Minggu, 03 Oktober 2010

Pendeta Juga Bisa Masuk Islam

Bapak Ragil, begitulah orang memanggilnya. Nama lengkap beliau adalah Agustinus Sri Urip Ragil Wibowo, dilahirkan di Purworejo 12 Maret 1966 dari keluarga pendeta, sedangkan isterinya Ana Maria Dalena dari keluarga pastur. Tak heran jika mereka sangat fanatik terhadap ajaran Kristen yang dianutnya. Kegigihannya dalam menjalankan misi kristenisasi tidak perlu diragukan lagi, sebab beratus-ratus bahkan beribu-ribu orang Islam pernah dimurtadkannya. Lelaki yang pernah mengikuti pendidikan di Missionairy Training Centre di Jepang dan Jerman ini menceritakan pengalamannya hingga ia mantap memeluk Islam sebagai agamanya.

KALAH BERDEBAT

Pengalaman ini berawal saat saya menjalankan misi kristenisasi yang berkedok program Kesejahteraan Masyarakat pada tahun 1978 dibawah pimpinan seorang tokoh Kristen terkenal di Yogyakarta yang belum lama meninggal (nama dirahasiakan oleh Hidayah). Walau program ini seringkali tersendat karena persoalan dana sehingga terhenti untuk beberapa saat, namun pada tahun 1988-1989 program ini dimulai kembali dan saya terlibat penuh didalamnya. Namun sekali lagi program yang sarat dengan misi kristenisasi ini pun harus gulung tikar untuk sementara waktu karena alasan yang sama. Sampai akhirnya pada tahun 1993-1995 program ini hidup kembali setelah pengelolaannya diserahkan oleh tokoh tersebut kepada saya.

Dibawah komando saya, program ini terbilang sangat sukses, banyak orang Islam yang telah kami murtadkan dengan iming-iming bantuan sosial. Hingga pada saat kami menjalankan program dengan nama Income Generating Project di kecamatan Panggang dan kecamatan Rongkop, saya mendapatkan sepucuk surat dari dari salah seorang tokoh dan pemuka agama Islam setempat yang bernama Bapak Drs. Jalal Muhsin. Didalam surat tersebut diungkapkan, bahwa kami dipersilahkan untuk membantu masyarakat miskin jika benar misi yang kami jalankan itu murni misi sosial, sedangkan Bapak Jalal Muhsin sendiri akan menggarap bidang akidah sesuai dengan yang dianut oleh masyarakat setempat yaitu Aqidah Islamiyah.

Surat yang berisi teguran halus ini saya tanggapi serius dengan meminta waktu untuk bertemu Bapak Jalal guna berdialog seputar akidah masing-masing. Akhirnya pada tanggal 23 Mei 1993 dialog pun dimulai disebuah rumah milik warga setempat. Dialog berlangsung selama tiga bulan yang mengupas seputar kebenaran al-Kitab, ajaran trinitas dan masalah-masalah ketuhanan, namun kami belum menemukan titik temu.

Karena tidak adanya titik temu inilah, akhirnya kami berdua membuat surat perjanjian yang berisi komitmen bersama, bahwa siapapun yang kalah dalam perdebatan, harus rela meninggalkan keyakinan agamanya dan masuk mengikuti agama yang memenangkan perdebatan. Perdebatan demi perdebatan telah kami lalui hingga pada akhirnya saya mengaku kalah. Menurut saya, apa yang diungkapkan oleh Bapak Jalal Mukhsin ini ternyata semua ada dalam al-Kitab. Setelah mengaku kalah dalam berdebat, saya pun akhirnya masuk Islam. Ikrar syahadat saya lakukan di KUA-Menteri Jeron Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 29 November 1993 dan dipimpin langsung oleh Bapak Jalal Mukhsin.

MENGHADAPI BADAI UJIAN

Setelah masuk Islam, saya mengganti nama menjadi Muhammad Abdullah Syahid. Konsekwensi dari keputusan saya ini, saya harus rela dibenci oleh keluarga dan jemaat saya, diputus hubungan keluarga, diusir dari rumah dan digugat cerai oleh sang isteri tercinta. Ancaman fisik dan teror gelap pun sering berdatangan menghiasi hari-hari baru saya. Untuk menyelamatkan akidah dan jiwa saya, saya harus rela hijrah ke Sumatera selatan pada akhir tahun 1993 dengan meninggalkan isteri dan anak-anak saya. Untuk biaya hijrah ke Sumsel, saya menjual gereja yang saya dirikan di Jl. Wates km 9 Yogyakarta kepada Bapak Jalal Mukhsin dengan harga satu juta untuk saat itu.

Di Sumatera saya tinggal di rumah seorang Kepala Desa Karang Agung Simpang Sumatera Selatan dan menjadi bujangan (karyawan) Pak Lurah untuk mengurus kebun dan lainnya. Kemudian saya dipercaya untuk menjadi Sekretaris Desa (Sekdes) dan diresmikan di hadapan masyarakat setempat menjadi adik angkat Bapak Kepala Dusun (Kadus). Selama berada di Sumatera Selatan (1993-1998) saya banyak aktif diberbagai ormas dan lembaga kemasyarakatan seperti aktif di HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) sebagai pembina Kuntum HKTI untuk wilayah Sumsel, menjadi ketua LKMD dan kepala sekolah SMEA persiapan AMPI.

Namun karena kerinduan kepada anak-anak dan isteri, saya memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta pada tahun 1998. Saya mencoba mengajak isteri tercinta untuk masuk Islam, tetapi keinginan itu belum membuahkan hasil, karena untuk bertemu isteri dan anak-anak saja dibatasi, semua dijadwal oleh pihak gereja. Dengan usaha yang ulet akhirnya isteri saya memutuskan untuk ikut masuk Islam pada tanggal 23 Maret 1998. Hal itu dilakukan semata-mata demi masa depan anak-anak. Karena jika isteri menolak untuk masuk Islam, maka anak-anak akan saya bawa ke Sumatera.

Karena ketahuan masuk Islam, saya beserta isteri dan anak-anak diusir dari rumah mertua pada jam sepuluh malam disaat hujan turun. Kami pergi tanpa arah dan tujuan yang pasti, sampai akhirnya kami menemukan bekas warung yang berdindingkan gedhek (pagar bambu) yang bocor dan sangat kumuh di Jl. Wates km. 9 diwilayah dimana saya mendirikan gereja. Karena keadaan yang sangat mengenaskan ini, anak dan isteri saya sering menangis meratapi kepedihan hidup yang kami hadapi demi mempertahankan keimanan. Padahal pada saat saya dan isteri aktif menjadi pendeta dan misionaris, kami sangat bahagia dengan fasilitas dan gaji masing-masing yang tidak kurang dari 15 juta perbulannya. Namun kini semua berbalik 180 derajat. Bahkan pakaian yang kami miliki sudah tidak layak dipakai lagi karena jamuran terkena hujan akibat rumah gedhek yang bocor.

MEMULAI HIDUP BARU

Cobaan demi cobaan datang silih berganti, mungkin inilah sebagai ujian keimanan seperti yang dijelaskan oleh Allah swt. Setelah mendapatkan tempat bernaung yang sangat kumuh, saya menjual sepeda motor tua untuk membeli alat-alat dapur dan mesin jahit untuk isteri. Karena mencari pekerjaan sangat susah, maka saya rela menjadi penjaga gudang, sesuatu yang tak pernah terbayangkan dibenak saya. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan kondisi saat saya masih aktif menjadi pendeta dengan fasilitas dan gaji yang besar. Namun semuanya saya jalankan demi mendapatkan nafkah buat anak dan isteri.

Tetapi alangkah bersyukurnya saya ketika Bapak Sukadiono, Kepala sekolah SD Muhammadiyah 3, dan Bapak Ikhwan Ahada salah seorang guru disana membantu meringankan beban kami dengan menyekolahkan kedua puteri saya disekolah tersebut tanpa dipungut biaya sepeserpun. Untuk mencari tambahan nafkah buat keluarga, dengan kemampuan yang saya miliki, saya mencoba ikut lomba cipta lagu yang diselenggarakan oleh BP7 yang bekerja sama dengan para musisi Yogyakarta. Pada lomba ini saya mendapatkan juara I dan berhak memperoleh hadiah Rp. 2.500.000. Hadiah sebesar itu saya bagi dua dengan pembuat aransemennya. Usaha yang sama juga saya ikuti pada saat lomba cipta lagu untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke 44 di Jakarta, dan alhamdulillah saya dapat meraih juara I dan berhak mendapatkan hadiah 3 juta rupiah. Namun karena kebutuhan hidup yang kian mendesak, sementara untuk makan saja masih susah, maka pada tahun 1999 saya membuka usaha ternak ayam potong untuk dijual.

RAJIN BERDAKWAH

Sekalipun telah masuk Islam, saya belum tahu apa itu Islam yang sesungguhnya. Sebab saya menyadari bahwa saya masuk Islam karena kalah berdebat, sehingga saya sering bertanya tentang apa itu Islam. Sampai akhirnya saya bertemu dengan seorang pendeta senior Bapak Rudi, rekan saya pada saat sama-sama aktif di gereja yang telah terlebih dahulu masuk Islam. Mantan pendeta Rudi mengamanatkan kepada saya agar melanjutkan misi dakwahnya, sebab kata beliau, sisa umurnya tinggal tiga persen lagi. Ternyata benar, tiga minggu setelah pertemuan kami itu Bapak Rudi pun meninggal dunia. Untuk merealisasikan amanat tersebut, saya mendirikan Lembaga Dakwah Mualaf (YAKIN). Program yang saya jalankan adalah dakwah door to door, menerbitkan buletin untuk disebarluaskan kepada teman dan mantan jemaat termasuk juga keluarga saya dan isteri. Bahkan dari dakwah ini kami berhasil menarik kembali masyarakat (satu dusun) di desa Purworejo yang dahulu saya murtadkan untuk kembali ke pangkuan Islam. Disamping itu banyak juga para pendeta yang masuk Islam termasuk juga beberapa majelis gereja.

Saat ini saya sering pulang pergi Jakarta-Yogyakarta karena saya memiliki kesibukan di dua wilayah ini. Di yogyakarta saya memiliki anak dan isteri, menjadi pengurus ranting Muhammadiyah, sekjen Putra Ka'bah dan Kepala Biro Litbang DPW PPP, pengurus PDHI, disamping juga disibukkan sebagai penulis buku. Diantaranya adalah: Benarkah Yesus Disalib, Muhammad dalam Taurat dan Injil, Membongkar Strategi Kristenisasi di Indonesia dan Hanya orang-orang kafir yang menyebut Yesus itu Tuhan (wacana Press).

Kisah selanjutnya dapat dibaca di majalah Hidayah edisi Juni 2004.

sumber : http://www.wattpad.com/98507-pendeta-juga-masuk-islam

http://myquran.com/forum/showthread.php/595-Kisah2-Mualaf-ed.-II/page2

Prof Hassan Ko Nakata (Cendekiawan Jepang)

Namanya mencuat di Indonesia ketika ada Konferensi Khilafah Internasional (KKI) di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Agustus 2007. Ia adalah salah satu pembicara kegiatan akbar yang menghentak dunia pada saat itu. Sebelumnya kaum Muslim di Indonesia tak banyak tahu ada seorang cendekiawan Jepang yang begitu besar perhatiannya terhadap dakwah Islam.

Prof. Hassan Ko Nakata (49) adalah satu dari sedikit kaum intelektual di negeri matahari terbit yang tertarik pada Islam. Ia mengaku masuk Islam pada tahun 1983. Itu pun dilakukannya setelah 15 tahun mempelajari Islam. Cukup lama untuk sebuah keputusan yang buat kebanyakan orang di Indonesia adalah hal biasa, tapi tidak untuk orang Jepang karena agama bagi orang Jepang sudah out of mind (berada di luar semesta pemikiran). Kebanyakan orang Jepang tak lagi memerhatikan agama.

Presiden Asosiasi Muslim Jepang ini masuk Islam ketika menjadi mahasiswa di tahun ketiga di Fakultas Studi Islam di Tokyo University. Sebelumnya ia sangat familiar dengan agama Kristen. Tak heran ketika awal kuliah di Tokyo University, ia mengikuti kelompok kajian Bibel. Di situlah ada kajian tentang perbandingan agama.

Di sana ada perbandingan agama Kristen, Yahudi, Shinto, Budha, dan Islam. Ketika menimbang dan membanding selama sekitar setahun ia merasa ajaran Islamlah yang paling menyeluruh. “Saya menemukan bahwa Islamlah sistem hidup yang paling komprehensif, paling rasional dan konsisten, dan akhirnya atas rahmat Allah SWT saya memutuskan untuk masuk Islam,” tuturnya. Ia pun menambahkan Hassan di depan nama aslinya. Ia pernah mendalami tarekat Naqshabandiyah dan Syaziliah. “Namun saya bukan murid yang baik,” ujarnya.

Usai bergelar sarjana, Hassan ingin lebih memperdalam Islam. Namun belum ada program master Kajian Islam di universitas Jepang. Buku-buku Islam berhuruf kanji pun masih sulit didapat. Untunglah tak lama kemudian Universitas Tokyo membuka program master Kajian Islam. ”Saya menjadi mahasiswa Muslim pertama dan terakhir di jurusan Islamic Studies Universitas Tokyo selama 25 tahun ini,” ujar Profesor ini.

Setelah menyelesaikan masternya di Tokyo University, ia melanjutkan studi doktornya di Universitas Kairo. Disertasianya tentang Pemikiran Politik Ibn Taymiyah (al-Fikratu al-Siyasatu ‘inda Ibni Taymiya). Dalam disertasi itu ia menjelaskan keunikan pemikiran politik Ibnu Taymiyah dalam sejarah pemikiran politik dan pengaruhnya terhadap gerakan politik kontemporer, termasuk terhadap Hizbut Tahrir. Setelah lulus doktor, Hassan sempat menjadi peneliti Kedutaan Jepang di Saudi Arabia (1992-1995). Tak heran ia sangat fasih berbahasa Arab.

Kiprahnya dalam dakwah di Negeri Sakura ini tergolong menonjol. Karakteristik orang Jepang sekarang cuek terhadap agama memacunya mencari jalan untuk bisa mendakwahkan Islam. Terlebih lagi sangat sedikit dai yang berkualitas.
Satu-satunya jalan terbaik untuk menyebarkan Islam di Jepang, menurutnya, adalah melalui pengaruh personal dari pelaku dakwah yang memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang Islam dengan kepribadian yang baik serta memahami budaya Jepang.

Ia bersama minoritas Muslim Jepang melakukan berbagai upaya, di antaranya menerjemahkan sejumlah kitab klasik seperti Tafsir al-Jalalain, al-Siyasah al-Syar’iyyah of Ibn Taimiyyah, dan Zad al-Mustaqni’ al-Hujawi al-Hanbali, juga menerbitkan majalah bulanan yang disebarkan secara cuma-cuma kepada seluruh Muslim Jepang di seluruh dunia sebagai media informasi dan komunikasi.

Hassan Ko Nakata kini menjadi Presiden Asosiasi Muslim Jepang sembari mengajar Kajian Islam di Universitas Doshisha, Kyoto. Mayoritas mahasiswanya justru beragama Kristen. Selama empat tahun menjadi Guru Besar di Doshisha, Hassan berhasil memikat empat mahasiswanya yang semula atheis untuk masuk Islam.

Kontak dengan Hizbut Tahrir

Banyak orang mengira bahwa profesor ini adalah anggota Hizbut Tahrir (HT) sebab pandangan-pandangannya tentang Islam mempunyai kesamaan dengan pemikiran HT. Ternyata ia memang memiliki kontak dengan anggota HT.

Kontak itu terjadi ketika ia mengunjungi Arab Saudi. Ia bertemu dengan syabab HT di negeri itu. Syabab ini seorang dokter dan kini tinggal di Kanada. Dari dokter inilah ia mengetahui banyak soal pemikiran-pemikiran HT tentang keharusan menegakkan Khilafah.

Ia mengaku sangat terkesan dengan pertemuan itu. Menurutnya, Hizbut Tahrir adalah satu-satunya gerakan politik Islam yang memiliki teori politik yang konsisten dan terintegrasi yang disusun berdasarkan pemahaman yang mendalam terhadap syariah dan realitas Dunia Islam kontemporer.

“Saya tidak yakin bahwa kita, umat Islam, dapat menegakkan kembali Khilafah hanya dengan usaha kita semata. Tapi saya percaya bahwa satu-satunya jalan untuk menegakkan kembali Khilafah, di luar adanya keajaiban dari Allah, adalah melalui usaha dengan metodologi yang berdasar pada pemikiran politik Hizbut Tahrir. Hanya, pemikiran itu memerlukan pengembangan dan penyesuaian sesuai dengan perubahan-perubahan kontemporer yang terjadi di dunia,” kata Profesor Hassan.

Ketika berbicara di hadapan 100 ribu orang yang memadati Stadion Utama Gelora Bung Karno Agustus 2007, ia mengatakan, “Dalam konteks dunia Islam kontemporer, hanya Hizbut Tahrirlah yang bisa dikatakan sebagai “gerakan politik Islam” yang memperjuangkan terealisasinya Khilafah yang merupakan panggilan universal; tidak hanya untuk umat Islam, tetapi lebih dari itu.”

Ia mengatakan bahwa Khilafah tidak hanya dapat diterima oleh komunitas non Muslim, namun juga sangat diinginkan oleh mereka yang percaya kepada kesetaraan, keadilan, kebebasan dan kemanusiaan. Alasannya, sistem Khilafah memiliki pemerintahan “membumi” atau “bersifat keduniaan” yang menjamin otonomi komunitas beragama dalam konteks sosial yang sangat beragam. Sistem Khilafah ini juga berfungsi sebagai sarana pembebasan untuk mengentaskan sistem negara bangsa yang eksplotitatif yang memenjarakan dalam penjara “negara bangsa”.
Ia menyebutkan dua peran ganda Hizbut Tahrir, yakni mencerahkan umat Islam akan kewajiban mereka dalam mendirikan kembali Khilafah sesuai dengan hukum syariah dan menjelaskan misi Islam universal dari sistem Khilafah kepada dunia Barat dengan sudut pandang ilmu sosial negara Barat.

Dalam konteks itu, ia menyimpulkan bahwa Indonesia merupakan tempat terbaik untuk menjalankan misi Islam ini karena kondisinya yang tidak ditemukan di negeri Muslim lainnya.(mediaumat.com)

http://myquran.com/forum/showthread.php/595-Kisah2-Mualaf-ed.-II/page2

Wenseslaus : Iman Kepada Muhammad Sekaligus Isa

Ada kerugian ganda bila aku tetap dalam Katolik yaitu tidak beriman kepada Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir dan setiap hari aku berarti mengkhianati ajaran Yesus.



Aku lahir di Kotamobagu Manado pada 1949. Nama baptisku Wenseslaus. Ibuku Muslim. Walau ayahku non Muslim, tapi beliau masuk Islam ketika menikahi ibuku. Berarti aku lahir sebagai seorang Muslim. Karena pada waktu itu orang tuaku beranggapan semua agama benar, semua agama sama.

Kami delapan orang bersaudara. Semuanya disekolahkan di sekolah Katolik. Menurut orang tua saat itu, bilamana kami telah dewasa, kami dipersilahkan untuk memilih agama apa. Nah pengaruh sekolah itulah membuat kami semua beragama Katolik.

Keluarga Sakinah

Karena kesulitan ekonomi, pada 1976 aku hijrah, mengadu nasib ke Jakarta. Kemudian aku berkenalan dengan Waruba Yarub dalam rangka hubungan bisnis. Aku menempati salah satu kamar rumahnya. Namun Waruba dan keluarganya berbeda dengan kebanyakan Muslim yang kukenal.

Aku sering memperhatikan mereka dari kamarku. Waruba dan keluarganya selalu berusaha hidup dengan cara Islam. Kerap kali aku memergoki mereka shalat berjamaah. Waruba seringkali mengajari anak-anaknya tentang Islam.

Karena setiap hari aku berada di lingkungan keluarga yang Islami, dari situlah aku rasakan adanya sentuhan-sentuhan hati.

Selama empat tahun hubungan bisnis kami. Empat tahun pula aku bergaul dan berada dalam lingkungan keluarga sakinah itu. Mereka tidak pernah sekalipun memaksa aku untuk masuk Islam.

Namun mereka selalu menjawab pertanyaan yang aku ajukan. Bersama mereka, aku merasakan bahwa kehidupan beragama dalam Islam ternyata jauh lebih harmonis. Namun sebaliknya, di waktu yang sama pula aku mulai merasa ada sesuatu yang tak beres dalam hal keimananku.

Akupun kebingungan ketika ditanya oleh Namila, adik perempuan Waruba yang kuliah di IAIN Jakarta: “Mengapa Tuhan ada tiga?.”

Aku hanya menjawab, itu sebagai rahasia Tuhan, otak kita terlalu kecil untuk memikirkan hal itu.” Waruba dan Namila menjelaskan Tuhan itu Esa dan sangat memuaskanku. Akupun buka kartu kepadanya karena di Kristen tidak terbiasa menanyakan masalah itu lebih detail kepada pastur.

Kami hanya disuruh hanya mengimaninya begitu saja tanpa harus tahu mengapa begitu, itulah yang disebut dogma.

Dari mereka aku merasakan kebenaran Islam, sebab dalam agama sebelumnya, masalah akidah dan akhlak tidak secara khusus di ajarkan, apalagi soal halal dan haram. Justru dalam Islam soal akidah dan akhlak sangat diutamakan.

Dijelaskannya kepadaku bahwa tiada Tuhan selain Allah, Allahlah tempat bergantung segala sesuatu, Allah tidak memiliki anak dan tiada diperanakkan. Oleh karena itu Yesus bukanlah Tuhan itu sendiri, bukan pula anak Tuhan.

Akupun dilarang curang dalam menimbang karena itu perbuatan dosa. He..he..he..sebelumnya aku suka curang dalam timbangan. Tapi sejak saat itu aku tidak lagi. Aku selalu dibimbing untuk selalu berbuat jujur oleh Waruba.

Sementara ajaran “kasih” yang sering didengungkan dan paling diutamakan dalam Kristen, tidak aku dapatkan. Tetapi di keluarga yang baru aku kenal di Jakarta ini seperti saudaraku saja, ,mereka penuh perhatian.

Keluarga teman-teman Kristen lainnya yang saat itu hidup dalam ekonomi pas-pasan di Manado, tidak pernah sekalipun diperhatikan dan dibantu oleh teman-teman sesama agama maupun dari pastur.

Keuntungan ganda

Selama empat tahun itu, Waruba mempersilahkan aku mendalami ajaran Islam dan membandingkannya sendiri dengan apa yang aku baca dalam Alkitab (Bible). Akhirnya aku temukan, sesungguhnya Yesus bukan Tuhan tetapi hanyalah hamba dan utusan Allah SWT.

Ternyata bila umat Islam benar-benar mengamalkan Al Qur’an berarti Umat Islamlah yang mengamalkan ajaran kasih sayang dan Umat Islamlah pengikut Yesus dalam arti yang sesungguhnya.

Aku berkesimpulan bahwa dengan memeluk agama Islam, aku mendapat keuntungan ganda, yaitu menjadi pengikut Nabi Muhammad sekaligus tidak meninggalkan Yesus adalah Nabi Isa yang sangat diimani dan dihormati oleh setiap Muslim.

Sementara jika aku tetap dalam Katolik, ada kerugian ganda yaitu tidak beriman kepada Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir dan setiap hari aku berarti mengkhianati ajaran Yesus.

Karena ternyata sebagian besar ajaran Kristen, baik Katolik maupun Protestan bukan ajaran Yesus tapi ajaran Paulus.

Dari pergaulan dengan keluarga sakinah itulah awal mula aku mendapatkan hidayah dari Allah SWT karena dapat mengenal Islam lebih dekat dan berdiskusi dengan orang yang tepat sehingga aku meyakini bahwa hanya Islamlah sebagai jalan hidup yang benar.

Dalam Islam aku menemukan kedamaian, ketenangan dan cinta kasih antar sesama. Artinya ajaran “kasih” yang sesungguhnya justru diajarkan dalam agama Islam dan aku merasakan itu dari sosok keluarga Waruba bukan pasturku dulu.

Akhirnya, pada 1980, saat usiaku 31 tahun aku memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dengan dibimbing oleh Imam Masjid Al Muqarabin; Muhammad Hafidz Depok.

Syahadat itu aku ucapkan karena aku yakin memang harus masuk Islam bila ingin menjadi seorang pengikut Yesus sejati.


oleh Joko Prasetyo


Tambahan:


Berdakwah Lewat Tulisan

Awalnya aku menulis buku ditujukan khusus untuk saudara-saudaraku yang Kristen agar mereka mau mengikuti jejakku. Aku kemudian memperbanyak dan menyebarluaskannya agar bisa dibaca oleh umat Kristiani lainnya, agar mereka juga bisa menemukan jalan yang benar. Oleh karena itu, sejak tahun 1994 tulisanku dipublikasikan.

Adapun buku-buku yang telah kususun adalah sebagai berikut: Dialog Rasional Islam & Kristen I, II dan III; Pembelaan Seorang Mualaf; Pendeta Menghujat, Mualaf Meralat; Mualaff membimbing Pendeta ke Surga; Mualaff meluruskan Pendeta; Kontroversi Hari Sabat, 10 Alasan Menjadi Pengikut Yesus yang Setia, Harus Masuk Islam; 101 Bukti Yesus Bukan Tuhan; Debat Al Qur’an vs Bible via SMS; Debat Mualaff vs Murtadin via SMS; Silsilah Muhammad vs Yesus; Mustahil Kristen Bisa Menjawab; Mana Yang Porno, Al Qur’an atau Alkitab?, Bagaimana Berdakwah dengan Kristologi; Mana Yang Bisa di Percaya Al Qur’an atau Alkitab?’ 13 Alasan Mencintai Yesus harus Masuk Islam; Akhirnya sekeluarga itu Memeluk Islam; Finally That Family Converted to Islam; Menyanggah Hujatan Terhadap Ibadah Haji.

Pada umumnya pembahasan dalam bukuku itu menggunakan study comparative, membandingkan antara Islam dan Kristen, antara Al Qur’an dan Alkitab sesuai dengan latar belakangku sebagai seorang Mualaf.

Insan Mokoginta
Peraih Muallaf Award 2006 dan 2007

Media Umat Edisi 14, 11-24 Jumadil Akhir 1430 H/5-18 Juni 2009 Hal 22

http://myquran.com/forum/showthread.php/595-Kisah2-Mualaf-ed.-II/page2

Melky Seddek (Muhammad Mulki Ibrahim)

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam memperoleh hidayah-Ku, niscaya akan Kami tunjuki jalan-jalanKu" (QS. Al-Ankabuut: 69).

Kutipan ayat tersebut mungkin cocok disematkan kepada Muhammad Mulki Ibrahim atau Melky Seddek yang hijrah kembali ke Islam setelah mendengar adzan. Mendapatkan siksa, hingga melarikan diri dari Sulawesi menuju Bandung merupakan perjuangannya untuk mempertahankan keyakinannya akan Islam.

Dilahirkan di Kota Palu Sulawesi Tengah, 20 tahun lalu dengan nama baptis Melky Seddek dalam keluarga Toraja Kristen yang taat dimana dalam tradisi, keluarga Toraja harus menjadi misionaris. Orang tuanya pun berharap Melky menjadi misionaris. Sehingga sejak kecil dirinya aktif di kegiatan gereja, bahkan ketika SMP dan SMA dirinya menjadi ketua PPK (Persatuan Pelajar Kristen) Palu.

Suara Yang Menggetarkan

Saat itu hari Jum’at, seperti biasa Melki pun memberikan khutbah atau kebaktian ke sekolah-sekolah. Saat itu SMA 3 Palu merupakan tujuannya, bersama seorang teman Melki pun harus melintasi sebuah masjid untuk sampai ke sekolah tersebut. Adzan pun berkumandang hingga mengantarkan Melki sampai ke tujuan.

Entah mengapa hatinya bergetar mendengar suara adzan. Bingung dan kaget pun menjadi satu. Dia ingat peristiwa itu terjadi Desember 2004 menjelang natal, “Anehnya sebelum berkhutbah, ada pergumulan hebat dalam hati ketika mendengar suara adzan. Kenapa dan ada apa ini?” Katanya mengenang.

Suara adzan yang didengarnya ternyata membawa keraguan terhadap keyakinannya terlebih ketika membaca Alkitab. Perenungan pun dilakukan, namun tetap tidak ada jawaban yang memuaskan dirinya.

“Hampir sama dengan kebanyakan muallaf lain yang hijrah ke Islam karena banyak menemukan kontradiksi dalam Alkitab. Saya pun demikian, konsep ketuhanan yang membuat saya ragu terhadap Kristen.” Tegasnya.

Melky pun tertarik dengan Islam, Ia ingat saat itu Ramadhan 2005 dirinya melihat Masjid penuh dengan jamaah. Untuk mengurangi rasa penasarannya, Pemuda ini pun menonton acara Tafsir Al Misbahnya Quraish Shihab ketika tidak ada anggota keluarga lainnya di rumah. Selain Al Qur’an ternyata Melky tertarik shalat dirinya pun kemudian membeli buku kecil tentang Risalah Shalat.

“Saya pun mulai mempraktikan gerakan shalat dan hal itu saya lakukan setiap tengah malam di kolong tempat tidur. Entah kenapa begitu mudah untuk bangun malam. Ada ketenangan dan kedamaian seusai shalat, meskipun saya tidak tahu apakah wudhunya saat itu sah atau tidak” katanya sambil tersenyum.

Agar lebih khusyuk, Melky pun pindah tempat shalat. Kamar kosong di ruang tengah menjadi pilihannya untuk beribadah. Menggabungkan shalat dalam satu waktu seringkali dilakukan, bahkan terkadang juga sehari shalat sehari tidak karena saat itu dirinya belum bersyahadat di hadapan manusia.

Melarikan diri ke Bandung

Seperti biasa Melky melaksanakan shalat, ternyata sang Bapak tahu kemudian mendobrak pintu ruangan yang dikuncinya. “Malam itulah awal dari pertengkaran saya dengan bapak. Jika sebelumnya hanya pertengkaran mulut, penyiksaan fisik pun mulai dilakukan. Bahkan bapak hampir pernah melempari pisau agar saya tidak melaksanakan shalat dan bisa aktif kembali ke gereja”

Intimidasi dan siksaan terus dilakukan sang bapak, pilihan yang berat pun harus dipilihnya ketika sang bapak mulai mengancam untuk telanjang dan menyiksa dirinya sendiri, namun Melky tetap yakin akan Islam. Hingga suatu malam dirinya mencoba melaksanakan shalat kembali dan mengultimatum Allah “ Ya Allah seandainya Engkau benar-benar Tuhan maka keluarkan aku dari tempat ini dan jika tidak maka aku akan kembali kepada ajaran semula”

Allah-pun mengabulkan doanya melalui Uriap Riansyah, seorang teman dari Bali yang datang dan memberikan uang Rp 500 ribu, entah karena apa. Dengan uang tersebut Melki pun berniat pergi dari Sulawesi, rencana ini disampaikan ke ibunya, meskipun berat melepaskan anaknya sang ibu akhirnya merelakan dan mengantarkannya ke Pelabuhan Pantoloan.

Bandung pun menjadi tujuannya, kenapa Bandung dirinya pun menjawab “Karena sejak umur 9 tahun saya adalah atlit nasional karate perwakilan Sulawesi Tengah dan ketika SMA saya mengikuti kejuaraan nasional karateka di UPI, jadi pernah ada gambaran bagaimana Bandung itu”.

Pengalengan menjadi tujuannya karena ada keluarga jauh sang ibu yang berada di wilayah tersebut. Di sinilah Melky melakukan silaturrahim, hingga akhirnya bertemu dengan Ustad Mimid (Ketua MUI Pengalengan). Mulki pun menceritakan semua kisah hidupnya. Mendengar Mulki belum bersyahadat, Ustad Mimid pun mengajaknya ke KUA Pengalengan dan bertemu dengan Pak Ahmad Rozali. Disaksikan Ustad Nurdin (alm), Ustad Mimid dan Pak Ahmad Rozali Mulki pun mengucapkan syahadat.

Kehidupan dan Harapan ke Depan

Muhammad Mulki Ibrahim itulah nama baru yang disandangnya, nama pemberian ketiga orang saksi tersebut dengan harapan dirinya menjadi seorang hamba yang memiliki sifat seperti Nabi Muhammad, ingat akan masa lalunya ketika berjuang membenci Islam serta terus bersemangat seperti Nabi Ibrahim berjuang mencari Rabb-Nya.

Setelah silaturrahim ke KUA, agar lebih afdhol Ustad Mimid pun mengajaknya ke Masjid Agung Pengalengan untuk bersyahadat kembali. Akhirnya Muhammad Mulki Ibrahim bersyahadat kembali disaksikan ratusan orang yang bersiap-siap untuk melaksanakan shalat jum’at. Desember 2006 peristiwa itu terjadi.

Singkat cerita dirinya pun berkenalan dengan Ustad Asep Yaya untuk mengkaji Islam lebih jauh, dari sinilah pemahamannya tentang Islam semakin bertambah. Apalagi dirinya kemudian diminta untuk melanjutkan ke Ponpes Ngruki di Solo. Melky pun kembali ke Pengalengan, mempersiapkan kebutuhannya untuk mondok. Ternyata Allah punya skenario lain, Orang tuanya datang ke Pengalengan dan meminta dirinya untuk tidak mondok di Ngruki, apalagi saat itu ramai kasus terorisme.

“ Akhirnya saya dan orang tua membuat perjanjian, mereka tetap memperbolehkan saya tinggal di Bandung asalkan tidak melanjutkan ke Ngruki. Satu hal lagi mereka akan membiayai S2 namun tidak boleh mengambil jurusan yang berkaitan dengan Islam. Untuk poin yang kedua entahlah, bagaimana nanti”. Ujarnya.

Karena telah jatuh cinta terhadap Al Qur’an dirinya pun mengambil jurusan Tafsir Hadist di UIN Sunan Gunung Djati. Mahasiswa angkatan 2007 ini kini mengisi hari-harinya dengan aktivitas dakwah, mewujudkan cita-citanya memberikan pencerahan kepada umat. Namun ada hal yang masih menyisakan kesedihan yaitu keyakinan keluarganya.

“ Alhamdulillah ibu sudah mengikuti jejak saya, namun bapak, kakak dan adik saya masih dengan keyakinan semula. Saya berharap Allah memberikan hidayah bagi mereka semua dan meyakini bahwa Islam adalah agama yang indah ” harapnya

http://myquran.com/forum/showthread.php/595-Kisah2-Mualaf-ed.-II/page2

Budi Kristyanto: Dari Vatikan Hingga Khilafah

Aku anak ketiga dari tujuh bersaudara. Terlahir di tengah keluarga Kristen Katolik yang taat di Jakarta pada 23 Desember 1979 dengan nama Ignatius Budi Kristyanto. Setiap Minggu aku rajin ke gereja. Bahkan rumahku pun sering dijadikan tempat koor teman-teman orang tuaku.

Ayah mendidik anak-anaknya untuk terbuka dan kritis. Tidak menelan mentah-mentah informasi apalagi yang terkait dengan keyakinan. Apa yang menjadi gejolak pencarian kebenarannya selalu dilempar pula ke anak-anaknya termasuk aku, padahal aku masih SD.

Ia pun menceritakan dialognya dengan Romo di gereja. “Yesus itu siapa? Kalau Yesus adalah Tuhan mengapa ia diciptakan? Mengapa Tuhan ada tiga? Padahal dalam Bible sendiri Yesus tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Sayangnya Romo selalu menjawab seperti ini: “Jika saya jawab keimanan kamu akan menurun”.

“Itu jawaban tidak bijak,” ujar ayah. Sehingga aku menjadi ikut berpikir. Sejak saat itu pun aku mulai meragukan trinitas dan mulai meyakini Yesus bukan Tuhan.


Kecewa

Meskipun nyebelin, karena mereka suka nyentil-nyentil masalah keimanan, aku sering sekali bergaul dan bertukar pendapat dengan teman-teman Muslim padahal kami masih SD. Ada satu omongan dari temanku yang tidak sengaja kudengar. Rupanya mereka cemburu sama umat Katolik, yang membangun gereja.

“Di sana tiba-tiba ada gereja gede, itu dari Vatikan paling,” ujarnya kepada teman yang lain. Aku pun menimpali, “Lho memang kenapa kalau dari Vatikan , itu kan dari pimpinan agamanya sendiri dari Roma sampai ke sini bisa memberikan dananya, itu kan hebat banget berarti kan umat Katolik solid, nah kenapa kamu nggak punya?”.

Ketika aku kelas 1 SMP ayahku masuk Islam. Aku agak sedikit kecewa, mengapa ayah masuk Islam sehingga dalam keluarga ada dua agama. “Biar tidak dua agama ya semuanya masuk Islam dong,” kata ayahku. Tentu saja aku menolak. Ibu dan saudaraku pun demikian.

Karena saat itu aku menganggap bahwa sebuah agama itu dilihat dari umatnya bukan dari ajaran dalam kitab sucinya. Aku lihat umat Islam itu kan miskin, suka cekcok, banyak yang jadi pencuri. Sedangkan umat Katolik itu solid atau guyub. Misalnya saat koor, menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Tuhan. Dan sering banget koor tersebut diadakan di rumahku.

Aku melihat kok solid banget, kesannya tidak dikoordinir kok kompak banget. Ada yang bawa makanan, nyumbang uang dan lainnya padahal tidak diminta. Aku pun tidak pernah melihat bila ada gereja dibangun dan panitia pembangunan gereja minta sumbangan di jalan-jalan.

Kesolidan semacam itu tidak aku lihat di umat Islam. Itulah yang menjadi rem bagiku sehingga tidak kunjung masuk Islam. Meskipun berulang kali ayah sering mengatakan bahwa Bible itu isinya beda tahun terbitan ya berubah. Jadi sudah tidak asli lagi. Aku tetap bersikukuh.


Masuk Islam

Kelas 1 SMA, aku berpikir lagi lantas aku ini umat apa? Islam bukan Katolik juga bukan. Wah jadi umat yang bukan-bukan dong. Berarti ini ada yang salah. Apakah aku belum memahami Katolik secara menyeluruh atau belum memahami Islam secara menyeluruh.

Aku pun memperhatikan aktivitas di mushala sekolah, suasananya memupus stigma negatifku tentang Islam. Dan mungkin ini agak tidak rasional ya, di mushola tersebut terasa sejuk, padahal udara di sekitar begitu panas. Suasana mushala betul-betul hidup, tempat mungil itu tidak hanya untuk shalat tetapi digunakan juga untuk diskusi dan belajar. Ternyata mereka pun guyup!

Aku pun memutuskan turut dalam diskusi itu. Aku sampaikan masalahku. Dengan gamblang mereka menjelaskan bahwa Tuhan atau Allah itu tidak beranak tidak pula diperanakkan, Allah itu berbeda dengan makhluk. “Kalau kamu melihat ajaran agama itu dari umatnya, untuk saat ini, kamu pasti akan melihat tidak ada satu pun agama yang benar di dunia ini,'' ujar salah satu teman sekolahku itu.

Dia pun mencontohkan ketika seseorang itu salah belum tentu kesalahan itu terjadi karena orang tersebut sedang mengamalkan agamanya. Di Indonesia banyak pencuri beragama Islam itu karena di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam. Coba tengok Filipina, di penjaranya dipenuhi pencuri yang beragama Kristen. “Apakah Kristen mengajarkan umatnya mencuri? Kan tidak, begitu juga Islam,” ujarnya.

Jadi kalau mau tahu ajaran itu benar atau salah harus langsung merujuk kepada sumber ajaran itu sendiri, yakni kitab sucinya. Pas aku baca Alquran dan mempelajari Islam lho ternyata di Islam pun mengajarkan kasih sayang dan moralitas lainnya yang ada di Katolik. Ya penjelasannya memang mirip dengan penjelasan ayah. Namun pikiranku baru terbuka ketika diskusi dengan mereka.

Cocok dong dengan Katolik. Tapi Islam ada kelebihannya, pikirku, karena masalah ketuhanan Islamlah yang benar! Maka aku pun langsung masuk Islam. Alhamdulillah, akhirnya keluargaku semua masuk Islam.

Setahun setelah lulus kuliah, tepatnya pada tahun 2005 aku menikah. Alhamdulillah pemahamanku tentang Islam semakin membaik. Karena istriku banyak menyampaikan apa-apa yang dia pahami tentang Islam. Awalnya aku selalu mendebat tetapi jawabannya mematahkan argumenku.

Jawabannya mencerahkanku, ternyata Islam tidak seperti yang aku kira selama ini. Aku kagum, olok-olokanku waktu SD itu, “mengapa kamu tidak punya Vatikan!” ternyata umat Islam itu dulu punya. Sekarang umat Islam menjadi begini karena institusi tersebut sudah tidak ada. Institusi tersebut disebut dengan Khilafah Islam. Untuk memahami Islam lebih dalam aku pun turut mengaji.

Vatikan yang hanya mengurus masalah ibadah atau kerohanian saja, sudah begitu solidnya. Apalagi kalau Khilafah tegak lagi. Karena Khilafah mengurus juga masalah pendidikan, ekonomi, politik, sistem pergaulan, pemerintahan dan lainnya yang semuanya itu bersumber dari Alquran dan Sunnah. Subhanallah.[]

Joko Prasetyo, MediaUmat.com

Samsudin Taliwongso : Badai itu Menjadi Jalan Hidayah

Saya terlahir dari keluarga Kristen yang fanatik. Ayah saya seorang Pembina Gereja Advent Masehi Hari Ketujuh. Saya lahir di Desa Teling, Manado pada tanggal 11 Oktober 1927 dengan nama pemberian orang tua Samuel Taliwongso.

Saya menghabiskan masa kecil di Manado dengan mendapat pendidikan agama di Advent Zending School (Sekolah Missi Advent), sekarang setingkat SD. Setiap hari saya harus menghafal dan menyetor lima pasal / surat / Firman Tuhan yang ditugaskan oleh mendiang ayah saya.

Selepas Advent Zending School saya melanjutkan ke MULO, setingkat SMP sekarang, saat itu masa perjuangan bangsa Indonesia berusaha melepaskan diri dari jajahan Belanda. Saya pun terpanggil untuk bergabung bersama teman-teman melawan Belanda dengan gerakan bawah tanah.

Oleh pemerintah Belanda kelompok-kelompok kami seperti ini disebut sebagai “The Hodger for Soekarno” (Anjing-anjing Soekarno), dan dianggap sebagai pemberontak. Karena dikejar-kejar, saya lari ke Morotai kemudian ke Sorong tahun 1947 dan kemudian ke Hollandia (Jayapura).

Ketika menginjakkan kaki di Hollandia (Jayapura), saya bekerja pada sebuah perusahaan perminyakan milik pemerintahan Hindia Belanda (sekarang semacam Pertamina). Saya dipercaya sebagai kepala Departemen Bagian Pengapalan.

Selain aktivitas keseharian sebagai pegawai kepercayaan Belanda, aktivitas sehari-hari juga sebagai seorang pemimpin gereja. Saya setiap hari mengajarkan Injil kepada para jemaat gereja dan berusaha menggiring domba-domba yang sesat (kaum Muslim) untuk diselamatkan. Ini kewajiban yang harus saya lakukan sebagai seorang pendeta / pembaptis.

Sebelumnya, saya punya pengalaman di Manado membangun sebuah gereja dan membaptiskan beberapa orang Islam yang berasal dari Gorontalo yang akan menikah dengan pemuda-pemuda Kristen.

Awal Mendapat Hidayah

Di tahun 1962 terjadi peristiwa Dwikora / Trikora. Pemerintah Belanda menganggap orang Indonesia sebagai musuh. Mereka dirumahkan. Ada 759 orang yang terkena kebijakan itu. Saya termasuk salah satu di antaranya.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saya menjadi kuli bangunan. Karena situasi keamanan, saya bersama Leo Timbeleng (Alm), Herard G, Nori (Alm), W Oro (Alm), memberanikan diri menghadap Gubernur Hollandia saat itu; Gubernur Van Baal untuk memulangkan kami ke daerah asalnya.

Van Baal setuju, tapi dengan syarat harus menggunakan kapal yang berbendera Belanda. Bagi kami permintaan itu tidak mungkin.

Akhirnya dengan sebuah kapal berbendera Kebangsaan Panama milik seorang pengusaha Tianghoa asal Singapura bernama Tuan Robin Low kami berangkat menuju Jakarta. Berdasarkan surat amanah yang ditulis SUIB (Sekretaris Urusan Irian Barat) saat itu, saya diberi kepercayaan sebagai pimpinan rombongan.

Suatu malam di tengah lautan bebas, datanglah badai yang luar biasa yang menghantam kapal. Banyak orang yang muntah-muntah dan lemas tidak berdaya. Doa dipanjatkan. Saat itulah ada seorang penumpang Muslim yang bernama Latoke asal Makassar sedang shalat.

Saya perhatikan apa yang dilakukannya. Dalam hati saya berucap: “Nih orang, orang lain mau mati kok malah nungging-nungging”. Setelah itu Latoke pun membaca buku (Al Qur’an) di tengah suasana seperti itu. Tentu saya jengkel.

Besoknya badai yang dahsyat datang lagi. Saya penasaran mencarinya kembali. Ia ternyata tertidur pulas akibat lemas dihajar ombak semalaman. Di dekatnya ada buku (Al Qur’an), dengan sampul bertulis “Terjemahan Al Qur’an Karangan Muhammad Yunus” terbitan Toko Buku Gunung Agung, Jl Kwitang Jakarta.

Saya coba membukanya. Kebetulan ada ayat yang ditandai Latoke yakni Surat Al Baqarah ayat 136. Saya baca. Saya baru tahu ternyata orang Islam itu tidak cuma percaya Muhammad saja.

Sebelumnya saya menganggap orang Islam itu tidak percaya adanya Tuhan (Allah), Nabi Isa, Nabi Daud sebagaimana nabi-nabi bagi orang non Muslim. Singkat cerita kapal tiba di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta.

Saya jadi penasaran dengan apa yang saya baca tadi dan ingin mengetahui lebih jauh tentang Al Qur’an itu.

Saat tiba di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, saya dikawal dua orang perwira atas perintah Konsulat Indonesia di Singapura, karena dianggap orang penting oleh pemerintah Indonesia saat itu.

Jadinya saya tidak bebas. Suatu ketika saya mencoba membebaskan diri dari kawalan dengan berbagai alasan untuk mencari Al Qur’an. Dengan sembunyi-sembunyi saya mencari toko buku Gunung Agung di jalan Kwitang, untuk membeli terjemahan Al Qur’an karangan Muhammad Yunus.

Saya minta kasir untuk membungkus rapat Al Qur’an itu agar tidak sobek dan kena hujan. Padahal alasan yang sebenarnya agar tidak ketahuan orang.

Saya pun kemudian kembali ke Manado. Tak beberapa lama, saya dipanggil oleh pimpinan Angkatan Darat untuk membantu misi pendaratan di Irian Barat. Saya harus kembali ke Jakarta.

Dalam perjalanan inilah saya baru membuka buku yang pernah saya beli sebelumnya di Jakarta. Saya mulai tahu dan paham bahwa agama Kristen itu salah. Sesampainya di Irian, tak lama kemudian saya masuk Islam.

Sejak saat itu saya terus mengkaji Islam dan berdakwah mengembalikan orang-orang yang dahulu pernah saya baptis / murtadkan. Atas dukungan Dewan Masjid Indonesia, kami membentuk Kelompok Pengajian Muallaf (KPM) yang mengadakan pengajian dua minggu sekali.

Ada kisah yang sangat menarik, hampir tiap malam pada November-Desember 2008 banyak pendeta-pendeta yang datang ke rumah saya untuk mengajak saya berdiskusi / berdebat dengan maksud untuk mengembalikan saya kepada ajaran Kristen.

Alhmadulillah, saya mampu menghadapi argumen-argumen mereka. Beberapa di antara pendeta-pendeta itu ada yang mengatakan: “Kami mulai tidak yakin kalau Tuhan Yesus itu adalah Tuhan.”

Satu hal yang menjadi keprihatinan saya, umat Islam saat ini banyak yang tidak tahu tentang Islam itu sendiri, bahkan telah demikian jauh dan asing dengan Islam. Umat Islam mulai terkotak-kotak dan mencintai kelompoknya sendiri, bahkan ada yang hanya Islam KTP.

[]. Abdurarozaq-Papua.
Media Umat | Edisi 13, 26 Jumadil Awwal – 10 Jumadil Akhir 1430 H / 22 Mei – 4 Juni 2009, Hal 22

http://myquran.com/forum/showthread.php/9423-Badai-itu-Menjadi-Jalan-Hidayah

Sabtu, 02 Oktober 2010

Correy Habbas, Dari Penulis Lepas Berlabuh ke Islam


REPUBLIKA.CO.ID, CALIFORNIA--Bila Allah berkehendak untuk menunjuki manusia yang akan diberi hidayah, tidak ada sesuatu pun yang bisa mencegahnya. Dan, hidayah itu, bisa datang kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.

Dan, pada 1994, Allah SWT mulai memberikan jalan hidayah kepada Corey Habbas untuk lebih dekat dengan Islam. Di negara kelahirannya, Amerika Serikat (AS), Corey Habbas dikenal sebagai seorang penulis lepas. Karya tulisnya telah diterbitkan di berbagai jurnal cetak serta online maupun surat kabar dan majalah.

Atas hasil karyanya ini, Corey pernah diganjar sejumlah penghargaan bergengsi. Sebut saja di antaranya penghargaan untuk karya-karya puisinya dari Islamic Writers Alliance and Qalaam serta Andalusia Prize for Literatur pada 2006 lalu.

Corey lahir dan tumbuh di kawasan California. Di negara bagian AS ini, ia mulai mengenal dan belajar tentang seni sastra. Ia berhasil menamatkan pendidikannya hingga meraih gelar sarjana dalam bidang Sistem Informasi dari Universitas Redlands. Saat ini, Corey menetap di Minnesota bersama keluarganya. Dia juga terdaftar sebagai anggota Aliansi Penulis Islam.

Bagaimanakah Corey Habbas menemukan Islam? Apa saja yang dialaminya, dan bagaimana kiprahnya setelah memeluk agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW tersebut? Berikut ini sekelumit catatan harian perempuan kelahiran tahun 1974 itu dalam menemukan Islam.

1994: Lima Rukun
Tahun ini saya merasa tidak tahu bagaimana harus melalui masa-masa sekolah. Keputusan untuk bekerja penuh waktu di toko obat PayLess membuatku bisa memenuhi kebutuhan hidup, membayar uang sekolah dan buku secara mandiri. Tapi, tidak demikian dengan persoalan waktu. Pada saat punya waktu luang, saya sudah terlalu lelah untuk belajar. Karena, energi saya sudah habis seharian untuk bekerja di toko dan mengayuh sepeda pulang dari toko pukul sembilan malam.

Pada waktu siang, saya menjadi asisten apoteker, yang siap menerima panggilan telepon masuk di apotek dan menyusun resep-resep obat di bagian registrasi. Apoteker yang bekerja dengan saya adalah seorang laki-laki yang baik. Usianya berkisar 50-an.

Selama bekerja bersama, kami tidak banyak bicara. Tapi, suatu hari ia bertanya apakah saya pernah mendengar tentang Islam. Dia memberi tahu saya bahwa dia adalah seorang Muslim.
Dia lantas bercerita tentang lima rukun Islam: syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji.

Sehari kemudian, ia bertanya apakah aku ingat dengan lima rukun yang pernah ia sampaikan. Dia amat terkejut dan senang ketika mengetahui saya dengan begitu mudah bisa mengingat dan mengulang kembali kelima rukun tersebut. Saya merasakan sesuatu yang beda hari itu. Saya merasa seperti seseorang yang benar-benar religius, padahal sebelumnya tidak demikian.

1996: Alquran Pertamaku
Saya pernah mendengar Alquran secara sepintas sebelumnya. Di El Camino, sebuah lembaga pendidikan, seorang mahasiswi Muslim menunjukkan padaku Alquran untuk pertama kalinya. Saya merasa terhormat bahwa dia merasa cukup nyaman untuk berbagi sesuatu yang sangat pribadi dan berharga dengan saya.

Demi kesopanan dan karena juga ingin menunjukkan minat yang sama terhadap nilai-nilai yang dianutnya, saya pun memberanikan diri untuk meminjam Alquran miliknya. Dia pun mengizinkannya. Saya kemudian bertanya tentang simbol-simbol yang menandai bacaan teks dalam Alquran.
Saya katakan kepadanya bahwa itu indah, tapi saya merasa seperti membeku, tidak tahu harus berbuat apa lagi. Anehnya, peristiwa itu menjadi memori yang paling penting dalam ingatan saya setelah lulus dari perguruan tinggi ini.

1997: Malam-malam di Andalusia
Aku tinggal sendirian. Hari-hariku dilalui dengan kuliah dan kerja. Tampaknya, tidak ada hal lain yang bisa aku lakukan untuk mengisi hidup, sampai kemudian aku memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Spanyol. Bagiku ini mungkin adalah petualangan seorang gadis Amerika ke negeri asing yang ingin mencari arti hidup.

Ketika menyusuri jalan-jalan Kota Madrid, saya merasakan seperti berada di masa lalu. Saya bisa mencium bau air yang menetes dan mendengar gema kaki kuda di sepanjang jalan.

Ini adalah tempat di mana umat Islam pernah memerintah selama beberapa periode. Masa tersebut dikenal sebagai masa yang penuh dengan toleransi dalam kehidupan beragama maupun budaya. Sekarang kota ini masih menjadi tempat tinggal bagi orang-orang dari berbagai macam keyakinan. Saya tidak ingin memejamkan mata semenit pun karena saya merasa seolaholah akan melewatkan sesuatu.

Pada tengah malam, aku melewatkan waktu dengan berjalanjalan di kawasan El Calle Alcal.
Aku berjalan memasuki sebuah katedral kecil yang masih buka pada tengah malam dan duduk di bangku kayu berhiaskan ukiran. Usia kursi itu sudah berabadabad, namun tetap terlihat mengilap jika diterpa cahaya.

Sepasang suami-istri dengan rambut berwarna perak dan kulit keriput melangkah masuk.
Mereka berlutut seraya memanjatkan doa dengan penuh ketulusan. Aku hanya duduk saja di ruangan ini. Melihat keduanya, aku pun menangis. Iman bagaikan sebuah cahaya yang bersinar di bawah permukaan.

1999: Iman yang Membara
Mata besar berwarna merah kecokelatan milik sahabatku Susanna, selalu tampak bersinar ketika ia berbicara tentang Tuhan. Dia pintar dan saya dapat melihat bahwa keyakinan yang dipeluknya telah memberikan begitu banyak daya dorong menuju kesuksesan. Ayah Susanna selalu bertengkar dengan para jemaatnya. Hal ini pula yang membuat mengapa ayahnya selalu berganti-ganti keyakinan dari satu sekte ke sekte Kristen yang lain. Sementara Susanna dengan satu keyakinan yang tetap dipegangnya, membuatku bertanya-tanya apakah dia akan mencoba sesuatu yang lain?

2000: Buku yang tak Terduga
Akhir pekan ini, seperti kebanyakan akhir pekan yang sudah-sudah, saya mengunjungi toko buku. Sambil memegang secangkir kopi hitam di kedai kopi yang berada di dalam toko buku tersebut, saya mulai menelusuri judul-judul buku yang ingin saya beli. Saya merasa seolah-olah sedang mencari sesuatu, tapi saya tidak tahu apa yang seharusnya dicari.

Seperti biasanya, saya pergi ke bangku favorit saya di bagian teknologi dan membaca buku-buku referensi tentang bahasa-bahasa pemrograman web, karena saya seorang web programmer di sebuah perusahaan telekomunikasi besar. Di luar itu, saya adalah seorang seniman, yang sangat tertarik pada misteri kehidupan.

Bulan lalu saya membeli sebuah buku tentang Buddhisme dan berpikir untuk mengadopsi praktik spiritual yang ada di dalam buku tersebut. Tapi, ada beberapa aspek dalam ajaran tersebut yang tidak sesuai dengan saya. Ketika saya tengah mencari-cari buku yang lain, mata saya tertumbuk pada sebuah buku berjudul Vision of Islam.

Saya membelinya dan merahasiakan hal tersebut. Ketika membaca buku, tanpa saya sadari, saya melafalkan kalimat syahadat yang tertera di dalam salah satu halaman buku yang saya baca. Saya selalu percaya kepada para nabi Yahudi serta Kristen dan satu lagi nabi yang aku yakini, yakni Muhammad.

Saya belajar bahwa dalam Islam, Yahudi dan Kristen adalah saudarasaudara dalam iman. Semua manusia, apa pun latar belakang sukunya, agamanya, bahasanya, semuanya berasal dari jiwa yang satu. Saya lebih merasakan kedekatan dengan mereka, daripada ketika saya belum menjadi Muslim. Kita semua terhubung. Ini adalah pesan yang ingin disampaikan Allah kepada umat manusia.

2001: Mendaki Gunung
Masjid Saya sangat takut untuk pergi ke masjid. Tapi, saya harus melakukannya kalau ingin pengetahuan Islam saya meningkat. Saya tidak tahu apa yang harus saya pakai, tapi sepengetahuan saya, tangan dan kaki harus tertutup sepenuhnya. Yang tidak saya ketahui hanyalah bahwa saya harus mengenakan penutup kepala saat memasuki masjid.

Ketika sampai di masjid, saya bertemu dengan seorang wanita yang membawa saya ke sebuah ruangan. Saya resmi menjadi Muslim. Orang-orang dengan penuh kehangatan menyambut saya dan mengucapkan selamat atas masuknya saya ke dalam Islam.

Beberapa bulan kemudian, saat mulai merasa nyaman dengan identitas baru sebagai seorang Muslim, saya memutuskan untuk mencari pasangan hidup. Saya mem-posting iklan pribadi di sebuah situs perkawinan Islam. Saya selalu mendambakan bisa membangun sebuah keluarga. Tak lama berselang, iklan yang saya pasang mendapat respons. Dan, tiga bulan kemudian, saya memutuskan untuk menikah dengan seorang pemuda Muslim bernama Hanafi yang saya kenal melalui situs pertemanan tersebut.

2002: Jilbab Pertamaku
Dalam apartemen aku terbangun karena bunyi alarm radio. Hari ini adalah hari Senin dan aku harus segera berangkat kerja. Hari itu menjadi hari spesial bagiku dan aku sudah merencanakan ini dengan sangat hati-hati. Ya, aku akan mengenakan jilbab ke tempat kerjaku.

Aku sudah berjuang dengan diriku sendiri, ketakutanku, dan kelemahanku untuk waktu yang cukup lama. Aku tahu benar, hal itu akan menjadi perubahan terbesar dalam hidupku. Inilah jihadku. Jihad terbesar dalam hidupku untuk menahan emosi terhadap cemooh dari para rekan kerja yang melihat jilbabku.

Aku melihat di cermin, dan berkata; "Anda ingin melakukan ini sejak lama. Tak peduli bagaimana orang lain menilai Anda. Jadilah kuat! Jangan berpikir tentang rasa benci dan kejahatan yang bisa saja menimpa diri Anda. Anda tidak akan terintimidasi karena memeluk Islam. Ingat pengorbanan Sumayyah binti Khubbat. Takutlah hanya kepada Allah."

2003: Mimpi

Saya bermimpi dalam tidur saya di suatu malam. Dalam mimpi tersebut, saya selalu mengenakan jilbab. Mimpi ini membekas dalam diri saya. Sekarang, saya ti dak bisa membayangkan keluar rumah tanpa menutupi bagian kepala saya. Saya telah menemukan kenyamanan dalam hal privasi dan keamanan dalam balutan kain yang menutupi seluruh bagian tubuh saya.

2006: Di sini dan Sekarang
Setelah memeluk Islam, saya merasakan banyak hal berubah dalam hidup ini. Hidup yang saya jalani lebih terarah. Saya bisa menyelesaikan sarjana saya dalam bidang sistem informasi, menikah dengan seorang pria yang sangat luar biasa, dan memiliki tiga anak. Ketika saya memiliki waktu luang, saya bisa bekerja sebagai sukarelawan bagi komunitas lokal saya. Saya merasa dengan kekuatan dari Allah, saya dapat memindahkan segala kesulitan apa pun dan melaluinya

http://myquran.com/forum/showthread.php/13198-Correy-Habbas-Dari-Penulis-Lepas-Berlabuh-ke-Islam

Ahmad Mursyid Sugito: Lam Yalid Wa Lam Yulad

Aku terlahir dengan nama Antonius Sugito di Kediri pada 8 Agustus 1956 dari keluarga Kristen Protestan yang taat. Sekolah Dasar sampai menengah atas kujalani di tanah kelahiranku. Setamat SMA aku kuliah Teologi di Lawang, Malang.

Namun kuliah di sana tidak menjamin seseorang semakin yakin dengan keyakinannya. Buktinya, pada tahun 1984, setahun sebelum lulus kuliah, aku malah ragu dengan beberapa ayat-ayat dalam injil.

Ayat-ayat tersebut sering sekali kupertanyakan kepada dosen-dosenku. Namun sesering itu pula dosen-dosen yang mengisi kuliah di kelasku memberikan jawaban yang tidak memuaskan akalku.

Bahkan Dosen Dr Verkuil dari Belanda pun tidak mampu memberikan jawaban yang masuk akal tentang ketuhanan Yesus. Keraguanku tentang keaslian Injil sebagai murni firman Tuhan semakin menguat.

Kristenisasi di Nganjuk

Pada tahun 1985, lulus kuliah aku langsung di tempatkan sebagai staf Bimbingan Masyarakat Kristen Departemen Agama Provinsi Jawa Timur. Dua tahun kemudian aku ditugaskan di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.

Aku membuka kembali Al Qur’an dan membacanya. Itu kulakukan bukanlah untuk belajar dan masuk Islam. Tetapi seperti yang telah diajarkan di bangku kuliah, sebagai alat untuk mengkristenkan orang. Mencari kelemahan Islam di dalam Al Qur’an untuk menyerang Umatnya.

Namun ketika membaca Surat Al Ikhlash hatiku tersentuh lagi, keraguan akan kemurnian Injil kembali mencuat dalam hati. Aku langsung menutupnya. Sudahlah aku tidak mau lagi membaca Al Qur’an nanti aku malah masuk Islam!

Seperti biasa aku menjalankan fungsiku sebagai pendeta. Namun ayat Al Qur’an itu selalu membayangi benakku dan terus bergumul dengan keyakinanku. Aku terus bertahan untuk tidak membaca Al Qur’an.

Karena aku tidak berhasil menemukan kelemahan Al Qur’an, sepertinya halnya para seniorku di Teolog Malang, maka jurus andalan kami pun dilancarkan yakni melalui pendekatan ekonomi, kesehatan dan pendidikan.

Mereka yang lemah ekonomi dan dangkal pemahaman Islamnya secara kontinyu kukirimi sembako dan uang. Bila anggota keluarganya sakit, biaya berobatnya kutanggung.

Tentu uang yang kugunakan itu bukan uang pribadiku. Aku punya uang dari mana? Itu semua di dapat dari sumbangan setiap gereja yang ada di Nganjuk. Saat itu baru ada 17 gereja, masing-masing menyumbangku 5.000 rupiah per bulan.

Ketika aku membagikan sembako, warga tidak ada yang protes bahwa ini program kristenisasi atau apa. Mereka malah senang dan berebut untuk mendapatkan bagian paling banyak. “Kurang! Tambah lagi ya?” ujar mereka.

Target utamaku saat itu ialah warga Kec. Ngronggot. Tidak sampai satu tahun, banyak warga yang masuk Kristen. Para pejabat ada yang tidak tahu menahu, tidak sedikit juga yang kutembak dengan duit sehingga mereka memuluskan pembangunan gereja. Pada tahun 1988 bertambah satu lagi gereja di Nganjuk.

Aku pun menjadi terkenal di kalangan misionaris. Sejak itu aku menjadi satu-satunya pendeta di Nganjuk yang mendapatkan kucuran dana operasional dari dua negara sekaligus; Belanda dan Australia, masing-masing memberiku satu juta rupiah tiap bulan.

Saat itu nominal segitu ya sangat buanyaaak! Satu dollar kan tidak sampai dua ribu rupiah. Sekarang sekitar sepuluh ribu rupiah kan? Kalau pakai ukuran sekarang dua juta saat itu setara seratus jutaanlah.

Dengan uang sebanyak itu, aku semakin leluasa melakukan kristenisasi di sana. Dana tersebut di gunakan untuk membelikan sembako dan biaya berobat orang-orang yang ditargetkan agar masuk Kristen.

Mereka yang telah masuk Kristen, kudogma lagi dengan cerita-cerita tentang surga-neraka, sehingga mereka pun menyumbangkan uangnya untuk mengkristenkan yang lain, begitu seterusnya. Sehingga dibangun terus gereja di Rejoso dan kecamatan lainnya.

Saking banyaknya yang masuk Kristen, bahkan dalam satu kecamatan aku bisa membangun tiga, empat atau lima gereja. Sampai tahun 1993, aku berhasil membangun 38 gereja. Jadi total gereja saat itu di Nganjuk 56 Unit.

Masuk Islam

Januari 1993, aku termenung sendiri. Keraguanku akan kemurnian Injil menguat lagi. Teringat kembali ayat-ayat yang bertentang di dalam Injil. Dalam Yohanes Pasal 1 Ayat 3 disebutkan : “Di dalam penciptaan segala sesuatu tanpa Dia, tidak akan ada sesuatu…”

Padahal di dalam Injil Markus dan Mathius bahwa Tuhan Yesus itu lahir di kandang domba. Kalau memang segala sesuatu itu tidak akan ada tanpa Dia, mengapa Dia lahir di kandang Domba. “Lho kok masih duluan domba?” tanyaku dalam hati.

Aku pun bingung dan berpikir keras; “Apakah harus dikhitan atau jangan?” pasalnya, Injil Ibrani mengharuskan untuk khitan tetapi di dalam Injil Yakobus disebutkan jika kamu berkhitan, kamu tidak menjadi umat Yesus Kristus.

Aku pun kembali membuka Al Qur’an. Kubaca kembali terjemah Surat Al Ikhlash: Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia".

Lam Yalid Wa Lam Yulad; Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Kalimat itulah yang paling menyentuh hatiku. Iya, Allah tidak punya anak dan bukan anak. Ini mestilah yang benar! Kemudian aku baca lagi dengan serius terjemahan ayat-ayat yang lainnya.

Usai membaca surat Al Maidah ayat 3, aku berpikir aku bakalan rugi bila mati tidak dalam memeluk agama Islam. Maka aku belajar Islam untuk memahaminya lebih lanjut. Saat itu, keluargaku pun belum tahu bahwa aku sudah beritikad akan masuk Islam.

Akhirnya pada 10 Agustus 1994, aku masuk Islam. Yang membimbing syahadatku adalah Kepala Kantor Depag Kabupaten Nganjuk Bapak Haji Masyuri disaksikan oleh Kepala KUA se-Kabupaten Nganjuk di Aula Kantor Depag Nganjuk.

Tentu saja semua fasilitas yang kudapat dari Belanda, Australia dan gereja dihentikan. Bahkan aku pun ditinggalkan istri dan ketiga anakku. (Anak pertama dan keduanya kini sudah masuk Islam, red.)

Namun aku sangat bahagia kebenaran yang kucari kini kudpatkan. Aku sangat terharu membaca Al Maidah ayat 3 yang terjemahannya berbunyi: “Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.

Akhirnya dengan mantap pada tahun 1994 itu juga saat usiaku 39 tahun, aku dikhitan. Perasaan bahagia dan geli jadi satu karena antri bareng bocah cilik-cilik yang umurnya terpaut 30-an tahun denganku. He..he..he Alhamdulillah

Seperti yang dituturkan ahmad mursyid sugito kepada joko praseyto

Media Umat | Edisi 19, 30 Sya’ban – 13 Ramadhan 1430 H / 21 Agustus – 3 September 2009, Hal 22


http://myquran.com/forum/showthread.php/12188-Lam-Yalid-Wa-Lam-Yulad

Danny Williams: Terkesima Mendengar Suara Azan

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Di atas ring, nama Danny Williams mungkin tidak setenar legenda tinju dunia, seperti Muhammad Ali, George Foreman, Mike Tyson, Evander Holyfield, ataupun Lennox Lewis. Namun, kiprahnya di dunia tinju profesional kelas berat dunia patut diacungi jempol.

Betapa tidak, di hadapan ratusan ribu hingga jutaan pasang mata dibuat tercengang saat menyaksikan pertandingan antara Danny Williams melawan Mike Tyson pada 31 Juli 2004 silam. Ketika itu, Williams yang tidak diunggulkan memukul KO Mike Tyson, sang legenda tinju dunia pada ronde keempat.

Padahal, dalam pertandingan yang diadakan di Freedom Hall State Fairground, Louisville, Kentucky, Williams tidak diunggulkan. Sementara itu, banyak pihak yang mengunggulkan si 'Leher Beton'. Namun, kenyataan yang terjadi sebaliknya. Tyson, yang sempat mendominasi pembukaan dua ronde dalam pertandingan comeback-nya ke dunia tinju, secara mengejutkan berhasil dikalahkan di ronde ke-4.
Atas keberhasilannya ini, Williams lalu mendapat julukan sebagai 'orang yang memukul keluar Tyson'.

Tidak banyak publik yang tahu bahwa Williams adalah seorang Muslim, seperti halnya Tyson. Sebelum memeluk Islam, Williams adalah seorang penganut Kristen yang taat. Ketertarikan petinju asal Inggris ini terhadap Islam bermula saat ia tengah menjalani liburan di Turki tahun 2000. Saat berada di Turki ini, Williams mendengar suara alunan azan. "Aku merinding saat mendengar suara azan tersebut," ujarnya kepada kantor berita BBC.

Sejak itu, pria kelahiran Kota London tanggal 13 Juli 1973 ini mengaku bahwa hatinya mulai terketuk untuk mencari tahu mengenai Islam. "Saat itu, yang ada di pikiranku inilah (Islam, red) cara hidup yang dicontohkan oleh Tuhan dan aku harus mengikutinya," ungkap petinju yang memiliki nama asli Daniel Williams.

Williams mengakui ajaran Islam benar-benar sesuai dengan falsafah hidup yang ingin ia jalankan. Ia juga menemukan kecocokan dengan ajaran Islam. "Saya menemukan ajaran Islam itu sangat mudah. Terutama dalam menjalankan kewajiban shalat lima waktu meski saya harus bangun pada pukul 03.00 atau 04.00 dini hari untuk menjalankan shalat subuh. Namun demikian, saya tenang dan mendapatkan kedamaian saat menjalankannya," paparnya.

Kepada BBC, Williams mengungkapkan bahwa tantangan terberat setelah menjadi seorang Muslim adalah ketika harus menjalani sesi latihan dan pertandingan di saat bulan Ramadhan. Pengalaman tersebut pernah ia alami di tahun 2006 lalu. Kala itu Williams dijadwalkan akan bertanding melawan Matt Skelton pada Juli 2006.

Dalam duel tersebut, Williams mengalami kekalahan pada ronde ke-3 dan cedera serius pada bagian hidungnya. Kekalahan tersebut, ungkapnya, lebih disebabkan oleh sesi latihan yang dijalaninya menjadi berkurang karena secara bersamaan ia tengah menjalankan puasa Ramadhan. Namun, diakui Williams, dirinya tidak pernah menyesali kekalahan tersebut. Baginya, mampu menjalankan ibadah puasa dengan baik dan sempurna jauh lebih penting dari kemenangan saat bertinju.

"Sepanjang Ramadhan aku memang menghentikan semua kegiatan bertinju karena ingin mengisinya dengan kegiatan ibadah dan memuji Allah. Sebisa mungkin aku berusaha untuk menjadi hamba Allah yang baik pada bulan di mana Nabi Muhammad menerima wahyu untuk pertama kalinya," paparnya beralasan.

Williams menambahkan, dalam bulan puasa, Allah melarang umatnya untuk mencaci, memukul, dan lain sebagainya karena hal itu bisa memengaruhi pahala puasa. "Sebagai Muslim yang baik, tentunya di saat Ramadhan harus melakukan hal-hal yang baik. Tidak ada memukul, berdebat dengan orang, intinya Anda harus dalam kondisi bersih dari perbuatan tercela sebisa mungkin," ungkap Williams, layaknya seorang pendakwah.

Dalam kariernya sebagai petinju professional, tercatat Williams bertanding sebanyak 51 kali. Dari pertarungan sebanyak itu, 41 kali dia memenangkan pertarungan, dan 31 di antaranya dengan kemenangan KO, sedangkan sembilan dari pertarungannya berakhir dengan kekalahan dan sekali tanpa ada keputusan.

Tinggalkan Dunia Tinju untuk Beribadah

Tinju dikenal sebagai salah satu cabang olahraga yang syarat dengan kekerasan fisik, seperti memukul orang. Padahal, di dalam ajaran Islam, ungkap Williams, para pemeluknya dilarang melakukan hal tersebut. Hal itu diakuinya kerap menimbulkan pertentangan di dalam batinnya.

"Aku menyadari betul bahwa pada satu titik aku harus memutuskan apakah akan tetap menjalankan profesi sebagai petinju yang kerap bertentangan dengan ajaran Islam atau harus keluar dari olahraga ini."

Kendati sulit, pada pertengahan tahun ini, Williams memutuskan untuk berhenti dari dunia tinju yang sudah digelutinya selama 15 tahun lebih. Pertarungan melawan Derek Chisora pada 15 Mei 2010 seakan menjadi duel terakhir yang dilakoni Williams di dunia yang telah membesarkan namanya.

Sebelum pertandingan, kepada pers Williams mengungkapkan bahwa pertarungannya dengan Chisora kemungkinan akan menjadi penampilannya yang terakhir di atas ring, baik hasilnya ia menang maupun kalah.

"Setelah tidak lagi bertinju, mungkin saya akan melakukan pekerjaan di bidang keamanan. Tetapi, sebelum saat itu tiba, saya masih ingin mengejar impian saya untuk menjadi juara dunia kelas berat," ujarnya dalam sebuah kesempatan sebelum pertarungannya dengan Chisora.

Dalam pertandingan tersebut, Chisora berhasil memukul KO Williams pada ronde kedua dan keluar sebagai juara. Ia pun memutuskan untuk tidak meneruskan kegiatannya dalam bertinju dan fokus mengabdikan dirinya untuk beribadah kepada Allah.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/10/09/27/136705-danny-williams-terkesima-mendengar-suara-azan

Lee Woon-Jae: Kiper Muslim dari Negeri Ginseng


REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Nama Lee Woon-Jae mungkin terdengar asing di telinga kita. Tapi, tidak demikian bagi Penggemar sepakbola di Asia, terutama di negara asalnya Korea Selatan (Korsel). Lee merupakan penjaga gawang kesebelasan nasional Korsel yang pernah mengikuti beberapa kali Piala Dunia. Terakhir, dia ikut membela negaranya pada Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.

Sebelumnya, Lee pernah mengikuti Piala Dunia 1994, 2002 dan 2006. Pria kelahiran Cheongju, Chungbuk, Korea Selatan tanggal 26 April 1973 ini memang selalu dipercaya menjadi kiper nomor satu di timnas Korsel.

Karir internasional Lee dimulai ketika ia dipercaya untuk memperkuat tim nasional Korsel pada ajang Olympiade 1992 di Barcelona. Karirnya makin meroket ketika dia berhasil mementahkan tendangan penalti pemain sayap Spanyol, Joaquin, di perempat final Piala Dunia 2002. Tendangan tersebut merupakan tendangan pinalti keempat Spanyol.

Keberhasilan Lee menahan bola yang dilayangkan Joaquin ini membuat Korea Selatan lolos ke semifinal, untuk pertama kalinya dalam sejarah sepakbola mereka. Kala itu, Korsel mengalahkan La Furia Roja 5-3 dalam drama adu pinalti, Namun, langkah tim nasional Korsel berhasil dihadang oleh Jerman di babak semifinal dengan skor 0-1.

Terpikat Islam

Namun tidak banyak yang tahu jika sosok kiper senior tim nasional Korsel yang mendapat julukan 'Si Tangan Laba-Laba' ini adalah seorang Muslim. Ya, dalam skuad tim negeri ginseng yang berlaga dalam Piala Dunia 2010 yang baru saja berakhir, Lee boleh dibilang satu-satunya pemain sepakbola Muslim.

Perihal keislaman Lee ini memang belum diketahui banyak pihak. Maklum, di Korsel mayoritas penduduknya beragama Buddha dan Kristen. Jadi, tak mengherankan, jika sosok Lee sebagai Muslim jarang diekspos. Meskipun begitu, di kalangan muslim pencinta sepakbola, Lee lumayan dikenal. Lee adalah seorang mualaf sejak tahun 2004. Jadi, ketika dia menyandang predikat Muslim sebagai pemain Korsel di Piala Dunia adalah sejak Piala Dunia 2006 di Jerman.

Perkenalan Lee dengan Islam terjadi di tahun 2004 silam. Sebelum memeluk Islam, Lee adalah penganut Kristen yang terbilang taat. Namun, perkembangan Islam yang cukup pesat di negaranya membuat dia tertarik dengan ajaran Islam. Lee pun akhirnya memutuskan menjadi Muslim. Dan, sejak saat itu ia taat menjalankan shalat dan puasa.

Saat Ramadhan tiba, Lee tetap berpuasa meski kompetisi sepakbola tengah berlangsung. Setiap harinya, Lee pun seperti biasa menjalankan shalat lima waktu dan sesekali ke masjid kalau pulang latihan atau menuju rumahnya. Lelaki berusia 37 tahun ini menikmati hari-harinya dengan tenang meskipun orang-orang di lingkungan sekitarnya kebanyakan non-Muslim.

Lee pun merasakan tolerasi beragama di tim nasional Korea Selatan dan di klubnya sehingga dia tidak merasa rikuh dengan predikat Muslim yang disandangnya.

Pensiun

Sepanjang karirnya, Lee tercatat sudah mengikuti empat Piala Dunia, dan ini membuat namanya masuk dalam dafrtar salah satu dari tujuh pemain Asia yang pernah bermain di empat Piala Dunia yang berbeda. Namun, pada ajang Piala Dunia 2010 lalu ia hanya menjadi pemain cadangan. Pelatih kepala Korsel Huh Jung-moo lebih memercayakan posisi kiper nomor satu kepada Jung Sung-ryong.

Posisinya yang hanya menjadi pemanas bangku cadangan selama Piala Dunia 2010 lalu ini agaknya yang membuat Lee akhirnya memutuskan untuk pensiun sebagai pemain nasional. Pertandingan persahabatan melawan Nigeria pada 11 Agustus 2010 lalu dengan kemenangan 2-1 menjadi penampilan Lee yang terakhir di tim nasional Korea Selatan. Lee telah menjadi bagian dari skuad Ksatria Taeguk dalam 130 pertandingan sejak 1994.


http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/10/09/28/136854-lee-woonjae-kiper-muslim-dari-negeri-ginseng

Jumat, 01 Oktober 2010

Nur Setia Ningrum, Perjalanan Panjang Menuju Hidayah

Dari lahir hingga dewasa, Nur Setia Ningrum menganut agama Kristen Katholik. Nama depan sebagai tambahan saat dibaptis juga tersandang di depan namanya, yaitu Maria Margareta Nur Setia Ningrum. Namun diusianya yang ke-25 hidayah Allah datang, hingga ia mengambil keputusan untuk masuk ke dalam agama Islam. Berikut sekilas kisah kehidupan dan keislaman Mbak Nur Setia Ningrum.

Nur Setia Ningrum lahir pada 26 Juni 1975 dari pasangan almarhum Bapak Suradhi dan Ibu Emiliana Suwarni. Bapak Suradhi penganut Islam sedang Ibu Suwarni penganut Katholik.

Pada mulanya Ibu Suwarni menganut agama Islam, kedua orang tuanya Islam dan seluruh saudaranya juga Islam, namun karena saat SMP bersekolah di Saverius, akhirnya ia berpindah agama menjadi Katholik.

Saat melangsungkan pernikahan dengan Almarhum Bapak Suradhi dengan tata cara Islam, namun tak lama kemudian Ibu Suwarni tetap menganut Katholik hingga kini. Dari perkawinan di atas dikaruniai 3 orang anak yang ketiganya menganut Katholik. Namun Alhamdulillah kini Mbak Nur telah menjadi muslimah.

Sejak lahir hingga menamatkan pendidikan di SMEA, Nur termasuk penganut Katholik yang taat. Ia juga sempat mengikuti krisma, sejenis "pendidikan" untuk menguatkan keimanannya dalam Katholik.

Selepas dari SMEA, dalam usia 19 tahun ia memberanikan diri untuk merantau ke Batam. Di sana ia bekerja di sebuah perusahaan elektronik yang menyediakan asrama bagi para pegawainya. Dan dari asrama inilah Nur mengenal dan pertama kali tertarik dengan Islam.

Para teman asrama yang beragama Islam sering mengadakan acara pengajian, ia tak berani untuk hadir, namun sering membantu mengurus konsumsi pengajian. Dan saat sibuk menyiapkan minuman dan hidangan itulah ia mengenal tentang Islam.

Setelah sekitar dua tahun di Batam, pada bulan September 1996 ia mendapat kabar bahwa ayah tercinta (yang menganut agama Islam) telah tiada. Kabar tersebut sangat membuatnya sedih. Sebagai anak wanita satu-satunya dan sekaligus anak tertua, ia sempat shock dengan cobaan tersebut.

Di saat sedang dirundung kesedihan, pada suatu hari sepulang dari kerja ia melihat banyak orang sedang berkumpul hingga memacetkan jalan. Dengan penasaran ia mencoba mendekati, untuk mengetahui penyebabnya. Ternyata saat itu dai kondang Zainuddin MZ sedang menyampaikan ceramah di sebuah masjid, dan hadirin yang mengikuti meluber hingga memacetkan jalan.

Saat mendekati lokasi, secara kebetulan Mbak Nur mendengar apa yang disampaikan oleh Zainudin tersebut. Dan kata-kata yang sangat menusuk hati hingga selalu diingatnya adalah, “Orang tua yang sudah meninggal bisa saja masuk ke dalam surga bila di doakan oleh anaknya yang sholeh. Anak yang sholeh adalah anak yang menganut agama Islam, taat, menjalankan sholat dengan baik …… bukan hanya sekedar Islam KTP".

Saat itu juga hidayah Allah masuk ke dalam lubuk hatinya, ia merasa bahwa jika ingin ayahnya masuk surga, maka ia harus menjadi anak yang sholehah yang selalu mendoakan ayahnya. Sebelum itu ia jarang berdoa dan kalaupun berdoa, ia merasa doanya tak dikabulkan Tuhan.

Ia sangat tertarik untuk masuk Islam, namun ia kebingungan bagaimana caranya dan kepada siapa ia akan bertanya? Saat dia mengutarakan keniatannya untuk masuk Islam kepada teman seasrama, mereka malah membuatnya takut. "Islam itu berat, kamu sudah siap belum". "Masuknya mudah, tetapi kamu harus menjalankan kewajiban-kewajiban, bukan hanya masuk Islam ……." Dan kata-kata sejenis yang membuatnya berkesimpulan, bahwa ia belum siap untuk memeluk agama Islam.

Sebenarnya keniatan yang ada di hatinya telah mantap, namun karena ucapan teman ia justru merasa belum siap. Padahal ia pernah bermimpi selama 3 malam berturut-turut. Di dalam mimpinya ia akan pergi ke gereja, namun sampainya justru ke masjid. Mulai saat itu ia juga merasa sangat syahdu apabila mendengar lantunan qashidah, bahkan sering sampai bulu romanya berdiri.

Pada awal tahun 2000, setelah enam tahun bekerja di Batam, Mbak Nur kembali ke Sragen. Saat di Sragen inilah ia merasa mendapatkan kejelasan dari apa yang selama ini mengganjal di hatinya. Berkat bimbingan Ustad Naim Mustafa, yang masih pamannya sendiri, akhirnya ia mengetahui dan merasa siap untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.

Akhirnya pada bulan Pebruari 2001, bertepatan dengan diadakannya acara selapanan di desa Siwalan, Mbak Nur mengikrarkan keislamannya di hadapan Al-Habib Syekh Asseqaf, Ustad Naim Mustafa, Ustad Thoyib dan para hadirin yang mengikuti acara selapanan.

Sebulan setelah memeluk Islam, Alhamdulillah Mbak Nur mendapatkan jodoh dan melangsungkan pernikahan, tepatnya pada tanggal 10 Maret 2001. Bapak Suparto, suami Mbak Nur termasuk jamaah Fosmil yang berprofesi sebagai petani melon. Dari perkawinan pasangan di atas, kini mereka telah dikaruniai seorang putri yang bernama Falia Fitriyatin Nisa' yang telah berumur 8 bulan. Semoga perkawinan dan keluarga mereka serta keluarga kita semuanya diberkahi oleh Allah SWT.

"Setelah masuk Islam saya merasa tentram dan bisa mendoakan ayah saya', ucap Mbak Nur. Semoga ketentraman dan keislaman menyertai kita semua hingga akhir hayat. Dan khusus bagi ayah Mbak Nur, semoga Allah SWT mengampuni seluruh dosa dan kesalahannya, melapangkan kuburnya, melipatgandakan pahalanya dan memasukkannya ke dalam surga tanpa hisab tanpa azab, amiiin.

Demikian sekilas kisah keislaman Mbak Nur Setia Ningrum, semoga pembaca dapat mengambil manfaat dan hikmahnya.

www.mualaf.com

Mengapa Bibel Tak Bisa Dihafal, Padahal Al-Quran Bisa?

Salah satu faktor yang mengokohkan keislaman H Insan LS Mokoginta (Wencelclaus) setelah meninggalkan Kristen adalah mukjizat Al-Qur’an yang mudah dihafal secara benar dan tepat. Padahal selama menjadi Kristen, muhtadin asal Manado ini belum pernah menjumpai para penginjil, pendeta, pastor dan umat kristiani yang hafal Alkitab (Bibel) dengan benar di luar kepala.

Untuk membagi pengalaman rohaninya, dalam berbagai kesempatan dakwah, Mokoginta tak pernah lupa berbagi ketakjuban terhadap kitab suci Al-Qur’an yang mudah dihafalkan oleh siapapun. Bahkan Mokoginta menuangkan dalam buku “Mustahil Kristen Bisa Menjawab: Berhadiah Mobil BMW.” Dalam buku ini, Mokoginta menggelar kuis terbuka: Jika ada yang hafal ayat Alkitab maka akan diberi hadiah mobil BMW.

Gayung bersambut, akhirnya Pendeta Budi Asali, M.Div merasa tersengat dengan tantangan Mokoginta. Maka beberapa bulan lalu pendeta dari Gereja Kristen Rahmani Indonesia ini menulis buku tanggapan balik “Siapa Bilang Kristen Tidak Bisa Menjawab?”

Anehnya, soal tantangan hafal Bibel di luar kepala tersebut, Pendeta Budi sama sekali tidak menjawab dengan pembuktian bahwa ada orang Kristen yang hafal Bibel di luar kepala tanpa kesalahan sedikit pun. Ia malah berkilah:

“Saya bukan Islam, dan tidak pernah menjadi Islam, dan juga tidak terlalu mendalami Islam, sehingga saya tidak terlalu tahu dengan persis apa sebabnya banyak orang Islam menghafal Al-Qur’an. Tetapi mungkin, karena adanya semacam kefanatikan terhadap bahasa Arab… Yang jelas, dalam Kristen tidak ada kefanatikan terhadap bahasa asli, dan juga tidak keharusan menghafal secara persis, dan tak ada pahala apa-apa dalam menghafalkan ayat-ayat Alkitab” (hlm. 212).

Memang Islam dan Kristen berbeda teologis dalam hal bahasa Kitab Suci. Islam sangat menekankan pentingnya bahasa asli Al-Qur’an yaitu bahasa Arab, sementara Kristen mengabaikan bahasa asli Bibel. Tapi tidak benar kesimpulan Pendeta Budi, bahwa perbedaan ini dilatarbelakangi oleh sikap fanatik terhadap bahasa tertentu. Perbedaan Islam dan Kristen dalam hal bahasa kitab suci bisa dijelaskan sbb:

1. Umat Islam membaca Al-Qur’an dalam bahasa Arab bukan karena fanatik, tapi karena Allah SWT mewahyukan Al-Qur’an dalam bahasa Arab (Qs Thaha 113, Az-Zumar 27-28, Az-Zukhruf 3, Ar-Ra’d 37). Sedangkan Alkitab (Bibel) tidak ada jaminan dari Tuhan, dalam bahasa apa kitab ini diinspirasikan.

Islam membedakan antara Al-Qur’an dengan “Terjemah Al-Qur’an” dalam berbagai bahasa. Bila ada kesalahan terjemah Al-Qur’an, bisa dicocokkan dengan nas asli Al-Qur’an dalam Bahasa Arab. Hal ini tidak bisa dilakukan oleh umat Kristen yang sudah kehilangan bahasa asli Bibel.

2. Membaca Al-Qur’an sangat besar keutamaannya, yaitu dengan reward berupa nilai amal shalih sepuluh kali lipat. Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitab Allah, ia akan diberi imbalan amal shalih, dan satu amal shalih akan mendapat pahala sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan alif lam mim sebagai satu huruf melainkan alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf” (HR Tirmidzi).

Inilah juga membedakan kitab suci Al-Qur’an dengan buku bacaan lain. Membaca saja sudah berpahala, terlebih lagi jika memahami dan mengamalkannya, tentu lebih banyak lagi pahalanya. Sedangkan membaca Bibel, tidak ada jaminan dari Yesus maupun Tuhan, bahwa membaca satu huruf Bibel mendapat kebaikan.

3. Umat Islam bersemangat untuk menghafal Al-Qur’an juga bukan karena fanatisme Arab, tetapi karena tingginya derajat para huffaz (penghafal) Al-Qur’an, antara lain sebagaimana dinyatakan Rasulullah dalam beberapa hadits: huffaz Al-Qur’an adalah keluarga Allah yang khusus (ahlullah wa khaasshatuh), mereka akan memperoleh kedudukan setinggi (sebanyak) ayat yang dia baca, akan diberi pahala dari setiap huruf yang dibaca sepuluh kebajikan.

Ini bukan berarti Islam mengutamakan pembacaan dan penghafalan lalu melalaikan pemahaman dan pengamalan. Bukankah “menghafal” adalah salah satu bagian daripada proses pemahaman suatu ayat? Sedangkan Bibel, sebagaimana pengakuan Pendeta Budi, sama sekali tidak pernah memberikan reward kepada orang yang menghafal ayat-ayat Bibel.

4. Umat Kristen tidak bisa membaca kitab suci dalam bahasa aslinya, karena naskah asli Alkitab yang disebut “autographa” sudah hancur dimakan umur. Alkitab yang ada saat ini adalah salinan dari salinan-salinan naskah kuno yang disebut “manuscript.” Manuskrip-manuskrip ini pun tidak tahan dimakan usia, karena itu disalin ulang oleh para penyalin sampai sekarang ini terdapat ribuan manuskrip Alkitab. Rev David J Fant dari New York Bible Society, mengakui bahwa naskah asli Alkitab telah hilang: “The question naturally arises, do any of the original manuscripts of the Bible still exist? The answer is No. The original manus¬cripts were on papyrus and other perishable materials and have long since disappeared” (Simple Helps and Visual Aids to Understanding The Bible, hlm. 6).

[Persoalan yang biasanya ditanya, adakah naskah-naskah asli Alkitab masih ada sehingga kini? Jawabannya tidak! Naskah-naskah asli di atas papirus dan bahan-bahan lain yang mudah rusak semuanya telah lama hilang].

Jadi, umat Islam membaca Al-Qur’an dalam nas Arab karena nas inilah yang disebut kitab suci Al-Qur’an yang orsinil sesuai dengan yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan umat Kristen mengabaikan pembacaan dan penghafalan Bibel dalam bahasa asli, karena mereka sudah kehilangan bahasa asli Alkitab.

http://putrahermanto.wordpress.com/2010/04/15/mengapa-bibel-tak-bisa-dihafal-padahal-al-quran-bisa/