "hati". Dia menyambut siapa saja dengan ramah, bersalamaan. Dia sangat berbeda dengan Muslim yang saya kenal.

Masuk kuliah, saya memutuskan memilih jurusan sejarah timur tengah. Di sini, saya mengenal lebih jauhtentang Islam dari perspektif sejarah. Siapa penyebar ajaran Islam, bagaimana dia, apa isi ajarannya, dan seterusnya. Hati saya makin tertawan pada Islam. Namun saat itu belum memutuskan menganut Islam.

Pada perjalanannya kemudian, saya berkenalan dengan seorang pemuda yang mengenalkan saya pada sufisme Islam. Dari pemuda yang di kemudian hari menjadi suami saya ini, saya menyimpulkan satu hal tentang Islam: agama yang logis dan knowledgeble. Satu kata yang selalu saya ingat: "Jill, islam adalah agama yang logis. Dia bukan hanya agama, tapi jalan keluar untuk hidup."

Dan saya membuktikannya. Setiap kali ada masalah, Islam membimbing saya untuk tenang dan keluar dari masalah itu. Ajaran Islam juga bisa diterima akal. Bahkan, misalnya, untuk hal remeh kenapa wanita harus mengenakan jilbabpun, ada alasan logis yang bisa diterima akal.

Saya memutuskan berislam tidak dengan cara membabi buta. Saya mempelajarinya lebih dulu. Saya orangnya sangat berhati-hati. Betul, calon suami yang mengenalkan saya lebih jauh pada Islam, tapi pendapatnya bukan harga mati bagi saya. Saya tetap mengikuti kelas pendidikan Islam, bertanya pada teman-teman yang lain, dan seterusnya. Intinya, saya terus belajar.

Menganut Islam adalah hal terindah dalam perjalanan hidup saya. Insya Allah, saya akan membawanya hingga maut menjemput. Berislam, bukan sekadar mengucap syahadat, selesai. Insya Allah, saya akan terus belajar tentang Islam, meningkatkan dan terus menjaga keimanan saya. Insya Allah, semoga Allah selalu membimbing saya."

Redaktur: Siwi Tri Puji B
Sumber: Berdasar pengakuannya via situs Youtube dan sejumlah sumber lain

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/11/05/16/ll9xei-jill-menjadi-muslim-adalah-hal-terindah-dalam-perjalanan-hidup-saya

Demi Menemukan Islam, Anna Stamou Rela Jadi "Pasien" Para Filsuf

REPUBLIKA.CO.ID, ATHENA - Salah satu penghargaan terkemuka Muslim internasional di Eropa baru-baru ini diberikan kepada seorang wanita Yunani. Manajer humas dari Asosiasi Muslim Yunani, Anna Stamou, dianggap sebagai satu dari 10 wanita Muslim dengan pengaruh yang besar dan yang paling positif di Eropa.

Penggagas penghargaan, adalah European Muslim Professionals Network (CEDAR), yang didukung oleh Institute of Strategic Dialogue, atau dikenal juga dengan nama “Three Club”. Seremonial pemberian penghargaan dilakukan akhir tahun lalu di Madrid, Spanyol.

Tak banyak yang tahu, enam tahun yang lalu ia adalah seorang mualaf. Ia menemukan Islam setelah bergulat dengan kegelisahan dirinya.

"Pencarian saya telah lama, saya selalu mencari jawaban. Dalam pencarian saya tentang kebenaran, aku tidak bisa mendapatkan jawaban yang memuaskan," ujarnya, tentang perjalanan batinnya.

Sejak sekolah menengah, Anna punya minat yang tinggi di bidang sains. Dalam mata pelajaran ini, dia selalu unggul. Imbasnya, dalam menemukan jawaban atas kegamangan batinnya, ia bermain logika.

"Jadi, saya berkonsultasi ke beberapa sekolah filsafat, bertemu banyak filsuf. Saya ditangani mendalam dengan Pythagoras," ia tersenyum menjelaskan.

Selama pencarian ini, ia bertemu dengan suaminya sekarang. Saat itu, mereka sama-sama bergabung sebagai sukarelawan organisasi Doctors of the World, selama perang di Irak. Dari pria inilah, ia banyak menemukan pengetahuan tentang Islam.

Namun, ia tak menerima mentah-mentah omongannya. Anna mulai meneliti lebih dalam ajaran-ajarannya. "Saya pikir ini karena ilmu yang saya peroleh dari sekolah bahwa Islam adalah sebuah agama inferior dan terdistorsi. Islam meskipun telah memberi saya jawaban, saya berkata pada diri sendiri bahwa saya harus belajar lebih banyak tentang agama ini," katanya.

Di Yunani, Islam kerap rancu dengan Turki. Pasalnya, kebanyakan Muslim di Yunani berasal dari Turki. Buku-buku keislaman, umumnya menggunakan bahasa mereka. "Meskipun ada ribuan Muslim Yunani, saya tidak mengerti mengapa tidak ada buku yang diterbitkan dalam bahasa Yunani," ujarnya. Ia mempelajari Islam dari buku-buku berbahasa Inggris dan Prancis.

Dia beruntung mengalami transisi dari agama lamanya menuju Islam didampingi oleh penerimaan dari sisi keluarga dan teman-temannya. "Saya belum bertemu reaksi negatif. Beberapa orang mungkin memiliki pertanyaan, tapi tak pernah ada tendensi negatif," ujarnya, yang mengaku dengan senang hati akan menjelaskan agama barunya.

Di sisi lain, ia juga menjaga hubungan dengan mereka yang beda agama secara baik, termasuk keluarganya. "Kini saya mengenakan jilbab, dan tak masalah bagi mereka," katanya. Ia juga akan hadir di tengah keluarganya saat mereka merayakan hari besar agama.


"Jilbab adalah bagian dari iman. Ingat, hanya bagian, Anda dapat memilih untuk mengikuti atau tidak. Ini adalah pilihan Anda," katanya. Ia menyatakan, adalah salah anggapan publik Barat yang menyamakan jilbab sebagai simbol penindasan atas kaum perempuan. "Jilbab adalah masalah pilihan. Saya mendukung mereka yang memperjuangkan hak mereka untuk memakainya."

Ia mengatakan, dasar dari semua masalah adalah hidup berdampingan secara damai dan toleransi. "Selama Ramadhan, kami makan bersama dengan teman-teman Kristen kami, ini adalah sesuatu yang tidak mudah ditemukan di Eropa. Selain itu, putri saya mencintai dan bersemangat untuk Natal. Mereka juga ada di acara Paskah keluarga," tambahnya.

Saat Idul Fitri, hal sama dilakukan padanya. Bahkan, para mahasiswanya bergantian menyalami dan memeluknya. "Saya beruntung menjadi bagian Yunani. Demokrasi ada di sini," ujar dosen kimia di dua perguruan tinggi Yunani ini.

Redaktur: Siwi Tri Puji B
Sumber: www.greeksrethink.com, Today Zaman

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/11/05/22/lllvz4-demi-menemukan-islam-anna-stamou-rela-jadi-pasien-para-filsuf

Karimah Duffy: Ya! Saya Dulu Ratu Clubing dan Pesta

REPUBLIKA.CO.ID, Meski berjilbab, orang dengan mudah menebak: Karimah Duffy adalah gadis Irlandia asli. Kulitnya putih, matanya hijau keabu-abuan. Dia menyapa ramah siapa saja yang dikenalnya.

Karima lahir tahun 1979, dengan nama asli Carol Concepta Duffy. Namanya, dijadikan orangtuanya peringatan - pada tahun yang sama dengan kelahiran dirinya, Paus Johannes Paulus II berkunjung ke negerinya. Lulus SMA di Dundalk, ia melanjutkan kuliahnya di Universitas Slingo, mengambil jurusan ekonomi.

Di Slingo inilah, ia menemukan kebebasan. "Saya tipikal mahasiswa yang hobi clubing dan pesta, walau saya tak pernah terlalu banyak minum. Seingat saya, hanya dua kali saya mabuk sepanjang usia saya," katanya.

Ia juga gemar mentato tubuh. Punggung, adalah kanvas tatonya. "Ada gambar malaikat ukuran besar di punggung saya," katanya, yang kini berniat menghapusnya.

Akhir 1990-an, ia "lelah" dengan gaya hidupnya. Tepatnya, setelah ia selesai kuliah dan mulai bekerja sebagai pengawas mutu di sebuah perusahaan pengolahan makanan di Monaghan. Alih-alih pergi ke bar atau kelab malam, ia memilih menghabiskan waktu di kamar.

Di antara rekan kerjanya, beberapa beragama Islam. Dari merekalah ia tahu, bagaimana agama bernama Islam itu. Apalagi setelah ia mendapatkan Alquran dari salah seorang dari mereka. "Banyak ayat yang ketika saya baca, saya berpikir 'ada sesuatu di dalamnya bagi saya'," katanya.

Sebelumnya, ia hanya tahu Islam adalah agama Timur Tengah. "Dan Timur Tengah yang ada dalam bayangan saya hanyalah padang pasir, onta, dan orang-orang yang mengenakan gaun panjang, baik laki-laki maupun perempuan," ujarnya.

Hanya butuh tiga pekan baginya untuk bertanya pada hatinya tentang ajaran Islam. "Semua cocok dengan saya," katanya. Ia pun meminta bersyahadat, menjadi Muslim.

Keluarganya geger dengan putusan Karimah berpindah keyakinan. Namun hal itu tak berlangsung lama, karena sang ibu "pasang badan" untuknya, setelah ia menjelaskan keputusannya memilih Islam. "Dia sangat mendukung. Jika ia mendengar kata buruk tentang saya, dia yang berdiri pertama membela saya," katanya.

Soal pilihan nama Karimah, ia tersenyum menceritakannya. Nama itu dipilihkan temannya sesaat setelah ia tiba di masjid untuk bersyahadat. "Karimah artinya penyayang, murah hati," katanya.

Kini, ia mantap berislam. Meski jilbab bukan hal yang umum di kotanya, ia memilih untuk mengenakannya. Baginya, sikap dan perilaku dirinya akan membuat dirinya diterima dimanapun dia berada, bukan karena pakaiannya. "Seorang pria yang mengatakan bahwa jilbab adalah bentuk kehinaan sementara ia mempromosikan ketelanjangan dan kecabulan bahkan dalam keluarganya sendiri, maka tak seorangpun akan menggubris apa yang dikatakannya.... serius," ujarnya.

Redaktur: Siwi Tri Puji B
Sumber: independent.ie

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/11/05/24/llntmy-karimah-duffy-ya-saya-dulu-ratu-clubing-dan-pesta

Sukses "Menggenggam" Dunia, Eddie Redzovic Rindu Islam

REPUBLIKA.CO.ID, CHICAGO - Cobalah ketik laman web http://www.thedeenshow.com// di mesin pencari Anda. Maka, Anda akan menyaksikan video berisi kisah-kisah inspiratif tentang orang-orang yang menemukan Islam dan perjuangan mereka untuk tetap menjadi seorang Muslim. The Deen Show adalah sebuah perusahaan Muslim yang berusaha untuk memberikan infomasi tentang Islam secara benar dan komprehensif dengan berdasarkan sumber otentik, Alquran dan Sunah. Informasi itu tidak hanya ditujukan pada umat Muslim saja, tetapi juga non-Muslim.

Perusahaan tersebut menyatakan diri tidak berafiliasi dengan organisasi manapun, dan mereka mengutuk keras terorisme serta segala tindakan fanatik atas nama Islam. The Deen Show mulai tayang pada 2006.

Orang yang berada di balik munculnya tayangan tersebut adalah Brother Eddie. Nama aslinya adalah Eddie Redzovic. Dia lahir di New York dari orang tua yang merupakan imigran asal Yugoslavia, tetapi sebagian besar hidupnya lebih banyak dihabiskan di Chicago.

Sebelum mendapatkan cahaya terang dari agama Islam, dunia bawah tanah Chicago adalah teman akrab bagi Eddie. Pada umur yang belum genap 30 tahun, dia sudah berhasil menikmati apa pun yang diimpikan pemuda Amerika, mulai dari uang, mobil, sampai wanita.

Meskipun telah mencapai apa yang diimpikannya, jiwa Eddie masih saja tidak tenang. Pada masa-masa kelamnya, dia menjadikan jalanan dan klub malam sebagai tempatnya mencari ketenangan. Dia menghabiskan masa mudanya di dunia yang penuh dengan kekerasan. Teman-temannya berasal dari geng-geng yang berkuasa di jalanan.

Hingga akhirnya, Eddie menyadari bahwa selama ini dia sendiri. Tidak ada yang benar-benar menjadi teman-temannya. Suatu hari, ketika dia berada di dalam penjara, Eddie menyadari bahwa teman-teman satu geng-nya itu tidak ada seorang pun yang peduli padanya. Ia pun mulai mempertanyakan tujuan hidupnya.

Hidup di penjara membuatnya sadar. Ia mulai belajar agama, khususnya Islam. Ia menyadari, mungkin islam lah yang selama ini dirindukannya.

Namun, ketika dia sudah mulai memeluk Islam, perang belum juga usai. Dia masih harus meyakinkan dirinya tentang agama yang baru dipeluknya itu. Saat ini, Eddie merasa sudah memeluk Islam secara utuh. Dia sudah mengerti tentang konsep Islam itu sendiri.

Islam, menurutnya, adalah bahasa Arab yang artinya menyerahkan diri kepada Sang Pencipta Bumi dan Surga. Setiap manusia di dunia ini menyerahkan hidupnya untuk sesuatu hal, mulai dari bosnya, uang, wanita, fashion, dan berbagai macam gaya hidup. Menurut dia, Islam sebenarnya adalah tempat yang tepat untuk benar-benar menyerahkan diri.

Islam merupakan panggilan untuk menyerah pada pemilik dari segala yang ada di bumi dan langit. “Sebelum saya memeluk Islam, saya tidak melakukan itu,“ ujar Eddie dalam sebuah wawancara dengan saudilife.net. Dia menyadari bahwa hidupnya sebelum memeluk Islam adalah hidup yang menyenangkan, tapi kosong, tanpa adanya kedamaian dan ketenangan.

Lalu, Islam memberikannya harapan dan tujuan hidup yang baru.
“Saya langsung shalat setelah saya mengetahui kebenaran tentang Islam,“ ujarnya. Untuk mencapai ilmu tentang shalat dan seluk-beluk Islam, dia mengaku harus belajar terus-menerus dan banyak membanding-bandingkan.

Meskipun dia memiliki keluarga yang sudah memeluk Islam lebih dulu, dia melihat mereka hanya memeluk Islam sebagai sebuah budaya saja, tanpa mengerti sepenuhnya tentang Islam itu sendiri.

Saat ini, selain menjadi presenter The Deen Show, Eddie juga mengelola sekolah bela diri. Dia mengajarkan Jiujitsu dari Brasil.

Redaktur: Siwi Tri Puji B
Reporter: Rosyid Nurul Hakim

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/11/05/24/llp6sh-ketika-sukses-menggenggam-dunia-eddie-redzovic-rindu-islam

Lisa Smith: Mantan Kru Pesawat Militer yang Terpikat pada Islam

REPUBLIKA.CO.ID, DUBLIN - Di pengujung usia 30-an tahun, hati Lisa Smith berlabuh pada Islam. "Sepanjang usia saya, baru kali ini saya menemukan sesuatu yang bermakna dalam hidup," kata lajang yang berasal dari latar belakang ateis ini.

Pilihannya pada Islam, sungguh tak diduga kawan-kawannya di unit transportasi Angkatan Bersenjata Irlandia. Bahwa Lisa tengah memilih agama, semua temannya tahu. Ajaran Budhisme, Kristen, katholik, hingga yahudi, semua dilahap. Yang luput dari perhatian mereka, Lisa ternyata juga mempelajari Islam.

Lisa bergabung dengan Pasukan Pertahanan Udara saat berusia 19 tahun. Ia menjadi seorang prajurit selama lima tahun sebelum bergabung dengan Korps Udara, di mana ia bekerja selama dua tahun sebagai pramugari di pesawat jet pemerintah. Dia sekarang bekerja di unit transportasi tentara.

Berasal dari latar belakang yang "tidak beragama", Lisa yakin gaya hidup pestanya adalah bagian dari pencarian untuk menemukan sesuatu yang bermakna dalam kehidupan.

"Saya tidak punya banyak landasan iman untuk mencari jawaban, misalnya untuk pertanyaan sederhana: mengapa kita ada di sini, apa tujuan kita dalam hidup aku hanya tahu bahwa kami tidak bisa di bumi ini tanpa alasan."

Lisa menghabiskan tahun-tahun pada pencarian dia untuk pemenuhan rohani, dengan membaca "semua hal". Tato di pergelangan tangannya (yang ia berencana untuk membuangnya dengan sinar laser) tertulis I am that I am, yang dipetiknya dari dialog sebuah film yang didasarkan pada tulisan-tulisan Chris Lawson dalam The Moses Code.

"Saya sudah melalui seluruh tahap spiritualitas, dan kemudian aku berpikir bahwa tidak ada Tuhan, hanya kesadaran Tuhan."

Sama seperti warga kulit putih Irlandia kebanyakan, ia juga membenci Islam. "Saat saya melihat gadis-gadis Muslim, dalam benak saya akan berkata, 'mereka ahli membuat bom'," katanya mengenang.

namun begitu mengenal dekat salah seorang dari mereka, sudut pandangnya berubah. "Mereka tampak begitu damai dan mereka tidak pernah khawatir tentang apapun," ujarnya.

Ketika suatu saat ia berkesempatan membaca Alquran, ia menemukan jawabannya. "Itu petunjuk hidup yang nyata...dan saya merasa banyak pesan-pesan di dalamnya ditujukan untuk saya," ujarnya.

Lisa menghabiskan tiga bulan berikutnya untuk mempelajari Islam. "Hampir 24 jam sehari," katanya mengibaratkan. April 2011, ia bersyahadat.

Ia beruntung, bosnya di Angkatan Udara memberi dukungan atas keputusannya memilih Islam. Sehari-hari, ia mengenakan pakaian dinas dengan topi menutupi rambutnya.

Dia berharap untuk meninggalkan pekerjaan dalam beberapa bulan mendatang "jika saya menemukan suami yang cocok". Ia berencana untuk mengundurkan diri dalam dua tahun ini.

Redaktur: Siwi Tri Puji B
Sumber: Independent.ie

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/11/05/25/llrgep-lisa-smith-mantan-kru-pesawat-militer-yang-terpikat-pada-islam

Surat Terbuka Mualaf Jennifer Jeffries Tentang Makna Menjadi Muslim

REPUBLIKA.CO.ID, NEW HAMSPIRE - Jennifer Jeffries adalah seorang dokter. Dia memutuskan menjadi Muslim di usia dewasa. Berikut ini surat terbukanya seperti yang dimuat di situs being.publicradio.org:

Saya adalah Muslim yang kembali; bersyahadat, masuk Islam. Saya kini tinggal di New Hampshire, sebuah kota dengan 99 persen berkulit putih, seperti saya. Sebagian besar adalah Protestan.

Masa kecil saya dihabiskan di Manchester, yang dulu kental dengan tradisi Katolik. Namun seiring waktu, kota ini menjadi kota multietnis dan agama; tak hanya Katolik, tapi juga Ortodoks, Kristen Protestan dari semua denominasi, Muslim, Yahudi, juga Budha.

Orang-orang pergi ke masjid di hari Jumat. Mereka datang dari Bosnia, Sudan, Somalia, Irak, Pakistan, Indonesia, India, Suriah, dan negara-negara lain. Saya melihat dua "versi" Muslim; mereka yang tertutup rapat, bahkan dengan cadar, dan Muslim yang masih minum dan merokok.

Sebagai seorang mualaf, pengalaman saya diwarnai oleh kehidupan saya sendiri sebagai seorang wanita terpelajar dari kota kecil di New England - dan dengan perjalanan rohani saya sendiri yang dimulai dari Protestantisme.

Menjadi Muslim berarti bagi saya mencari sebuah kedamaian batin melalui penerimaan struktural yang lembut dan konsisten bahwa saya kembali kepada Allah, fokus yang lebih besar dari keberadaan saya. Memakai jilbab mengingatkan saya untuk mempertimbangkan tindakan saya dari perspektif Islam; memuji Tuhan sepanjang hari mengingatkan saya untuk berpikir tentang banyak hadiah saya terima, termasuk karunia pelajaran, bahkan ketika mereka mungkin memiliki aspek-aspek yang tidak menyenangkan pada saat itu.

Sebagai seorang mualaf, saya datang pada Islam secara intens dan sengaja, mencerna tidak seperti yang saya mencerna Kristen sebagai seorang anak, tetapi lebih sebagai orang dewasa. Mempertanyakan dan merenungkan rincian dan implikasi yang tidak jelas bagi saya dalam pengalaman masa kecil saya; Allah. Sebagai seorang mualaf, menjadi Muslim berarti terus-menerus belajar dan bertanya: apa yang harus saya percaya? Apa yang Islam percaya? Apa yang Muslim percaya?

Menjadi Muslim, adalah perjalanan batin yang dahsyat bagi saya. Suara azan, kini terdengar bagaikan himne yang indah bagi saya. Berdiri di shaf perempuan untuk shalat berjamaah sungguh membuat merasa sama dan indah. Meluangkan waktu sepanjang hari untuk berhenti dan berpikir tentang Tuhan sebanyak lima kali memberi saya perspektif tentang betapa relatifnya kesulitan pekerjaan saya. Menghafal ayat Alquran dan mengulangnya kembali dalam salat memungkinkan saya untuk memikirkan kembali prinsip-prinsip agama dasar, dan bagaimana menerapkannya dalam hidup saya sekarang. Berdiri tegak, membungkuk, membungkuk rendah mengingatkan saya pada salam yang saya pelajari dalam yoga. Namun sungguh indah ketika menggunakan tubuh saya untuk memuji Tuhan, mengisi pengalaman saya sebagai bagian dari dunia Tuhan.

Saya juga menjadi lebih menghargai kehidupan. Menuju peternakan, mengambil domba dan menyembelihnya secara halal, mengingatkan saya pada berharganya hidup dan karunia ang memungkinkan daging untuk tiba di meja makan saya. Saya menyadari di bulan Ramadan bahwa saya bisa menghindari makanan dan minuman dari fajar sampai senja. Hal ini mengingatkan saya pada penderitaan orang lain, dan pentingnya mengendalikan tanggapan pribadi saya sendiri atas aneka kesulitan saya.

Dalam masyarakat multikultural, saya telah memiliki banyak pertanyaan tentang apa budaya dan agama yang berbeda. Juga aneka pendapat yang berbeda.

Feminisme di AS telah membuat menjadi dokter menjadi lebih mudah bagi saya daripada untuk ibu saya 30 tahun sebelumnya.
Aku melihat feminisme dengan sudut pandang yang sangat berbeda dalam perspektif Islam.

Islam mencatat bahwa suami dan istri adalah bagian yang sama. Jenis kelamin melengkapi satu sama lain, tidak meniru atau bersaing satu sama lain. Islam mendudukkan laki-laki dan perempuan dengan hak dan kewajiban yang sepadan.

Saya berharap banyak pada komunitas Muslim untuk tidak melihat dunia luar sebagai ancaman, untuk tidak melihat dirinya sebagai lebih dari korban, untuk melihat komunitas yang lebih besar sebagai saudara, bukan saingan. Saya berharap kita akan bekerja untuk memahami perspektif satu sama lain, dan memahami bagaimana perspektif kita sendiri berdampak pada orang lain. Saya meyakinkan untuk melihat kelompok-kelompok antar agama dalam komunitas saya berkumpul untuk belajar lebih banyak tentang satu sama lain, dan mengeksplorasi persamaan dan perbedaan kita bersama-sama. Saya harap saya komunitas Muslim adalah merasa menjadi bagian dari masyarakat yang plural.

Redaktur: Siwi Tri Puji B
Sumber: being.publicradio.org:

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/11/05/30/lm0aln-surat-terbuka-mualaf-jennifer-jeffries-tentang-makna-menjadi-muslim

Gara-Gara Tilawah Al-Qur'an, Satu Keluarga Masuk Islam

REPUBLIKA.CO.ID, AL-QUDS - Yayasan Pengelola Al-Aqsha (YPA) yang Suci, menyelenggarakan pernikahan antara Ghalib Samir Kiwan dan Zainab Muhammad Nuhas—keduanya dari kota Haifa—di Masjid Al-Aqsha, Sabtu (28/5).

Pernikahan mereka sengaja digelar di salah satu kiblat umat Islam tersebut untuk mendapatkan berkah dari Allah SWT. Dalam acara akad nikah ini, turut hadir keluarga kedua mempelai, dan sejumlah jamaah shalat. Ketua YPA, Jamal Rasyid, juga turut hadir dan mendokan sang pengantin.

Syekh As'ad, Imam Masjid Al-Istiqlal di Haifa bertindak sebagai penghulu. Ia mendoakan kedua mempelai agar pernikahan yang mereka jalani diberkahi Allah SWT. Ia juga berharap keduanya dapat menjalani kehidupan sebagai suami istri selama mungkin, dalam kehidupan yang penuh kebaikan dan keberkahan.

"Pernikahan di masjid ini (Aqsha) adalah pernikahan mubarak (yang diberkahi), dan tugas kita untuk memakmurkannya selama-lamanya," kata Syekh As'ad dalam khutbah nikahnya.

"Selama ini Masjid Aqsha menyelenggarakan pernikahan untuk pemuda dan pemudi Palestina, namun hari ini kedua mempelainya berasal dari Haifa, Israel. Kami meminta para pemuda dan pemudi agar menikah dengan cara penuh berkah seperti pernikahan ini," pesan As'ad.

Pernikahan Ghalib dan Zainab ini menjadi istimewa karena, sang mempelai putri adalah mualaf yang baru dua tahun lalu memeluk Islam. Kedekatan dan keterikatan Zainab dengan Islam bermula empat tahun lalu saat ia tertarik mendengar bacaan kitab suci Al-Qur'an, dan mengikuti tayangan program agama Islam di televisi satelit.

Kedua hal inilah yang mengubah jalan hidupnya dan seluruh keluarganya—kedua orang tua dan empat saudara perempuannya—secara tiba-tiba. Dua tahun lalu, mereka semua—satu keluarga—memutuskan masuk Islam dan mengucapkan dua kalimah syahadat. "Ibu saya merasa tenang jiwanya ketika mendengar bacaan (tilawah) Al-Qur'an, meskipun beragama Kristen. Demikian pula yang dirasakan oleh ayah saya," tutur Zainab.

Setelah itu, keluarga ini kian intensif mendengarkan tilawah Al-Qur'an dan mengikuti kajian-kajian keislaman yang ditayangkan di televisi kabel. Inilah yang kemudian menguatkan tekad untuk segera bersyahadat.

"Ini seperti firman Allah dalam Al-Qur'an; "Janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang segera menjadi kafir; sesungguhnya mereka tidak sekali-kali dapat memberi mudharat kepada Allah sedikit pun. Allah berkehendak tidak akan memberi sesuatu bahagian (dari pahala) kepada mereka di hari akhirat, dan bagi mereka azab yang besar," kata Zainab seraya mengutip surah Ali Imran ayat 176 dengan fasih.

Adapun Ghalib, dengan mata berkaca-kaca menuturkan kisah pernikahannya dengan Zainab. "Tiga pekan sebelum menikah, saya dan tunangan saya membaca surah Al-Isra' bersama-sama. Setelah itu saya berziarah ke Masjid Al-Aqsha," ujarnya.

"Dan entahlah, saya tidak tahu apa yang mendorong langkah saya untuk mendirikan shalat di Masjid Qubbatush Shahra (Kubah Emas). Setelah shalat dua rakaat, saya membaca surat Al-Isra' hingga selesai. Di sana pula kami berdoa dan bertekad untuk menikah," tutur Ghalib.

Menurut Ghalib, sebelumnya ia dan Zainab tidak mengetahui jika di Masjid Al-Aqsha juga bisa dilakukan pernikahan. Suatu ketika, usai melaksanakan shalat di Masjid Al-Istiqlal, ia langsung menemui Syekh As'ad—imam masjid—dan menyatakan keinginannya untuk menikah.

"Syekh As'ad mengatakan di Masjid Al-Aqsha juga bisa diselenggarakan pernikahan yang diurus oleh YPA. Akhirnya, kami pun menikah di sini. Rasanya seperti mimpi," kata Ghalib penuh haru.

Ketua YPA, Jamal Rasyid, mengucapkan selamat dan mendoakan pasangan suami istri ini agar mendapatkan keturunan yang saleh yang akan menegakkan Al-Aqsha dan membela kaum Muslimin. "Berbahagialah kalian berdua dengan pernikahan yang diberkahi ini. Pernikahan kalian adalah pernikahan yang baik. Dan kami doakan agar Allah menganugerahi kalian anak keturunan yang saleh dan berguna bagi umat, insya Allah," harap Jamal.

Redaktur: cr01
Sumber: www.aqsa.ma

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/11/05/30/lm0iey-subhanallah-garagara-tilawah-alquran-satu-keluarga-masuk-islam

Kakek Buyutnya adalah Walikota Muslim Pertama

REPUBLIKA.CO.ID, MANCHESTER - Seperti banyak orang, Steven Longden mengaku identitasnya beragam, baik dalam keluarga, lingkungan, daerah, afiliasi keagamaan, pendidikan, dan hingga etnis. Namun ia kini mengaku bahagia, karena ia kini memiliki "kacamata" untuk memandangnya: keimanannya. "Budaya Islam memainkan peran penting dalam kehidupan saya sekarang," katanya.

Menjadi eksklusif? Steven menggeleng. "Iman saya tidak mengharuskan saya untuk menghindari yang terbaik dari pengaruh budaya lain yang penting dalam hidup saya. Jadi, sebagai seorang mantan Kristen saya dapat bersukacita dalam persahabatan yang saya buat pada tahun-tahun sebelum saya menjadi Muslim," katanya.

Bahkan, ia masih datang ke gereja untuk acara-acara non-agama: pernikahan, merayakan pembaptisan anak seorang kenalan, berpidato saat pelepasan jenazah neneknya yang meninggal. "Saya diterima, dihargai sebagai Muslim, diakui sebagai orang beriman dalam Tuhan," katanya.

Selama bertahun-tahun, ia bahkan belajar bahwa mualaf kerap efektif menjembatani kesenjangan antara teman dan komunitas agama yang berbeda. "Banyak dari kita telah mengembangkan wawasan multikultural dan empati lah yang membantu untuk membawa pemahaman dan kepercayaan antara orang-orang di sekitar kita," katanya.

Ia betul-betul lahir dalam keluarga multilatar belakang. Ia berdarah Inggris, tapi besar di Afrika Timur. Sehari-hari, ia berbahasa Urdu, Swahili, dan Inggris.

Melanjutkan pendidikan ke Inggris, ia menikah dengan gadis kulit putih kelahiran Manchester.

Perjalanan spiritual lah yang menyebabkan pasangan muda ini mengenal Islam. Lama mempelajari, ia yakin Islamlah yang dicarinya. Ia bersyahadat. beruntung, keluarga besarnya mendukung, walau mereka tetap pada keyakinan mereka.

Ia mengakui, menjadi seorang Muslim tidak mudah. "Tapi Alquran memang menyebut, setiap kita pasti akan diuji," katanya.

Ia bukan tak merasakan dampak serangan 11 September yang membuat kaum Muslim menjadi bulan-bulanan di seluruh dunia. Namun ia menjalani dengan sabar. "Tapi di luar itu, setelah menganut islam saya merasakan kedamaian, terpesona dan sadar bahwa sebagai seorang Muslim di Inggris, saya merasa sebagai orang paling istimewa di dunia saat ini," katanya.

Lebih bahagia lagi, katanya, saat suatu hari sang ayah memberitahunya, kakek buyutnya adalah seorang Muslim, 92 tahun lalu. Ia menjadi Muslim pada tahun 1898, tepat pada usia 70 tahun. Ia bernama Robert Reschid Longden, kulit putih generasi pertama yang menganut Islam.

Dibesarkan dalam sekte Israel Kristen, dia naik menjadi Walikota Stalybridge pada tahun 1875. Pada 1850 dia menjadi tertarik pada urusan Kekaisaran Ottoman, yang tidak diragukan lagi, membimbingnya di jalan menuju Islam. Pada 1901 ia menjadi tangan kanan mufti Inggris, Syaikh Abdullah Quilliam, dan terlibat dalam beberapa dialog antaragama pertama di Manchester.

"Penemuan ini mengejutkan dan menempatkan konversi saya ke dalam perspektif dan telah telah menjadi sumber kebanggaan dan kenyamanan bagi keluarga saya, baik Muslim dan non-Muslim, dan masyarakat yang lebih luas. Memang, tidak akan menjadi kejutan bagi Anda, tapi ini sesuatu yang luar biasa bagi saya," ujarnya. Ada nada haru dalam ucapannya...

Redaktur: Siwi Tri Puji B
Sumber: being.publicradio.org

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/11/05/31/lm1yh0-mualaf-steven-longden-kaget-temukan-fakta-kakek-buyutnya-adalah-walikota-muslim-pertama

“Mualaf” Camellia Shehata Mengguncang Mesir

Minggu, 08 Mei 2011 23:48 WIB REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO - Kemunculan Camellia Shehata—istri pendeta Tadros Samaan yang dilaporkan masuk Islam—dalam sebuah program saluran televisi Kristen fundamentalis memicu protes kalangan gereja Mesir dan pengacara Camellia, Naguib Gabriel.

Menurut surat kabar Mesir Al-Ahram, kemunculan Camellia dalam program tersebut tanpa sepengetahuan gereja, dan mengejutkan sejumlah pihak. “Dalam program tanya jawab dengan durasi hampir satu jam yang dipandu oleh penyiar Maroko, Rasyid Ali, Camellia dengan lantang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan padanya,” tulis Al-Ahram, Ahad (8/5).

Melalui dialog tersebut, Camellia menegaskan dirinya masih seratus persen Kristen, dan ia tidak pernah pergi ke Al-Azhar Al-Sharif untuk menyatakan keislamannya sebagaimana diyakini sebagian pihak.

Camellia sendiri enggan mengungkapkan di mana ia berada selama ini, apakah di Kairo atau di salah satu provinsi lain di Mesir. Ia juga mengungkapkan penyesalan atas semua perbuatannya yang menyebabkan timbulnya kemelut dan konflik antara Kristen Koptik dan Muslim di Mesir.

Program ini menimbulkan murka gereja karena saluran televisi yang menyiarkan dialog tersebut milik pendeta Zakaria Boutros, salah seorang penyandang dana bagi gereja ketika meredam kemarahan kaum Muslimin. Gereja Koptik Mesir memutuskan hubungannya dengan saluran televisi tersebut dan menghentikan program-programnya.

Pengacara Naguib Gabriel menyatakan penyesalannya atas kemunculan Camellia dalam saluran televisi satelit tersebut. “Setelah kemunculannya, kami berharap ia tampil di hadapan jaksa atau lembaga peradilan untuk mengakhiri krisis serius sebelumnya,” kata Gabriel.

Gabriel juga mendesak Camellia agar tampil di hadapan pers untuk menjelaskan kepada rakyat Mesir tentang kasus sebenarnya, dalam rangka menjaga stabilitas dan keutuhan bangsa. “Saya tekankan pada Camellia agar menghadap jaksa atau lembaga peradilan. Jika tidak, maka saya akan berubah pikiran untuk melanjutkan tugas sebagai pengacaranya, karena ketidakmunculannya selama ini,” tegas Gabriel.

Camellia adalah seorang guru yang menikah dengan seorang pendeta, Tadros Samaan. Dia kemudian mengetahui kenakalan suaminya yang kerap mencuri uang gereja dan menyembunyikannya di sebuah rekening bank swasta atas namanya, sehingga tidak akan dipertanyakan.

Setelah anak mereka berumur enam bulan, Camelia diperkenalkan kepada Islam melalui dialog dengan rekan-rekannya yang beragama Islam. Dari sana ia menjadi semakin ingin tahu lebih banyak tentang Islam dan Nabi Muhammad saw.

Setelah membaca tentang Islam dan mempelajari banyak hal, akhirnya dia memilih untuk bersyahadat di Al-Azhar. Rekan-rekannya membuat sebuah pesta kecil dan menjadi saksi saat dia mengucapkan dua kalimah syahadat. Ia mulai membaca dan mempelajari Al-Qur’an dan hafal empat juz.

Gereja menolak mengakui bahwa Camelia adalah seorang Muslim. Dan sejak itu pula Camellia seperti hilang ditelan bumi. Ada yang menyebutkan ia dipenjara dan disiksa agar kembali menjadi seorang Kristen. Ada pula yang menyatakan bahwa Camelia berada di sebuah gereja dan tidak diizinkan untuk diekspos media.

Redaktur: cr01
Sumber: Al-Ahram

http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/05/08/lkvyp5-mualaf-camellia-shehata-mengguncang-mesir

Mualaf yang Berhasil Mengislamkan Keluarga dan 30 Temannya

Aisha Bhutta, yang juga dikenal sebagai Debbie Rogers, duduk dengan tenang di sofa di ruang depan rumah petak besarnya di Cowcaddens, Glasgow Skotlandia. Dinding rumahnya digantung dengan kutipan dari ayat Alquran, sebuah jam khusus untuk mengingatkan keluarganya waktu shalat dan poster Kota Suci Mekkah.

Mata biru Aisha penuh dengan keceriaan, dia tersenyum dengan cahaya keimanan yang ia miliki. Wajahnya yang merupakan wajah gadis Skotlandia yang kuat – ia masih tetap memiliki cita rasa humor – meskipun wajahnya tetap ditutupi dengan jilbab.

Bagi seorang gadis Kristen yang baik untuk masuk Islam dan menikah dengan seorang Muslim adalah sesuatu yang luar biasa cukup. Namun lebih dari itu, ia juga telah mengislamkan orang tuanya, sebagian besar sisa keluarganya dan setidaknya 30 teman dan tetangganya. Subhanallah.

Keluarganya adalah penganut Kristen yang keras di mana mereka secara teratur menghadiri pertemuan Salvation Army. Ketika semua remaja lainnya di Inggris mencium poster George Michael untuk mengucapkan selamat malam, Debbie Rogers alias Aisha punya foto Yesus di dinding kamarnya. Namun ia menemukan bahwa Kekristenan tidak cukup, ada terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab dan dia merasa tidak puas dengan kekurangan struktur disiplin untuk keyakinannya itu.”Masih ada yang membuat saya ragu untuk mematuhi daripada hanya melakukan doa ketika saya merasa seperti itu.”

Aisha pertama kali melihat calon suaminya, Muhammad Bhutta, ketika dia masih berusia 10 tahun dan merupakan pelanggan tetap di toko, yang dijalankan oleh keluarganya. Dia sering melihat pria itu secara sembunyi-sembunyi, sewaktu melakukan shalat. “Ada kepuasan dan kedamaian dalam apa yang dia lakukan. Dia bilang dia seorang Muslim. Saya berkata: Apa itu seorang Muslim?

Kemudian dengan bantuan Mohammad Bhutta ia mulai mencari lebih dalam tentang Islam. Pada usia 17 tahun, ia telah membaca seluruh Alquran dalam bahasa Arab. “Semua yang saya baca”, katanya, “Semuanya bisa diterima.”

Dia membuat keputusan untuk masuk Islam pada usia 16 tahun. “Ketika saya mengucapkan kalimat syahadat, rasanya seperti beban besar saya telah terlempar. Saya merasa seperti bayi yang baru lahir. “

Masuk Islamnya dirinya tidak serta merta orang tua Muhammad Bhutta setuju mereka untuk menikah.

Namun, orang tua Muhammad menentang mereka menikah. Mereka melihat dirinya sebagai seorang wanita Barat yang akan memimpin putra sulung mereka dengan kesesatan dan memberikan nama keluarga yang buruk, ayah Muhammad percaya, dirinya “musuh terbesar.”

Namun demikian, pasangan ini tetap menikah di masjid setempat. Aisha memakai baju yang dijahit oleh ibu Muhammad dan saudaranya yang menyelinap ke upacara perkawinan melawan keinginan ayahnya yang menolak untuk hadir.

Nenek Muhammad-lah yang membuka jalan bagi sebuah ikatan pernikahannya. Neneknya tiba dari Pakistan di mana perkawinan ras campuran bahkan sangat tabu, dan bersikeras untuk bertemu Aisha. Dia begitu terkesan oleh fakta bahwa Aisha telah belajar Alquran dan bahasa Punjabi dan dia yakin, perlahan-lahan, Aisha akan menjadi salah satu anggota keluarga.

Orang tua Aisha, Michael dan Marjory Rogers, meskipun tidak menghadiri pernikahan itu, lebih peduli dengan pakaian putri mereka yang sekarang dipakainya (tradisional shalwaar kameez) dan apa yang tetangga mereka pikirkan. Enam tahun kemudian, Aisha memulai misi untuk mengislamkan mereka dan seluruh keluarganya, serta adiknya. “Suami saya dan saya mendakwahkan Islam kepada ibu dan ayah saya, memberitahu mereka tentang Islam dan mereka melihat perubahan dalam diri saya sejak memeluk Islam.

Ibunya segera mengikuti jejaknya. Marjory Rogers mengubah namanya menjadi Sumayyah dan menjadi seorang Muslimah yang taat. Dia memakai jilbab dan melakukan shalat tepat pada waktunya dan tidak ada yang penting baginya, kecuali hubungan dengan Allah.

Ayah Aisyah terbukti lebih sulit untuk diajak masuk Islam, sehingga ia meminta bantuan ibunya yang baru saja masuk Islam (yang telah meninggal karena kanker).

“Ibu saya dan saya kemudian berbicara kepada ayah saya tentang Islam dan kami duduk di sofa di dapur pada satu hari dan ayahnya berkata: “Apa kata-kata yang Anda katakan ketika Anda menjadi seorang Muslim? Saya dan ibu saya hanya terkejut. “Tiga tahun kemudian, saudara Aisha mengucapkan syahadat melalui telepon – maka istri dan anak-anaknya menyusul, diikuti oleh putra kakaknya.

Hal ini tidak berhenti di situ. Keluarganya telah masuk Islam, Aisha mengalihkan perhatiannya untuk warga Cowcaddens. Setiap Senin selama 13 tahun terakhir, Aisha telah mengadakan kelas pelajaran Islam untuk wanita Skotlandia. Sejauh ini ia telah membantu orang masuk Islam lebih dari 30 orang. Para perempuan yag masuk Islam ditangannya berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Trudy, seorang dosen di Universitas Glasgow dan mantan Katolik, menghadiri kelas Aisha justru awalnya secara murni karena ia ditugaskan untuk melakukan penelitian.

Tapi setelah enam bulan mengikuti kelas pelajaran Islam yang Aishah bikin dia memutuskan untuk masuk Islam, dan memutuskan bahwa agama Kristen itu penuh dengan “inkonsistensi logis”.

“Saya tahu dia mulai terpengaruh oleh pembicaraan saya”, Aisha mengatakan.

Suaminya, Muhammad Bhutta, tampaknya tidak begitu terdorong untuk mengislamkan pemuda Skotlandia untuk menajdi saudara muslim. Dia kadang-kadang membantu di restoran keluarga, tetapi tujuan utamanya dalam hidup adalah untuk memastikan lima anak-anaknya tumbuh sebagai Muslim yag baik.

Putri tertuanya, Safia, hampir 14 tahun, juga mengikuti jejak ibunya mendakwahkan Islam. menolak untuk tempat merekrut dirinya. Suatu hari Safia bertemu dengan seorang wanita di jalan dan membantu membawa belanjaannya, wanita itu kemudian menghadiri kelas Aisyah dan sekarang menjadi seorang Muslim.

“Saya bisa jujur mengatakan saya tidak pernah menyesal”, Aisha mengatakan masuk Islamnya dirinya. “Setiap pernikahan memiliki pasang surut dan kadang-kadang Anda perlu sesuatu untuk menarik Anda keluar dari kesulitan apapun. Tapi Nabi Muhammad berkata: “Setiap kesulitan ada kemudahan.” Jadi, ketika Anda akan melalui tahapan yang sulit, Anda bekerja untuk itu kemudahan akan datang. “

Muhammad suaminya lebih romantis: “Saya merasa kami sudah saling kenal selama berabad-abad dan seakan-akan tak pernah menjadi bagian dari yang lain. Menurut Islam, Anda tidak hanya mitra seumur hidup, Anda bisa menjadi mitra di surga juga, selama-lamanya. Ini sesuatu hal yang indah, anda tahu itu.”(fq/islweb/eramuslim)

http://answering.wordpress.com/2011/01/27/subhanallahaisha-bhutta-yang-mualaf-yang-berhasil-mengislamkan-keluarga-dan-30-temannya/