Selasa, 12 April 2011

Ratusan Buku Islam sudah dipelajari, keyakinannya pun makin mantap

Masa remaja dilalui Suprihati (70 tahun) tanpa kejelasan agama yang dianutnya. Di masa-masa ini, saat orang-orang sudah meyakini agamanya, ia masih sibuk mencari Tuhan.

“Ayah saya tidak pernah ke gereja dan juga ke masjid, hanya ibu saya yang rajin ke gereja untuk beribadah. Saya juga sangat jarang ke gereja. Jadi saya bingung, siapa Tuhan saya?” tutur warga Perumahan Kerangan Permai, Pondok Gede, Bekasi, ini kepada Republika.co.id.

Saking butanya ia akan agama, saat ditanya oleh rektor di kampusnya mengenai agama yang dianutnya, Suprihati menjawab ia tidak memiliki agama. Sontak saja rektor itu bingung mendengarnya. “Ibu saya seorang Katolik, ayah saya menganut kejawen. Orang tua saya tidak pernah mengajarkan Agama. Saya rasa, saya harus mencari Tuhan.”

Pencarian Tuhan dalam dirinya terus berlangsung. Sampai pada usia 23 tahun ia menjalin hubungan dengan seorang laki-laki Batak beragama Kristen. Mereka akhirnya memutuskan untuk menikah.

“Sebelum menikah saya dan calon suami mengunjungi beberapa keluarga. Banyak di antara mereka yang menawarkan untuk menikah di gerejanya. Maklum saja, keluarga kami rata-rata pendeta. Saat itu kami hanya mengiyakan semua tawaran,” tutur ibu enam anak ini dan nenek dari sejumlah cucu ini.

Beberapa hari sebelum hari pernikahan, datang seorang nenek angkat Suprihati yang kebetulan beragama Islam. Saat itu sang nenek membaca zikir di ruang tamu. Ketika mendengarnya, Suprihati merasa nyaman. Dari sini lah tiba-tiba muncul keinginan untuk masuk agama Islam.

“Saat mendengarnya saya merasa nyaman dan tenang. Saya berfikir bahwa Islam adalah agama yang damai. Seperti mendapat sebuah hidayah, tiba-tiba muncul keinginan besar untuk masuk dan mempelajari lebih dalam mengenai Islam. Saat itu juga saya bicara dengan calon suami, dan ternyata dia sependapat.”

Tepat di usia 23 tahun, di hari pernikahannya, Suprihati dan suaminya membaca dua kalimat syahadat dibarengi dengan ijab qobul. Keluarga besar mereka yang mayoritas non-Muslim sangat menghargai keputusan mereka.

Tidak mudah bagi Suprihati dan suaminya dalam menjalani agama yang baru dianutnya. Setelah mereka menjadi mualaf, tidak ada seorang pun yang mengajari segala hal mengenai Islam. Banyak teman-temannya yang menganggap rendah agama Islam. Itu salah satu alasan suaminya tidak mau terang-terangan mengakatakan bahwa ia seorang Muslim.

“Walaupun sudah masuk Islam, suami saya masih memakan makanan yang diharamkan. Kami juga tidak melakukan ibadah shalat sama sekali,” ujar Suprihati.

Pada tahun 1964, Suprihati dan suaminya pindah ke Medan. Mereka menumpang di salah satu keluarga yang kebetulan sudah mendapat hidayah dari Allah. Di sana lah mereka belajar shalat. “Ketika akan melahirkan anak pertama, saya baru mulai shalat. Saya juga banyak membeli buku-buku Islam,” katanya. Selama 12 tahun mereka menetap di Medan, sampai pada tahun 1980 mereka pindah ke Jakarta.

Suprihati, yang mengajar bahasa inggris di sebuah sekolah, juga banyak diajari hal-hal mengenai Islam oleh rekan kerjanya sesama guru. “Saya diajari shalat tahajud oleh guru di sekolah tempat saya mengajar. Saya bersyukur sekali akhirnya ada seseorang yang dapat mengajari saya. Dulu, banyaknya aliran-aliran dalam Islam dan kurangnya pengetahuan membuat saya semakin bingung.”

Keinginan kuat dalam dirinya untuk mempelajari Islam membawanya untuk terus mencari tahu segala hal tentang Islam. “Suatu hari saya bertemu dua orang ibu di warung dekat rumah. Mereka sibuk membicarakan pelajaran mengaji. Saya merasa penasaran dan langsung meminta untuk diikutsertakan dalam pengajian tersebut,” tuturnya.

Bagi Suprihati, tak ada yang tak mungkin. Walaupun ia baru bergabung ketika pelajaran membaca Alquran sudah berjalan tiga bulan, ia sanggup mengejar ketinggalan. Bahkan, teman-temannya yang lebih dulu bergabung kalah cepat mempelajarinya.

Ratusan buku mengenai Islam sudah dipelajari, keyakinannya pun makin mantap. Suprihati meresa telah menemukan Tuhannya, menemukan agama yang paling benar.

Kini, di usianya yang tak muda lagi, Suprihati masih sangat aktif belajar agama. Dalam satu minggu, enam kali ia belajar Alquran dan artinya. Selain itu, ia pun rajin berolahraga sehingga tubuhnya masih tetap segar.

“Selagi bisa, saya akan terus memperdalam pengetahuan tentang Islam. Belajar itu seumur hidup. Kadang, apa yang saya dapat dari belajar itu saya sampaikan lagi pada ibu-ibu pengajian di daerah rumah saya.”

Ilmu agama yang telah diperoleh selalu dibagikan kepada orang-orang di sekitarnya. “Ilmu yang bermanfaat…Insya Allah, Allah akan memberikan pahala kepada orang yang menyampaikannya,” ujarnya. Hal ini yang menjadi prinsip Suprihati.[republika]

http://muslim-mualaf.blogspot.com/2011/02/ratusan-buku-mengenai-islam-sudah.html

Minggu, 03 April 2011

Mantan Preman Kramat Tunggak kini Merasakan Ketentraman

BUKU berjudul “Fragmentasi Sejarah Islam Indonesia” karya Ahmad Adaby Darban, terselip di kantong sisi kiri celananya. Mengenakan seragam sekuriti warna abu tua, pria berperawakan tegap itu tergopoh gopoh menyusuri koridor lapang menuju ruang Sekretariat Jakarta Islamic Center (JIC), Jl. Kramat Raya, Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara, siang jelang pertengahan bulan Januari (13/01) lalu.

Pria murah senyum itu, Dian Apriyadi, 46 tahun, dipanggil H. Paimun, Kepala Humas JIC yang menyambut hidayatullah.com siang itu di kantornya.

“Ok, siap. Habis shalat Ashar ya,” ujar Dian, menanggapi permintaan bincang-bincang hidayatullah.com. Seraya mengulum senyum lebar, kami bergegas menuju ruang utama masjid karena kumandang adzan Ashar telah berbunyi.

Berkarir sebagai sekuriti di lingkungan Jakarta Islamic Center yang luasnya 5,6 hektar itu, begitulah kesibukan sehari hari lelaki yang biasa disapa Pak Dian ini. Melaporkan, mendatangi panggilan, menyampaikan pesan, dan mengamankan, sekaligus menjadi “ahli masjid”.

Di JIC, Dian bekerja sebagai sekuriti selama 8 jam sehari dengan sistem shift malam dan siang. Kalau bertugas malam ia berangkat jam 05:00 kalau tugas siang star jam 07:00.

***

Dian adalah anak Betawi asli lahir di bilangan Haji Ung, Kemayoran, Jakarta Pusat, 46 tahun silam. Masa kanak kanak hingga dewasa dihabiskan di Tanjung Priok. Di daerah inilah ia kemudian pernah berkenalan serta bergumul dengan pikuk erotisme malam malam di Kramat Tunggak, lokalisasi seks populer di Jakarta, yang kini telah disulap menjadi Islamic Centre (JIC).

Dian bekerja sebagai tukang parkir dan keamanan di lokalisasi Kramat Tunggak sejak tahun 1972. Kala itu, biaya parkir masih 100 perak. Keberadaan Kramat Tunggak kala itu sebenarnya diuntukkan pertama kali untuk rehabilitasi dengan nama "Teratai Harapan". Harapannya, agar para pelacur bisa dibina. Namun lama lama, karena tidak ada perhatian serius dari pemerintah, "Teratai Harapan" berubah fungsi menjadi lokalisasi mewah bisnis esek esek di Jakarta.

“Dulu daerah ini susah dijangkau,” kisah Dian.

Selain menjadi preman dan juru parkir, ia juga menjadi guide (pemandu) para lelaki hidung belang yang datang “bertamu”. Tugasnya memperkenalkan bos-bos yang datang dengan para pelacur melalui mucikari. Ia kemudian mencocok-cocokkan pilihan pelanggan yang datang.

Selama menjadi preman itu, Dian merasa kehidupannya sudah sangat glamor. Uang tidak pernah putus di kantong. Namun masalahnya, uangnya lekas sekali habis tanpa arti karena dipakai minum dan main judi.

“Walaupun serba cukup, tapi saya rasakan tidak ada enaknya,” katanya mengenang.

Ia mengisahkan, bersama sejumlah sejawatnya di lokalisasi itu, mabuk mabukan sudah menjadi tradisi dan dianggap sebagai bahasa pengantar wajib dalam setiap momentum. Baginya, kalau tidak minum, maka tidak dapat duit. Dan hal itu sudah menjadi semacam kesepakatan tak tertulis di antara mereka.

Karena kebiasaan buruk itu, bahkan ketika Kramat Tunggak telah ditutup dan ia telah bekerja di JIC tahun 2004, tradisi buruk itu masih berlanjut. Pernah bulan Ramadhan ia berfoya foya seenak hati. Akibatnya, empat hari menjelang lebaran, gaji yang sudah diterimanya di awal, ludes total.

Dalam keadaan miskin harta , Dian memberanikan diri pulang ke rumah. Ia disambut istrinya dan sempat menanyakan apakah ada uang untuk beli pakaian baru lebaran anak anak.

"Kok bapak masih mabuk aja, gak ada kapok kapoknya," cecar istrinya ketika itu. Dian beringsut, yang ia rasakan, kepalanya mau pecah saja.

"Saya juga bingung, saya juga mau berubah," begitu jawab Dian.

Setelah kejadian itu, Dian acap kali merenung. Tak jarang ia berfikir, salah apa dirinya kok tidak bisa berubah dan tidak bisa bertaubat.

Apalah daya, duit tak punya. Selama 3 hari setelah lebaran tahun itu, Dian tidak pulang ke rumah. Padahal jarak rumahnya dengan JIC hanya sepelemparan batu. Dian mengaku sangat malu kepada istri dan anak anaknya. Bersama sejumlah teman-teman dekatnya, saban malam ia tidur di bekas gedung milik Adi Karya yang berlokasi sekitar JIC.

Suatu malam, ia mendapatkan kejadian yang tak bisa lepas dari ingatannya. Saat itu, di malam ketiga, sekitar pukul 02:00 WIB, ia baru saja mabuk bungsa selasih. Dian tiba-tiba terjaga dari peraduannya dan berkomat-kamit menyebut asma Allah berjanji tidak akan merokok dan minum minum lagi.

Sejak peristiwa yang tak bisa dilaupakannya itu, Dian tidak pernah lagi merokok dan minum.

Kisah spiritual yang didapatkan Dian dilalui dengan beberapa kejadian-kejadian yang dialaminya. Pernah juga, saat sedang bekerja menjadi juru parkir, dari dalam Masjid JIC, Dian mendengar ustadz berceramah membahas tentang infaq.

“Setiap penghasilan kita ada hak orang lain 2,5 persen," ucap Dian menirukan kalimat yang menyentuh hatinya itu.

Siang itu, setelah mendengar ceramah itu, Dian pun berjanji dalam hati akan mengeluarkan infaq 25 ribu dari gajinya nanti.

“Alhamdulillah, tenyata benar benar ada perubahan,” imbuhnya.

Berkah Kehidupan

Menurut pengetahuan Dian, Kramat Tunggak ditutup bukan karena ada demo. Justru demo mulai marak dilakukan ketika menjelang penutupan saja pada tahun 1999. Dian memuji Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso kala itu yang dinilai punya cara bagus menutup lokalisasi pelacuran tersebut.

“Beliau mengajak mediasi seluruh masyarakat. Gubernur datang memantau, mahasiswa datang meneliti. Mereka menasehati,” demikian kisah suami dari Juriyah ini.

Pada saat penggusuran terjadi, jelas Dian, dirinta sangat bersyukur. Bukan karena mendapat ganti rugi, tapi dia mengaku malah mendapat ganti untung. Yang sebelumnya tidak ada pekerjaan, kini ia bisa dapat pekerjaan tetap. Yang rumuahnya tergusur juga diganti.

Ketika lokalisasi ini ditutup oleh Gubernur Sutiyoso tahun 1999, pas juga menjelang Ramadhan. Sehingga kondisinya dinilai Dian, pas momennya. Semua orang pada tenang-tenang. Tidak ada keributan.

Kini, di luar kesibukannya, menjadi staf keamanan di JIC, Dian juga aktif menjadi pendidik dan guru untuk anak anaknya. Sebagai orangtua, Dian mengaku tidak bisa memaksakan kehendaknya kepada anak anak. Dia bersyukur, sebab anak-anaknya baik-baik saja, tidak ada yang merokok, apalagi minum-minuman keras. Mereka juga sudah mengerti tentang latar belakang ayahnya.

Dalam membina anak-anaknya, Dian mengaku biasa melakukan sharing dengan istri tercintanya. Banyak hal yang mereka bicarakan tentang anak-anak mereka.

“Biasanya menjelang tidur, atau sebelum berangkat kerja,” papar pria yang gemar membaca ini.

Berhasilnya ia lepas dari jerat hitam Kramat Tunggak masa lalu, membuat Dian tak dapat membahasakan kesyukuran. Sudah lebih 10 tahun ini ia mengaku mendapatkan ketentraman hidup dan berumah tangga yang lebih baik sehingga bisa mengarahkan anak anak dan keluarga.

“Prinsip saya dalam mendidik, kita laksanakan dulu sebelum kita sampaikan nasehat kepada anak,” katanya.

Dian menceritakan, saat masih menjadi perokok berat, rutin pengeluarannya untuk biaya asap beracun dan kopi setiap bulannya tidak kurang dari Rp 400 ribu. Hebatnya, setelah berhenti, Dian justru bisa beli motor dengan cicilan selama 3 tahun saja. Pada tahun 2010 lalu, ia bahkan membeli rumah di Cikarang, Bekasi.

“Semua berawal dari berhenti merokok,” katanya.

“Saya seperti orang yang tercebur kemudian dimandikan. Alhamdulillah, kami bisa membersihkan diri di tempat dulu kami main kotor kotor,” ungkapnya, berkaca kaca.

Sekarang Dian sadar betul, bahwa jika mau menemukan ketentraman dan kebahagiaan adalah dengan mengikuti aturan dan tidak melanggar fitrah kemanusiaan.

Kini kakek yang sudah punya 1 orang cucu ini hidup bahagia di dekat masjid JIC bersama istri, keenam orang anaknya, dan Titin Kartina, ibundanya tercinta. * [AC/hidayatullah.com]

Ayesha Kim, "Mercusuar" Iman untuk Wanita Korea

Dari namanya, orang akan tahu dari mana dia berasal. Ia sengaja tak membuang Kim dari nama barunya, Ayesha, setelah masuk Islam. Kim adalah identitas Koreanya.

Kini ia dikenal sebagai "mercusuar" iman untuk wanita Korea, dan khususnya bagi siswa perempuan negara itu. Dia membimbing mereka menuju jalan Kebenaran Islam. Ia aktif berdakwah, dari kampus ke kampus. Ia lebih menyukai pendekatan logika dalam mengajarkan Islam.

Islam pertama kali datang pada suaminya, Imam Mahdevoon, yang kini ketua Persatuan Muslim di Korea Selatan. Perdebatan panjang beralhir pada tekad, mereka berdua akan selalu bersama untuk melintasi jalan Kebenaran.

Aisyah mampu menemukan kebenaran di tengah-tengah perang dahsyat yang berkobar ketika ia memilih Islam untuk agamanya. Ia mengadopsi nama Ayesha Islam setelah nama istri mulia Rasulullah SAW. Dia berpikir bahwa akan menjadi sumber berkat bagi dirinya. "Serangan misionaris di Korea sangat gencar, saya nyaris berbelok sebelum dalam Islam yang saya menemukan kebenaran yang saya yakini."

Ketika ditanya tentang keterlibatan awal dirinya dengan Islam, ia pertama diam dan memejamkan mata, seolah-olah dia berusaha mencari sesuatu yang tersembunyi dalam relung hatinya. Setelah beberapa saat terdiam, ia melanjutkan, ia ingin ketenangan dalam hidup. Suaminya, telah lebih dulu berislam.

"Kebenaran suara hati saya mendorong saya bahwa ada satu-satunya cara untuk mencapai Kebenaran," ujarnya.

Pada waktu yang sama pecah Perang Korea yang memaksanya untuk berpindah sampai ke pelabuhan Pusan. Ia makin merenungi makna hidup. "Akhirnya saya berkata pada suami saya bahwa "oke, saya akan masuk Islam" setelah saya melihat, memang Islamlah satu-satunya benteng untuk menyelamatkan diri kita sendiri serta masyarakat," katanya.

Tentang keterlibatannya dalam dunia dakwah, tak lepas dari persinggungannya dengan Omar Kim, mualaf Korea pada tahun 1950-an.

"Dia telah memeluk Islam secara terbuka. Sebelum meninggal dia pernah berpesan, tepatnya mendesak kami, untuk menyebarkan pesan-pesan Islam dan mengundang orang untuk menerima Islam," ujarnya.

Usai perang, ia melaksanakan amanah Kim. Ia mendatangi keluarga korban dan menguatkan. Beberapa tertarik masuk Islam, beberapa lagi tetap menganut agama lamanya, namun hubungan mereka tetap terjalin hingga bertahun-tahun kemudian.

Setelah ini, dia mengarahkan perhatian terhadap anak-anaknya. Dia berkata, "Saya hanya memiliki dua anak perempuan saya menahan kesulitan tentang mereka. Tapi saya menyadari bahwa setelah semua ini, kebenaran yang bicara."

Yang dia ceritakan, adalah anak sulungnya. Ingin "merdeka", ia menolak segala bentuk campur tangan orang tuanya. Namun di usia 25 tahun, ia menerima berita lain, "Hati saya tenang bila mendengar Alquran dibacakan. Tapi saya akan mencari informasi yang maksimal tentang Islam sebelum memutuskan (untuk bersyahadat atau tidak)," ia menirukan omongan anaknya.

Setelah beberapa waktu, dia juga menerima Islam. Namanya diubah dari Yoong menjadi Jamila. Dia menikah dengan seorang Muslim Korea. "Putri saya yang lebih muda menerima Islam pada usia 20. Dia juga menikah dengan seorang Muslim Korea. Dia tinggal di Korea di dekat kami."

Ia tenang, mempunyai sandaran yang bisa diandalkan. "saya telah mempercayakan seluruh persoalan kepada Allah. Anggota keluarga yang lain belum Muslim, tapi saya telah mempertahankan hubungan ini tetap harmonis sesuai dengan prinsip-prinsip Islam," ujarnya.

Ia kini aktif berdakwah di kalangan wanita Korea. "Saya telah mendorong banyak wanita Korea untuk menerima Islam, saya telah membuat mereka memahami bagaimana Islam melindungi hak-hak bersama pasangan yang telah menikah, dan bagaimana Islam menyediakan dasar untuk kehidupan keluarga.. Segala puji bagi Allah, saya telah berhasil membimbing sejumlah besar wanita ke jalan Kebenaran."

Usaha ini bukannya tanpa rintangan. "Kesulitan lain adalah bahwa gadis-gadis yang baru menjadi Muslim harus tinggal di sebuah masyarakat di mana agama mayoritas memiliki otoritas. Untuk alasan ini, dalam rangka menjaga semangat gadis-gadis ini, adalah penting untuk mengatur pertahanan yang efektif. Pertahanan itu datang hanya melalui lembaga pendidikan Muslim. "

Ia bersyukur, para mualaf Korea cukup istikamah. Mereka umumnya juga menjadi pendakwah baru, seperti dirinya. Mereka juga terus didorong untuk aktif melakukan kegiatan sosial. "Itulah sesungguhnya inti pesan Islam, menjadi rahmat bagi siapa saja di sekelilingnya," ujarnya.

http://muslim-mualaf.blogspot.com/2011/01/ayesha-kimkini-ia-dikenal-sebagai.html

Depresi, Alisya Braja Temukan Ketenangan dalam Islam

Suasana Masjid Agung Sunda Kelapa, seperti biasa, begitu tenang dan rindang. Tampak terlihat jamaah yang sedang shalat, mengaji atau berdiskusi santai. Suasana tampak berbeda ketika menaiki lantai empat gedung utama.

Selembar kertas bertuliskan "Pembinaan Mualaf" menempel di pintu berwarna coklat. Jelas terdengar suara ustad yang mengatakan "Anda-anda yang hadir disini merupakan tamu-tamu Allah SWT. Apa yang anda kerjakan hari ini akan mendapatkan balasan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya," kata si Ustad.

Perkataan ustad itu tampaknya tepat dengan pengalaman Alisya Braja. perempuan yang sudah memutuskan memeluk Islam tiga tahun lalu. Perempuan yang bernama lengkap Alisya Fianne Jane Braja tidak pernah membayangkan apa yang dia dengar menghantarkan dirinya pada Islam.

Dia mendapatkan petunjuk di saat ia tidak tenang dengan kehidupan yang dijalaninya. Dia depresi, gagal dalam pekerjaan dan mempertahankan rumah tangganya. "Pada saat itu saya tertekan tapi tidak ada yang membantu saya bahkan teman satu keyakinan. Jadi, saya harus berdoa sendiri dan menyelesaikan masalah sendiri," papar dia kepada republika.co.id.

Ketiadaan bantuan dan kondisi psikologis membuat dirinya berada di persimpangan. Disatu sisi, dia dihadapkan pilihan apakah menyelesaikan masalah itu dengan hal-hal berbau hura-hura. Artinya dia harus merapat pada teman-temannya yang memang suka bersenang-senang berlebihan.

Pilihan kedua, dia mendekan pada temannya yang Muslim. Teman-teman yang dianggapnya memberikan rasa iri lantaran rasa tenang yang terpancar ketika mereka selesai menjalankan shalat dan mengaji. "Saya benar-benar berada di ujung persimpangan," kata Alisya yang mengaku dulu memeluk Katholik.

Namun Sang Pencipta menghendaki ia mendekati teman-temannya yang muslim. Dia pun semakin tertarik melihat teman-temanya shalat lima waktu. Dia juga kian terlibat dengan aktivitas keagamaannya teman-temannya di masjid.

Hingga, teman-temannya itu merasa aneh dengan prilakunya "Teman saya waktu itu bahkan bilang ke saya, 'Kamu tidak masalah kalau saya mau ngaji dulu?'. Dia pun tidak memaksa saya masuk. Akhirnya saya pun menunggu diluar. kala itu, ustad yang tengah berbicara adalah Quraish Shihab," papar istri dari Oktobrawijya Tri

Apa yang didengarnya, membuat dia ketagihan. Alisya pun mengikuti pengajian selepas kantor setiap Senin dan Kamis. Rasa merinding berbalut dengan tenang seperti obat yang manjur bagi depresi yang tengah diderita Alisya.

Dia mengaku seolah diarahkan untuk beralih. "Hati saya bergejolak dan seolah rindu untuk datang ke masjid Sunda Kelapa. Saya bilang ke teman saya, kalau kesini lagi saya ikut dong," kata perempuan kelahiran Manado 38 tahun lalu ini.

Mendengar kemudian mendalami, demikian langkah Alisya. Dia pun meniatkan membeli Alquran di sebuah toko buku. Kemudian secara sembunyi-sembunyi Alisya mulai membandingkan Injil dengan Quran. Sejak 2004, Alisya mulai mempelajari Islam.

Hingga pada suatu ketika, dirinya bermimpi. Dalam mimpi itu disebutkan, "Hanya Muhammad utusan Allah, dan hanya Alquranlah yang paling benar." Alisya pun memberanikan diri untuk bertanya pada Ustad Rahim, yang kebetulan memang salah seorang pembina mualaf.

"Saat itu dia mengatakan itu merupakan hidayah yang diberikan Allah SWT kepada kamu. Kamis bertanya pada ustad tentang mimpi itu, Ahadnya saya memutuskan masuk Islam," cerita Alisya.

Setelah masuk Islam, Alisya mulai belajar shalat dan surat-surat Quran untuk bacaan shalat. Saat itu, Alisya secara perlahan dibimbing untuk membaca Alfatihah saja atau Allahuakbar, Allahuakbar. Di awal ia mengaku kadang ia melaksanakan shalat selalu lebih cepat dari saudara-saudaranya yang lain.

Ia pun mengakali itu dengan membuat tulisan bacaan surat lalu ditempelkan di dinding. Saat saudara-saudara semuslim lain bertanya apakah dirinya mualaf, Alisya mengaku terharu. Pasalnya, mereka berkata agar tidak merasa berat dalam mengerjakan shalat. "Itu yang membuat saya merasa didukung. Saya terharu," ujarnya mulai meneteskan air mata.

Setelah fasih melaksanakan shalat, Alisya mulai belajar berdoa. Doa yang pertama kali diucapkannya adalah meminta keluarganya menerima dirinya. Hal itu terus dilakukannya hingga tahun 2008, dia mendapatkan kesempatan untuk umrah.

Di Baitullah dia kembali dikejutkan dengan kuasa-Nya. Ritual umrah dijalaninya dengan penuh kemudahan. Dia pun merasa tegang sekaligus merinding. Dihadapan kabah ia diberdoa, agar keluarganya bisa menerimanya.

Doa itu pun dikabulkan yang Maha kuasa. Sepulangnya dari Makkah, dia mendapat telepon dari keluarganya di Manado. Dia pun terkejut. "Keluarga saya menelpon sekitar Juni akhir, sampai saya menangis doa saya didengarkan," kata ibu dari tiga anak ini.

Keluarganya ternyata ingin bertemu dengannya. Komunikasi pun lancar layaknya tanpa ada masalah. Hingga kini, Alisya dengan keluarganya selalu berkomunikasi. "Mereka menghargai saya sebagai seorang Muslim, dan saya menghargai mereka sebagai seorang nasrani," ujarnya.

Bahkan komunikasi yang terjalin sudah sampai pada pembahasan tentang Islam. Alisya mengatakan dia banyak mendapat pertanyaan tentang teroris dan jihad dari mereka. Dia pun menjelaskan kepada keluarganya bahwa hal itu bukanlah Islam sesungguhnya.

Kini, Alisya mulai menerjuni dunia mubaligh. Bersama-sama teman-temannya yang mualaf ia mendirikan paguyuban mualaf Masjid Agung Sunda Kelapa. Harapannya, para mualaf memiliki wadah untuk berbagi dan belajar tentang Islam. Ia ingin terlibat membantu saudara-saudaranya yang memang membutuhkan arahan tentang mengenal Islam dan mempelajarinya. Hal yang sama juga ditujukan pada keluarganya. "Saya berharap keluarga saya diselamatkan atau diberi hidayah seperti saya."[Republika]

Gaby Gonzales, salah satu dari ribuan Latin yang telah masuk Islam

Sama seperti keturunan Hispanik lainnya yang telah lebih dulu menjadi Muslim, Gaby Gonzales juga selalu menolak disebut mualaf. Menurutnya, dia tidak berpindah agama, tapi "pulang" pada agama yang dianut nenek-moyangnya. "Saya kembali pada Islam," ujarnya.

Menurutnya, jauh sebelum Islam asuk ke Amerika dan negara lain di dunia, Spanyol telah lebih dulu berada di bawah kekuasaan Islam selama hampir 800 tahun sebelum kerajaan Kristen Moor merebutnya pada tahun 1492. Dan sama seperti mualaf lainnya, ia menghidupkan tradisi masa lalu: memadukan nama Islam dengan nama asli mereka. Namun sehari-hari, ia lebih suka dipanggil dengan nama Islam; nama asli hanya untuk keperluan resmi.

Gaby lahir di Honduras, 20 tahun lalu. Di masa lalu, ia terfokus pada dirinya sendiri. "Saya tidak berpikir tentang orang lain, tentang orang tua saya, hanya saya dan lingkaran teman-teman saya," ujarnya. Sekarang, setiap hari ia berusaha untuk menjadi lebih baik, untuk melakukannya dengan baik, untuk membantu orang lain dan berhenti menjadi egois dan sombong.

Bahkan, ia mempunyai julukan baru di antara teman-teman kuliahnya di jurusan antropologi di Montclair State University: Suster Gaby. Pasalnya, ia kini berjilbab, dan jilbab warna giok hijau adalah favoritnya.

Gaby adalah salah satu dari ribuan Latin yang telah masuk Islam. Mualaf Latin beberapa tahun terakhir memadati banyak mesjid, termasuk beberapa di North Jersey. Bahkan, kini mereka mengorganisasi diri dengan embel-embel "Latino Muslim" dalam nama organisasinya. Bahkan, kini mulai dirintis penerbitan Alquran terjamah bahasa latin dan dai berbahasa Latin.


***

Seperti Hispanik banyak yang memeluk Islam, Gaby berasal dari keluarga Katolik yang saleh. Di Honduras, neneknya selalu memastikan bahwa ia benar-benar mengikuti aturan agama. "Nenekku akan mengamuk kalau aku tidak pergi ke gereja, kalau aku tidak membaca Alkitab hari itu. Akibatnya aku tak pernah berkembang secara alami," ujarnya.

Seperti remaja umumnya, di usia "memberontak", ia kerap berbenturan dengan aturan sang nenek. "Aku selalu stres, melakukan hal-hal saya tidak harus aku lakukan. Bila tersadar, aku akan selalu berdoa 'Tuhan, tunjukkan aku jalan-Mu yang lurus'," ujarnya.

Lepas dari SMA, ia melirik Amerika Serikat sebagai tempat menimba ilmu selanjutnya. Di negeri ini, ia bertemu teman dati berbagai bangsa dengan beragam latar belakang keyakinan.

Namun, ia mengaku hatinya tertambat pada Islam. Ilmu yang dipelajarinya barangkali sedikit banyak menyokong ketertarikannya; khususnya tentang peran Islam di abad pertengahan.

"Saya membaca lebih banyak tentang Islam yang saya ingin tahu. Untuk mengetahui apa yang menyebabkan begitu banyak orang untuk menyerahkan sepenuhnya kepada agama ini. Ketika saya membaca Quran, saya menemukan kebenaran itu berbicara tentang melayani orang lain, menempatkan orang lain terlebih dahulu.." ujarnya. Islam membuatnya merasa berlabuh.

Tapi belajar dari temantemannya yang telah lebih dulu menjadi Muslim, mereka "membayar mahal" untuk berpindah agama; antara lain dibuang keluarga. Mereka juga menjadi bahan ejekan dan peringatan oleh sesama Hispanik, apalagi bagi Muslimah yang bertukar penampilan juga.

Namun hatinya sudah mantap. Dan betapa beruntungnya dia, ketika akhirnya keluarganya menerimanya dengan hangat.[republika]

Curahan Hati Seorang Mantan Mahasiswa UIN

Apakah Anda pernah menyaksikan film Band Of Brother garapan Steven Spielberg? Di mana bangunan runtuh dan betonnya menumpuk di daratan. Ya begitulah perasaan saya saat kali pertama menginjakkan kaki di Institut Agama Islam Negeri (IAIN).

Bersama dengan seorang teman yang satu Madrasah Aliyah (MA), kami berjalan hati-hati sekali dan pelan melewati segundukkan puing bangunan yang berserakan di sana-sini. Di depan kami terhampar bebatuan yang lebih menyerupai kontrakan pasca dihancurkan. Saya mencari tahu ada apa sebenarnya dengan kampus yang terkenal karena beberapa alumnusnya ini? Jawaban baru saya ketahui ketika saya mengikuti awal-awal perkuliahan.

Saya bangga akhirnya diterima di sini, sedari awal cita-cita ini memang tertuju atas keinginan kuliah di kampus dengan aroma keilmuan yang kuat. Jika beberapa mahasiswa di kampus, lebih melihat pekuliahan sebagai syarat mendapat ijazah, membunuh waktu, bahkan ada yang tidak minat di jurusan hingga tidak gigih saat menuntut ilmu. Namun saya sudah menetapkan standar visi dan bagaimana nanti saya berkuliah jauh sebelum saya mengenal perguruan tinggi.

Mungkin karena keluarga kami tergolong mencintai buku, banyak buku yang mewarnai garis pemikiran saya saat masih di bangju Aliyah dan apa makna kesuksesan masa depan. Kala itu saya sudah terinspirasi mau menjadi orang seperti Hamka, Natsir, bahkan Sartre.

Awal-awal Kuliah di UIN

Dulu, ketika awalnya masih di Aliyah (setingkat SMU), perasaan saya kerap waspada jika akan masuk perguruan non pemerintah. Karena citra perguruan tinggi yang tidak sedikit miring dalam mendidik, baik dari moral dan kualitasnya. Oleh karena itu saya selektif sebelum menjatuhkan pilihan terhadap kampus yang akan kami tuju. “Jangan sampai, saya masuk sekolah tinggi yang tidak bisa mengakomodir kehausan mendalam saya terhadap ilmu,” bagitu hati saya berkata.

Bulan berganti bulan, akhirnya saya mampu menyesuaikan diri dengan gaya UIN yang lebih agamis. Mulai belalar ilmu Fiqh, Ilmu Kalam, Ulumul Qur’an, Ulummul Hadits, Sejarah Peradaban Islam, hingga sebuah mata kuliah “susah” bagi kawan-kawan yang bukan berlatar-belakang santri, Bahasa Arab. Namun kendati pelbagai ilmu-ilmu Islam menjejali, entahlah tak ada sedikitpun perasaan yang menciptakan hati mencintai Islam sepenuhnya. Saat itu saya pun heran bagaimana masa depan saya nantinya jika terus begini? Apa yang diharapkan dari sarjana yang tidak mencintai Islam sepenuhnya seperti ini?

Tahun berganti tahun, sayapun akhirnya menjelma menjadi mahasiswa UIN seperti para pendahulu saya. Sebuah pengalaman berkuliah yang senantiasa diisi oleh kegiatan membaca, diskusi, kelompok, organisasi, dan mengunjungi perpustakaan. Namun kesemuanya masih dalam bingkai takluk terhadap hegemoni Barat. Bendera Kanada-pun (baca: Barat) selalu berkibar di hati saya. Maklum di UIN ada perpustakaan McGill. Walau kala itu saya belum tertarik betul, masih mencari-cari.

Di UIN pula, saya berteman dengan mahasiswa-mahasiswa hebat seantero Indonesia, di mana, Subhanallah, bicaranya amat memukau, lengkap dengan cengkok khas intelektualisnya. Beberapa di antara mereka kemana-kemana selalu menenteng buku. Bacaanya filsafat Prancis dan sesekali mengutip Plato dan Aristoteles.

Ada pepatah, “bukan mahasiswa, kalau tidak punya organisasi.” Entah, apakah terprovokasi oleh adagium tersebut, akhirnya semua organisasi saya “jajahi” semata-mata mendapatkan air ilmu yang bisa melenyapkan dahaga saya terhadap wawasan. Saya pernah berada di organisasi yang kanan, beralih ke moderat, berdiskusi di lembaga sosialis kiri, masuk ke liberal, sampai aktif berbincang pada sebuah lembaga yang diisi mahasiswa senior jurusan Akidah Filsafat.

Ketika diskusi dengan orang-orang itu, saya tak ubahnya sedang melihat sebuah kontrakan terbakar, karena seluruh ruangan dipenuhi asap rokok hingga kita bisa tersedak. Rambut merekapun rata-rata gondrong melewati batas punggung. Bukan santri yang selama ini saya kenal.

Menurut bocoran dari kawan saya, jika kita masuk ke komunitas itu, anak-anak semester awal akan “diplonco” dengan cara kami harus mempresentasikan tema yang sebenarnya baru akan kami terima di tingkat lima. Benar, bersama seorang teman, saya benar-benar digojlok menjadi seorang pecinta buku sejati. Saya ingat betul kawan saya yang baru semester satu itu harus menjelaskan tentang biografi Nabi Muhammad SAW di depan mahasiswa semester 9 Filsafat (yang menurut saya) rada-rada ingkar Tuhan dalam penilaian saya. Bagaimana rasanya? Menegangkan. Serasa sidang thesis.

Belum usai, perjalanan saya berlanjut ketika saya semakin takjub diantar seorang senior untuk melihat foto-foto Azyumardi Azra selagi muda, melihat rambut ikal Profesor Komaruddin Hidayat saat bujang, sebelum berangkat ke Turki dan sebelum menjadi Rektor UIN tentunya.

Saban bulan puasa, kami kerap mengunjungi rumah “abang-abang” kami yang telah menjadi anggota DPR, salah satunya yang kini menjadi anggota Pansus Century. Di bawah tenda, kami berkumpul dengan para jawara intelektual kampus dari ujung Jakarta, walau tidak semuanya, karena bau penjilatan politik tercium kental. Namun kesan itu semakin tertanam dalam benak saya, bahwa beginilah dialektika organisatoris dan jalan panjang menuju medan politik.

Pada level pegerakan saya pun tidak melewatinya. Istilahnya, :Kurang canggih jika mahasiswa tidak berdemo,” begitulah istilahnya. Namun entahlah, saya merasa tidak cocok. Banyak mereka yang bicara kebenaran tapi di lapangan nyata apa yang dikatakan tidaklah sesuai kenyataan. Tidak sedikit banyak dari mereka malah jadi broker di kampus masing-masing.

Kenyataanya, jika demo mereka tidak shalat. Walau saya termasuk orang \"brengsek\" kala itu, tapi urusan shalat, alhamadulillah tetap tak akan tertinggal. Melihat fakta ini, saya tidak yakin jika masa depan diserahkan kepada mereka akan membawa dampak positif bagi bangsa.

Tapi ironisnya, mereka selalumeminta agar tampuk anggota DPR lebih baik diserahkan kepada mereka. Benar kata Soe Hok Gie, politik itu bak Lumpur. Saya menyaksikan dengan mata telanjang tentang arti kemunafikan, belajar melihat arti ucapan belum tentu mesti sama dengan kenyataan. Ketika “abang senior” mereka ditahan atas kasus korupsi mereka tidak lantang lagi bicara kebenaran. Akhirnya, alibipun ditebarkan.

Sementara dalam pendalaman Islam dan maknanya, saya dihadapkan pada tulisan-tulisan (alm) Cak Nur (Nurcholis Madjid, red) yang walau saya tidak paham, sering saya iyakan saja. Maklu, kala itu, saya masih lugu untuk mengintrepetasikan kalimat “Tiada tuhan selain Tuhan”. Ya sebuah filsafat cadas dari Chicago itu. Saya seperti seorang anak dan sekawanan senior yang sambil menepuk-nepuk pundak berpesan, “Nak, beginilah kalau kamu mau jadi orang cerdas.”

Westernisasi Pemikiran

Hingga waktu berganti waktu, secara tidak sadar ternyata ilmu yang saya pelajari selama ini menghantarkan saya untuk singgah pada fase intelektual yang benar-benar mengadopsi pemikiran luar. Tanpa disadari, saya lebih suka mengimitasi psikoanalisa tinimbang Imam al-Ghazali. Naluri saya lebih bangga untuk membaca karya keluaran New York daripada Kairo. Bahkan mencicipi tulisan atheisme sains menurut saya lebih ilmiah daripada buku dengan bumbu wahyu di tiap lembarnya. Saya melihat kesemuanya itu karena kultur, kalau kata Gabriel Tarde, psikolog sosial, hal-hal semacam ini laksana naluri ilmiah jika kita berada pada suatu massa, karena indvidu akan mengikuti arus masyarakat yang ada.

Selanjutnya saya semakin menjadi-jadi. Bukan hanya berhenti untuk mengadopsi ilmu-ilmu produk asing, tapi kesemuanya bermuara pada tingkat kekaguman dan keterpesonaan seorang pemuda tanggung seperti saya terhadap Barat (baca: bisa juga nilai duniawi). Saya malah menyesal kuliah di perguruan tinggi Islam. Bagi saya, kampus umum dengan segala perangkat keduniaannya menurut saya lebih membuka peluang untuk mendekati kebenaran di dibanding di kampus ini.

Shalat tanpa makna, berislam terkesan ala kadarnya, dan membaca buku Islam (jika hanya ada tugas adalah keseharian saya). Saya membaca buku-buku Islam, tapi sebenarnya kurang menikmati karena saya telah terlanjur cinta pada nama besar Freud, Jung, Erich Fromm, Descartes. Saya pun lebih menaruh kepercayaan pada positivisme, empirisme, rasionalisme, tinimbang The Philosphy of Islam. Jika Anda bertanya pada saya tentang Islam, jangan harap saya bisa menjelaskan siapa itu Nabi Muhammad dan bagaimana sejarahnya, sebab saya lebih tertantang melakukan diskusi buku-buku teori filsafat Barat, psikologi dan sosiologi yang lahir dari peradaban non Islami, dan mencoba mengedepankan kata “ilmiah” dahulu tinimbang Tuhan. Dan pada dasarnya, hal itu bukan untuk dikritisi dan kemudian diubah dengan semangat Islami seperti yang dilakukan Ismail Raji Al Faruqi. Namun saya mengkaji itu semua untuk saya praktekan kelak. Kalau mau berfikir ekstrim, sesungguhnya saya adalah “musuh” Islam saat itu.

Walau saya tidak sampai berikrar menjadi penganut atheis. (karena saat itu saya masih shalat, puasa, tidak pacaran, dan mencintai Allah) akan tetapi, saya tidak bisa menghindari bahwa dalam benak saya ada sebuah mosi ketidakpercayaan terhadap ilmu Islam itu sendiri.

Bahwa Fitrah itu Ada

Namun dibalik itu semua, tak bisa saya terelakkan bahwa ada perkara ganjil yang bersemayam dalam hati. Entah mengapa, kognisi saya selalu diganggu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan elementer, seperti; Siapakah saya sebenarnya? untuk apakah saya hidup di dunia? kenapa saya selalu cemas? dan bagaimana nasib saya pasca dari dunia ini?

Seribu tanya itu persis seperti al-Ghazali mempertanyakan tentang hakikat diri di Kitab Kimiyatul Sa’adah-nya. Hebatnya itu semua berjalan beriringan dengan kekaguman saya terhadap produk Barat (yang sering dibanggakan di IAIN/UIN) itu. Hingga suatu ketika saya seperti ditampar oleh Allah, tepat ketika saya menerapkan keilmuan Barat saya dan mencoba merangkai kevalidannya.

Ternyata Barat yang saya kagumi selama ini tidak ubahnya motor yang kehabisan bensin saat mendaki tanjakan. Ia tidak bisa menyelami makna terdalam dari kehidupan. Bukan hanya tidak bisa, ia memang tidak akan bisa, karena tumpulnya ketajaman pisau analisa-nya untuk mengupas hakikat problem jiwa manusia modern.

Dan saat saya menjalani sebuah muhasabbah dan berprofesi sebagai konselor, saya malah dihadapkan bahwa kekuatan Islam mampu menjawab apa yang tidak dapat dipecahkan oleh ilmu modern tersebut.

Islam tidak seperti konsep yang saya bangun sebelumnya. Karena pada fase ini saya melihat Islam itu nyata. Bahwa Tuhan itu “ada”. Bagaimana mungkin para konseli saya berubah dengan Islamic approach (pendekatan Islam), bukan dengan pendekatan yang berbelit-belit ala psikologi Prancis, London, dan Jerman itu. Saya menemukan thesa yang berbeda dari apa yang saya yakini selama ini. Karena sejujurnya, walau saya berada pada kampus Islam, tapi mata kuliah yang kami dapatkan dari ilmu keislaman masih minim. Sekalipun ada tidak sama sekali membuat saya yakin terhadap ketangguhan ilmu Islam. Dalam lapangan, saya mendapati para konseli saya merasakan indahnya menyelesaikan problem hidup hanya dengan sentuhan nafas-nafas dzikir, shalat, dan tadabbur ayat-ayat Qur’an. Ya sekali lagi dengan pendekatan Islami, bukan pendekatan Rasionalisme, Materialisme, dan Humanisme.

Saya pun terperangah, dan mencoba merasakannya sendiri dan memang ketika membaca al-Qur’an, itulah moment paling tenteram yang pernah saya dapatkan. Inilah sebuah dampak psikologi yang nyata bagi diri saya. Ia masuk kedalam nurani saya tanpa diundang. Ia membius saya hingga rasanya ingin menangis, dan tak lama kemudian saya betul-betul terharu.

Di situlah fase pemutar balikan tiga ratus enam puluh derajat tentang arti Tuhan yang sebenarnya dalam saintifisme saya. Saya seperti mahasiswa strata satu yang berjalan seorang diri di Wina, Austria, dan tak lama terdampar di sebuah Mesjid yang didepannya tepat berdiri patung Sigmund Freud sedang memakai topi.

Saat itulah saya bertekad untuk mengkaji Islam dengan cara pandang yang berbeda. Saya ingin menjadi ilmuwan yang fair. Saat itu saya masih memegang separuh prinsip sains, bahwa ketika ada suatu teori yang mematahkan teori sebelumnya, maka, teori yang baru tersebut patut dikaji. Inilah dasar etika ilmu yang sejati, yang kadang sengaja ditutupi oleh beberapa kawan saya yang masih intens dengan keatheisannya. Saya berfikir positif saja, mungkin gemerlap materi yang membutakan mereka. Semoga bukan pertanda Allah menutup pintu hidayah.

Menjadi Konselor Muslim

Sejak itu haluan kapal saya berubah, saya ingin menjadi ilmuwan Muslim. Saya belajar Islam dari awal lagi, dari a’, ba’, ta’ lagi. Dari Al-Baqoroh lagi. Dari Bab Tharah lagi. Niat saya harus suci, tulus, dan ikhlas. Saya berkembang menjadi pribadi yang merasa tidak lebih pintar dari anak TPA sekalipun. Iri dengan para santri yang sangat nikmat sekali mempelajari dinul Islam di pesantren-pesantrennya. Gelora saya dibakar kekuatan tauhidi untuk mencari mutiara keislaman yang terpendam dalam jutaan buku karangan manusia.

Saya belum puas. Lantas tergerak untuk menghabiskan setengah waktu untuk membaca gemintang hadis yang menyala-nyala. Merasakan indahnya kekuatan Iman dari ilmu-ilmu Islam yang mempesona. Saya kumpulkan itu semua walau mesti tertatih-tatih dan layaknya tukang sapu tengah memungut beras tumpah yang butirnya bisa menggelending ke sudut-sudut trotoar. Setelah itu saya susun menjadi bangunan keilmuan Islam yang masih amat sederhana, bernama psikologi Islam dengan landasan prakteknya melalui pendekatan konseling Islam.

Jadilah dari pengembaraan itu saya demikian yakin untuk menyimpulkan bahwa keajaiban Islam tidaklah dapat dipandang sebelah mata. Bahwa kekuatan Islam bukanlah kekuatan sepele yang hanya dapat dikur dari kebahagiaan semu. Terlalu murah jika untuk hal itu. Karena saya sudah merasakannya, walau di UIN saya pernah menampuk kursi paling vital di jajaran organisasi kampus (baca: semacam MPR kampus) dan memiliki keilmuan yang cukuplah di atas rata-rata kawan saya, tapi saya tetap cemas, dan galau. Dalam kasus politik misalnya, intrik politik lebih banyak bermain ketimbang etika, padahal mereka-mereka juga orang hebat, lahir dari pesantren, mantan-mantan ketua BEM. Jika demonstrasi teriak pro kebenaran dan pro rakyat, penyambung lidah nurani, dan banyak memakan gizi dari ilmu Barat, tapi entahlah secara akhlak belum bisa saya simpulkan baik.

Dari seorang Ustadz bahwa semakin gigih kita mengejar dunia, semakin jatuhlah kita dalam kuburan fana yang sebetulnya menipu. Karena pada substansinya, dunia hanyalah senda gurau seperti tertera dalam firman Allah;

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (QS Al-Ankabut ayat 64)

Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu pernah berkata:”Bilamana manusia menemui ajalnya, maka saat itulah dia bangun dari tidurnya”. Sungguh tepat ungkapan beliau ini. Sebab kelak di akhirat nanti manusia akan menyadari betapa menipunya pengalaman hidupnya sewaktu di dunia. Baik sewaktu di dunia ia menikmati kesenangan maupun menjalani penderitaan. Kesenangan dunia sungguh menipu. Penderitaan duniapun menipu.

Sebagai seorang yang kadung belajar karakteristik manusia dan psikologi massa. Saya paham hal ini tidak bertahan lama jika saya tidak berada pada satu komunitas yang akan menunjang iman saya, ini penting. Mulailah saya membangun fondasi awal lagi tentang iman dan arti pergaulan. Jika dulu saya asal pilih teman, kini saya memberanikan diri bergaul dengan orang yang soleh dan mengikuti majelis-majelis ilmu yang mendekatkan saya kepada tali takwa. Karena menurut Baginda Nabi Muhammad SAW, arti teman amat penting bagi tiap mukmin. Jika kita bergaul dengan tukang minyak wangi, maka harumlah kita. Lalu untuk penanaman ilmu pun tidak kalah penting, karena menurut Al Ghazali ilmu adalah pilar menuju jiwa yang sehat.

Saya merasa tenteram menerapkan filosofi sederhana tapi vital itu. Dan kunci untuk menemukan itu ialah bagaimana kita bisa mengenali diri kita sendiri. Siapa kita, apa tujuan kita, kenapa kita cemas, kenapa kita selalu gelisah, kenapa kita marah, kenapa kita selalu kesal, kenapa masalah sepele jadi besar. Dan anda mau tahu jawabannya? Tidak lain jawaban sebenarnya ada pada diri kita sendiri. Ini bukan humanisme yang menuhankan manusia, tapi pengenalan diri dalam Islam yang jauh lebih manusiawi dan mengandung nutrisi fitrah dari segenap ilmu yang pernah ada. Karenanya, Syeikh Abdul Hamid Al Ghazali menaruh bab Pengenalan Diri pada bab awal kitab kimia kebahagaiaannya, inilah kunci awal menuju kebahagiaan.

Jika kita sudah menemukan siapa diri kita, evaluasilah pengalaman kita selama ini apapun itu, yang saya haqqul yakin bahwa muara itu terletak pada sebuah kata tegak, Allah. Baik dari problem sengsaranya kita dalam cinta, gelisahnya kita akan asesoris dunia, hingga perkara ambisi menang kalah dalam kuasa.

Rasa cemas itu terjadi karena kita sudah jauh dari Allah. Kita biarkan Allah hanya berada pada singgasana, dan kita sendiri di dunia dengan sombongnya merasa sanggup berjalan sendirian.

Tanpa kita sadari. Kita pun sudah menduakan Dia Yang Maha Esa. Dualisme tauhid kita terbentur pada pengakuan disatu sisi kita mengakui Allah yang Maha kita cintai, tapi disisi lain kita lebih ingin mendahulukan apa keinginan kita, apa kata pacar, apa kata nafsu, apa kata amarah kita, apa kata ego kita, dan segala rasa individualitas angkuh yang bersamayam dalam diri kita.

Ingat, mata batin tidak bisa dibohongi, ikhwah. Karena kita telah diberi fitrah suci dari lahir oleh Allah untuk membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Semakin kita menjauh dari Allah semakin mengeraslah qolbu kita. Semakin kita mendahulukan nafsu, yakinlah hanya kesengsaraan yang kita dapat di dunia fana ini. Karena Allah sudah mengingatkan kita,

“Maka celakalah bagi mereka yang keras qalbunya dari berdzikir kepada Allah. Mereka berada dalam kesesatan yang nyata.” (Az-Zumar: 22)

Syeikh Ibnu Qayyim Al Jauzi pernah berkata bahwa tidaklah Allah memberikan hukuman yang lebih besar kepada seorang hamba selain dari kerasnya qalbu dan jauhnya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Qalbu yang paling jauh dari Allah adalah qalbu yang keras, dan jika qalbu sudah keras mata pun terasa gersang. Qalbu yang keras ditimbulkan oleh empat hal yang dilakukan melebihi kebutuhan: makan, tidur, bicara, dan pergaulan. Bahkan dalam Tazkiyatun Nufus-nya, beliau berujar bahwa dosa adalah canru, semakin kita sering berbuat dosa, semakin ketagihanlah kita untuk bermaksiat kepada Allah. Sebuah rumus sederhana, bukan? Namun ketika ketaatan kepada Allah menjadi kebiasaan dalam hidup kita sehari-hari, maka ketenangan batin dan mansinya iman akan menjadi kawan sejati kita sehari-hari. Percayalah, dan itu butuh kejelian kita, selamat berjuang para pencari kebahagiaan yang sejati.

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.\" (QS. Al Hadiid(57) ayat.20).[Hidayatullah]


http://muslim-mualaf.blogspot.com/2011/01/curahan-hati-seorang-mantan-mahasiswa.html

Mantan Gangster itu Merasakan Ketenangan dan Keteraturan Hidup

Saat pindah ke bagian barat Jerman, usai tembok Berlin runtuh, Sayed Mann, kala itu 12 tahun, adalah bocah yang tengah bingung mencari identitas diri. Keluarganya berasal dari Jerman Timur.

Tumbuh besar di lingkungan sosialis, agama tidak pernah ada dalam kamus keluarga dan hidupnya. Ia cenderung tersenyum sinis saat melihat orang-orang pemeluk keyakinan tertentu, termasuk Muslim,

Di Jerman Barat ia melihat situasi yang berbeda. Imigran lebih banyak dijumpai dan ia pun berkawan dengan beberapa orang asing.

"Saya tidak terbiasa dengan kehidupan baru saat itu," aku Sayed. "Kami tiap hari hidup seperti sampah. Idola kami adalah orang-orang kulit hitam Amerika yang tinggal di pemukiman terisolir," tuturnya.

Mengidolakan mereka, pria yang dulunya bernama Sved Mann itu pun juga mencontoh perilaku para imigran itu. "Saya melakukan banyak hal buruk termasuk mencuri dan sebagainya," kenang Sayed.

Hingga akhirnya ia bertemu dengan seorang imigran berasal dari Turki yang menjadi kawan akrabnya. Si kawan itulah yang kemudian mengenalkan Sayed pada Islam dan berhasil mengajaknya memeluk agama tersebut.

Kawan Sayed memiliki kakak lelaki seorang imam masjid lokal. Ketika si adik memberi thau niatnya untuk mengajak Sayed berkunjung ke masjid, sang imam mengaku pesimis.

"Saya bilang, 'Dia? Tidak Mungkin'. Tapi adik saya sudah bertekad bulat. Bahkan ia mengatakan Sayed akan memeluk Islam sepulangnya saya dari bepergian," tuturnya.

Tiga bulan kemudian, ketika si imam pulang kembali ia tiba-tiba disambut oleh Sayed dengan sapaan Assalamu'alaikum. "Wow saya terkejut. Ini benar-benar luar biasa," ujarnya. "Saya bahkan sempat bertanya (pada Sayed-red) 'Apa yang terjadi padamu?'".

Rupanya si imam memahami selama ini Sayed selalu mencari, namun ia tak pernah-pernah meluangkan waktu dan cenderung mengabaikan ketimbang bersungguh-sungguh.

"Ia mengatakan selalu percaya dengan keberadaan Tuhan, saya kira itulah yang menuntun dia," kata si imam. "Saya melihat ia bahagia telah menemukan Islam.

Kini si imam bahkan menjadi guru mengaji Sayed. Dengan disiplin ia belajar bahasa Arab demi dapat membaca Al Qur'an

Tapi Sayeed tak ingin disebut pindah agama. "Tak pernah ada istilah berubah agama dalam Islam," ujarnya. "Dalam Al Qur'an disebutkan tak ada paksaan dalam beragama," imbuh Sayed lagi.

Lalu? "Saya lebih suka mendeskripsikan sebagai 'seseorang telah mengenalkan saya pada Islam dan saya menuju agama itu," papar Sayed.

Ketika ditanya oleh Cengiz Kultur, sebuah proyek independen pembuatan film dokumenter tentang agama dan budaya di Jerman, mengapa ia memilih Islam, dengan mantap Sayed menjawab, "Karena pada akhirnya semuanya adalah, Islam," ujarnya menekankan pada makna kata tersebut yakni berserah diri.

Ia telah mengucapkan ikrar dengan syahadat sepuluh tahun lalu. Sejak saat itu ia rajin membaca untuk mengetahui dan mengenal lebih dalam apa makna Islam, termasuk bagi dirinya.

Islam bagi Sayed adalah menyerahkan keinginan diri di bawah kehendak Tuhan. Mengapa ia mau melakukan? "Karena dengan itu nanti saya dapat bertemu dengan Pencipta saya, saya dapat menjumpai surga. Saya berhak untuk itu dan saya kira itulah Islam menurut saya saat ini," papar Sayed ketika ditanya esensi Islam o

Sejak sepuluh tahun pula, Sayed melakukan shalat lima kali dalam sehari. "Ketika anda shalat anda absen dan istirahat dari dunia dan seluruh isinya. Anda membersihkn dan menghadap Sang Pencipta," ujarnya.

Ia mengaku tak ada strategi khusus untuk melakukan shalat lima kali dalam sehari di Jerman. "Setiap orang pasti bisa menemukan tempat untuk berwudhu, membasuh diri dan melakukan shalat," ujarnya tanpa beban.

Sayed mengaku menemukan keyakinannya setelah diskusi panjang dengan si kawan tadi dalam satu malam. "Setelah itu saya langsung menyatakan ingin pergi ke masjid bersamanya," ungkap Sayeed.

Ketika itu subuh dan seorang anak kecil tengah melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an. Tiba-tiba Sayed pun menangis. "Saya tidak tahu mengapa. Saya tidak paham bahasa Arab, saya tidak tahu apa yang ia baca, tidak tahu apa pun," kenangnya.

"Tapi hati saya jelas telah memahami sesuatu. Itu benar-benar pengalaman luar baisa," tutur Sayed. "Saya yang terbiasa dengan hidup jalanan ala gangster tiba-tiba menangis dan tidak tahu mengapa."

Kini selain ketenangan dan keteraturan hidup Sayed juga menemukan hal berharga laindalam Islam. "Ketika anda menjadi seorang Muslim, anda kehilangan teman tetapi anda mendapatkan saudara," ujarnya. Dengan segera anda menjadi anggota sebuah keluarga. Ini sesuatu yang tidak bisa saya peroleh dalam gereja-gereja di Jerman."

http://muslim-mualaf.blogspot.com/2011/01/kini-mantan-gangster-itu-merasakan.html

Tidak Pernah Terbayangkan kalau Akhirnya Menjadi Muslimah

Ia minta dipanggil Jennifer saja. Belum setahun perempuan asal La Courneuve, sebuah kawasan di utara Paris berusia 28 tahun ini masuk Islam. tepatnya, ia bersyahadat pada April tahun lalu.

Beberapa tahun yang lalu, katanya, dia tidak akan pernah membayangkan mengambil keputusan semacam ini. Jennifer, yang memilih untuk tetap menggunakan nama itu kendati telah menjadi Muslim, dibesarkan dalam keluarga Kristen KTP. Meskipun tidak pernah dibaptis, dia bilang dia selalu "percaya pada Tuhan" dan "percaya pada kekuatan doa."

Bukan asal bicara kalau soal ini. Pada pernikahan pertama, ia mengalami penganiayaan fisik oleh suaminya. "Doa-doa membantu saya untuk menjadi nyaman. Tidak terlalu banyak, lima menit sebelum tidur meminta Yesus Kristus untuk membantu. Tapi itu membantu untuk memberitahu diri sendiri bahwa ada pihak lain -- yaitu Tuhan -- yang bisa membantu," jelasnya.

Pun ketika akhirnya ia memutuskan bercerai, hidupnya tak kunjung tenang. Masalah tempat tinggal, seorang anak yang harus dihidupinya, dan kontrak kerja yang sementara selalu membayangi, di samping mantan suami yang terus merongrong. "Saya berpikir, tidak bisa melanjutkan hidup saya," katanya.

Kemudian, suatu malam di klub malam, ia bertemu dengan pria imigran asal Senegal. "Saya tidak pernah berpikir saya akan menikah seorang Muslim. Mereka adalah jenis pria yang gemar memukuli istrinya. Tapi belakangan saya sadar, prasangka saya itu jahat sekali."

Malam itu, pria Senegal itu tampak aneh di matanya. Ia tak minum, dan datang ke klab malam hanya untuk main poker. Mereka pun berteman sejak saat itu.

Dalam kesehariannya, pria itu tampak normal, katanya. "Hanya satu yang membedakan dengan yang lain, dia tak minum dan tak makan daging babi," katanya.

Meski sesekali berbicara tentang agama, dia tak pernah meminta Jennifer pindah agama. Namun satu candaannya, sangat membekas di hati Jennifer. "Suatu saat dia melihat saya berdoa, dan setelah saya selesai, dia bercanda, 'aku harap tadi kau tak sedang berdoa pada Yesus'."

Entah mengapa, ia tergelitik untuk mencari tahu tentang Islam melalui internet. Jennifer menemukan bahwa Muslim percaya kepada Yesus, tapi sebagai nabi. "Sementara dalam Alkitab, saya menemukan perbedaan antara Yesus dan Allah tampak ambigu. Islam seperti agama yang paling masuk akal pada tataran moral dan praktis," tambahnya.

Ia makin rajin mempelajari Islam. Hingga akhirnya pada bulan April, ia memiliki keberanian untuk bersyahadat, menafikan apa kata keluarga dan teman-temannya kemudian.

"Saya menjadi Muslim secara online, melalui sebuah website," ujarnya. Merasa tak puas dengan cara itu, "Akhirnya saya mendatangi masjid, dan di sana saya kembali bersyahadat."

Apa yang dirasakannya setelah menjadi Muslim? "Saya merasa sendirian," ujarnya tergelak. Maklum saja, ia belajar Islam dari internet dan buku-buku. Namun, kini ia memiliki banyak teman baru di Union des Organisations Islamiques de France (Union of Islamic Organisations of France).

Kini, Jennifer mengaku tengah belajar membaca Alquran. Sesekali, dia tampil berjilbab. ia lebih sering mengenakan pashmina untuk menutupi dada dan rambutnya. "Saya melihat gadis-gadis dengan jilbab mereka dan saya pikir mereka tampak seperti putri. Benar-benar indah," katanya.

http://muslim-mualaf.blogspot.com/2011/01/jenifer-sebelumnya-tidak-membayangkan.html

Sebelum Mendapat Hidayah, Ia Merasa Jiwanya Kosong

Dalam soal penampilan, Kai Luhr tampak paling beda. Kai yang bersujud diantara pria-pria lain bercambang yang mengenakan baju tunik putih saat menunduk ke arah Mekkah, terlihat bersih dengan wajah tercukur rapi. Ia mengenakan jins dan jaket abu-abu.

Ia mungkin lebih cocok hadir di perkumpulan Gereja di sebelah. Namun terlihat jelas, ia paham bagaimana menjalankan shalat lima waktu. Ia juga melakukan ruku dan sujud serta berdoa dalam bahasa Arab. "Allah mendengar orang-orang yang memuji-Nya", lalu sujud lagi, berdiri, ruku lagi, begitu hingga duduk tahiyat akhir dan melakukan salam.

Kai Luhr adalah seorang dokter praktek di Jerman. Ia beralih memeluk Islam bersama istrinya dua setengah tahun lalu. Sejak itu ia mengganti nama menjadi Kai Ali Rashid, sementara sang istri berganti menjadi Katrin Aisha Luhr.

Kedua pasangan itu sempat tampil dalam sebuah wawancara di televisi. Dalam wawancara Katrin Luhr mengatakan sebelum mendapat kehormatan berupa hidayah memeluk Islam, ia merasa jiwanya kosong. Ia mengaku pergi ke gereja dari waktu ke waktu namun gagal menemukan jawaban yang ia cari. Kini ia menyatakan tak pernah menemukan kegembiraan seperti ini sebelumnya, juga jawaban terhadap pertanyaan di benaknya. Ia juga menikmati setiap perubahan bermanfaat yang ia rasakan setelah memeluk Islam.

Sementara Kai Luhr mengatakan ia memiliki impresi besar dengan sifat alami logis dan rasional dari jawaban yang ia peroleh begitu ia mengenal Islam pertama kali.

Kini pria berusia 43 tahun itu secara rutin menghadiri shalat Jumat di masjid di Frechen, dekat Cologne, dimana ia berjamaah bersama dengan imigran Maroko, Palestina dan dua orang Jerman lain yang juga memeluk Islam--satu mantan petinju, seorang lain teknisi. "Anda akan bertemu dengan sedikit Muslim asli kelahiran Jerman di masjid manapun pada hari-hari sekarang," ujar Luhr,

Sebuah buku berisi studi tentang kehidupan islam di Jerman menukilkan sedikit kisah dokter Jerman tersebut. Studi itu memberi seberkas cahaya terhadap fenomena yang mungkin mengejutkan bagi orang-orang dengan stereotip negatif Islam di Jerman, di mana agama itu diasosiasikan sebagai terorisme, pernikahan paksa dan pembunuhan atas nama kehormatan.

Di Jerman, sekitar 4.000 orang beralih memeluk Islam hanya dalam satu tahun dari Juli 2004 hingga Juni 2005. Studi yang dibiayai Menteri Dalam Negeri Jerman dan dilakukan oleh Institut Muslim untuk Arsip Islam Jerman, mengungkap jumlah warga Jerman yang memeluk Islam meningkat empat kali lipat dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Sebagian besar mereka yang beralih ke Islam, melakukan atas kesadaran dan keinginan sendiri. Banyak dari mereka adalah lulusan perguruan tinggi dan warga kelas menengah, seperti Kai Luhr.

Dibaptis dan dibesarkan sebagai Kristiani, Kai mengambil jurusan kedokteran di universitan dan membuka praktek dokter umum. Ia kemudian mengambil spesialisasi dalam pengobatan naturopathik. Pendapataan Kai boleh dibilang sangat baik.

Luhr kemudian menikahi Katrin, seorang penari profesional dan mereka pun pindah ke apartemen bersama. Namun, di beberapa titik, pasangan itu menyadari ada sesuatu yang hilang. "Ketika ada orang-orang sakit kritis datang ke tempat praktek saya setelah awalnya seorang yang hebat tapi menjadi ringkih, itu membuat anda kadang merasa putus asa," tutur Luhr. Ia pun terdorong untuk lebih mendalami Kristen, Budisme dan Dalai Lama. Namun ia masih tak menemuka jawaban.

Proses beralihnya Luhr bisa dibilang hampir tipikal. Banyak orang yang beralih ke Islam awalnya penganut Kristen yang di titip tertentu mulai mengalami keraguan tentang agama mereka, demikian ujar seorang imam Berlin, Mohammed Herzog, seorang petinggi Gereja yang menjadi Muslim pada 1979.

Jumlah Muslim yang berbahasa Jerman di masjidnya juga meningkat. "Masih 10 tahun lalu, rata-rata jumlah yang beralih ke Islam setiap tahun sekitar 50 orang,--kini jumlah itu jadi dua kali lipat," ujarnya. "Hanya saja jarang sekali mereka yang memeluk Islam sebelumnya adalah atheis," ujarnya.

Seorang Kristen fundamentalis, Wohlrab-Sahr, memberi prespektif bahwa Islam membuat sesorang terlihat menonjol di antara kerumunan dalam level cukup mencolok. Terlebih Islam menjadi sorotan setelah banyak media mengulas debat-debat terhadap Muslim yang kerap terjadi. "Islam lebih terlihat sebagai alternatif yang murni," ujar Wohlrab.

Dalam buku disebutkan, mereka--kaum berpendidikan kelas menengah--yang beralih ke Islam karena keinginan sendiri cenderung mengapresiasi "aturan jernih dan jelas dalam berperilaku" yang disediakan dalam Al Qur'an. Seperti Luhr, yang saat ini selalu membawa sajadah di dalam mobil Alfa Romeo GT-nya. Apa alasan Kai Luhr? Salah satunya nilai-nilai di masyarakat Barat yang ia pandang merosot begitu parah. "Dalam Islam, nilai-nilai masih dijunjung untuk sebuah alasan," ujarnya.

Namun lucunya, sekaligus ironis, warga Jerman yang beralih cenderung menjalankan ritual ibadah lebih disiplin ketimbang yang sudah menjadi Muslim sejak Lahir. "Kadang yang terlahir Muslim lebih liberal."

Seorang kantor pengacara di Hamburg memberi contoh menarik tentang itu. Nils Bergner, berusia 36, tahun menghadap Allah lima kali sehari. Pria Jerman itu memiliki seorang kolega Turki, Ali Ozkan, yang juga Muslim. Keduanya mengunjungi masjid bersama-sama. Namun hanya di ruang kerja si pria Jerman, sajadah dibentang benar-benar 5 kali sehari. "Saya tidak bisa saja," aku Ozkan. "Shalat pertama pukul 6.00--masih terlalu pagi,"

Baru-baru ini, mereka diundang ke sebuah acara makan malam. Makanan penutup mulut yang disajikan adalah tiramisu. Bergner enggan karena ada alkohol dalam resep. "Saya bilang, oh kamu tidak mungkin serius," ujar Ozkan. "Makan saja, saya bilang. Itu hanya untuk rasa". Namun hingga akhir acara, Bergner meninggalkan meja dengan tiramisu tidak tersentuh.[republika]

Hidayah bisa datang dari mana saja dan Kapan saja

Hidayah bisa datang dari mana saja. Bagi Dia Richardson, hidayah datang saat ia menghadiri pernikahan sahabat temannya di sebuah masjid. Saat dia datang, dia mengenakan baju pesta terbaiknya, dengan potongan rok mini. "Kaki adalah aset terbaikku," ujarnya, saat sang teman, Shabazz Khadijah, mengingatkan untuk mengenakan rok panjang.

Ini adalah pertama kalinya ia berada di dalam sebuah masjid. Penghormatan dengan upacara sederhana dan doa-doa yang beresonansi di ruang berkubah, menggetarkan hatinya. Bahkan, anaknya yang biasanya tak bisa diam turut takzim menyimak. "Itu kali pertama aku ikut melafalkan - dan bisa - kalimat bismillahirrahmanirrahim," ujarnya.

Sejak itu, ia belajar tentang Islam. Namun, dia juga masih belum bisa lepas dari kehidupan lamanya. "Jika ada klub terbuka, aku pasti ada di sana," ia mengibaratkan. Ia mengakui kebenaran Islam, namun sulit untuk lepas dari masa lalunya.

Tragedi 11 September 2001 mengguncangnya, yang saat itu tengah giat-giatnya menimba ilmu Islam. Ia mulai membayangkan apa yang mungkin akan dialaminya jika menjadi pengikut Nabi Muhammad. Insiden anti-Muslim terjadi hampir di semua wilayah.

Namun, ia tersentuh menyaksikan kesabaran Shabazz. "Orang-orang menyuruhnya melepaskan jilbabnya agar dia menjadi aman, tapi dia tidak mau melakukannya," kata Richardson. "Saya melihat bagaimana disiplin dan ketenangan mereka," ujarnya. Belajar dari Shabazz, ia pun makin bertekad untuk menata hidupnya.

Hingga akhirnya, ia menyatakan ingin masuk Islam. Dia tak bisa menunggu lagi hingga keesokan harinya. Hari itu juga, saat ia masih mengenakan rok mini, Dia Rishardson minta dituntun bersyahadat. Setelah bersalin baju pinjaman, ia menyatakan diri menjadi Muslim.

***

Seperti banyak mualaf lainnya, Richardson mengalami krisis baru setelah menjadi Muslim. Ia harus kehilangan pekerjaannya dan diusir dari apartemennya di Acton karena para tetangganya tak ingin ada Muslim di sekitarnya. Namun ia sudah bertekad, tak akan mundur dan berbalik ke agama lamanya,

Salah satu dari beberapa titik terang dalam kehidupan Richardson adalah persahabatannya dengan Shabazz. Shabazz, yang menjalankan bisnis jasa penitipan anak di rumahnya di Los Angeles Tengah, telah setuju untuk mendidik Christopher, anaknya. Ia mencari pekerjaan lain, dan mendapatkannya.

Dia terharu saat menemukan buah hatinya mengkritiknya saat berdoa. Sang anak mengangkat tangannya dengan posisi tengadah dan berkata, "Beginilah cara berdoa, mama. Tangan kita seperti akan menerima berkah," ujarnya.

Richardson kini berjilbab, dan tiap hari tak pernah terlewat membaca terjemahan Alquran dalam bahasa Inggris. Ia kini berkomitmen untuk shalat wajib dengan menggunakan bahasa Arab. Menghafal diakuinya sebagai salah satu kelemahannya.[Republika]

Christina Rountree, Memeluk Islam merupakan sesuatu yang diinginkan Tuhan terhadapnya.

Saat dua pesawat menabrak gedung WTC pada 11 September silam, Christina Rountree masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Seperti sebagian besar warga Amerika lain, ia mengaku terperangah dan marah.

"Kemudian muncul di berita bahwa itu semua dilakukan oleh Muslim. Saya pun bertanya pada teman-teman Muslim saya, 'mengapa orang-orang ini berbuat atas nama Islam. Itu agama kalian bukan?"

Christina masih ingat, teman-temannya berkata, "Mereka adalah orang-orang gila. Mereka tidak mewakili Muslim. Islam adalah agama damai."

Namun ia tidak puas dengan jawaban itu. Ia pun mulai mencari tahu sendiri tentang keyakinan tersebut. Bahkan di kampus ia bergabung dengan Asosiasi Mahasiswa Muslim.

Saat mencari tahu itulah mata Christina mulai terbuka. Selama ini rupanya Christina juga tengah mencoba menentukan seperti apa kehidupannya kelak dan ia melihat bahwa informasi tentang Islam selama ini adalah salah.

Ia pun memutuskan untuk membantu warga non Muslim di Amerika untuk memahami Islam. "Mereka mendapat informasi salah dan itu mengkhawatirkan," ungkap Christina. "Saya seorang Afro-Amerika, jadi saya tahu betul rasanya dihakimi karena tampilan anda,"

Namun awalnya Christina juga ragu bila orang-orang akan mendengarkannya. Ia pun membagi keraguan itu kepada temannya, seorang Muslim.

Sang teman berkata padanya. "Well, Christina, apakah tidak lebih keren dengan memberi contoh bagaimana seorang Muslim seharusnya, dan tidak menghabiskan waktu dengan berbicara apa yang bukan Muslim.

Saat mendengar itu, Christina merasa menemukan tombol 'klik. "Entah mengapa saya merinding mendengar itu dan saya terharu. Itu momen yang sangat emosional."

Ia pun kian dalam mempelajari Islam. Hingga akhirnya ia menyatakan meyakini kebenaran Rasul Muhammad dan semua kebaikkan yang ia lakukan. Ia menyukai gagasan terstruktur yang ditawarkan Islam dan juga fakta yang ia jumpai bahwa Al Qur'an menjawab semua yang ia butuhkan.

Pada 17 November 2006, Christina menyatakan keislamannya. Ia berikrar dengan mengucapkan syahadat, bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah.

Ia merasa memeluk Islam merupakan sesuatu yang diinginkan Tuhan terhadapnya. Meski, ia mengaku, itu bukan sesuatu yang diinginkan oleh ibunya.

"Ibu saya sungguh gusar, ia mengira saya melakukan ini demi seorang laki-laki, karena selama ini saya selalu dekat dengan para pria dengan tampila Timur Tengah atau Indian," tutur Christina.

"Padahal saat itu saya tidak memiliki satu teman dekat lelaki satu pun. Jadi ia tidak bisa menggunakan kartunya," katanya. Sementara sang ayah cenderung menghormati keputusannya. "Ayah berkata, lakukan apa yang membuatmu bahagia. Lakukan apa pun yang membuat kamu berpikir telah menemukan Tuhan,"

Christina mengatakan ibunya justru kini kian dekat denganya sejak ia memeluk Islam. Bahkan ibunya juga kerap ikut saat ia pergi ke masjid.

Menjadi Muslim ia pun mengalami masa sulit dan menyakitkan. Salah satunya ketika terjdi upaya pengeboman pada sebuah maskapai di Detroit saat Hari Natal yang berhasil digagalkan. Ia menilai itu kemunduran besar bagi Muslim di mana pun.

"Bukan lagi sekedar dua langkah, itu seperti ribuan langkah mundur," ujar Christina. "Pasalnya kami baru sampai pada titik di mana anda dapat berbicara tentang Islam dalam aura positif dan bukan dianggap pengkhianat ketika anda melakukan itu."

Sebuah pengalaman dalam penerbangan kian memperburuk perasaan Christina. Tak lama setelah upaya serangan oleh seorang Muslim Nigeria, ia berada dalam sebuah pesawat yang hendak lepas landas, ketika seseorang di sebelahnya mengajak berbicara tentang topik tersebut

"Ia dan juga pilot berulang kali mengatakan, 'Para Muslim tidak seharusnya di Amerika. Saya harap mereka semua mati'. Mereka terus mengatakan itu dan itu lagi," kenang Christina.

Saat itu ia langsung paham, bahwa itulah pandangan tentang Muslim yang mungkin dimiliki mayoritas warga AS. Christina pun berharap dapat menjadi penangkal pandangan itu dengan menjadi contoh nyata.

Namun ia mengakui saat itu ia memilih diam dan tidak mengatakan bahwa ia sebenarnya seorang Muslim. Ia merasa terlalu dibebani oleh obrolan tersebut.

Pengalaman itu tak membuat ia kehilangan harapan bahwa suatu saat Amerika akan melakukan seperti yang ia lakukan, mempelajari sendiri bagaimana Islam sesungguhnya.

"Padahal warga Amerika cenderung cepat bertanya tentang segala sesuatu," ujarnya. "Anehnya tidak untuk ini (Islam-red)."

Christina menyatakan ia pun masih harus belajar banyak tentang keyakinan barunya. Saat ini ia memang tidak berjilbab karena itu bukan yang ia peroleh pertama kali. Namun ia berharap dan berdoa suatu saat ia akan mengenakan.[Republika]

Kisah Empat Remaja Inggris Menemukan 'Kehidupan' Dalam Islam

Hasil survei terbaru dari Faith Matters menyatakan penyebaran Islam di Inggris lebih cepat ketimbang di negara Eropa lainnya. Per tahun, diperkirakan ada sekitar 5.000 mualaf baru di Inggris, sementara di Jerman dan Prancis jumlah mualaf per tahunnya sekitar 4.000 orang.

Peneliti dari Faith Matters menyurvei tiap masjid yang ada di London. Hasilnya, untuk Kota London saja, selama 2010 ada 1.400 mualaf baru. Ini belum termasuk data dari kota-kota di seluruh Inggris Raya.

Direktur Faith Matters, Fiyaz Mughal, mengatakan maraknya Islam di Inggris dipicu karena tingginya sorotan publik atas umat Muslim. "Warga ingin tahu apa sebenarnya Islam. Dan ketika mereka sudah tahu, sebagian kecil ada yang menjadi mualaf. Mereka menemukan kedamaian dalam Islam," katanya.

Simak pernyataan Hana Tajima (23 tahun) yang bekerja sebagai perancang busana. "Awalnya aku memiliki beberapa teman Muslim saat kuliah. Saat itu aneh saja. Mereka jarang keluar malam, ke klub atau nongkrong," katanya.

"Dan ketika aku mengambil mata kuliah filsafat, aku mulai bingung dengan makna hidupku. Padahal saat itu aku cukup terkenal di kampus. Aku sudah merasa cukup. Tapi aku bertanya, betulkah ini kehidupan yang aku inginkan?" kata Tajima, panjang lebar.

"Lalu aku membaca literatur tentang Islam dan perempuan. Anehnya, ternyata mereka sangat relevan. Semakin banyak aku membaca, semakin yakin aku terhadap Islam," katanya.

Lain lagi dengan pengalaman Denise Horsley (26) yang bekerja sebagai guru menari. Ia kenal Islam lewat pacarnya. "Saat itu banyak orang bertanya apakah aku menjadi mualaf karena pacaran? Aku jawab tidak! Aku menemukan Islam. Aku tumbuh sebagai penganut Kristen," katanya.

Horsley kini mengenakan jilbab. Ia mengatakan, jilbab adalah konsep penting dalam Islam. "Kerudung ini bukan sekedar pakaian atau tren. Mengenakan jilbab justru menyatakan kejujuran atas diri sendiri dan apa yang akan kau lakukan," katanya.

"Sebenarnya sih, aku masih orang yang sama dengan yang sebelumnya. Cuma aku tidak minum-minuman keras, makan babi, dan sekarang aku shalat lima kali sehari," katanya.

Pengalaman Dawud Beale (23) lebih unik. Sebelumnya, ia adalah pemuda rasis yang menyepelekan Islam. "Lalu aku berlibur ke Maroko. Di situ pertama kali aku berkenalan dengan Islam. Aku akui sebelumnya aku penganut rasis. Tapi sepekan usai pulang dari Maroko, aku memutuskan memeluk Islam," katanya.

Beale bermukim di Somerset. Ketika ia baru-baru menjadi mualaf, sangat sukar menemukan masjid di Somerset, yang memang tidak ada. Ia lalu bertemu dengan rekan-rekan dari Hizb-ut Tahrir, gerakan politik Islam. "Ternyata banyak yang media barat katakan tentang Islam salah," katanya.

"Aku yakin sudah menemukan jalan hidup yang tepat dalam Islam," katanya lagi.

Sementara Paul Martin (27) mengatakan ia menikmati gaya hidup sebagai muslim. "Awalnya aku berkenalan dengan Islam setelah mengamati gaya hidup teman-teman Muslim. Mereka tampak menikmati betul hidup, tidak merusak tubuhnya. Setelah itu, aku mendalami Alquran," katanya.

Seorang teman Martin lantas mengenalkannya ke seorang tokoh Islam yang berprofesi sebagai dokter. Martin banyak berkonsultasi tentang Islam dengannya. Mereka mengobrolkan Islam di kafe. "Saya mengucapkan dua kalimat syahadat saya di kafe," kata Martin. "Saya tahu banyak yang mengucapkan dua kalimat syahadat di masjid, tapi bagi saya, Islam bukan sekedar tempat di mana kau percaya pada Allah SWT. Islam adalah tempat di hatimu," katanya. [telegraph/republika/faith-matters]

Temukan “Jesus” Dalam Al-Qur’an, Akhirnya Dia Pilih Islam

Abdulhadi, 23 tahun, dibesarkan dalam ajaran Katholik. Orangtuanya berdarah Polandia, negara di mana menurut penuturannya, Katholik adalah agama utama dan ajarannya menjadi praktek hidup keseharian warganya.

“Saya diajari berdoa sejak kecil dan dibaptis dalam gereja,” tuturnya. “Saat itu sangat menyenangkan,” aku Abdulhadi.

Namun ketika menginjak masa remaja, ia merasa agama tak ada lagi berarti. “Nol, saya juga meragukan semua eksistensi,” ungkap Abdulhadi.

Ia gelisah. Banyak pertanyaan muncul di benaknya, seperti dari mana ia berasal dan mengapa ia hidup. “Tapi saya tidak menemukan jawaban.” ujarnya.

Saat pencarian itu ia mengaku mengalami kondisi sulit yang ia analogikan sebagai tamparan keras. “Tiga hingga empat kali saya ditampar dan itu sangat menyakitkan,” tuturnya tanpa mau menceritakan detail kisah sulitnya.

Saat kian gelisah ia bertemu seorang teman. Temannya bergama Islam. “Ia tak mengatakan apa-apa pada saya, hanya mengajak saya untuk menjauhi keburukan,” ungkapnya.

Ajakan itu ia pandang masuk akal. Saat mulai hidup teratur ia kembali tenang, ketika itu pulalah Abdulhadi mengingat Tuhan lagi.

Selama ini ia selalu menyimpan sebuah injil di rak buku. Mengetahui itu teman Muslimnya tadi berkata, “Kalau kamu punya injil seharusnya kamu punya Al Qur’an pula.”

Terganggu dengan ucapan itu Abdulhadi pun terdorong untuk mempelajari injil yang ia miliki. “Terus terang saya berkata pada diri sendiri bahwa kalau saya harusnya menyelidiki dan mempelajari agama saya dulu pertama kali,” ungkapnya.

Ketika ia selesai membaca injil ia pun mulai membandingkan kitab tersebut dengan Al Qur’an. Dalam proses itu ia menemukan Jesus sebagai jembatan, karena ternyata Jesus pun disebut dalam kitab suci Agama Islam itu, sebagai Isa.

“Itulah yang mendorong saya untuk tahu lebih lanjut,” ujarnya. Abdulhadi pun mulai membaca setiap kalimat dalam Al Qur’an.

Saat membaca ia merasa heran sekaligus takjub. “Buku ini luar biasa saya sungguh tidak menemukan keraguan terhadap satu pun kalimat di dalamnya,” ujarnya.

“Ketika kita membaca buku lain, filsafat, saya masih menemukan ada sesuatu yang meragukan, tapi tidak di Al Qur’an” kata Abdulhadi. “Ini sungguh kitab kebenaran.”

Saat timbul pemikiran itu ia pun membisikkan harapan ke dalam benaknya ingin menjadi seorang Muslim. “Benar-benar karena membaca Al Qur’an tak ada penyebab utama lain, namun keinginan hati saya begitu kuat untuk memeluk Islam.”

Abdulhadi memeluk Islam pada 2005 lalu. Ia mengaku telah menjalani Ramadhannya yang ke-7.

“Saya kira setiap orang harus mempelajari benar-benar agama yang mereka anut,” ujarnya. Ucapan Abdulhadi mengacu pada teman-teman Muslim lain yang ia jumpai banyak pula yang tak melaksankan ajaran dan beribadah sesuai perintah agama.

“Ini mengingatkan saya ketika remaja dulu. Sebagai pemeluk Katholik saya pun tak jarang beribadah.” ujarnya.

Abdulhadi memandang setiap orang pada intinya memiliki kecenderungan jiwa yang sama, baik ia menganut Hindu, Budha atau agama Nasrani. “Mereka pasti memiliki pertanyaan mendasar, mengapa kita diciptakan di muka bumi,” kata Abdulhadi.

“Resepnya sederhana saja, carilah dan mulailah dari keyakinan yang kita peluk. Pada akhirnya perilaku kita pun akan berubah,’ ujarnya.

Ia juga menekankan bagi mereka yang mencoba mencari jawaban dalam hidup agar tidak menutup diri dari mempelajari keyakinan lain.

“Seperti yang telah saya lakukan. Siapa yang mencari pasti akan menemukan jawabannya. Nanti kita akan dituntun untuk menemukan bahwa Islam adalah agama yang mampu menjawab semua pertanyaan.” ujarnya penuh keyakinan. (Republika.co.id)

Read more: wisben.com on blogger: Temukan “Jesus” Dalam Al-Qur’an, Akhirnya Dia Pilih Islam