Jumat, 03 September 2010

Oey Kiam Tjeng : Islam, Jalan Terbaik untuk Kami

Siapa sangka kalau pada akhirnya jalan Islam juga yang menjadi pilihan hidup saya, sekian lama batin saya terasa kering dan rindu akan sentuhan rohani, seperti yang saya dapat dari agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW. ini. Saya merindukan Islam, agama yang insya Allah akan memberikan kebahagiaan dunia akhirat kepada saya dan keluarga. Sava lahir di Cirebon,18 Mei 19.50 dengan nama Oey Kiam Tjeng. Meski terlahir sebagai WNI keturunan Cina, saya bersyukur karena masih diterima di lingkungan tempat tinggal saya, yang tentu saja didominasi kaum pribumi.

Mereka, orang-orang Cirebon, sebagian besar, bahkan hampir seluruhnya, adalah pemeluk agama Islam yang taat. Saya yang ketika itu masih kanak-kanak, sedikit-banyaknya jadi tahu apa itu Islam, lewat apa yang dikerjakan oleh teman-teman sepermainan, juga orang-orang Islam dewasa yang berada di sekeliling saya. Masa kanak-kanak adalah bagian terindah dalam hidup saya, karena pada masa itu saya tidak pemah merasakan ada perbedaan di antara manusia. Saya tidak peduli kalau kulit saya kuning bersih dan bemata sipit, sementara teman-teman saya yang lain berkulit sawo matang atau kehitam-hitaman, dengan mata dan bibir yang besar dan juga termasuk soal agama yang kami anut.

Saya yang saat itu beragama Budha, sesuai agama keluarga kami, seringkali pula duduk di pengajian, karena teman-teman saya hampir semuanya ada di sana saat selesai shalat magrib, sampai menjelang isya. Saya merasa, apa yang saya lakukan saat itu adalah hal yang wajar-wajar saja, sesuai dengan yang biasa dilakukan oleh teman-teman saya yang lain. Apa yang saya anggap biasa-biasa itu, temyata tidak demikian di mata orang tua saya. Mama sempat menegur saya ketika saya dengan polos menirukan gerakan orang shalat, seperti yang pemah saya lihat saat bermain di rumah teman yang beragama Islam. Mama bilang saya tidak boleh sembarangan melakukan gerakan itu.

"Itu gerakan ibadah yang dianggap suci dalam agama Islam. Jangan sembarangan" Teguran mama saya patuhi. Saya tidak lagi sembarangan meniru gerakan orang shalat, karena saya mulai tahu kalau itu adalah semacam pelaksanaan ibadah yang suci dalam agama Islam, yang harus dihormati.

Dianggap Orang Luar

Pada akhirnya, apa yang selama ini saya khatiwatirkan terjadi juga, yang membuyarkan impian masa kecil saya tentang indahnya arti hidup tanpa ada perbedaan lahir maupun batin. Saat sekolah di SMU, saya mulai dianggap sebagai "orang luar", karena saya memang sedikit berbeda dengan mereka, orang-orang Indonesia ashi. Namun, saya tetap berkeyakinan kalau semua itu cuma berlaku sebagai ejekan teman-teman belaka. Tekad yang ada dalam hati saya saat itu cuma satu, meski cuma WNI keturunan Cina, tapi saya juga punya semangat dan rasa cinta tanah air Indonesia, seperti pribumi lainnya.

Pada masa-masa itu pula, status keagamaan nyaris tak pernah mendapat perhatian saya. Saya memang beragama Budha, cuma sebagai syarat agar tidak dicap sebagai orang yang tak beragama. Hal itu berlangsung terus, sampai saya lulus SMU, kuliah di Akademi Pelayaran, dan bekerja beberapa tahun lamanya.

Tahun 1979, saya bertemu seorang gadis cantik yang juga ketutunan Cina, beragama Kristen. Namanya Thio Loan Kiok. la tipe gadis idaman saya. la cantik, pintar, dan berasal dari keluarga baik-baik. Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1981, kami resmi menikah sesuai agama calon istri saya, Kristen Katolik. Meski demikian, saya menolak untuk dibaptis dan diberi nama baru. Saya bilang, "Saya mau menikah dengan calon istri Katolik, tapi tidak untuk dibaptis." Waktu itu kami menikah di Cirebon, dan selanjutnya menetap di sana.

Setelah menikah dan punya anak, seharusnya saya merasa puas. Apalagi usaha yang saya jalani di Cirebon cukup berhasil dan membuat kehidupan kami cukup, bahkan berlebih. Tapi, tidak demikian kenyataannya. Kadangkala saya merasa ada sesuatu yang kurang dalam diri saya, yakni status keagamaan saya. Entah mengapa, perasaan itu datang dalam hati dan mengganjal pikiran saya. Tapi saya berusaha untuk tidak terlalu larut dalam keadaan itu dengan jalan menyibukkan diri pada pekerjaan.

Menerima Islam

Tahun 1985, saat saya memutuskan untuk pindah ke Plered, Jawa Barat. Bisa dikatakan ini sebagai awal pertemuan saya kembali ke Islam dan itu terjadi lewat kejadian tidak disengaja dan unik. Ceritanya bermula saat istri saya yang mengurusi KTP mendapatkan status keagamaannya (tak disengaja) tertulis Islam, padahal ia beragama Kristen Katolik. Tapi istri saya anehnya tidak merasa keberatan dengan kesalahan itu. la yang memang sudah tidak terlalu aktif dengan kegiatan di gereja, yang terletak di kota Cirebon, bahkan terlihat senang-senang saja dengan ketidak sengajaan petugas kecamatan itu.

Saya pun jadi iri, hingga saya katakan pada pengurus kecamatan untuk mencantumkan agama Islam dalam KTP saya. Permintaan saya itu disambut antusias oleh pegawai kecamatan itu, hingga akhirnya jadilah kami berstatus agama Islam, meski hanva dalam KTP.

Selanjunya, istri saya jadi semakin tertarik pada agama Islam. Begitu pun saya. Dari peristiwa KTP itu, saya merasa seolah-olah itu adalah jalan kami berdua untuk menjadi seorang muslim. Jalan menuju Islam antara saya dan istri saya memang sedikit beda. Kalau istri saya barangkali lebih menggunakan perasaan, terutama seperti yang is ceritakan betapa is merasa ingin sekah mengenakan mukena yang biasa dipakai wanita muslimah saat shalat, maka saya 'lebih menggunakan rasio atau akal'.

Saya coba mencari tahu apa itu Islam lewat buku-buku secara diam-diam. Alhamdulillah, setelah beberapa tahun lamanya mencari-cari, pada 10 November 1991, saya dan isteri resmi menjadi pasangan muslim, lewat bimbingan Drs. H. Salim Badjri. Proses pengislaman yang berlangsung di Cirebon itu adalah awal kebahagian yang sava dapati saat ini. Setelah masuk Islam nama saya berganti menjadi H.M. Andaka Widjaya.

Meski pada tahun-tahun pertama keluarga dari pihak istri saya, yang kini bernama Hj. Siti Aisyah Kristanti, kurang bisa menerima hal itu, tapi kami berdua menganggap itu sebagai bagian dari perjalanan keislaman kami.

Kini, saya dan istri serta anak-anak, hidup bahagia di Plered, membuka usaha yang bisa dibilang berhasil. Saya bahkan segera bergabung dengan Yayasan Karim Oey, sebuah lembaga yang anggotanya adalah orang-orang peranakan Cina yang masuk Islam. Kantor pusatnya di Jakarta.

Dan, saya dipercaya untuk menjabat sebagai kepala perwakilan Cirebon. Dan, yang paling membuat sava bahagia adalah bahwa saya dan istri sudah menunaikan ibadah haji yang kami laksanakan pada tahun 1995. Sungguh nikmat Allah SWT tiada terkira kepada kami sekeluarga. Dalam hati saya berkata, inilah jalan hidup terbaik untuk sava. Insya Allah saya tidak akan pernah lagi lepas dari jalan Islam ini.

"Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/ oleh Mualaf Online Center (MCOL) http://www.mualaf.com/

Putri Wong Kam Fu (Pek Kim Lioe) :Tergugah Acara MTQ Nasional

Saya adalah WNI keturunan yang tinggal di wilayah perkampungan muslim. Pergaulan dan interaksi saya kepada sesama warga sangat erat. Keluarga saya memang bukan keluarga muslim, namun masyarakat sekitar sudah menganggap keluarga saya seperti saudara sendiri. Dari sinilah saya merasakan adanya persamaan dan persaudaraan. Dan, dari sini pula saya mulai mengenal ajaran mereka

Saya lahir 22 Oktober 1953 di Batu, Malang, Jawa Timur. Kedua orang tua memberi nama saya Pek Kim Lioe. Saya anak tunggal dari pasangan Pek Sek Liang dan Ani. Karena sesuatu hal, kedua orang tua saya akhirnya bercerai. Saya akhimya diasuh oleh ibu tiri selama lima tahun. Sejak kecil saya dididik dalam lingkungan Nasrani, mulai SD hingga SMA.

Belum tamat SMA, saya dipinang dan kemudian menikah dengan Gabriel Dela Dorolatta Mustar, seorang pemuka Nasrani asal Nganjuk. Mustar adalah seorang guru SMP di Batu. Perkawinan saya dengan Mustar dikarunia tujuh orang anak. Tetapi, seorang di antara anak kami meninggal dunia di usia balita. Mereka adalah Vincencius Budi Prasetyo, Wongso Wijoyo, Kurniawati, Sumirasari, Rama, dan Linda.


Tertarik Pada Islam

Suatu ketika saya bersama suami nonton televisi mengenai Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) yang disiarkan langsung dari kota Pontianak (Kalbar). Saat acara berlangsung, kami menatap dengan penuh perhatian. Kami berdua membisu. Tiba-tiba saya terkejut mendengar suami saya bertanya, "Leoni, bagaimana kalau kita masuk Islam?" Pertanyaan yang tiba-tiba ini membuat saya kaget. Saya langsung membisu sambil menatapnya. Pertanyaan suami saya itu memang sudah lama saya tunggu. Saya sangat mendambakan pertanyaan itu terlontar.

Pertanyaan ini terasa memberikan kedamaian. Ada kesejukan dalam batin ini. Sesungguhnya sudah lama saya merindukan sebuah kedamaian. Sebelumnya, saya pernah merasakan kedamaian ketika mendengarkan alunan suara azan magrib dan subuh dari sebuah masjid yang berada tak jauh dari tempat tinggal saya.

Alunan suara yang memanggil orang Islam untuk segera shalat ini, sering membuat saya resah. Saya berusaha secara diam-diam mencari rahasia apa yang sesungguhnya ada di balik suara yang menggetarkan hati saya itu. Tanpa diketahui suami, saya mulai mempelajari buku-buku agama Islam yang saya beli diam-diam. Terkadang, tanpa rasa malu dan sungkan saya datangi tokoh-tokoh agama di kampung, dan bertanya berbagai hal yang berkaitan dengan Islam.

Oleh kakek saya, Empeh Wong Kam Fu, saya diperkenalkan kepada Haji Masagung (almarhum). Haji Masagung adalah pengusaha muslim keturunan Cina dan juga teman kakek sejak kecil. Oleh beliau saya diberi dua buah buku agama yang berjudul, Dialog Islam dan Kristen dan Sejarah Islam Tionghoa.

Sava akui, kedua buku itu sangat mempengaruhi keimanan saya. Segala kegiatan yang saya lakukan sengaja Saya sembumyikan. Tak pernah sedikit pun saga membicarakan apa yang saya lakukan kepada suami saya. Saya benar-benar ingin menjaga perasaannya.

Rasa simpati saya kepada orang Islam dan ajarannya makin tak tertahan lagi, ketika kakek saya Empeh Wong Kam Fu meninggal dunia. Kendati kakek saya orang Tionghoa dan beragama lain, ternyata yang datang melayat dan membantu mengurusi jenazahnva justru orang Islam setempat. Mereka dengan sukarela dan ikhlas membantu tanpa melihat latar belakang suku dan agama. Hati saya terpesona dengan kekerabatan orang Islam setempat. Rasanya, saat itu saya ingin mengutarakannya kepada suami.

Keinginan itu sempat saya tahan. Ternyata suami saga pun diam-diam mengamati kegiatan orang Islam di sekitar rumah kami. Dan, ia sangat terharu pada keikhlasan masvarakat dalam membantu keluarga kami yang tengah mendapat musibah. Puncaknya, ia mengutarakan keinginan untuk masuk Islam saat menonton siaran MTQ di televisi. Akhirnya kami berdua sepakat untuk masuk Islam.

Tindakan pertama untuk mewujudkan keinginan itu, kami berdua pergi ke Jakarta untuk menemui Haji Masagung. Sesampai di Jakarta, kami langsung menemuinva, namun tidak mendapat sambutan. Haji Masagung berkata kepada kami, "Bila hendak menjadi seorang muslim sejati, syaratnya harus berani menderita dan mati atas nama Islam. Dan, kalau kalian mau masuk Islam, tak perlu jauh-jauh ke Jakarta. Cukup melalui KUA (Kantor Urusan Agama) setempat saja".

Setelah bertemu Haji Masagung, kami segera pulang ke Malang. Sesuai saran teman kakek saya itu, kami menemui Pak Kasdri, modin (petugas azan) masjid. Kedatangan kami disambut dengan sukacita. Wajah Pak Kasdri berseri-seri saat mendengar niat kami ingin masuk Islam.

Esok harinya, Pak Kasdri mengajak kami ke kantor KUA Kecamatan Batu. Di sana kami dipertemukan dengan staf KUA, Bapak Nuryasin Masdrah. Oleh beliau kami diimbau untuk berpikir dan mempertimbangkannya masak-masak. Namun, keinginan untuk masuk Islam sudah menggebu-gebu. Terutama suami saya. la langsung menanyakan berbagai hal kepada Pak Nuryasin. Semua pertanyaan suami saya dijawab dengan sabar olehnya.

Untuk memantapkan hati, kami terus berdialog dengan Pak Kasdri dan K.H. Sayuti Dahlan, seorang tokoh Islam di Malang. Dan, kami sebagai orang tua juga memberitahukan dan mengajak anak-anak kami untuk memeluk Islam. Ajakan kami ternyata dituruti oleh anak-anak kami.

Masuk Islam
Taufik dan hidayah akhirnya datang juga kepada keluarga kami. Sebelum mengucapkan syahadat, kami sekeluarga mempersiapkan diri. Sava membersihkan seluruh tubuh. Begitu juga suami dan anak-anak kami. Saya mengenakan kain panjang dan baju kebaya tertutup dan pakai kerudung. Suami saya mengenakan kain sarung baju putih lengan panjang dan kopiah. Demikian juga dengan anak-anak kami.

Alhamdulillah, tepat bakda Jumat, di Masjid an-Nur, tanggal 12 Juli 1985, kami sekeluarga dibimbing K.H. Suyuti Dahlan, mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat. Sungguh, saya tak dapat menahan haru. Air mata saya menetes. Sava sangat bersyukur. Tiba-tiba hati saya yang selama ini gelisah menjadi damai.

Setelah menjadi seorang muslimah, nama saya segera diganti menjadi Fatimah. Dan, nama pemberian itu saya gabungkan dengan nama lama saya, sehingga menjadi Leoni Fatimah. Nama suami saga menjadi Mohammad Mustar. Keharuan kian menjadi setelah ikrar selesai. Oleh Pak Kasdri saya diberi selembar sejadah dan oleh H. A Zakaria, suami saya diberi kopiah.

Para tetangga menyambut dan bersvukur atas masuk Islamnya kami sekeluarga. Untuk menambah dan memperkokoh keimanan, saya bersama suami dan anak-anak mulai aktif belajar membaca dan menulis Al-Qur'an serta pengajian. Saya mendirikan mushala di rumah untuk shalat berjamaah. Alhamdulillah, tahun 1987 saya dapat menunaikan ibadah haji.

Saya mulai aktif berdakwah, setelah terpilih menjadi Ketua Yayasan Karim Oei Jawa Timur, pada 26 November 1995. Dalam memimpin yayasan ini saya mencanangkan salah satu program untuk mengajak warga keturunan mengenal dan memahami Islam secara lebih mendalam, yaitu lewat kegiatan rutin belajar membaca dan menulis AI-Qur'an dan pengajian.

(Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/ )

R. Erna R.S. : Salam dan Kesucian Islam Membukakan Hati Saya

SAYA dilahirkan dari keluarga Kristen Protestan yang taat. Kedua orang tua saya adalah orang yang sangat tekun menjalankan ibadah, baik ke gereja maupun ibadah yang diadakan di lingkungan masyarakat. Berkat ketelatenannya itu, ayah saya dipercaya sebagai penatua. la memimpin gereja di suatu distrik atau wilayah di tempat tinggal kami. Tak heran, jika kami--anak-anaknya--mengikuti jejak beliau, aktif di lingkungan yang sarat dengan aktivitas kerohanian itu.

Sebagai anak tertua, saya lebih menonjol dalam bidang kerohanian. Sejak kecil, saya biasa mengikuti Sekolah Mingguan. Saya selalu menjadi panutan bagi yang lain. Saya selalu terpilih sebagai duta atau wakil teman teman dari gereja untuk mengikuti pertandingan atau perlombaan perlombaan yang diadakan gereja secara rutin setiap tahun.

Hingga dewasa dan sampai saya pindah ke kota Jakarta, kemampuan saya dalam berorganisasi di bidang kerohanian di lingkungan gereja maupun kantor-sangat diperhitung kan. Di sini, saya pun selalu dipercaya memegang kepengurusan.

Walaupun banyak kegiatan yang saya ikuti di gereja, bahkan sampai menyita waktu, baik malam maupun siang hari, sejauh itu saya hanya senang dan gembira pada saat kegiatan itu berlangsung. Tetapi jika kegiatan itu berakhir, maka yang tinggal hanyalah penat, bosan, dan capek. Demikianlah kehidupan rutinitas saya yang selalu monoton tanpa ada perasaan lega atau bahagia, sehingga ada rasa rindu menanti kegiatan kegiatan gereja lainnya.

Karena hal-hal ini tidak membuat saya merasa berarti, suatu ketika saya coba-coba non aktif dari kegiatan, namun tidak ada bedanya. Maksudnya, meskipun saya tidak aktif, tetapi kerinduan ingin kembali bergabung dengan teman-teman atau kegiatan gereja, sama sekali tidak ada. Karena hal inilah, saya mulai berpikir dan koreksi diri mengenai masa depan saya. Apakah saya bisa hidup tanpa arah yang pasti? Sehingga pada suatu waktu saya tertegun dan merenungi hidup, mengapa kehidupan saya hanya sebatas senangsenang sementara, tanpa ada kedamaian atau kebahagiaan dalam sanubari.

Kabur dari Rumah Paman


Sampai suatu hari terjadi peristiwa yang tidak mungkin saya lupakan sepanjang hidup saya. Saya pergi meninggalkan rumah (pada waktu itu saya tinggal bersama paman). Saya melakukannya karena ada hal yang tidak bisa saya terima atas perlakuan keluarga paman kepada saya. Selanjutnya, saya mengontrak rumah sendiri.

Pada saat seperti itu, tak satu pun teman-teman seiman menolong saya. Mereka malah mencemooh saya dengan praduga yang tidak berujung pangkal. Tapi, saya merasa bahagia di saat saya jauh dari keluarga, saya menemukan suatu contoh yang arif di lingkungan tempat tinggal saya yang baru dengan warganya yang mayoritas beragama Islam.

Di sini, kaum muslimin setiap bertemu atau berkunjung tidak lupa mengucapkan salam, "Assalamu'alaikum." Sepengetahuan saya, pengucapan salam yang menjadi wajib bagi seorang muslim itu, tidak dikenal di lingkungan Kristen. Bagi umat Kristen tidak ada salam khas yang wajib diucapkan jika saling bertemu.

Selain itu, masalah kebersihan dan kesucian bagi umat Islam sangatlah dijunjung tinggi. Maksudnya, meskipun kita sedang kotor (bagi wanita haid) itu tidak menjadi masalah untuk masuk ke dalam gereja menjalankan ibadah dan memegang Alkitab. Saya pun tidak pernah mendengar yang namanya bersuci atau hadas.

Maka dan sanalah saya mulai tertarik mempelajari agama Islam, walaupun secara sembunyi-sembunyi karena takut diketahui oleh orang lain, terutama oleh adik saya yang kebetulan tinggal bersama saya. Ternyata, sepandai-pandainya saya menyimpan niat, toh akhirnya tercium juga oleh adik saya. Terjadilah percekcokan. Meskipun demikian, saya tidak menyerah.

Saya mulai belajar menjalankan ibadah shalat, meskipun saya belum masuk agama yang saya pelajari ini. Sampai akhi nya teman saya mengusulkan agar saya berdialog tentang agama Islam dan Kristen, untuk lebih membuka wawasan saya mengenai agama Islam. Setelah melakukan dialog itu, rasanya tempat saya yang hakiki, memang di agama Islam.

Masuk Islam

Ternyata, teman saya mengetahui kegundahan saya itu. la pun menyarankan, jika memang sudah mantap, masuklah ke agama Islam. Jangan setengah-setengah. Berkat bantuannya, saya diantar ke Pondok Masjid Pondok Duta, Cimanggis. Pada tanggal 10 September 1994 setelah shalat magrib, saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat, disaksikan anggota remaja Masjid Pondok Duta, karena bertepatan dengan pengajian remaja.

Alhamdulillah, sejak saat itu saya merasa seperti baru dilahirkan dan hidup ini terasa berarti, ditambah wejangan pak ustadz dan teman-teman remaja masjid. Dan yang paling saya kagumi, ada seorang ibu yang menghadiahkan saya benda berharga yang belum pernah saya miliki. Dan sampai sekarang ibu itu adalah figur yang saya kagumi. Saya ingin seperti beliau yang selalu bertindak sabar dan arif.

Sejak itu kehidupan saya berubah dan yang drastis adalah sikap keluarga dan teman-teman di lingkungan kerja saya. Mereka mengucapkan tuduhan-tuduhan yang sangat menyakitkan dan bahkan sampai teror pun datang. Tapi meskipun demikian, berkat pertolongan Allah SWT dan doa teman-teman seiman, teror dan tuduhan pun berangsur-angsur hilang seiring bergulirnya waktu.

Alhamdulillah, setelah saya menjadi muslimah, ridha Allah tak henti-hentinya datang. Saya diberi jodoh, dan kini telah dika runia dua orang anak, putra dan putri. Semoga anak-anak kami ini menjadi anak yang saleh dan salehah yang setia pada agamanya.

("Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/) oleh Mualaf Online Center http://www.mualaf.com/

Tan Ping Sien (Muhsin): Ajaran Yesus untuk Bani Israel ?

DALAM soal agama, mungkin saya termasuk jenis manusia yang suka coba-coba. Bukan sembarang coba-coba, melainkan sebuah upaya untuk mencari pegangan hidup yang sesuai dengan pilihan hati nurani. Karena, agama yang pernah saya anut tidak sesuai dengan kata hati, akhirnya saya jadi "petualang" agama demi mencari hakikat kebenaran. Dimulai dari Konghucu, saya pindah ke kebaknan (kejawen), lalu meloncat ke Kristen, dan kemudian mantap di Islam.

Saya dilahirkan pada 4 April 1938 di Kepanjen, Solo, Jawa Tengah. Kedua orang tua saya adalah WNI keturunan Tionghoa dan menganut agama Konghucu. Karena ayah dan ibu saya Konghucu, otomatis saya terlahir sebagai penganut Konghucu. Namun, keyakinan itu tidak begitu melekat karena ayah saya memang tak peduli dengan urusan itu. Di usia remaja, saya pindah ke kebatinan (kejawen). Di sini pun hati saya belum sreg. Karena teman saya banyak yang beragama Kristen, saya pun akhirnya tertarik untuk menjadi pengikut Yesus.

Di agama yang berlambang salib ini, saya agak kerasan. Tapi, saya tak berhenti pada satu sekte saja. Saya berpindah sekte, mulai Pantekosta, Kitok Kauhwe, ke Bethel Injil Sepenuh. Di sekte yang disebut terakhir ini, saga sempat dipermandikan untuk membasuh dosa-dosa.

Ketika usia saya mencapai 22 tahun, saya menikah dengan seorang gadis beragama Islam. Walaupun kami menikah dengan cara Islam, namun dalam kehidupan sehari-hari, saya tetap konsisten dalam melaksanakan ajaran agama asal saya. Sementara, keislaman istri saya tidak begitu kokoh, sehingga tak jarang is ikut saya ke gereja.

Pada tahun 1969, saya mulai menginjakkan kaki di Jember, Jawa Timur, setelah usaha saya di Solo kandas. Terus terang, usaha saya saat itu memang serabutan. Saya terlena dan memperturutkan kesenangan duniawi, sehingga begitulah akibatnya.

Di awal tahun 1973, saya menikah lagi dengan seorang gadis Kristen di Solo. Hal ini membuat saya semakin sibuk, karena selain dikejar-kejar oleh keharusan memenuhi nafkah dua istri, saya juga harus bolak-balik Solo-Jember. Kendati begitu, saya tak melalaikan kewajiban sebagai penganut Kristen. Di waktu-waktu luang, saya tetap mempelajari Injil, juga tetap rajin ke gereja. Namun, dari situlah saya menemukan keanehan dalam soal ketuhanan Yesus.

Saya ragu dan khawatir, jangan-jangan Yesus tak sudi berbuat sesuatu untuk menolong saya di akhirat kelak. Sebab, Yesus diutus khusus untuk Bani Israel. Itu artinya, orang-orang di luar bangsa Israel tidak berhak menuhankan Yesus. Yesus pun tentu tak ada kewajiban untuk melindungi pengikutnya selain bangsa Israel. Termasuk umat Kristen di Indonesia. Sebabnya jelas, Yesus diutus untuk Bani Israel. Keterangan serupa bisa dibaca pada Kejadian Rasul-rasul 5:1.


Mempelajari Islam

Dari keraguan itu, saya mencoba mempelajari Islam. Saya membanding-bandingkan antara AI-Qur'an dan Injil, khususnya tentang kerasulan Muhammad. Apa Muhammad diutus untuk orang Arab saja? Temyata tidak. Muhammad diutus untuk seluruh urnat manusia. Bahkan untuk seluruh alam (rahmatan Iii 'alamin).

Hal itu bisa dilihat dari ayat atau hadits yang bersifat seruan dakwah, umumnya berbunyi, "Wahai manusia...," bukan "Wahai bangsa Arab..." Logikanya, siapa saja yang bernama manusia, boleh, bahkan wajib masuk dalam kategori seruan nabi untuk mengimani Allah.

Bahwa At-Qur'an dan Nabi Muhammad menggunakan bahasa Arab, itu berkaitan dengan kondisi masyarakat yang akan dibina. Sungguh tidak lucu bila di lingkungan si pembawa dakwah (nabi), sang nabi malah berbicara dengan bahasa Inggris, misalnya. Di samping tak komukatif, juga tak efektif bagi upaya dakwahnya.

Akhirnya, di pengujung tahun 1973, saya resmi masuk Islam di Jember. Nama saya diganti menjadi Muhsin. Tiga tahun kemudian saya menyunting wanita Jember sebagai istri ketiga. Dia seorang muslimah yang taat. Dua istri saya yang lain (di Solo), akhirnya saya tinggalkan. Sejak saat itu pula saya menetap di kota Tembakau ini. Soak itu pula hati saya semakin terdorong untuk memahami agama Islam.

Sebenarnya saya sangat berharap agar ketiga saudara saya bisa mengikuti jejak saya. Saya ingin mereka seiman dan seagama dengan saya. Namun, keinginan itu hanya sebuah kesia-siaan belaka. Saya menemui kendala yang tak ringan untuk membimbing langkah mereka ke jalan yang lurus. Tetapi saya bangga masih bisa mengislamkan orang dengan membawa iman Islam.

Selanjutnya, kehidupan kami berjalan sebagaimana biasa. Untuk mengisi aktivitas keagamaan, sampai sekarang saya masih aktif men uti manaqib di Pesantren A1-Qodiri Gebang, Jember. Selain itu, saya juga aktif di Organisasi Pembina Iman Tauhid Islam atau Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) di bagian Dakwah.

Kini, saya hidup bahagia bersama istri dan dua orang anak di dusun Suka Makmur, desa Klompangan, Kec. Jenggawah, Kab. Jember, Jawa Timur. Semoga kebahagiaan ini mengantarkan saya menjadi orang yang senantiasa bersyukur atas nikmat Allah, betapa pun kecilnya.

("Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/ )

Sri Hartini (Tjwan Trien Nio) : Bermula dari Badai Rumah Tangga

Kalau sampai saat ini saya masih menikmati hidup, itu tidak lain karena rahmat Allah semata. Saya, Tjwan Trien Nio, kelahiran Juana, Jawa Tengah, 17 Juli 1953, pernah dihempas badai kehidupan yang nyaris menghancurkan masa depan saya. Tapi lantaran badai itu pula saya mengenal Islam. Bahkan, Alhamdulillah kemudian menjadi penganutnya yang setia, amien.

Jika mengenang masa lalu yang pernah mengisi lembaran hidup saya, hati ini terasa pedih. Luka itu begitu menggores hati, seperti disayat sembilu. Betapa tidak, suami satu-satunya yang menjadi tambatan hidup saya, ternyata tidak memberi pimpinan dan pengayoman. Setiap saat timbul cekcok. Sulit mencari titik temu. Hanya karena persoalan sepele saja bisa dijadikan alasan menyulut pertengkaran. Akibatnya, bahtera rumah tangga kami hancur dihempas badai perceraian. Padahal, kami sudah dikaruniai tiga orang anak yang manis dan lucu.

Meskipun saya beragama Katolik, tetapi perceraian itu akhirnya tidak bisa dihindari. Sebab, Hadikusuma, suami saya yang juga keturunan Tionghoa itu menganut Konghucu. Perlu pembaca ketahui, pernikahan kami dulu tidak mendapat restu gereja, karena kami berbeda keyakinan. Akhirnya kami menikah di Kantor Catatan Sipil.

Perceraian itu tentu saja memukul perasaan saya, karena saya hares memulai hidup dari bawah lagi. Harta tak punya, Modal untuk berdagang pun tak ada. Syukurlah pengadilan memutuskan supaya bekas suami saya itu memberikan harta "gono-gini" untuk penyambung nafkah saya selanjutnya. Oleh suami, saya diberinya sebuah loos (toko kecil) berikut sedikit barang dagangan.

Tentu saja saya harus memulainya dari bawah lagi. Saya akui bahwa saya tak begitu pandai berdagang sebagaimana lazimnya wanita Tionghoa. Sebab, sebelum perceraian terjadi saya lebih banyak mencurahkan perhatian untuk merawat anak dan mengurus rumah tangga.

Bisa Anda bayangkan, dengan hanya bermodal sedikit barang, usaha saya tak bisa berkembang. Saya lebih sering menderita kerugian. Karena didorong oleh obsesi untuk memajukan usaha, membuat saya jauh dari gereja. Akibatnya saya menjadi gelisah sepanjang waktu.

Masuk Islam
Sementara batin saya kering dari nilai-nilai rohani, usaha saya pun tidak bertambah maju bahkan sebaliknya. Tetapi syukurlah, dalam keadaan yang kritis itu, di saat hati saya sedang gundah, datanglah seseorang yang berbaik hati menghibur dan memberi saya nasihat. Tak hanya sampai di situ, laki-laki yang tak perlu saya sebutkan namanya itu telah memperkenalkan saya dengan Islam.

Oleh laki-laki itu saya diberi harapan-harapan bahwa bahagia yang sesungguhnya hanya dapat diperoleh dengan jalan takwa kepada Allah SWT. Ia juga membimbing saya bagaimana menghadapi problema hidup yang penuh dengan perjuangan dan tantangan. Manusia boleh mengejar kehidupan dunia, tapi ia harus sadar bahwa ada kehidupan akhirat yang juga harus dipentingkan dan dipikirkan.

Singkatnya, atas bimbingannya itu, akhirnya saya resmi menjadi seorang muslimah pada tanggal 25 Mei 1984. Nama saya pun diganti menjadi Sri Hartini. Dengan iman baru dan nama yang baru pula, saya berusaha tegar dan bertekad untuk bangkit kembali.

Cobaan Kedua
Tetapi, badai yang lebih dahsyat datang mengguncang kehidupan saga setelah saya menjadi penganut Islam. Usaha dagang saya mengalami kemunduran total, hingga ludes. Tak cukup sampai di situ, kios satu-satunya pemberian bekas suami saya dulu, ikut pula terjual, Saya jadi terlunta-lunta tak punya tempat berteduh.

Mau kembali ke rumah orang tua, saya tak berani, karena mereka sudah tak mau lagi mengakui saya sebagai anggota keluarga. Saya dinilai telah menyimpang. Meskipun begitu saya merasa bangga, sebab batin saya telah dipenuhi iman Islam.

Suatu hari saya menyusuri tepi sungai. Saya melihat banyak tunawisma yang tinggal di kolong jembatan. Hidup mereka jauh untuk disebut layak. Sudah miskin harta, mereka miskin pula dari nilai-nilai agama. Melihat itu saya merasa masih lebih beruntung dibanding mereka. Sebab, saya masih mempunyai iman yang membuat saya masih sanggup bertahan dari hempasan hidup yang maha dahsyat.

Dengan pelajaran berharga itu saya mencoba tegar dan bangkit menata hidup. Saya renungkan dalam-dalam hakikat dan tujuan hidup seorang muslim. Saya pelajari Islam lebih dalam lagi melalui buku-buku. Oh, betapa luas dan dalamnya ajaran Islam itu, Serba komplit. Belum lagi tentang ajaran akhlak dan zikir yang menenteramkan hati.
Shalat pun demikian. Begitu indah gerakan yang harus dilakukan, membuat persendian menjadi sehat. Jiwa tenteram

karena selalu berhubungan dengan Sang Pencipta. Apalagi kalau shalat itu dilakukan secara berjamaah bersama orang banyak, rasanya kesepian itu menjadi pupus. Ternyata saya hidup tidak sendirian.

Allah memang akan menolong hamba-Nya yang beriman. Begitu janji-Nya dalamAl-Qur'an. Bagi yang beriman pantang berputus asa dari rahmat Allah. Temyata, setelah diuji dengan berbagai kesulitan, alhamdulillah, saya masih memegang erat keyakinan Islam.

Badai yang saya hadapi sudah berlalu dengan mengantarkan saya ke pantai bahagia. Sebab tiga tahun kemudian, tahun 1987, saya bertemu dengan seorang laki-laki yang bersedia memperistri saya. Sutrisno, demikian nama jejaka itu, memboyong saya ke kota Lasem, sekitar 20 km dari Juana.

Kini, kami tinggal di Lasem dengan mengontrak rumah kedl yang sederhana. Sementara suami saya bekerja membuka bengkel las, saya berdagang kecil-kecilan dengan menjual kerupuk ke warung-warung kecil di seputar Lasem. Sesekali saya berdakwah ke pedesaan dan kota-kota kecil di sekitar Lasem. Di antaranya saya pernah mengunjungi Kendal, Jepara, Rembang, Tiogowungu, dan sebagainya.

Kakak saya yang tinggal di Jakarta dan Surabaya pemah mengajak saya tinggal di tempat mereka. Mereka menjanjikan akan mencarikan pekerjaan lain yang sesuai dan dapat menghasilkan pendapatan yang cukup memadai. Tetapi ajakan itu saya tolak secara halus, mengingat saya sudah bersuami dan ingin memelihara akidah dengan balk. Saya merasa cukup tenang dan bahagia tinggal di Lasem.

Keinginan saya saat ini hanya satu, yaitu berharap agar suatu saat kelak ketiga anak saya akan mengikuti jejak saya, memeluk agama Islam. Sebab, sampai hari ini ketiga anak saya itu tinggal bersama neneknya (ibu mertua dari bekas suami pertama).

Saya tak berdaya, Sang nenek itulah yang mencukupi semua kebutuhan hidup mereka sehari-hari, termasuk biaya sekolah mereka. Saya tak mampu menekan mereka, sebab khawatir ketiga anak saya akan diusir neneknya. Saya memang tak mampu mencukupi keperluan dan biaya sekolah mereka. Ah, seandainya saya mampu, tentu ceritanya menjadi lain dan semoga Allah memberi hidayah kepada anak-anakku, amien.

"Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/ oleh Mualaf Online Center (MCOL) http://www.mualaf.com/

Valerie Erawan : Terkesan Islam karena Sikap Sabar

Dalam sebuah majelis tafakur di Bandung, suasana menjadi hening saat seorang jamaah, Valerie Erawan, menyampaikan pendapatnya. Semula, ia lancar bicara mengenai pandangannya terkait aturan Allah SWT dalam Alquran. Saat pembicaraannya sampai pada persoalan doa dan hidayah, suaranya tersendat. Tak terdengar kata yang diucapkannya, isakanlah yang meluncur dari bibirnya.

Suasana pun menjadi "biru" oleh keharuan akibat isakan tertahan Valerie. ''Semula saya berpikir bahwa saya tak mungkin mendoakan keluarga besar saya agar mendapat hidayah dan masuk Islam. Tapi kemudian saya sadari, tugas kita adalah berdoa, dan Allah akan mengabulkan doa kita dengan cara-Nya,'' ujar ibu tiga anak ini di sela isakannya.

Jadi, sambung perempuan yang sudah memutuskan untuk mengenakan kerudung sejak 1998 ini, ia tak akan berhenti meminta kepada Yang Mahakuasa agar orang tua dan saudara-saudaranya sekandung mendapat hidayah dan memeluk agama yang paling sempurna ini. ''Saya sangat berharap kedua orang tua saya bisa memeluk agama Islam,'' katanya setelah pulih dari keharuan.

Perempuan yang lahir di Poitiers, Perancis, 11 Mei 1971 ini memutuskan untuk memeluk agama Islam, beberapa bulan setelah ia menikah dengan seorang pria Muslim Indonesia, Dr Ing Dadang Furqon Erawan. Sewaktu bayi, Valerie dibaptis, karena orang tuanya penganut Katholik yang cukup taat. Dalam aturan yang ada di agama Katholik, seorang bayi yang baru lahir memang harus 'disucikan'.

Hingga usia 12 tahun, Valerie rajin belajar agamanya. ''Saya berkumpul dengan teman-teman seagama dan ikut misa. Saya percaya ada Tuhan, dan suka berdoa sebelum tidur,'' papar ibu rumah tangga yang juga mengelola home industry yoghurt di Bandung ini. Namun, ketika usianya memasuki remaja, Valerie mulai terserang oleh keraguan mengenai keyakinannya. Ia pun mulai bertukar pikiran dengan teman-temannya yang kebetulan tidak percaya adanya Tuhan. Selama beberapa tahun selanjutnya, Valerie pun sempat jauh dari agama yang dianutnya.

Kondisi ini diperparah dengan tidak lancarnya komunikasi dengan orang tuanya. ''Umur 14 sampai 17 tahun adalah masa hidup saya yang paling sulit karena saya tidak punya pegangan kuat dan arah yang jelas. Saya 'mencoba-coba' apa aja yang saya temukan,'' ungkap perempuan yang hobi membaca, jalan kaki, dan membuat kerajinan untuk anak-anaknya. Saat usianya 17 tahun, Valerie bertemu dengan calon suaminya yang beragama Islam. Lewat Dadang, Valerie berkenalan dengan keluarga-keluarga lain yang beragama Islam. Yang paling menarik perhatiannya kala itu adalah kesabaran para Muslim/Muslimah, terutama dalam bersikap kepada anak-anaknya.

Hal tersebut, aku Valerie, agak berbeda dengan suasana di rumahnya dan dialaminya selama ini. Kesan baik itu membuatnya mulai belajar agama Islam melalui buku-buku berbahasa Perancis. ''Waktu itu saya mendapat kesulitan untuk mengikuti acara di masjid karena bahasa dominan yang dipakai adalah bahasa Arab,'' kata ibu dari Hugo Fathurrahman Erawan (13 tahun), Laura Nuraida Erawan (11), Emilie Nuraida Erawan (7), dan Mathys Fathurrahim Erawan (5) ini.

Menjelang pernikahan, Valerie yang saat itu berusia 19 tahun mengaku sempat bimbang apakah akan masuk Islam atau tidak. Ia mengaku khawatir masuk Islam hanya karena menikah saja, bukan karena keyakinan yang mantap. ''Tapi Alhamdulillah beberapa bulan kemudian saya jadi masuk Islam,'' ungkapnya. Valerie pun kemudian belajar berbagai ritual ibadah dari suaminya. Keberadaan suaminya di Perancis ketika itu adalah dalam rangka tugas belajar (S1, S2, dan S3) dari IPTN (saat ini bernama PT Dirgantara Indonesia).

Ketika usianya 25 tahun, suami Valerie menyelesaikan studinya dan kembali ke Indonesia. Maka, keluarga yang sudah dikarunia anak itu pun berpindah ke Bandung. Di negeri ini, dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, Valerie tak mengalami kendala berarti untuk belajar agama. Banyak pihak yang menawarinya untuk mempelajari agama secara lebih mendalam. Yang justru menjadi persoalan adalah bahasa. Ia pun kemudian belajar bahasa Indoensia dulu, sembari mempelajari huruf hijaiyah. ''Saya belajar Iqro, seperti anak TK,'' kenangnya sembari tersenyum.

Kendala lain yang dihadapinya adalah perasaan malu saat harus bergabung dengan ibu-ibu pengajian yang sudah pandai dan lancar membaca Alquran.''Saya merasa belajar seperti siput, artinya dapat ilmu sedikit demi sedikit, tapi masih sangat kurang rasanya,'' ungkap perempuan yang kerap menjadi pengajar di CCF Bandung untuk kursus Bahasa Perancis ini.

Selama mengikuti pengajian itu, Valerie merasa kurang berkembang. Biasanya, kata dia, materi pengajian yang disampaikan hampir selalu sama dari waktu ke waktu, sehingga topik lain jarang muncul. Di sisi lain, sambung dia, para peserta pengajian hanya menjadi pendengar yang pasif. Sejak satu tahun silam, Valerie dipertemukan Allah SWT dengan sebuah kelompok tafakur yang digelar Yayasan Syamsi Dhuha -- sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang sosial terutama membantu para penderita penyakit Lupus dan low vision. Setiap Jumat pagi, di sekretariat yayasan yang berlokasi di Jl Sekeloa, digelar kegiatan rutin tafakuran dengan moderator Ibu Rita Permadi.

Valerie merasa cocok dengan metode yang diterapkan. Yaitu diskusi dan sharing mengenai berbagai topik yang berhubungan dengan ayat-ayat Alquran sekaligus penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. ''Di sini (dalam kelompok tafakuran tersebut, Red), baru saya mendapat ilmu yang saya perlu. Di sini, saya ditanya, menurut Valerie, bagaimana? Kalau sudah punya pendapat, saya bisa menyampaikan, dan kadang-kadang, akan merasa sendiri kalau saya keliru. Di sini, boleh setuju atau tidak, tapi harus berusaha untuk menyampaikan pikiran kita. Di sini saya tidak merasa ikut-ikutan. Saya merasakan, tafakur sudah menjadi kebutuhan saya,'' ujarnya memaparkan.

Diungkapkan Valerie, saat mengikuti tafakuran, ia merasa seperti kembali ke masa remaja. Kala itu, ia mendiskusikan dan merenungkan berbagai topik. Perbedaannya, sambung dia, sekarang ada pedomannya, yaitu Alquran.''Mendapat ilmu yang membuat berubah perbuatan saya, bukan hanya teori, membuat saya berpikir tentang yang telah disampaikan karena masih harus diinterpretasi sesuai kepribadian saya,'' cetus perempuan yang pada awal masuk Islam merasa sangat kesulitan untuk melaksanakan shalat yang berbahasa Arab dan lima waktu.

Dengan pemahaman itu, Valerie pun bisa berdakwah kepada orang lain mengenai Islam. Karena saat ini ia kian merasakan manfaat ajaran Islam yang luas, komplet dan aplikatif sekaligus kian yakin bahwa ini adalah agama sempurna yang dibawa Nabi Muhammad SAW, ia pun mendoakan agar orang tua dan saudara-saudara kandungnya pun mendapat hidayah dari Allah SAW.

''Karena saya benar-benar mulai merasakan hebatnya manfaat beragama Islam, saya mulai mendoakan keluarga saya supaya mereka juga mendapat hidayah dari Allah SWT,'' katanya yang tak mampu menahan sedih jika mengingat orang tuanya yang hingga kini masih meyakini agama lamanya. kutipan: "Saya berharap kedua orang tua saya bisa masuk Islam. Saya tak akan lelah berdoa."

(Harian Republika Online ).

William Burchell Basyir Pickard

"Semua anak dilahirkan disertai kecenderungan kepada agama fithrah (Islam). Lalu ibu bapaknyalah yang menyebabkan anak menjadi Yahudi, Nasarani atau Majusi." Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.

Dilahirkan sebagai orang Islam itu adalah suatu hakikat yang tidak saya sadari, kecuali sesudah beberapa tahun kemudian. Di sekolah dan di universitas, saya selalu sibuk, mungkin karena terlalu giat dengan soal-soal dan tuntutan-tuntutan masa lalu. Saya tidak memperdulikan pengalaman saya pada waktu-waktu yang sangat berharga itu, akan tetapi pengalaman itu terus maju.

Dalam lingkungan masyarakat Kristen-lah saya mempelajari kehidupan yang baik, berpikir tentang Tuhan, tentang ibadat dan tentang hidup yang lurus. Jika saya waktu itu menilai sesuatu yang paling suci, maka saya menganggap suci kepada keturunan dan keberanian.

Setelah lulus dari Cambridge University, saya pergi ke Afrika Tengah bertugas sebagai pimpinan dalam Protectorat Uganda. Di sanalah saya menemukan kehidupan yang baik dan cemerlang dan sepenuhnya bertentangan dengan apa yang saya bayangkan pada waktu saya masih ada di Inggris. Kebetulan tugas saya waktu itu mengharuskan saya hidup di tengah-tengah saudara-saudara kita orang-orang kulit hitam yang dalam segala pekerjaan saya tergantung kepada mereka, suatu kesempatan yang menyebabkan saya bisa melihat pandangan hidup mereka yang luas tetapi mudah.

Dunia Timur selalu menarik perhatian saya, dan di Cambridge saya membaca cerita 1001 malam. Di Afrika sewaktu saya sedang duduk sendirian, saya membacanya sekali lagi. Kehidupan saya yang berpindah-pindah di Uganda, tidak mengurangi perhatian saya kepada dunia Timur.

Sewaktu saya mengalami waktu-waktu yang penting dalam kehidupan ini, pecahlah perang dunia pertama, sehingga saya terpaksa pulang dengan tergesa-gesa ke negeri saya di Eropa, di mana kesehatan saya menjadi lemah. Setelah sembuh, saya melamar pekerjaan dalam ketentaraan, akan tetapi sayang lamaran saya ditolak, karena alasan kesehatan. Lalu saya datang ke barisan berkuda sukarela dan saya berhasil mengatasi rintangan-rintangan kesehatan dengan satu dan lain cara. Sewaktu saya mengenakan selempang barisan berkuda, saya merasa senang sekali. Di Perancis sebelah barat saya ikut bertempur di medan Somme pada tahun 1917, di mana saya mendapat luka dan ditangkap sebagai tawanan perang.

Saya pergi ke Belgia, kemudian ke Jerman, di mana saya berbaris di rumah sakit. Di Jerman saya melihat banyak orang yang menderita luka-luka, terutama di kalangan orang-orang Rusia yang menderita disentri. Saya hampir mati kelaparan, ketika saya tidak berguna buat orang-orang Jerman, sedangkan tulang lengan kanan saya patah dan hanya mengalami kemajuan sedikit saja. Lalu mereka mengirim saya ke sebuah rumah sakit di Swiss.

Saya ingat benar pada waktu itu nilai Al-Qur'an tidak mengecil dalam jiwa saya. Pada waktu saya berada di Jerman, saya telah menulis surat minta dikirim sebuah terjemahan Al-Qur'an dari Sale. Beberapa tahun kemudian, tahulah saya bahwa terjemahan yang dimaksud telah dikirim kepada saya tepat pada waktunya, akan tetapi tidak pernah sampai kepada saya.

Di Swiss kesehatan saya pulih kembali, sesudah mengalami operasi pada lengan dan betis saya, sehingga saya bisa ke luar untuk berjalan jalan. Lalu saya membeli satu terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Perancis, hasil karya Sayary. Naskah itu pada saya sekarang merupakan sesuatu yang amat berharga. Di dalamnya saya menemukan kebahagiaan, dan cahaya jiwa saya memancar memenuhi hati saya dengan keberkahan.

Waktu itu tangan kanan saya masih lemah, sehingga terpaksa saya menulis Al-Qur'an itu dengan tangan kiri.

Ketergantungan saya kepada Al-Qur'an terbukti kalau saya katakan bahwa salah satu kenangan yang paling berkesan pada jiwa saya ialah cerita 1001 malam mengenai seorang pemuda yang kedapatan hidup menyendiri di tengah kota mati. Dia membaca Al-Qur'an tanpa memperdulikan sekitarnya. Waktu itulah di Swiss saya benar-benar telah menyerah kepada kehendak Allah s.w.t. Tegasnya saya telah menjadi orang Islam.

Sesudah perang selesai, saya kembali ke London pada bulan Desember 1918, dan kurang lebih tiga tahun kemudian, yakni pada tahun 1921 saya mengikuti kuliah sastra pada London University. Di antara mata kuliah yang banyak itu, saya pilih sastra Arab yang saya pernah ikuti kuliahnya di King's College. Di sinilah pada suatu hari profesor saya dalam bahasa Arab, alm. Mr. Belshah dari Irak menerangkan tentang Al-Qur'an. Beliau berkata: "Tuan percaya atau tidak, pasti Tuan akan menemukan Al-Qur'an sebagai Kitab yang menarik dan patut dipelajari."

Saya menjawab: "Tapi saya sungguh-sungguh percaya kepadanya."

Pernyataan saya ini telah mengagetkan dan sungguh-sungguh menarik perhatian Guru Besar saya itu. Setelah berbicara sebentar, beliau mengajak saya untuk bersamanya pergi ke Mesjid London di Notting Hill Gate. Sesudah itu, saya berulang kali datang ke Mesjid itu, sehingga pengetahuan saya tentang peribadatan Islam semakin bertambah, dan sampailah saatnya pada permulaan tahun 1922 saya mengumumkan ke-Islaman saya dan menggabungkan diri dengan masyarakat Islam.

Hal itu telah berlalu lebih dari seperempat abad, dan sejak saat itulah saya hidup sebagai orang Islam, baik secara teori maupun praktek, sekuat kemampuan saya dalam hidup ini. Kekuasaan, Hikmat dan Rahmat Allah s.w.t. meliputi segala-galanya. Dan lapangan ilmu pengetahuan terbentang luas tanpa batas di hadapan saya, dan saya yakin bahwa "pakaian" yang paling cocok untuk dikenakan sepanjang hidup saya ini ialah penyerahan diri kepada Allah, kepala saya berserbankan tasbih dan tahmid dan hati saya penuh dengan rasa cinta kepada SATU PENGUASA TERTINGGI.

Wal-hamdu lillaahi Rabbil-'aalamiin!

Tentang Pengarang : William Burchell Basyir Pickard
Beliau adalah Doktor dalam ilmu sastra dari London University. Beliau seorang pengarang terkenal, dan salah satu karangannya ialah "Laila and Majnun", "The Adventures of Alcassim", "A New World" dan lain-lain.

Mengapa Kami Memilih Islam
Oleh Rabithah Alam Islamy Mekah
Alih bahasa: Bachtiar Affandie
Cetakan Ketiga 1981
Penerbit: PT. Alma'arif, Bandung

Ya Fat Ham : Mimpi Mendengar Suara Azan

Saya WNI keturunan Cina. Sejak kecil saya beragama Konghucu, karena papa dan mama saya juga beragama Konghucu. Tapi saya disekolahkan di yayasan Katolik, karena sekolah Katolik dipandang lebih disiplin dan maju. Kebanyakan orang keturunan Cina bersekolah di sekolah swasta milik yayasan Katolik. Selain itu, saya juga dipanggilkan guru les privat khusus untuk baca-tulis huruf Cina. Sehingga, sampai sekarang saya dapat membaca dan menulis huruf Cina. Bahkan, saya pun berlangganan majalah dan koran berbahasa Cina.

Saya hanya tamatan SMA dan tidak melanjutkan kuliah, karena keluarga saya banyak dan saya memberikan kesempatan pada adik-adik agar dapat rata mengenyam sekolah sampai SMA. Waktu itu mencari uang amat susah. Kalau ingin melanjutkan sekolah harus siap hidup prihatin.

Setamat SMA saya membantu papa berjualan barang barang kelontong. Selain itu, saya juga mengembangkan hobi fotografi saya. Saya sempat ikut kursus fotografi satu tahun. Untuk mengembangkan hobi saya itu, lava menjadi tukang foto amatiran dan membuka kios afdruk dan melayani foto panggilan, seperti mengabadikan acara pemikahan, hari ulang tahun, wisuda, kegiatan kongres organisasi, dan lain sebagainva. Saya merasa senang jika basil jepretan sava baik hasilnya. Pelanggan pun puas.

Saya mulai sering mendapat order mengabadikan berbagai acara. Sava dengan beberapa teman seprofesi membentuk kelompok usaha, sehingga antara sesama fotografer tak terjadi saingan yang tak sehat, tapi justru bekerja sama dan terkoordinasi. Tiap anggota mempunvai wilayah sendiri-sendiri. Jika kelebihan order, biasanya diberikan kepada anggota yang ordemya sedikit. Dengan demikian, dapat saling untung dan menolong teman.

Mimpi mendengar suara Azan
Pada suatu malam tatkala tidur, sava bermimpi mendengar suara azan. Padahal, saya tak pemah memperhatikan suara azan. Kejadian aneh tersebut saya ceritakan kepada teman yang beragama Islam. Teman saya mengatakan bahwa saya akan mendapat hidayah atau petunjuk dari Allah untuk beragama tauhid, yaitu agama Islam, sayapun merenung dalam.

Pesan atau saran teman saya ini akhirnya saya pikirkan dalam-dalam dengan berbagai pertimbangan yang matang. Untuk memeluk agama Islam saya memerlukan waktu yang lama, karena sejak kecil sampai dewasa dan berkeluarga saya sama sekali belum mengenal Islam. Semua keluarga saya dan keluarga istri juga tak ada yang beragama Islam.

Setelah sava musyawarahkan dengan istri tentang pembicaraan teman saya itu, agar kami mengenal agama Islam lebih jauh, istri saya juga perlu memikirkannya terlebih dulu. Maklum, selama ini ia belum mengenal agama Islam dan perlu mempelajari ajarannya terlebih dulu. Istilahnva berkenalan dulu.

Setelah agama Islam saya pelajari melalui teman saya itu, ditambah dengan membaca buku-buku Islam, akhirya saya mantap beragama Islam. Dengan bimbingan petugas Departemen Agama di Semarang, saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat. Saya mendapat nama baru, yaitu Muhammad Hanafi.

Banyak teman-teman yang heran saya pindah agama, terutama mereka yang keturunan Cina. Bahkan, mereka menganggap saga "sakit". Sejak saya masuk Islam, banyak pelanggan yang meninggalkan saya. Bahkan, ada yang sampai membenci saya. Hal itu saya anggap biasa, karena rezeki itu kaurunia Ilahi dan yang mengatur adalah Allah.
Setelah memahami dan melaksanakan ajaran Islam, saya merasa lebih mantap dan bangga menjadi seorang muslim. Sebab, Islam adalah agama yang rasional. Sejak beragama Islam, semua gambar dewa dan patung-patung atau area-area kecil yang saya kumpulkan dan diberi sesaji sewaktu saya masih beragama Konghucu, saya buang. Kini, rumah saya beri hiasan kaligrafi ayat Al-Qur'an.

Anak-anakpun dengan kesadaran sendiri ikut masuk Islam
Tak lama setelah saya masuk Islam, anak saya dengan kesadarannya sendiri mengikuti jejak saya masuk Islam. la cukup lama berpikir dan mempelajari Islam. Alhamdulillah, istri dan anak-anak saya kini telah memeluk Islam. Saya pun bersyukur telah diberi kesempatan melaksanakan ibadah haji. Anak saya yang SMA saya kirim belajar ke Pondok Modem "Darussalam" Gontor, Ponorogo. Sedangkan, anak saya yang bungsu saya kirim belajar ke Pondok Pesantren as-Salam Pabelan, Surakarta. Sava berharap agar anak kami dapat membaca dan menulis huruf At-Qur'an serta mempelajari Islam melalui sumber ulama salaf di pondok-pesantren. Mohon doa dari saudara sesama muslim dimanapun.

"Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/ oleh Mualaf Online Center (MCOL); http://www.mualaf.com/

Yasmin : Beranjak dari titik nol

Cerita ini kisah dari salah seorang teman mualaf saya. Tulisan lama dan tadinya ditulis untuk sebuah majalah wanita milik teman eks Tsukuba. Sarat dengan hikmah... ada baiknya menjadi sarana pembelajaran buat kita semua. Selamat menyimak... (tarik nafas... jangan lupa sedia minuman & snack, karena yg dibaca bakal puanjaang..!! by Serindit Indraswari (Didit))

Saat itu bulan November 2004, muslimin dan muslimah dari berbagai negara berdatangan untuk menjalankan sholat Ied. Melihat seorang ibu yang tengah sibuk membenahi perlengkapan dua orang anaknya yang menggunakan jilbab kecil ala Indonesia, saya bersama beberapa teman memberanikan diri untuk bertanya dalam bahasa Indonesia kepadanya. “Yasmin…”, begitu muslimah ini memperkenalkan dirinya pada saat pertama kali kami bertemu di satu-satunya musholla di Tsukuba, Ibaraki, Jepang. Ternyata Yasmin ini bersuamikan orang Indonesia dan tinggal tidak jauh dari Tsukuba.

Nama “Yasmin”, ia dapatkan dari orang tua suaminya yang merasa kesulitan untuk mengucapkan nama jepangnya, Yasuyo. Sudah 6 bulan saya mengenal Yasmin. Kesan saya, dia orang yang mandiri, dan tegas. Kelugasannya dalam berbicara, membuat saya menilai dia mempunyai sifat dasar yang berbeda dengan orang Jepang pada umumnya, yang selama ini saya kenal.

Pertanyaan Yang Mengusik Masa Kecil
Dilahirkan pada tahun 1973 di Tokyo, Satou Yasuyo, merupakan anak pertama dari dua bersaudara di keluarga Satou. Sejak berumur 4 tahun, Yasuyo kecil pindah ke Chiba, sebuah propinsi yang bersebelahan dengan Tokyo. Seperti anak-anak Jepang pada umumnya, Yasuyo tidak mengenal adanya kekuatan Yang Maha Kuasa
.
Ayah dan ibu, sekolah maupun lingkungannya tidak memberi ruang untuk hal-hal yang tidak terlihat oleh mata. Walaupun demikian, di dalam pikiran Yasuyo kecil yang gemar dengan permainan puzzle dan menggambar ini, kerap muncul sebersit pertanyaan, “ Mengapa saya bisa hidup? Mengapa saya menjadi perempuan?......” Seiring dengan waktu, pertanyaan demi pertanyaan begitu saja berlalu, tanpa jawaban.
Memasuki dunia sekolah menengah, semakin banyak pertanyaan yang lebih kompleks, berdesakan di dalam pikiran Yasuyo. “ Apabila di dunia ini ada orang yang berbuat baik dan ada yang jahat, lalu apakah berarti dalam kehidupan ini tidak ada keadilan? ”.
Pertanyaan ini dipicu oleh gencarnya kasus ijime (dalam bahasa Inggris “bullying”) di tingkat sekolah dasar hingga menengah di Jepang pada saat itu. Dia melihat bagaimana seorang yang di-ijime ini menjadi tersiksa, tidak mempunyai teman, tidak berani melaporkan kejahilan temannya kepada orang tua apalagi guru di sekolah, bahkan ada yang sampai bunuh diri karena tidak kuat memikul beban sendiri.

Namun, kembali tidak ada jawaban atas pertanyaan yang muncul di pikiran Yasuyo.

Kejenuhan
Lepas dari sekolah menengah atas, Yasuyo memutuskan untuk mendalami bidang fashion. Masuklah ia di sebuah sekolah mode di Tokyo, selama 4 tahun. Lepas dari sekolah tersebut, dia langsung bekerja pada sebuah perusahaan garmen.

Kesibukan pekerjaan, membuat dia harus tinggal menetap di Tokyo, mengikuti perputaran roda kota besar yang penuh sesak dengan kesibukan pekerjaan. Tiada hari tanpa memikirkan pekerjaan.

Setiap langkah selalu berorientasi usaha untuk meningkatkan hasil penjualan pakaian di perusahaan tempatnya bekerja. Suatu hal yang tidak menghasilkan uang, menjadi sia-sia di mata kebanyakan masyarakat bisnis di Jepang.

Di tengah kejenuhan dengan rutinitas tersebut, hati Yasuyo kembali berteriak, “ Bodoh sekali kehidupan seperti ini… Orang-orang hanya memikirkan uang dan uang..”.

Ketidakadilan kehidupan yang menjadi pertanyaannya semasa duduk di bangku smp, kembali mengganggu pikirannya. “ Apabila anak yang dilahirkan dari keluarga yang kaya bisa menikmati hidup dengan mudah, apakah berarti tidak ada keadilan buat anak-anak yang dilahirkan dari keluarga yang miskin ?”.

Apabila pada masa kecilnya, pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benaknya ini tidak pernah diungkapkan kepada orang lain, tetapi kali ini dia mendiskusikannya dengan beberapa teman dekat.

Walaupun kebanyakan teman diskusinya meng-iya-kan pendapat Yasuyo, tetapi diskusi hanya sebatas diskusi. Mereka serasa berada di jurang yang dalam. Mereka tahu kalau keadaan yang mereka jalani tidak baik, tapi mereka tidak kuasa untuk mendaki tebing jurang tersebut. Dan akhirnya, mereka tetap berputar-putar di dalamnya. Apabila kejenuhan datang, pelampiasan sekejap seperti menegak bir dan ke diskotik; itu yang mereka lakukan.

Beranjak dari Titik Nol

Tiga tahun lamanya Yasuyo bertahan dengan pekerjaannya sebagai desainer. Hingga akhirnya dia menyerah kelelahan, dan keluar dari pekerjaannya. Yasuyo menikmati masa-masa yang senggang, bekerja paruh waktu di sebuah department store, hanya sekedar mendapat uang untuk biaya hidup sehari-hari.

Namun, kembali Yasuyo dihadapkan pada kenyataan bahwa waktu yang senggang dan uang yang cukup tidak dapat memberikan “arti” buat kehidupannya. Dia merasa tidak ada yang bisa dilakukan untuk mencapai sebuah “arti” kehidupannya. Perasaan jengah, jenuh, keinginan untuk keluar dari kehidupan yang tengah dijalaninya menjadi semakin kuat.

Yasuyo serasa berada di titik “nol”. “Saya sendiri merasa jenuh dengan keadaan waktu itu, tetapi saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan… Tidak ada jalan keluar.”, begitu yang diungkapkan Yasmin (Yasuyo) mengenai perasaannya saat itu.

Pada saat itu yang ada dalam pikirannya hanyalah, ia merasa harus membuka lembaran baru, memulai segala sesuatu dari awal. Tetapi bagaimana ?

Ketika Yasuyo dan ibunya berlibur ke Bali, ia dipertemukan dengan calon suaminya saat itu. Belum ada perasaan untuk menikah dengan pemuda yang baru saja dikenalnya itu.

Barulah beberapa bulan kemudian, pada kunjungan ke Bali berikutnya, Yasuyo diminta untuk menjadi istri pemuda tersebut. “Saya sedikit terkejut. Tetapi, saya melihat bahwa Helmi (red: nama suami Yasuyo) adalah pemuda yang baik. Dan saat itulah, saya melihat jalan keluar yang selama ini saya mimpikan… .“, dan Yasuyo pun diperkenalkan dengan orang tua Helmi.

Tidak ada sesuatu yang memberatkan. Bahkan, Yasuyo serasa mendapat apa yang selama ini dia nantikan, untuk memulai kehidupan baru. Begitu yang ia rasakan, ketika orang tua calon suaminya mensyaratkan Yasuyo untuk ber-Islam, sebelum menikah.

Yang menarik adalah, beberapa aturan dalam Islam yang sempat disampaikan oleh orang tua calon suaminya tersebut, seperti sholat 5 waktu, puasa dan menutup aurat; sama sekali tidak dipandang sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan Yasuyo.

Ia bahkan beranggapan, seorang yang beragama, memang sudah seharusnya mentaati aturan dalam agamanya, dan berkomunikasi dengan Tuhan-nya.

Pada bulan April 2000, Yasuyo mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai langkah awalnya ber-Islam, kemudian pada akhir April di tahun yang sama ia resmi menikah dengan Helmi Masadi, suaminya saat ini. Dan Yasuyo pun, di dalam keluarga barunya di Indonesia, lebih akrab disapa dengan nama Yasmin.

Menjadi seorang mualaf baginya bukan hal yang memberatkan, karena ia saat itu masih menetap di rumah orang tua suaminya di Bali. Beribadah, sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, mereka jalankan bersama-sama, sehingga Yasmin merasakan hal tersebut sebagai sesuatu yang rutin dan biasa dilakukan.

Ditunjang dengan tekadnya sejak awal untuk memulai kehidupan yang baru, sehingga betapa banyak yang harus ia pelajari, seperti bahasa Indonesia, berbagai aturan dalam Islam, menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya; bukan hal yang menyurutkan langkahnya.

Menjalankan Kehidupan Sebagai Muslimah

Setelah anak pertamanya, Aisya berusia 1 tahun, pada tahun 2001, keluarga Yasmin Mashadi meninggalkan Bali, kembali ke Jepang. Kemudian, tiga tahun kemudian lahirlah anak kedua, Sakina, yang saat ini berusia 1 tahun 3 bulan. Kehadiran dua orang anak dalam kehidupannya benar-benar ia syukuri.

Kedua putinya ini juga yang membuatnya semakin terpacu untuk menjalankan Islam dengan bersungguh-sunguh. Walaupun Yasmin merasa tidak mempunyai bekal yang cukup untuk mendidik buah hatinya secara islami, tetapi dengan bantuan suami dan sesama mualaf yang dikenalnya, ia mulai mendalami Islam setahap demi setahap.

Amat sulit mendapatkan buku berbahasa Jepang yang mengupas Islam, sedangkan membaca tafsir Al Quran yang diterjemahkan dalam bahasa Jepang pun, masih sulit buat Yasmin.

Sehingga, tidak jarang di sela-sela waktu luangnya bersama suami, Yasmin banyak bertanya tentang hal-hal yang ingin diketahuinya. Dan semakin ia mendapat jawaban dari pertanyaannya itu, semakin ia bersyukur atas hidayah Allah s.w.t. kepada dirinya. Ia merasa sangat beruntung dan sedang menapaki jalan kehidupan yang benar.

Saat ini pun Yasmin masih ingin lebih banyak mengetahui pengalaman hidup sesama mualaf di Jepang, terutama bila menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan sanak saudara dan teman-teman yang non Islam, tetapi jarak dan waktu menjadi kendala untuk lebih sering berkomunikasi dengan mereka.

Dari ungkapan Yasmin, tersirat dan tersurat bahwa beberapa kendala tersebut tetap jauh lebih kecil dibandingkan dengan hasratnya untuk semakin mendalami Islam.

Pengalaman masa lalunya, menjadi cermin bagi Yasmin untuk memberi yang terbaik untuk kedua buah hatinya. Ia mengungkapkan bahwa pendidikan (sekolah) di Jepang tidak banyak memberi sentuhan moral dan agama bagi anak-anak.

Mereka pesat dalam mempelajari ilmu pengetahuan tetapi tidak ada pengisi jiwa/hati, sehingga apabila sesuatu terjadi di luar kemampuan mereka, anak-anak itu tidak mempunyai pegangan dan terlempar ke keterpurukan jiwa; seperti apa yang dialami Yasmin dahulu.

Oleh karena itulah, ia berpendapat, sedini mungkin ingin mengenalkan anak-anaknya kepada Allah. Ia ingin anaknya tumbuh di lingkungan orang-orang yang melakukan ibadah dan bermasyarakat yang baik dalam kehidupan sehari-hari, sehingga anak-anak itu merasa beribadah kepada Allah adalah hal yang biasa, yang memang seharusnya dilakukan oleh manusia.

Begitu besar keinginannya ini, hingga Yasmin dan suaminya sepakat untuk membesarkan anak-anak mereka di Indonesia.

“Biarlah anak-anak yang masih kecil ini belajar mengenal penciptanya secara natural, dengan tinggal di lingkungan masyarakat yang beragama dan menjalankan perintah agamanya dengan baik.

Saya sendiri belum bisa memberi contoh nilai-nilai keislaman yang banyak pada mereka. Bahkan, bisa jadi saya akan belajar bersama anak-anak saya… membaca Al Quran, misalnya. Dan apabila kelak mereka sudah menjadi dewasa, saya berharap mereka sudah mempunyai bekal iman yang kuat, untuk kemudian memperluas ilmu pengetahuan maupun pergaulan mereka. Mereka boleh belajar tentang apa saja, di mana pun.” .

Mata Yasmin menerawang jauh ke depan saat mengucapkan kalimat tersebut, seakan sebuah titik terang sudah terlihat di depan matanya, dan ia siap melangkah setapak demi setapak menuju titik itu. Di akhir perbincangan dengan penulis, Yasmin juga mengungkapkan keinginannya untuk menekuni kembali bidang keahliannya dulu, sebagai desainer. Ia bercita-cita untuk membuka sekolah mode busana muslim di Indonesia nantinya. Insya Allah.

Gambatte (berusahalah dengan sungguh-sungguh), Yasmin san ! (oleh Serindit Indraswari)


http://mediabilhikmah.multiply.com/journal/item/119/Yasmin_Beranjak_dari_titik_nol_

Yustina : Sepertinya Allah Menggerakkan Lidahku untuk Bersyahadat

Padahal sebenarnya orangtuaku keturunan Sunda. “Mana ada orang Betawi nonmuslim,” kata mereka berkomentar menanggapi perihal keyakinanku. Menginjak dewasa, waktu aku berusia 24 tahun, aku memutuskan untuk menikah. Aku berhasil dipersunting pria asal Kalimantan, yang keyakinannya beda denganku. Ia adalah anak pasangan keluarga haji yang taat beragama.

Sebelum menikah, orangtuaku mengingatkan, jika dia (baca: suamiku) ingin menikahiku, maka calon suamiku itu harus melepas agama lamanya, yakni Islam. Ia harus memeluk Protestan, agama yang aku dan keluarga anut. Bila syarat ini tidak dipenuhi, maka orangtuaku tidak akan memberi izin. Bahkan, mereka mengancam akan mengusirku dari rumah, kalau aku tidak menuruti nasehat mereka.

Dengan alasan ini, walau sudah empat tahun menjalin hubungan dengan calon suami, aku lebih siap kehilangan dia ketimbang orangtua. Kekasih hati bisa dicari gantinya, sedang orangtua, mana mungkin kita dapat ganti? Batinku kala itu.

Mungkin karena begitu besarnya cinta suami kepadaku, dengan ikhlas akhirnya ia mengikuti keyakinan yang kami anut. Aku pun lalu memperkenalkan ajaran Protestan kepadanya. Agar lebih mendalam, aku membawanya ke rumah seorang pastur di kawasan Matraman, Jakarta Pusat.

Setelah beberapa bulan resmi menjadi penganut Protestan, di tahun 1996, kami pun melangsungkan pernikahan. Di gereja Pasundan, Salemba Raya, Jakarta Pusat, kami mengikrarkan diri di hadapan Tuhan untuk mengarungi kehidupan bersama.Bersama suami, setelah menikah, aku memilih kawasan Ciledug sebagai tempat kediaman. Setahun kami lewati masa perkawinan, alhamdulillah aku dikaruniai Siska Mahsun, puteri pertamaku. Tahun berkutnya menyusul Riki (keislaman Riki pernah dimuat di Majalah Hidayah edisi Idul Fitri 2003), adiknya. Sampai kini aku hanya dikaruniai mereka berdua oleh Allah.

Mimpi Sang Suami Menjadi Hidayah Bagi Keluarga
imageTanpa terasa, usia perkawinanku telah memasuki tahun ketujuh belas. Selama rentang waktu ini suamiku telah menjadi penganut Protestan yang cukup taat. Kendati orangtuanya tidak melarang, tapi mereka juga tidak mengizinkan keputusan yang diambil suamiku. Semuanya diserahkan kepada suamiku.

Sikap toleransi keluarga suami adalah peluang buatku untuk tetap bisa menjalin silaturahmi. Meski beda keyakinan, komunikasiku dengan mereka tetap akrab. Mereka bahkan pernah mengatakan terkesan melihat kepribadianku. Walau aku penganut Protestan, kepribadianku di mata mereka layaknya berkepribadian Muslim, lembut dan baik hati.

Tujuh belas tahun bukanlah waktu yang pendek untuk bisa mengenal suatu hal. Begitu pula dengan suamiku yang telah meninggalkan Islam dan beralih menjadi penganut Protestan. Ia bahkan tidak mau kembali memeluk agama lamanya.Pertahanan ini akhirnya runtuh, oleh hal yang menurutku sepele. Ia masuk Islam hanya karena ‘desakan’ sebuah mimpi. Jelasnya, di bulan Desember 1996, tujuh hari menjelang hari raya Idul Fitri, suamiku bercerita bahwa selama tiga hari berturut-turut ia bermimpi tentang ibunya (ibu mertuaku).

Ibu mertuaku yang beberapa waktu lalu meningal di Mekah, meminta suamiku agar mendoakannya. Suamiku resah mengingat mimpi ini. Kenapa mimpi ini datangnya berturut-turut? Permohonan doa itu seperti desakkan.

Setelah ia menceritakan mimpi itu, suamiku pun mengatakan bahwa dirinya ingin sekali mendoakan sang ibu. “Tapi kalo beda agama, doa papa tidak akan sampai,” kata suamiku ragu-ragu. Entah karena alasan apa, mulutku mengatakan hal yang berlawanan dengan keyakinan yang selama ini aku pegang. “kalau gitu papa harus masuk Islam,” kataku ringan seolah tanpa beban.

Aku tidak mengerti mengapa lidah ini begitu mudah mengatakan kata-kata seperti itu. Padahal aku penganut Protestan yang kuat, kebanggan orangtua lantaran telah berhasil mengajak suami pindah agama. Lagi pula, waktu itu aku punya anggapan miring tentang Islam. Dan beberapa alasan lain yang membuatku merasa tidak mungkin masuk agama ini. Tapi mengapa baru saja aku memberikan saran kepada suami untuk masuk Islam? Mungkin Allah yang menggerakkan lidahku.

Begitu suami mendengar saranku, ia terkejut bukan main. “Emang mamah ngijinin?” tanyanya tak percaya. “Ya silahkan aja,” kataku waktu itu. Tiba-tiba saja suamiku menangis, bersujud dan memelukku. Ia tersedu-sedu lama di pangkuanku. Raut mukanya bahagia bercampur haru.Tak lama ia pun kemudian pergi ke kamar mandi; berwudlu lalu shalat. Tidak aneh kalau ia langsung melaksanakan hal tersebut, karena pada dasarnya ia mengenal Islam sejak kecil. Maka ketika ia kembali memeluk agama lamanya, suamiku sudah tahu apa yang harus ia lakukan.

Waktu itu aku berinisiatif pula untuk masuk Islam. Aku pikir, tidak mungkin dalam sebuah keluarga ada dua agama. Aku lalu keluar dari kamar, mencari kedua anakku untuk mengajak mereka masuk Islam. “Ayah sudah masuk Islam, gimana kalau kita ikut ayah?” tanyaku pada anak-anak. Tidak seperti aku, mereka justru menentang. Mereka tidak mau mengikuti saranku. Apalagi anak pertamaku. Mendengar ajakan ini ia malah menangis, menjerit-jerit histeris, seperti orang kesetanan. “Nggak mau… nggak mau masuk Islaaammm!” jeritnya.

Berbeda dengan Siska, adiknya, Riki, justru mau menerima saranku. “Ya deh Bu, saya mau,” kata Riki setelah mendengar penjelasanku panjang lebar. Siska masih diam. Ia enggan masuk Islam karena khawatir guru-gurunya akan terpengaruh pada status baru yang akan disandangnya nanti.

Tapi yang paling ia takutkan, keputusan itu akan mempengaruhi nilainya, karena sebentar lagi Siska akan menghadapi ujian akhir. Walau begitu pada akhirnya toh ia mengikuti keputusan kami.

Merasa terharu, kami pun bertangis-tangisan. Saat itulah suamiku keluar dari kamar. Tatapan haru dan bahagia menyelimuti keluargaku sore itu. Kami pun bertangis-tangisan sejadi-jadinya. Kalau saja tembok pagar rumah tidak tinggi, pasti suara tangis tersebut sudah terdengar ke mana-mana. Apalagi susananya menjelang tarawih, saat setiap muslim lalu lalang melintasi rumah kami menuju masjid.

Suamiku menuntun aku dan anak-anak mengucapkan syahadat. Alhamdulillah, kini kami sekeluarga telah menjadi muslim. Hanya perasaan lega waktu itu yang terasa. Malam itu juga kami memutuskan agar besok ikut berpuasa. Kami langsung memanfaatkan momen Ramadhan yang seminggu lagi akan berakhir.

Sampai lebaran tiba, meskipun masih awam, alhamdulillah puasa kami tidak batal. Sehari menjelang lebaran, kami sekeluarga mengikrarkan keislaman di masjid al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Anak bungsuku, Riki, langsung belajar mengaji kepada ayahnya. Sedangkan aku mengunjungi keponakan suami yang tinggal di Cibubur. Kami katakan kepada mereka bahwa kami sekarang sudah menjadi muslim. Mendengar berita ini, mereka sangat gembira. Mereka segera memberikan bimbingan mengenai apa yang harus kami lakukan selanjutnya. Selepas dari sana, kami pergi ke Blok M dan buka puasa di sana. Terus terang aku bangga, walaupun bepergian jauh, puasa yang sedang aku jalani tidak batal.

Hidayah Untuk Berjilbab
Aku dan anak-anak masih awam dalam menjalani ajaran Islam, terkecuali suami. Maka untuk urusan tata cara ibadah seperti shalat dan doa-doa yang harus dibaca dalam shalat, suamiku yang mengajarkannya. Agar lebih mudah diingat dan dihafal, ia menuliskan doa-doa tersebut di atas kertas karton besar.

Untuk menunjang pengetahuan keislamanku, aku pun banyak membaca buku-buku Islam. Dalam penampilan, aku juga berusaha merubahnya sedikit-sedikit. Seorang ustadzah yang kebetulan sedang mendata muallaf, mendatangiku. Ustadzah ini ingin memberi bimbingan agama kepada setiap muallaf. Ia pun menerangkan tentang muslimah.

Dari penjelasan ustadzah itu, aku menyimpulkan bahwa sebagai muslimah aku harus mengenakan pakaian muslimah pula. Maka aku pun memutuskan memakai jilbab. Mulanya memang nggak pede, bahkan ngerasa norak. Tapi alhamdulillah, akhirnya aku terbiasa dan berbalik menyukai pakaian ini. Puteriku yang tadinya menolak masuk Islam pun akhirnya ingin berjilbab.

Semula, tidak ada pihak keluargaku yang tahu bahwa aku sekeluarga sudah masuk Islam. Aku masih merahasiakannya, akhirnya ketahuan juga. Keluarga besarku telah mencium kabar tentang keislamanku. Tentu saja mereka marah, termasuk kedelapan orang adikku. Apalagi aku berpakaian muslimah dan berjilbab. Pakaian yang dianggap kampungan oleh keluargaku.

Padahal sebetulnya banyak sekali manfaat yang aku dapatkan dari pakaian model ini. Pertama bisa menjaga kesehatan kulit dari sinar matahari dan debu, kedua, bila aku berjalan sendirian, aku merasa aman. Tidak ada laki-laki iseng yang menggodaku lagi.
Berbeda dengan dulu, waktu aku sering berpakaian modis dan minim. Aku merasa tidak aman kalau sedang berjalan sendirian. Karena pakaian minim itulah banyak laki-laki yang memberikan kartu namanya, ngajak kenalan dan sering mereka menggoda. Padahal aku sudah punya anak dua. Kini aku berbalik merasa iba melihat kaum wanita yang berpakaian minim.

Kini aku lebih percaya diri berpakaian muslimah. Bahkan aku pernah mendatangi orangtua dengan berpakaian seperti ini. Momennya kebetulan pas waktu hari natal. Bapak langsung menarik kerudungku dengan kasar, begitu aku masuk rumah. Ia berang dan seolah jijik melihat dandananku.

“Kalau mau Islam, ya Islam aja, jangan pakai jilbab segala,” katanya marah.
Namun aku tidak peduli atas perlakuan bapak. Aku tidak ingin merubah penampilanku seperti semula. Aku tidak mau mengikuti keinginan orangtuaku. Karena itu aku tidak mau lagi datang ke rumah.

Setelah kejadian itu, bapakku jatuh sakit. Bapak koma. Kabar ini aku ketahui dari adikku yang datang menjemputku supaya datang menjenguk Bapak. “Kakak harus datang,” kata adikku yang Kristennya sangat taat. Menurutnya, bapak sakit karena terlalu memikirkanku.

Bapak pun dibawa ke rumah sakit. Hanya sehari semalam ia dirawat, setelah itu meninggal. Menjelang bapak meninggal itulah aku berpikir untuk membahagiakan hatinya. Maka sewaktu masuk ke dalam ruang perawatan untuk memenuhi panggilannya, jilbab yang sedang kupakai aku lepas. Aku berani melepasnya karena di dalam ruangan itu tidak ada siapa-siapa, kecuali bapak.

Aku masukkan jilbab ke dalam kantong celana panjang yang sedang kukenakan. Melihat aku datang tanpa jilbab, bapak tersenyum. Itulah kali terakhir dimana aku bisa melihat senyum bapak. Bapak telah menyusul ibu kandungku yang sudah wafat beberapa waktu lalu.

Aku sedih, karena mereka meninggal tidak dalam keadaan Islam. Aku sering memohon kepada Allah agar mereka diselamatkan dari siksa neraka. Meskipun aku tahu doa seorang muslim tidak akan sampai kepada mereka yang nonmuslim. Aku yakin, Allah Paling Tahu tentang segala sesuatu yang tidak tersingkap oleh mata manusia. Tidak hampir setahun dari kematian bapak, suamiku pun menyusul. Alhamdulillah, ia meninggal dalam keadaan Islam.

Kedatangan Majelis Gereja
Setelah masuk Islam, otomatis ajaran dan tata cara ibadahku berubah. Dari yang awalnya tidak mampu baca doa, kini sudah lancar baca al-Qur’an. Dari yang mulanya aktif di organisasi rumah tangga gereja (baca: semacam majlis ta’lim ibu-ibu gereja), kini kebiasaan itu berubah pula. Dari yang awalnya aktif mengikuti latihan kidung-kidung jemaat, aku kini malah berbalik aktif di pengajian-pengajian.

Mungkin karena keislamanku belum diketahui banyak orang, Majelis Gereja, sekelompok orang yang berada lebih rendah dari pastur, mendatangiku suatu hari. Mereka ingin mengundangku datang ke acara kebaktian. “Maaf Bu, saya sudah pindah agama,” kataku menjelaskan.

Wanita itu marah. Berbagai omongan yang tidak enak didengar keluar dari mulutnya. “Saya dan warga gereja akan mendoakan ibu agar bisa kembali,” katanya sambil berlalu pergi. Sampai sekarang aku tidak dihubungi lagi. Allah sudah memutuskan Islam menjadi jalan hidupku.

Bukan hanya wanita tadi, salah seorang adikku yang keyakinan Kristennya sangat kuat berkata, “Masih percaya nggak adanya Yesus?” Ia bertanya dengan nada cukup tinggi. Tapi aku tidak mau mengungkit keyakinan lamaku. Lagi pula aku tidak ingin cekcok dengannya. “Itu masa lalu saya,” jawabku singkat.

Adikku yang lain pernah mengundangku untuk datang ke acara pesta yang digelarnya. Tapi aku bilang, aku akan datang dengan pakaian muslimah. “Nggak apa-apa Kak,” katanya.

Sesampainya di sana, di luar dugaanku, mereka semua menaruh hormat padaku. Padahal acara pesta waktu itu di aula gereja. Tidak seperti yang ada dalam benakku sebelumnya, para pendeta-pendeta yang hadir di sana, tidak satu pun yang mencemooh. “Ini halal lho Bu,” kata seorang pastur waktu menawariku makanan.

Sayangnya aku tahu kalau pastur yang satu ini ingin menjebakku. Ia menawariku daging babi yang sudah dibumbui. Bagi orang yang tidak biasa makan babi, maka akan sulit mengenalinya. Aku tidak mungkin terkecoh dengan rasa dan aroma babi, hidangan yang ditawarkan pastur itu.

Ajaran Islam Membawa Ketenangan
Pertama kali mempelajari Islam, mata hatiku langsung terbuka. Ajaran Islam lebih menyentuh dan masuk akal. Apalagi kalau kita mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Alhamdulillah sampai saat ini aku sekeluarga masih ditetapkan dalam Islam. Semoga aku makin istiqamah dan meninggal dalam keadaan muslimah.

Sebagai orang yang baru masuk Islam, tentu aku ingin membaca kitab suci al-Qur’an sebagai kitab suci baruku. Aku coba mempelajarinya. Pertama, aku coba menghafal huruf hijaiyah. Dalam waktu dua hari, alhamdulillah aku dapat menghafalnya.

Setelah itu baru aku coba membaca al-Qur’an dengan cara mendengarkan kaset Juz Amma. Lalu aku minta Riki, anakku yang sudah pandai baca al-Qur’an, mendengarkan bacaanku. Wawasan tentang al-Qur’an terus aku tambah dengan berkuliah di sebuah perguruan khusus al-Qur’an di bilangan condet.

Sedikit demi sedikit aku terus baca dan pelajari kandungan al-Qur’an. Dan aku pun tertarik untuk mencoba membandingkan antara isi al-Kitab dengan al-Qur’an. Ternyata, apa yang ada dalam al-Kitab, seperti kisah Nabi Isa, dalam al-Qur’an pun ditulis. Tapi sebaliknya, yang ada dalam al-Qur’an, seperti kisah tentang Nabi Muhammad, tidak dijelaskan dalam al-Kitab. Selain itu, ajaran yang termuat dalam al-Qur’an pun lebih mengena dan jelas.

Ingin Naik Haji
Aku dekat dengan seorang teman. Kebetulan dia senang bertahajud. Dia menyarankanku untuk shalat tahajud. Menurutnya, bila kita sedang mendapat masalah, maka kita akan mendapat ketenangan. Karena di dalam shalat itu ada kekuatan. Terbukti, sampai saat ini, jika ada masalah yang menggangguku, bisa teratasi.

Namun, bukan berarti shalat tahajud dilaksanakan jika sedang kesusahan. Sebaiknya kita lakukan setiap malam. Awalnya memang terasa berat. Lama-lama toh bisa, jika kita mampu membiasakannya. Bahkan setelah terbiasa menjalankan, hari-hariku terasa ringan, seperti tiada beban. Semalam saja tidak bertahajud, rasanya ada yang kurang.

Insya Allah, jika Allah masih memberi kesempatan hidup, bulan besok aku berumur 50 tahun. Di usiaku yang setengah abad ini, aku selalu berdoa supaya aku bisa naik haji. Semoga Allah mengabulkan permohonanku. Walaupun sulit mewujudkannya, namun jika Allah menghendaki, pasti akan terwujud. Karena ada teman yang tidak punya apa-apa tapi bisa naik haji. Amien. (H/Foto: Gepeng).

Sumber : Majalah Hidayah Mei 2004, hal. 38-43

Yusuf al-Islami : Giat Menghalau Kristenisasi

Yusuf al-Islami adalah sosok ustadz yang disegani di Lampung. Meski usianya terbilang masih relatif muda, namun pria keturunan Tionghoa dengan nama lahir Yusuf Hadi Pranata ini dikenal giat berdakwah. Sehari-hari, ia aktif mengisi pengajian ibu-ibu dan remaja. Dengan metode penyampaian yang tegas, mudah dan gamblang, banyak umat Islam mendatangi tabligh-tabligh yang disampaikannya. Selain gamblang, isi ceramah-ceramahnya pun sangat lugas dan enak didengar sehingga mudah dicerna masyarakat.

Laki-laki yang terlibat dalam sejumlah organisasi ini juga dikenal aktif merajut ukhuwah Islamiyah antar-ormas Islam. Dalam setiap ceramahnya, Yusuf tak pernah bosan mengingatkan umat agar bersatu dan bersama-sama membangun ukhuwah.

Yusuf pun sering mengingatkan bahwa maju-mundurnya Islam bergantung dari sikap umat Islam sendiri. Jika umat Islam bersatu, maka kemenangan akan segera datang. Namun jika sebaliknya, umat Islam akan selalu berada pada posisi sulit dan terpuruk.
Dakwah tampaknya sudah mendarah daging di tubuh Yusuf. Bersama teman-temannya di Gerakan Mubaligh Islam (GMI) Lampung, ia giat membina akidah umat dari serangan gerakan kristenisasi yang makin gencar mengepung Lampung.

Untuk membentengi umat dari serangan kaum kuffar itu, Yusuf menerbitkan buku-buku kristologi, antara lain: “Apa Kata al-Kitab Tentang Agama Kristen” dan “Mengungkap Fakta Penyimpangan Agama Kristen”. Isi kedua buku itu mudah dipahami dan kini menjadi referensi yang efektif untuk menangkis gerakan Kristenisasi diLampung. Rencananya tak lama lagi, Yusuf pun akan merampungkan sebuah buku yang masih terkait dengan Islam dan Kristen. “Ke depan, insya Allah saya akan mendirikan Lembaga Dakwah Kristologi di Lampung,” katanya.

Yusuf lahir di Gedungtataan, Kabupaten Lampung Selatan, 15 Desember 1972. Anak pasangan Tan Sin Nio dan Lie Cun Bi ini mulai mengenal Islam sejak kecil. Tepatnya tahun 1979, ketika Yusuf pertama kali ikut pamannya yang sudah lebih dulu masuk Islam. “Alhamdulilah paman saya sudah lebih dulu masuk Islam,” katanya. Karena itulah, Ke-Islamannya sudah dimulai sejak berada di rumah pamannya. Di Teluk Betung, tempat tinggal pamannya, Yusuf ‘kecil’ sering mengikuti ibadah ritual sang paman, seperti shalat, puasa dan ibadah lainnya. Ia juga sering merayakan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha bersama keluarga pamannya.

Kendati secara resmi saat itu belum masuk Islam, namun pada identitasnya tercantum agama Islam. Saat menulis biodata di rapor, pamannya mencantumkan Islam dalam kolom agama rapor Yusuf. Walau demikian, waktu itu Yusuf masih mengikuti kebaktian agama Kristen di gereja.

Secara resmi, Yusuf memeluk Islam saat masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Tak beberapa lama setelah itu, Yusuf dikhitan. Suami Sumiati (alm) yang menikah tahun 1999 ini, baru tergerak hatinya dan mantap mendalami Islam saat duduk di kelas satu SMA. Awalnya, Yusuf mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw. Dalam mimpinya, Rasulullah saw memberitahukan kepada Yusuf bahwa Islam adalah agama yang benar dan harus jadi pegangan seluruh umat manusia di dunia.

Hal serupa dialami Yusuf ketika mimpi bertemu Nabi Isa as. Dalam mimpinya Nabi Isa menyatakan kepada Yusuf, bahwa setelah kedatangannya sebagai utusan Allah SWT, akan ada lagi nabi terakhir yang akan menyempurnakan ajaran yang dibawa nabi-nabi sebelumnya. “Sejak mimpi bertemu Nabi Muhammad dan Nabi Isa, saya mulai mantap meyakini kebenaran Islam,” tegasnya.

Di SMA, Yusuf terlibat aktif di organisasi Kerohanian Islam (Rohis). Rohis ini menjadi organisasi Islam pertama yang dia ikuti. Bersama teman-teman Rohis, Yusuf giat mengadakan berbagai kegiatan ke-Islaman, termasuk program yang disebut Studi Islam Berkala (SIB).

Untuk menambah pengalaman organisasi, Yusuf aktif pula di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII), baik di kota Bandar Lampung maupun di tingkat wilayah. Jabatan terakhir Yusuf di PII adalah sebagai Koordinator Brigade Kota Bandar Lampung.

Atas usulan teman-temannya, ke-Islaman Yusuf ‘dilegalkan’ di Kantor Urusan Agama (KUA), pada 18 November 1994. Saat itu juga ayah dari M Habiburrahman al-Islami ini kembali mengucapkan dua kalimat syahadat yang merupakan syarat utama masuk Islam.

Seperti dialami para mualaf umumnya, ke-Islaman Yusuf pun tak berjalan mulus. Reaksi keluarga besarnya saat tahu dia memeluk Islam, terbelah. Pihak keluarga besar ibu sangat mendukung ke-Islaman Yusuf, sebab sebagian besar keluarga besar dari pihak Ibunya memang sudah banyak yang masuk Islam. Tantangan sangat keras datang dari pihak keluarga besar ayah. Mereka menentang keras, karena berpendapat semua agama, baik Islam, Kristen, Budha, Hindu dan lainnya adalah sama. Sama-sama menyembah Tuhan yang menciptakan manusia.

Saat ini komunikasi dan silaturahim dengan keluarga besar memang belum bisa berjalan secara teratur karena kesibukan masing-masing keluarga. Apalagi kebanyakan tempat tinggal mereka di luar Lampung. Namun Yusuf masih terus berhubungan, minimal melalui telepon atau surat. “Silaturahim masih terus dijalankan, minimal bertelepon dan berkirim surat,” katanya.

Pengalaman berorganisasi di SMA tampaknya menjadi bekal penting Yusuf di kemudian hari. Kini selain aktif di organisasi ke-Islaman, seperti di Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Lampung, ia juga terlibat di Gerakan Mubaligh Islam (GMI) Lampung. Kedua organisasi ini termasuk yang paling kencang menghadang gerakan kristenisasi di Lampung.

Di Lampung, jika dulu kristenisasi banyak menyerang masyarakat pedesaan, terutama desa-desa terisolir, kini sudah masuk ke wilayah perkotaan. Bahkan kristenisasi juga menyerang kampus-kampus yang mayoritas mahasiswa, dosen dan karyawannya Islam, seperti di Universitas Lampung (UNILA).

Cara pemurtadan yang dilakukan pun beraneka ragam. Di samping merancukan akidah Islam, seperti mengatakan bahwa semua agama adalah sama, juga menggunakan black magic, hipnotis dan penyerangan dengan meminta bantuan jin.
Bersama teman-teman di GMI, Yusuf membuat program pembinaan masyarakat hingga ke pelosok desa. Program ini bertujuan untuk menangkis gerakan pemurtadan yang belakangan kian gencar di Lampung.

Sama halnya saat memutuskan diri memeluk Islam, kegetolan Yusuf berorganisasi pun tak luput dari sorotan keluarga besarnya. Sebagian besar keluarga Yusuf menentang kiprahnya di organisasi Islam karena berpendapat Islam cukup dengan shalat, puasa, membayar zakat dan naik haji. “Meski perlu cukup lama untuk menjelaskan ini semua kepada keluarga, namun alhamdulillah akhirnya mereka dapat menerima dan memahami betapa pentingnya ikut berbagai organisasi, di samping menambah pergaulan dan teman, juga dapat mendatangkan kebaikan,” katanya.

Itulah sekilas profil singkat dai muda asal Lampung ini. Di usianya yang relatif masih muda, Yusuf sudah berbuat untuk umat, di antaranya usaha kerasnya menghadang gerakan kristenisasi di Lampung.

Sumber : (Sabili) Rivai Hutapea

http://mediabilhikmah.multiply.com/journal/item/117/Yusuf_al-Islami_

Kamis, 02 September 2010

Ali Selman Benoist (Perancis) Doktor Ilmu Kesehatan

Saya adalah seorang Doktor dalam ilmu kesehatan, berasal dari keluarga Perancis Katolik. Pekerjaan yang saya pilih ini telah menyebabkan saya terpengaruh oleh corak kebudayaan ilmiah yang tidak banyak memberikan kesempatan dalam bidang kerohanian. Ini tidak berarti bahwa saya tidak percaya atas adanya Tuhan. Yang saya maksud ialah karena dogma-dogma dan peribadatan Kristen, khususnya Katolik, tidak membangkitkan pengertian dalam jiwa saya atas adanya Tuhan. Karena itulah maka naluri saya atas Esanya Tuhan Allah telah menjadi penghalang antara diri saya dan kepercayaan Trinitas, dan dengan sendirinya juga atas ketuhanan Yesus Kristus.

Sebelum saya memeluk agama Islam, saya telah percaya atas kebenaran kalimat syahadat pertama yang berbunyi ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLAH dan ayat-ayat Al-Qur'an Surat Al-Ikhlas yang berbunyi:

Katakanlah: Dia itu Allah adalah Satu (Esa); Allah adalah Pelindung. Dia tidak melahirkan anak dan tidak pula dilahirkan sebagai anak, dan tidak ada sesuatu yang menyerupai Dia. -- Al-Ikhlash 1-4.

Dengan demikian, maka saya menganggap bahwa percaya kepada alam gaib dan segala yang ada di belakang kebendaan (metafisika) itulah yang menyebabkan saya memeluk agama Islam, disamping lain-lain sebab yang membuat saya berbuat demikian. Saya tidak bisa menerima pengakuan para pendeta Katolik yang mengatakan bahwa salah satu kekuasaan mereka ialah "mengampuni dosa manusia" sebagai wakil Tuhan.

Dan saya secara mutlak tidak percaya atas dogma Katolik tentang "makan malam ketuhanan"' (rite of communion) dan "roti suci" yang melambangkan jasad Yesus. Dogma ini menyerupai kepercayaan rakyat-rakyat pada abad primitif yang membuat lambang-lambang suci yang tidak boleh didekati orang. Kemudian bilamana badan lambang ini sudah mati, jiwanya mereka jadikan sebagai sumber ilham, dan jiwanya itu masuk ke dalam lingkungan mereka.

Soal yang lain lagi yang menyebabkan saya jauh dari agama Kristen, ialah ajaran-aiarannya yang sedikitpun tidak ada hubungannya dengan kebersihan badan, terutama sebelum melakukan sembahyang, sehingga saya anggap hal itu merupakan pelanggaran atas kehormatan Tuhan, karena sebagaimana Dia telah membuatkan jiwa buat kita, Dia juga telah membuatkan badan kita Dan adalah suatu kewajiban kita untuk tidak mensia-siakan badan kita.

Saya juga menilai bahwa agama Kristen itu bersikap pasif mengenai logika kehidupan jasmani kemanusiaan, sedangkan Islam adalah satu-satunya agama yang memperhatikan alam kemanusiaan.

Adapun titik berat dan sebab pokok saya memeluk agama Islam ialah Al-Qur'an. Sebelum saya memeluk Islam, saya telah mempelajarinya dengan semangat kritik intelektual Barat, dan saya banyak terpengaruh oleh sebuah buku besar karangan Tuan Malik Bennabi yang bernama Addzahiratul-Qur'aniyah (atau Le Phenomene Coranique), sehingga yakinlah saya bahwa Al-Qur'an itu adalah wahyu yang diturunkan Allah.

Sebahagian dari ayat-ayat Al-Qur'an yang diwahyukan lebih dari 13 abad yang lalu mengandung beberapa teori yang sekarang diketemukan oleh pembahasan ilmiah yang paling modern. Hal itu sudah cukup nienyebabkan saya menjadi yakin dan percaya (Iman) kepada Syahadat bagian kedua: MUHAMMADUR'RASULULLAH.

Begitulah, maka pada tanggal 30 Pebruari 1953, saya datang ke Mesjid Di Paris untuk memberitahukan keimanan saya kepada Islam, dan Mufti Masjid Paris memasukkan saya dalam daftar kaum Muslimin, dan saya menerima nama baru sebagai orang Islam : Ali Selman.

Saya merasa sangat puas dengan kepercayaan/akidah saya yang baru dan sekali lagi saya kumandangkan: ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH!

* * *

Mengapa Kami Memilih Islam
Oleh Rabithah Alam Islamy Mekah
Alih bahasa: Bachtiar Affandie
Cetakan Ketiga 1981
Penerbit: PT. Alma'arif, Bandung