Minggu, 25 Juli 2010

Tali Fahima, Mantan Tentara Zionis Israel yang Menemukan Kedamaian dalam Islam


Setelah tragedi penyerangan kapal Mavi Marmara dan syahidnya 9 relawan yang ditembak mati oleh tentara-tentara Zionist Israel di perairan internasional di Laut Mediterania, kini tentara Zionist adalah tentara yang paling diawasi tindak-tanduknya oleh masyarakat Internasional. Tindakan menyerang misi kemanusiaan di perairan internasional adalah salah satu tindakan paling sembrono yang pernah mereka lakukan.

Tentara Zionist memiliki sifat yang amat buruk, mereka bahkan tak segan menembak bayi atau orang-orang tak berdaya lainnya. Jika kita masih ingat penyerangan Israel ke Gaza secara besar-besaran baru-baru ini, kita akan dapatkan data yang mengerikan karena ternyata jumlah korban terbanyak justru anak-anak! Mengapa begitu? Karena anak-anak Palestina rata-rata hafal Al-Quran. Kaum Zionist tau jika orang muslim menguasai Qur’an maka akan dapat mudah menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Tapi ternyata tidak semua tentara Zionist berpikiran begitu. Pengecualian ini terdapat pada pemikiran Tali Fahima yang kini lebih memilih kewarganegaraan Palestina dan memeluk agama Islam.

Tali Fahima, mantan tentara Zionist yang menentang Zionisme

Perjalanan Tali Fahima untuk kembali kepada fitrah manusia sebagai makhluk yang menghamba pada Allah tidaklah mudah, ia harus mengalami berbagai cemoohan dan bahkan siksaan dari kaumnya sendiri. Ia pernah dipenjara karena memberitahu Zakaria Zubeidi, pemimpin Brigade Al-Aqsa di Jenin, bahwa Zubeidi saat itu dijadikan daftar pertama dalam operasi pembunuhan oleh Zionist Israel. Mengapa ia membantu Zubeidi? Hal itu karena Zubeidi terlibat proyek film tentang teater anak-anak Jenin yang berjudul “Arna’s Children” yang memenangkan “Best Documentary Feature” di Tribeca Film Festival 2004. Bahkan Tali bersedia menjadi perisai hidup bagi Zubeidi.

Dari seorang pendukung Zionisme menjadi penentang Zionisme

Pada awalnya banyak orang Yahudi penganut Zionist yang terkejut karena Tali membantu “pihak musuh”. Bahkan demi alasan kemanusiaan atau apapun hal itu adalah hal yang aneh bagi mereka. Selain karena dahulu Tali adalah seorang Yahudi, ia juga adalah seorang pendukung partai Likud, sebuah partai besar di Israel dengan paham Zionist yang amat kental.

Semenjak kejadian membantu Zuibeidi, ia kemudian dijebloskan ke penjara di Israel. Dalam penjara ia banyak mengalami siksaan, baik fisik maupun mental. Dukungan dari berbagai pihak pun datang untuknya, terutama dukungan datang dari warga Palestina. Setelah keluar dari penjara ia memutuskan untuk menjadi aktivis kemanusiaan dan pengkritik pemerintah Israel. Karena hal itu ia seringkali mendapat ancaman pembunuhan dari pihak konservatif Israel.

Islam membawa Tali Fahima pada kedamaian


Tidak banyak yang mengetahui bahwa Tali mengakui agama Islam secara sembunyi-sembunyi semenjak ia dipenjara. Kekerasan yang ia alami di penjara membuatnya sadar bahwa Zionisme adalah sesuatu yang salah, dan Islam lah yang membawanya pada kedamaian. Ia berkata bahwa salah satu inspirasi keislamannya adalah sosok Syaikh Raid Shalah, yang juga salah satu tokoh terkemuka perjuangan Palestina. Ia kemudian mengucap dua kalimat syahadat secara resmi di sebuah masjid di Umm al-Fahm. Ancaman pembunuhan dari pihak Zionis makin menjadi-jadi semenjak ia masuk Islam.

“Alhamdulillah, Allah telah menggariskan suratan takdir untuk saya. Dan jika memang Ia akan menakdirkan saya mati syahid, maka saya berucap Alhamdulillah, hal itu lebih baik dari sesuatu apapun,” kata Fahima.

Begitulah jika Allah berkehendak, bahkan seorang Zionis pun dapat luluh hatinya oleh cahaya yang Allah ciptakan bernama Islam.

Tali Fahima kini tinggal di perkampungan arab Ara’ra sebagai seorang Palestinian. Ia bekerja sebagai guru bahasa Ibrani di sebuah sekolah dan menghabiskan waktu luangnya untuk belajar Bahasa Arab dan Al-Qur’an.

~ Tio Alexander (diolah dari berbagai sumber)

http://un2kmu.wordpress.com/2010/06/30/tali-fahima-mantan-tentara-zionis-israel-yang-menemukan-kedamaian-dalam-islam/

Kisah ketertarikan Anggota Timnas Hoki Inggris kepada Islam

Dengan jari telunjuk kanan menunjuk ke arah langit, pekikan kalimat Allahu Akbar yang berarti Allah Maha Besar meluncur dari bibir Darren Cheesman. Bukan acungan jari telunjuk kanan yang menjadi semangat, melainkan sepenggal kalimat yang keluar dari mulut Darren menyambut perayaan kemenangan tim nasional hoki Inggris usia 21 (U-21) dalam ajang Olimpiade Junior 2007 di Sydney, Australia.

Tentu saja, kemenangan itu bagi Darren terasa menyenangkan. Selain menjadi ajang perpisahannya dengan dunia olahraga hoki yang selama ini telah membesarkan namanya, perayaan tersebut juga menjadi awal langkahnya menuju kehidupan baru. Sebuah kehidupan baru yang dilakoninya dalam delapan bulan terakhir.

Ya, dia adalah seorang mualaf. Sebagaimana dilansir laman muslimnews.co.uk, sejak memutuskan memeluk Islam pada awal 2007, sikap Darren di lapangan serta gaya hidupnya berubah drastis. Perubahan itu pula yan membuat semua prioritas dalam kehidupannya berubah.

Jika dahulu, karier sebagai pemain hoki menjadi prioritas utama dalam kehidupan Darren, kini tidak lagi. Ia menyadari betul bahwa dunia hoki internasional bukanlah gaya hidup yang paling cocok untuknya. "Saya ingin belajar lebih banyak tentang agama dan saya perlu waktu untuk melakukannya," ujar Darren mengutarakan alasannya untuk pensiun dari dunia hoki profesional.

Para penggemar hoki di Inggris mungkin tidak akan lagi melihat aksi memukau Darren di lapangan. Yang ada di hadapan Anda saat ini adalah seorang pria kantoran dengan kemeja dan dasi melekat di tubuhnya. Pria kelahiran Hackney, London, 23 Februari 1986, ini memutuskan berhenti menjadi atlet hoki profesional dan lebih memilih berkarier sebagai account senior manager pada sebuah perusahaan penjualan ternama d Inggris. Padahal, usianya saat itu masih terbilang muda, yakni 21 tahun.

Dunia olahraga hoki baru ditekuni Darren saat usianya menginjak 11 tahun. Saat itu, Arsenal's Sporting Community tengah menyelenggarakan program pencarian bakat dalam bidang olahraga.
Bukan kepada olahraga sepakbola, namun hatinya justru tertambat pada olahraga hoki. Akhirnya, ia pun dikirim ke sebuah klub hoki untuk mengikuti program pelatihan selepas pulang sekolah.

Kepiawaian dalam bermain hoki membuat Darren diminta bergabung dalam tim hoki Kota Islington, di bawah asuhan Freddie Hudson, seseorang yang akan memainkan peran dalam kehidupan Darren. "Dia sudah seperti ayah bagi saya. Ia menggantikan sosok ayah yang tidak pernah ada di samping saya, ibu, dan adik saya," ungkap Darren mengenai sosok Hudson.

Pada usia 16, Darren memulai karier profesionalnya sebagai pemain hoki dengan bergabung ke salah satu klub Divisi 1 Liga Nasional Inggris, Old Loughtonians Hockey Club, dengan menempati posisi sebagai gelandang. Karier yang cemerlang di Old Loughtonians Hockey Club membuatnya dilirik oleh salah satu klub Liga Utama Hoki Inggris, East Grinstead Hockey Club. Saat memperkuat East Grinstead Hockey Club ini, Darren terpilih sebagai Premier League Player of the Year pada 2004.

Hijrah ke Belanda Prestasi gemilang yang diraihnya ini membuat klub elite hoki asal Belanda, Oranje Zwart, meminangnya. Ia g menghabiskan setahun bermain di sana. "Ini merupakan suatu kehormatan bagi saya bermain untuk Oranje Zwart. Beberapa pemain terbaik telah bermain di sana, termasuk pemain terbaik di dunia," ujarnya. Saat bermain untuk Oranje Zwart inilah, ia berkenalan dengan Shahbaz Ahmed, legenda hoki Pakistan. Di dunia olahraga hoki, keandalan Shahbaz dalam menggiring bola tidak lagi diragukan.

Sepanjang kariernya, Shahbaz telah menerima berbagai penghargaan bergengsi dunia. Karena itu, tak mengherankan jika sosok atlet hoki berdarah Pakistan ini menjadi salah satu inspirator dalam kehidupan Darren.

"Anak-anak bermain sepak bola di taman bermain sambil berpura-pura seakan menjadi pemain sepak bola favorit mereka. Sementara itu, saya dan teman-teman berpura-pura menjadi Shahbaz dan itu masih kami lakukan," kata Darren. Ketika memperkuat Oranje Zwart, Darren banyak berhubungan dengan teman-teman satu klubnya yang datang dari latar belakang dan budaya yang berbeda. Tidak mudah bagi Darren untuk bisa berbaur dengan mereka.

Justru di tengah-tengah perbedaan tersebut, ia menemukan perasaan damai dan bersahabat jika berbaur dengan teman-teman Muslimnya. Dan, sejak saat itu, ia mulai tertarik dan banyak bertanya mengenai Islam kepada rekan timnya. Keputusannya untuk memeluk Islam justru datang menjelang akhir karier Darren di dunia hoki internasional.

Selepas memperkuat tim nasional Inggris pada ajang Olimpiade Junior 2007 di Sydney, ia memutuskan untuk pensiun. "Saya sudah tertarik dengan Islam selama tiga tahun terakhir karena orang-orang di sekitar saya. Islam menjawab pertanyaan yang saya miliki dalam hidup saya dan juga pertanyaan yang belum ada di sana. Rasanya, saya telah menemukan jawaban atas segalanya dan saya tahu bahwa itu adalah kebenaran."

Sebagai seorang Muslim, ia mengakui meneladani perilaku Nabi Muhammad SAW. "Saya mencoba untuk mengikuti apa yang dicontohkan Nabi Muhammad. Dia tidak pernah sedikit pun membalas orang-orang yang telah menyakitinya. Saya mencoba untuk mengikuti contoh itu dan tetap tenang di lapangan," ujarnya.

Darren mengakui, agama Islam memberikan pengaruh besar dalam kehidupannya. Jika dahulu mudah tersinggung dengan ucapan lawan bicara, kini ia dengan sopa menyambut kritikan dan sindiran yang dialamatkan padanya.

"Saya jauh menjadi lebih tenang. Sebelumnya, ketika seseorang terus melakukan hal buruk, saya benar-benar panas dan marah. Termasuk, ketika saya harus berhadapan dengan pemain dari tim lawan," tambah Darren. Baginya, Islam adalah agama yang senantiasa mengajarkan kedamaian dan persahabatan. Karena itu, tidak boleh ada yang merusaknya. [Republika]

http://muslim-mualaf.blogspot.com/2010/07/kisah-ketertarikan-anggota-timnas-hoki.html

Sukapno : Sejak Kecil Mengidamkan Jadi Seorang Muslim

Penulis : Indra Widjaja

SEJAK masih duduk di bangku sekolah dasar, saya sudah tertarik untuk shalat bersama dengan teman-teman sebaya, terutama bila melihat mereka shalat berjamaah, baik di tempat tinggal saya maupun di sekolah pada saat pelajaran agama. Tapi, hasrat untuk melakukan shalat itu sempat terbendung, karena saya sadar, saya bukan seorang muslim. Harap maklum, saya anak ketiga dari enam bersaudara. Ibu saya Karma dan ayah Dwijo Samino adalah pemeluk Katolik. Saya sendiri lahir di Sleman, Yogyakarta, 3 Agustus 1967.

Sejak kecil, saya sudah ditanamkan ajaran Katolik yang dipeluk kedua orang tua. Namun, entah mengapa, hati saya menolak menerimanya. Tentu saja, penolakan itu harus saya pendam di dalam hati. Kadang-kadang saya suka nekat. Tanpa sepengetahuan orang tua, saya sering meminta teman-teman yang muslim untuk mengajarkan saya tata cara mengambil wudhu dan shalat. Ternyata, mereka dengan senang hati mau mengajari, hingga saya dapat melakukan gerakan shalat, walaupun belum bisa sepenuhnya membaca ayat ataupun bacaan-bacaan lainnya.

Keinginan besar itu tidak pernah padam hingga saya diterima bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di instansi TVRI Semarang. Dalam menjalankan tugas sebagai seorang kamerawan TVRI, bila meliput kegiatan keislaman, saya begitu tertarik.

Bila ada waktu luang akan saya pergunakan untuk menambah wawasan tentang Islam dengan bertanya kepada para kiai yang saya temui di lapangan. Dari masukan yang saya dapatkan itu, semakin memperkokoh hasrat saya untuk memeluk Islam. Tapi, tentu tidak semudah itu untuk melaksanakan keinginan itu. Orang tua saya pasti akan menentang.

Sebenarnya, bisa saja saya langsung menjadi seorang muslim. Sebab bila kemungkinan terburuk, misalnya saya dikucilkan dari keluarga, tentu sudah tidak menjadi masalah. Sebagai seorang PNS, saya merasa sudah dapat membiayai kehidupan saya sendiri tanpa harus terus bergantung kepada orang tua.

Tapi, saya bukan tipe orang sombong, yang mentang-mentang sudah mandiri, lantas dengan begitu saja membuat keputusan tanpa memikirkan perasaan orang tua yang sudah melahirkan dan membesarkan. Saya mencari waktu yang tepat, sehingga tidak mengecewakan orang tua terlalu besar. Walau bagaimanapun, mereka tentu kecewa kepada saya. Sebagai orang tua, mereka tentu merasa kehilangan anaknya.

Menikah

Saya sempat bimbang, antara keinginan untuk memeluk Islam dan menjaga perasaan orang tua. Saya merasa sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan. Termasuk dalam hal memilih pasangan hidup. Muncul ide dalam benak saya untuk memuluskan jalan menjadi seorang muslim, paling tidak, saya harus beristrikan seorang muslimah.

Ternyata, Tuhan mempertemukan saya dengan wanita yang juga seorang PNS asal Sukoharjo. Sri Supatmi, namanya. Saya kenal ia sekitar satu tahun yang lalu. Calon istri yang saya idamkan dari keluarga muslim ini, tentu akan memperlancar jalan saya untuk menjadi seorang muslim.

Namun, keinginan saya untuk menikahi Sri tertunda karena saya mendapat panggilan tugas belajar ke Yogyakarta selama satu tahun. Tugas belajar dimulai awal April 1999 lalu dan berakhir Januari 2000. Waktu yang cukup panjang untuk dapat menikahi gadis pilihan saya itu.

Saat masuk asrama inilah saya bertemu teman-teman yang berasal dari seluruh Indonesia dan mayoritas beragama Islam. Secara resmi saya memang belum memeluk Islam, tapi saya sudah merasa sebagai pemeluk Islam. Bersama teman-teman satu asrama, saya melaksanakan shalat berjamaah dan sekaligus mendapat bimbingan dari mereka.

Teman-teman di asrama telah lebih dulu mengakui saya sebagai seorang muslim, walaupun secara resmi belum disaksikan masyarakat luas dan disahkan secara hukum. Atas bimbingan dan pandangan teman-teman serta motivasi mereka, membuat saya memutuskan untuk menikahi gadis idaman saya itu saat tugas belajar. Hal ini dipercepat dari rencana semula. Sebenamya saya baru akan menikah setelah pendidikan tahun 2000 mendatang.

Allah SWT telah mendatangkan jodoh bagi saya, sekaligus mempercepat proses saya menjadi seorang muslim secara resmi. Termasuk di sini saya memberanikan diri untuk menyatakan bahwa agama yang terbaik bagi saya adalah Islam, kepada orang tua dan saudara-saudara saya.

"Bapak sedih, tapi bapak tidak bisa apa-apa, kamu sudah dewasa dan kamu sendiri yang menentukan jalan hidupmu sendiri, " kata bapak saat saya menyampaikan niat saya masuk Islam. Perasaan sedih juga terpancar dari wajah ibu. Mungkin beliau kecewa.

Kebulatan tekad memberanikan diri saya berterus terang. Saya anggap ini adalah saat yang paling tepat untuk mengutarakan serta memintakan restu orang tua melamar gadis pilihan saya itu. Mereka pun tak bisa menolak.

Saya diislamkan di Masjid Syuhada Yogyakarta, usai shalat Jumat, 6 April 1999. Suatu peristiwa bersejarah dalam hidup saya, disaksikan rekan-rekan satu pendidikan, para dosen, pimpinan perguruan tinggi kedinasan. Dan yang paling membahagiakan, sebagian besar jamaah Masjid Syuhada yang baru usai shalat Jumat tidak mau beranjak menyaksikan pengislaman saya.

Alhamdulillah, saya mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lancar, dituntun imam Masjid Syuhada. Tiba-tiba saat selesai mengucapkan syahadat, saya tak mampu menahan haru yang teramat sangat, sehingga berkucuran air mata. Tangis saya meledak saat melihat rekan saya yang hadir turut larut haru dan mengucurkan air mata. Syahadat menggetarkan sesuatu dalam batin yang tak dapat saya lukiskan dengan kata-kata. Saya pun resmi menjadi seorang muslim.

Sekitar satu bulan lebih setelah resmi memeluk Islam, saya dipertemukan jodoh oleh Allah SWT dengan Sri Supatmi, dan akhimya kami menikah pada 27 Mei 1999. Kebahagiaan ganda pun saya rasakan. Keingginan saya memeluk Islam dan menikah dengan seorang muslimah terwujud sudah. Puji syukur ke hadirat Allah SWT untuk semua limpahan ini.

Sesuatu yang tidak saya duga sebelumnya, dan ini merupakan kebahagiaan yang lain lagi. Saya rasa limpahan rahmat ini menambah kebahagiaan bagi saya, karena salah seorang adik saya berniat akan masuk Islam. Insya Allah.

Dari mualaf.com

http://kotasantri.com/bilik/mualaf/2010/06/10/sukapno-sejak-kecil-mengidamkan-jadi-seorang-muslim

Hauw Tin : Sempat Terusir dari Rumah

Penulis : Indra Widjaja

Nama asli saya Hauw Tin, usia lebih dari 50 tahun. Saya anak kedua dan empat bersaudara, dua laki-laki dan dua perempuan. Saya dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang beragama Konghucu, karena agama itu adalah agama leluhur kami. Tetapi, ketika SMP, saya disekolahkan di SMP Bhiku Yudha Putra, yaitu sekolah yang mengajarkan agama Budha. Sekolah untuk agama Konghucu memang tidak ada.

Walaupun di rumah saya beragama Konghucu, tetapi, karena di sekolah diajarkan agama Budha, otomatis saya belajar agama Budha. Di sini saya mendapatkan pengajaran seperti latihan ketaatan pada orangtua, budi pekerti, dan tentang pemahaman ajaran kebaikan. Ajaran Budha tidak pernah mengajarkan tentang dosa.

Selepas SMP, saya melanjutkan sekolah ke SMA Sari Putra yang terletak di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, juga SMA yang mengajarkan pelajaran agama Budha.

Ketika duduk di kelas dua SMA, saya pindah ke SMA Kristen dan mengambil kajian agama Katolik. Di sinilah awal saya berpindah agama dari Konghucu ke agama Katolik (1964). Saya dibaptis di Gereja Santo Paulus, Jakarta Pusat, dan mendapat nama baptis Johanes To Hauw Tun.

Saya ikut misa (kebaktian) di Gereja Kathedral, yang letaknya berhadapan dengan Masjid Istiqlal. Namun, di sekolah SMA Kristen tersebut saya selalu berdebat dengan guru maupun pastor, sehingga saya terpaksa diskors selama 3 hari.

Perdebatan tersebut menyangkut masalah teologi (ketuhanan) yang di agama Katolik disebut trinitas. Saya juga berdebat tentang pengakuan dosa. Apabila kita merasa bersalah dan berdosa besar satu minggu, maka pada sabtu sore harus datang ke gereja dan mengakui semua dosa kepada pastor. Besoknya, baru boleh datang untuk melakukan misa. Di dalam pengakuan dosa ini, biasanya anggota jemaat diminta untuk membaca doa dengan rosario (sejenis tasbih) sampai beberapa kali. Pada waktu itu pastomya adalah Ten Ber Ger.

Ketertarikan saya masuk Islam waktu itu diawali ketika kebetulan saya mampir ke rumah teman saya yang bernama Nirman Effendi, la seorang wartawan foto. Waktu itu tanggal 1 November 1967. Saat di rumah Nirwan itu, saya melihat ada kitab suci Al-Qur'an (terjemahan). Saya tertarik untuk membacanya. Meskipun hanya sebentar, saya ingin membacanya lebih lama lagi dan akhirnya saya meminjam padanya selama satu minggu.

Selama di rumah, Al-Qur'an tersebut saya baca. Lega sekali rasanya, dan, ini hanya sekali saja saya rasakan seumur hidup. Saya ingin sekali mengulanginya, tetapi tidak bisa. Rasanya dosa saya seperti dicabut semua. Badan saya seperti ada yang menarik ke atas dan rambut saya seperti ikut tertarik ke atas. Tetapi siapa yang menarik, saya tidak tahu. Mungkinkah itu malaikat?

Setelah kejadian itu, rasanya saya menemukan sesuatu yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. Saat itu keinginan saya hanya memeluk agama Islam, dan keinginan ini saya utarakan pada salah satu tetangga saya yang bernama Usman. Usia Usman saat itu 35 tahun dan saya baru 21 tahun.

Kemudian, esok harinya saya dibawanya ke tempat Ketua RW. Ketua RW saat itu adalah keturunan Jepang bernama Mark dan istrinya orang Belanda bernama Hany. Pak RW pun membawa saya ke Kantor Urusan Agama (KUA) DKI Jakarta pada tanggal 8 November 1967. Di kantor KUA itu, saya diminta mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat.

Sebagai orang yang baru masuk Islam, saya dianjurkan untuk berkhitan (sunat). Karena mau disunat itu, keluarga saya yang tadinya tidak tahu, jadi tahu semua. Sebab, masyarakat di sekitar rumah saya membicarakan perihal saya mau disunat. Mendengar saya mau disunat, orangtua saya jadi marah. Akhirnya, saya dijaga dengan ketat dan tidak boleh ke luar rumah. Padahal, saya sudah janji dengan Usman untuk pergi ke Tasikmalaya Jawa Barat dalam rangka sunat.

Akhirnya, selepas maghrib saya bisa melarikan diri ke Terminal Bus Lapangan Banteng. Saat itu Lapangan Banteng dijadikan terminal bus dalam kota. Saya berbekal uang Rp. 5.000,- yang saat itu nilainya besar sekaii. Saya berangkat sendiri, karena tak sabar menunggu kedatangan Usman. Alhamdulillah, bus yang saya tumpangi mogok, sehingga saya bisa bertemu Usman. Alhasil, kami pun tiba di Tasikmalaya dengan selamat. Dan, saya pun akhirnya dikhitan di sana.

Orangtua saya ternyata mencari saya dengan cara menanyakan pada tetangga dan akhirnya ketemu juga di Tasikmalaya. Saya dipaksa pulang ke Jakarta. Tapi, saya tidak mau. Akhirnya saya masuk Pondok Pesantren Cipasung yang diasuh K.H. Rukhiyat, ayah K.H. IIyas Rukhiyat, Rois Aam Suriah PBNU. Di sini saya belajar selama tiga tahun. Segala kebutuhan makan dan belajar dijamin pesantren karena saya seorang mualaf.

Kembali dari pesantren, saya pulang ke rumah. Tetapi, orangtua tidak mengakui saya sebagai anak. Saya sempat tidur di emper rumah dan makan diberi oleh tetangga yang bersimpati dengan keislaman saya.

Pada tahun 1987, saya menikah dengan orang Yogyakarta, tapi cuma bertahan tujuh bulan. Kini, saya berwiraswata dan memiliki 10 buah bajaj. Pada 1990, saya menikah lagi dengan wanita keturunan Cina Palembang dan dikaruniai empat anak. Selain itu, saya juga aktif di dunia politik, menjabat sebagai Ketua DPC salah Partai Islam di Jakarta Barat.

Dari mualaf.com

http://kotasantri.com/bilik/mualaf/2010/07/22/hauw-tin-sempat-terusir-dari-rumah

Susan Carland : Menemukan Kelembutan Islam

Penulis : Redaksi KSC

Tahun 2004 lalu, mungkin menjadi tahun yang paling berkesan bagi seorang Susan Carland. Betapa tidak, wanita kelahiran Melbourne, Australia, ini terpilih sebagai Tokoh Muslim Australia (Australian Muslim of the Year) 2004. Sejak saat itu, sosoknya dikenal luas di seluruh penjuru Negeri Kangguru, bahkan hingga ke negeri tetangga.

Kendati pernah dinobatkan sebagai Tokoh Muslim Australia berpengaruh, sejatinya Susan bukan berasal dari keluarga Muslim. Kedua orang tuanya merupakan pemeluk Kristen yang taat. Ia sendiri baru mengenal Islam pada usia yang baru menginjak 19 tahun.

Orang tuanya bercerai ketika Susan berusia tujuh tahun. Ia kemudian memilih untuk tinggal bersama ibunya, yang dianggapnya sebagai sosok wanita yang gigih, penyayang, dan orang yang paling banyak memengaruhi perjalanan kehidupannya.

Sebagai pemeluk Kristen yang taat, sang ibu pun mengharuskan anak gadisnya itu untuk aktif dalam kegiatan gereja dan mengikuti sekolah Minggu. Namun, ketika menginjak usia 12 tahun, ia memutuskan tidak lagi menghadiri kegiatan gereja dan mengikuti sekolah Minggu. "Saat itu, saya beralasan bahwa saya tetap percaya kepada Tuhan meskipun tidak ke gereja."

Namun, keinginan yang kuat untuk mengenal Tuhan lebih jauh pada akhirnya mendorong Susan untuk ikut aktif lagi di kegiatan gereja. Ia kemudian memutuskan bergabung dengan sebuah komunitas gereja yang menurutnya terbilang lebih toleran dibandingkan yang sebelumnya pernah ia masuki.

Walaupun aktif dalam kegiatan gereja, diakui Susan, dirinya tetap bisa melalui masa remajanya seperti kebanyakan gadis seusianya. Pada waktu senggang, ia mengikuti kelas balet dan kegiatan ekstrakulikuler lainnya yang diselenggarakan oleh sekolahnya.

Saat aktif di komunitas gereja baru ini, ia kerap mendengar pembicaraan orang-orang di sekitarnya yang mengaku berbicara dengan Tuhan dalam bahasa roh. Hal tersebut menimbulkan kebingungan dalam dirinya yang saat itu tengah mempelajari konsep mengenai ketuhanan.

Ketika merayakan ulang tahunnya yang ke-17, Susan membuat beberapa resolusi di tahun baru. Salah satu resolusinya adalah menyelidiki agama-agama lain. "Agama Islam saat itu tidak masuk dalam daftar teratas karena agama ini bagi saya terlihat asing dan penuh dengan kekerasan," ungkapnya.

Pengetahuan tentang Islam yang dimiliki Susan kala itu hanya sebatas pada penjelasan-penjelasan yang ia baca di buku ensiklopedia anak-anak dan dalam film berjudul Not Without My Daughter. Di samping itu, ada juga pesan yang pernah disampaikan ibunya bahwa beliau tidak peduli jika dirinya menikah dengan seorang pengedar narkoba sekalipun, asalkan jangan dengan seorang Muslim.

Layar TV

Lalu, kenapa ia kemudian memilih Islam? Ada nilai lebih yang ia dapatkan dalam agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yakni kedamaian dan kelembutan. Kebalikan dari yang pernah ia dengar sebelumnya.

Saat disuruh menjelaskan bagaimana ia bisa memutuskan menjadi seorang Muslimah, ibu dua anak ini menuturkan kepada harian The Star bahwa ia tidak bisa mengingat secara pasti, apakah dia menemukan Islam atau Islam menemukannya. Yang pasti, semua peristiwa tersebut tidak pernah ia rancang sebelumnya. "Hari itu, saya menyetel televisi dan mendapati diri saya sedang asyik menyaksikan sebuah program mengenai Islam," ujarnya.

Sejak saat itu, berbagai artikel mengenai Islam di koran dan majalah selalu menarik perhatian Susan. Tanpa disadarinya, ia mulai mempelajari agama Islam. Ketika dalam proses pembelajaran tersebut, Susan justru menemukan sebuah 'kelembutan' yang tidak pernah ia temukan. Lagi pula, ajaran Islam menarik baginya secara intelektual.

"Agama ini jauh berbeda dibandingkan agama-agama yang pernah saya pelajari dan selidiki. Dalam Islam, ternyata tidak mengenal yang namanya pemisahan antara pikiran, tubuh, dan jiwa seperti halnya yang pernah saya pelajari dalam agama Kristen," papar dosen sosiologi Universitas Monash, Australia, ini.

Berawal dari situ, Susan bertekad bulat untuk memeluk Islam. Satu kebohongan besar yang terpaksa ia lakukan adalah merahasiakan perihal keislamannya dari keluarga dan teman-temannya, terutama sang ibu.

Namun, takdir berkata lain. Rahasia yang telah ditutupinya rapat-rapat terbongkar juga ketika ibunya mengadakan perjamuan makan malam dengan menu hidangan utama daging babi. "Saat itu, saya mengalami dilema, antara mesti mengumumkan soal keislaman saya atau memakan makanan haram itu," ujarnya mengenang peristiwa itu.

Dalam kebimbangan tersebut, ia pun berterus terang. Namun, tanpa ia sangka, reaksi yang ditunjukkan oleh ibunya sungguh membuatnya terkejut. Bukan kemarahan dan cacian, melainkan tangisan dan pelukan erat dari sang ibunda yang diterimanya.

Selang beberapa hari setelah insiden makan malam tersebut, istri dari Waleed Ali ini kemudian memutuskan mengenakan jilbab. Menurutnya, menutup kepala merupakan kewajiban bagi seorang Muslimah. Karena, hakikatnya, Islam mengatur segala aspek dalam kehidupan manusia. Bagi dia, banyak manfaat yang dirasakan dengan menutup aurat itu. "Selain sebagai sebuah peringatan agar kita lebih mendekatkan diri kepada-Nya, juga menjadikan wanita Muslim sebagai duta Islam," ujarnya.

Selepas memeluk Islam, perjalanan hidup yang dilalui Susan tidaklah semudah yang dialami segelintir mualaf yang bernasib baik. Susan sering berhadapan dengan kemarahan khalayak ramai dan dijauhi oleh teman-temannya. Bahkan, ia juga kerap mendapatkan penghinaan di depan umum terkait dengan jilbab yang menutupi kepala dan rambutnya.

Namun, kini semuanya berubah. Setelah lima tahun berislam, barulah Susan mempunyai teman-teman yang bukan saja berasal dari kalangan Muslim, tetapi juga dari non-Muslim. Dengan busana Muslim yang membalut tubuhnya, ia kini bebas mengajak anaknya untuk berjalan-jalan di taman kota ataupun bermain di dekat danau, di mana dulu semasa kecil ia sering diajak oleh ibunya untuk memberi makan bebek. Begitupun ketika ia pergi mengajar ke kampus dengan mengendarai VW Bettle warna merah muda yang biasa disapanya dengan panggilan 'Gus', tidak ada lagi tatapan sinis dari orang-orang di sekelilingnya.

Dari Republika Online

http://kotasantri.com/bilik/mualaf/2010/07/15/susan-carland-menemukan-kelembutan-islam

Chan Hok Bie : Nekat karena Tak Punya Ketetapan Agama

Penulis : Indra Widjaja

Nama saya Chan Hok Bie. Menilik nama saya, tampak jelas bahwa saya WNI keturunan. Papa saya bernama Chan Po Liem, sedangkan mama bernama Lim Bing Mio. Saya lahir di Royal Tanjung Wangi, Jakarta Utara, pada tahun 1958. Sebelum mama menikah dengan papa, mama pernah menikah dan mempunyai tiga orang anak dari suami terdahulu. Kemudian mama menikah dengan papa dan mempunyai dua orang anak, yaitu saya sebagai anak tertua dan adik saya, juga laki-laki.

Kami hidup di lingkungan masyarakat yang majemuk, baik budaya maupun agamanya. Orangtua saya pemeluk agama Budha fanatik. Saya sendiri, meskipun menyatakan sebagai pemeluk agama Budha, namun tak pemah tahu seluk beluk ajaran Budha. Kitab suci Budha pun tak pernah saya sentuh.

Selain itu, kalau melihat cara mereka (umat Budha) melakukan ibadah, memang membutuhkan banyak biaya. Keadaan yang demikian membuat nalar saya berjalan. "Bagaimana bila saya beribadah seperti papa, sedang cara itu setengah dipaksakan?" kata saya membatin. Terbayang dalam benak saya segala sesuatu yang harus dibeli bila saya mengikuti ajaran yang dilakukan mama dan papa. Sedangkan, papa saya hanya bekerja sebagai buruh.

Menginjak kelas satu SMP, mama saya meninggal dunia. Sejak itu kehidupan saya terkatung-katung tak menentu. Saya juga mulai berpikir, agama apa yang harus saya pegang? Sekolah saya pun kandas di tengah jalan. Untuk menopang kehidupan sehari-hari, terpaksa saya ikut papa bekerja di toko mebel kepunyaan orang lain. Tekad saya waktu itu, jangan sampai sekolah adik saya pun ikut terputus di tengah jalan (drop-out). Tetapi, kendala tetap saja menghadang.

Dengan situasi dan kondisi yang tak menentu itu, saya masih tetap menekuni pekerjaan. Dan untuk mengubah nasib, saya pun membuat SIM (Surat Izin Mengemudi). Setelah itu saya melamar kerja pada sebuah perusahaan swasta dan diterima hingga sekarang. Sebetulnya saya ingin mandiri dan berwiraswasta, tapi apa daya, karena faktor modal, mau tak mau saya jalani saja pekerjaan yang sekarang ini.

Hari berganti begitu cepat. Tak terasa sepuluh tahun sudah saya bekerja. Sebagai laki-laki normal, saya berniat berumah tangga. Pada tahun 1980 saya berkenalan dengan seorang wanita muslimah. Seketika hati kecil saya berkata, "Barangkali inilah jodoh saya."

Hubungan kami pun semakin akrab. Kurang lebih setahun bergaul dengannya, saya pun diperkenalkan kepada keluarganya. Ternyata hambatan menghadang niat saya. Keluarga pacar saya itu menginginkan calon suami yang seiman. Akhirnya keinginan tersebut saya turuti. Kebetulan saya memang sudah mantap berniat masuk Islam.

Sebelum pernikahan berlangsung, saya sampaikan niat saya masuk Islam pada papa. Alhamdulillaah, papa menyetujui niat saya itu asalkan saya tetap konsisten (istiqamah) pada agama yang baru (Islam).

Menjelang akad nikah, saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat serta memenuhi persyaratan sebagai seorang muslim. Saya diislamkan oleh seorang labai di Desa Kalijati, Subang, Jawa Barat. Saya sudah lupa nama orang yang mengislamkan saya itu. Apakah ia masih ada (hidup) atau tidak, sampai sekarang pun saya tak tahu.

Sejak sebelum masuk Islam pun saya memang tak gampang terpengaruh atau terbujuk oleh bujuk rayu teman atau pun lingkungan. Saya punya prinsip, termasuk dalam menentukan soal agama. Saya pun berusaha menghindari hal-hal yang bersifat negatif. Banyak manfaat yang saya dapatkan setelah saya resmi masuk Islam.

Pertama, saya banyak mendapatkan saudara seiman sebagai ganti kaum kerabat saya yang kini berpencar. Kedua, Islam itu agama yang mudah dipahami dan dipelajari. Alhamdulillaah, dalam mengarungi bahtera rumah tangga, hubungan saya dengan istri jarang cekcok. Kami dikaruniai tiga orang anak. Saya berharap salah satu dari mereka nanti ada yang belajar di pesantren.

Insya Allah, keinginan saya juga tidak muluk-muluk, asal anak-anak dapat pendidikan yang layak menurut kesanggupan saya. Saya sandarkan semua persoalan kepada Allah SWT. Saya ingat akan sebuah firman Allah dalam Al-Qur'an yang pada intinya menegaskan bahwa Allah akan melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya, dan Dia (pula) yang menyempitkan.

Kini, adik saya telah mengikuti jejak saya masuk Islam. Tinggal papa yang telah memasuki masa uzur, belum memeluk Islam. Saya senantiasa berdo'a, semoga kebenaran Islam menerangi hatinya. Saya tidak bisa memaksa meski papa adalah orangtua saya sendiri. Saya bersyukur, sebab bisa merasakan nikmatnya iman dan Islam yang tak dapat ditukar dengan apapun.

Dari mualaf.com

http://kotasantri.com/bilik/mualaf/2010/07/08/chan-hok-bie-nekat-karena-tak-punya-ketetapan-agama

Rusman Unri Surbakti : Terbuai Lantunan Ayat Suci

Penulis : Redaksi KSC

Al-Qur'an adalah kitab suci umat Islam. Ia menjadi pedoman hidup dan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Tak ada keraguan di dalamnya. Susunan kata begitu indah, gaya bahasanya begitu menarik, dan kandungan yang ada di dalamnya sangat jelas dan tegas. Bahkan, dari Al-Qur'an pula, banyak orang yang sukses. Ribuan bahkan jutaan buku ditulis. Semuanya bersumber dari Al-Qur'an.

Tak heran bila banyak orang yang kagum dan takjub dengan kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW itu. Khalifah Umar Ibn Khattab memeluk agama Islam berkat kandungan yang ada di dalamnya. Ia terkesima dengan lantunan kalam Ilahi itu. Padahal, sebelumnya, ia adalah penentang agama Islam yang sangat ditakuti.

Tak hanya Umar, seorang aktivis gereja di Indonesia pun akhirnya memilih agama Islam berkat lantunan kalam Ilahi ini. Dia adalah Rusman Unri Surbakti, seorang anak muda aktivis gereja di Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Pria ini akhirnya memeluk Islam karena banyak keraguan yang ia yakini sebelumnya menjadi tak masuk akal. Akhirnya, setelah menelusuri dan mendalami berbagai aliran dan agama yang ada, ia pun bertekad bulat memeluk Islam. Subhanallah.

Islam, bagi dia, sebetulnya bukan hal yang baru. Ketika kecil, entah mengapa, anak kelima dari delapan bersaudara itu selalu tertarik jika mendengarkan suara ayat suci di stasiun TVRI yang dilantunkan menjelang acara pengajian. “Lantunan itu menarik hati saya. Tapi, karena keluarga saya penganut Kristen, siaran TV itu segera dimatikan.”

Lulus SMA, dia merantau ke Batam setelah sempat ke Pekanbaru. Di Batam, Rusman bekerja di sebuah bengkel. Di sela-sela kesibukan kerjanya, dia aktif di gereja, bahkan menjadi ketua pemuda gereja. Dalam setiap perayaan natal dan kegiatan serimonial Kristen yang lain, Rusman selalu jadi ketua panitia.

Beberapa lama kemudian, Rusman pindah kerja ke kawasan Batamindo. Di situ, dia mulai bergaul dengan teman-temannya yang aktif di kegiatan keislaman. Hal itu mengingatkan kembali memori masa kecilnya ketika mendengarkan lantunan ayat suci Al-Qur'an. Muncullah dalam hatinya ketertarikan untuk mengenal Islam lebih dekat.

Anehnya, ketika muncul ketertarikan terhadap Islam, ia justru juga semakin giat mendalami ajaran agama yang dianutnya, yakni Kristen Protestan. Namun, di balik usahanya itu, hatinya justru semakin dekat dengan Islam.

“Di Injil, saya melihat ada beberapa surat yang tak konsisten. Di satu surat, ada yang mengharamkan babi, tapi dalam surat lain boleh.” Rusman menyebutkan, masih banyak contoh lainnya yang membuatnya ragu dengan agama yang dipeluknya sejak kecil itu.

Suatu ketika, dalam kebaktian di gereja, dia memerhatikan umat yang datang. Tak sedikit perempuan yang datang dengan mengenakan pakaian yang terbuka, mengumbar aurat. Tiba-tiba, ia merasa risih. Padahal, dari dulu sudah begitu. Namun, entah mengapa, perasaannya hari itu sangat berbeda.

“Itulah puncak dari kegelisahan saya. Saat itu juga, saya keluar dari agama yang sejak kecil saya anut.”

Ia pun kemudian mempelajari agama Islam. Namun, sebelum mantap meyakini Islam, ia mencoba mempelajari agama lainnya. “Siapa tahu cocok,” demikian batinnya.

Aliran kepercayaan ia pelajari, namun tak cocok dengan hati nuraninya. Yahudi, tak kena di hati. Agama Buddha dan Hindu juga tak berkenan di hatinya. Di tengah kebimbangannya itu, ia makin khawatir kalau tiba-tiba sakaratul maut menjemputnya. “Saya gelisah, takut mati karena tak punya agama,” katanya.

Akhirnya, suatu ketika, dia membaca buku Sejarah Islam dari Segi Hukum dan Sejarah Iman. Dari buku itu, Rusman menemukan sesuatu yang selama ini dia inginkan : kedamaian dan ketenteraman. Buku itu seolah menjadi magnet yang menarik dirinya untuk memeluk agama Islam. Setelah itu, dia mulai mempelajari Islam secara lebih intens. Sampai akhirnya, Rusman membaca dua kalimat syahadat pada usianya yang 22 tahun.

Ceritanya, siang hari pada bulan Ramadhan, Rusman mendatangi Masjid Nurul Hikmah di kawasan industri Batam. Kebetulan, pengurus masjid Nurul Hikmah, Mohammad Soleh —yang pernah satu kantor dengannya— ada di masjid itu. Ia pun langsung menyapa Soleh.

“Selamat siang, Mas Soleh,” sapa Rusman.

“Eh, Bang Rusman. Ada apa ini?” jawab Soleh agak terheran dengan kedatangan Rusman. Beberapa jama'ah di masjid juga memandang curiga kehadirannya.

“Saya mau masuk Islam,” jawab Rusman tanpa basa-basi.

“Oh, ya? Wah ada apa ini? Kok, tiba-tiba.”

“Niat saya sudah bulat, Mas.”

“Mohon maaf, Bang Rusman, agama bukan barang mainan. Mohon, pelajari dulu dengan baik. Nanti, jika sudah paham, baru benar-benar masuk Islam.”

“Saya sudah pelajari, Mas. Pokoknya, saya mau masuk Islam,” tekad Rusman sudah bulat.

“Oke kalau begitu. Nanti, datang ke sini lagi sebelum Maghrib. Ada baiknya mandi besar dulu.”

“Apa itu mandi besar?”

“Pokoknya mandi yang bersih, keramas.”

Sore hari menjelang Maghrib, Rusman sampai di masjid. Sekilas, matanya sempat melihat pengumuman di dinding. “Sore ini, pengislaman saudara Rusman Surbakti.”

Pemuda kelahiran 7 November 1971 itu sempat tergetar melihat pengumuman itu. Begitu melangkah ke dalam masjid, ia disambut oleh para pengurus masjid. Rupanya, di dalam masjid sudah dipenuhi oleh jama'ah. Mereka ingin menyaksikan aktivis Kristen itu masuk Islam. Selama ini, Rusman yang mereka kenal adalah penganut fanatik agama Kristen. Setidaknya, itu dibuktikan melalui posisi Rusman semacam ketua pemuda Kristen yang aktif melakukan kegiatan seremonial agama Kristen.

Ia kemudian duduk menghadap hadirin. “Segera saya duduk bersila di depan meja yang sudah disiapkan. Di sisi kiri saya, ada saksi. Di sisi kanan, tokoh masyarakat. Di depan saya, ustadz Muhammad Machfud. Beliaulah yang mengislamkan saya,” kata Rusman.

Setelah masuk Islam dan menjadi mualaf, pada 13 Maret 1993 ia mengganti nama yang sudah diberikan orangtuanya. Dari Rusman Unri Surbakti menjadi Abdullah Hidayat Ramadhan. Hidayah dari Allah itu datang pada bulan Ramadhan karena itu nama tengah dan belakang memakai nama Hidayat Ramadhan.

Setelah beberapa saat memeluk Islam, teman-temannya segereja dulu mencibirnya. Mereka tak percaya, seorang aktivis gereja tiba-tiba pindah agama dan memeluk Islam. Mereka mengira, Rusman pindah agama karena perempuan.

Namun, setelah mengetahui kepindahannya bukan disebabkan ketertarikannya pada perempuan, namun karena keraguan Rusman terhadap agama yang dianutnya dulu, teman-temannya pun mengejeknya. Apalagi, setelah namanya berganti menjadi Abdullah, ia makin dijauhi. “Mereka mungkin tidak membenci saya, tapi tetap saja menjauh,” kata Rusman alias Abdullah.

Bagaimana sambutan keluarga? Sebulan setelah masuk Islam, Abdullah pulang ke kampung halamannya di Asahan, Sumatera Utara. Dia datang menjelang malam. Keluarga sedang makan malam bersama, sebuah tradisi keluarga besar mereka.

“Ah, si Rusman datang. Ayo, ayo, langsung makan,” begitu abangnya menyambut kedatangannya. Di kursi yang mengelilingi meja besar itu, duduk ayah dan ibunya serta saudara-saudara sekandungnya. Mereka juga mengajak makan bersama.

“Alhamdulillah, saya sudah makan di jalan,” jawabnya.

Hah? Ungkapan singkat itu membuat semua yang ada di ruangan tersebut menjadi terkejut. Abdullah memahami keterkejutan itu. Belum selesai keheranan mereka, Abdullah berkata lagi, “Saya memang sudah pindah agama. Sekarang, saya seorang Muslim.”

Suasana menjadi tegang. Abangnya yang sulung terlihat paling geram. “Apa-apaan ini? Kamu tidak tahu, itu lihat Iran dan Irak yang sama-sama Islam malah saling bunuh!”

Suasana makin panas, tensi meninggi. Brak! Tangan kanan abangnya menggebrak meja. “Tidak ada itu pindah agama. Kamu ini gimana, sih?”

“Saya tidak mau tahu. Saya yakin, Islam itu yang benar,” Abdullah tak kalah lantang menjawabnya.

“Benar menurut kamu, belum tentu benar menurut kami,” kata ayahnya.

“Ayah, saya sudah yakin dengan pilihan saya. Kalau ayah dan abang menyuruh saya mencabut keimanan saya, saya pilih mati!”

Suasana mendadak hening. Semua terdiam. Tensi ketegangan entah mengapa makin menyurut. Sesaat kemudian, ayahnya angkat bicara.

“Baiklah, kalau memang sudah begitu keputusanmu. Silakan jalan dengan keyakinanmu. Tapi, ada satu permintaan, jangan menjauh dengan keluarga ini,” terang ayahnya.

“Islam tak membeda-bedakan, ayah. Jadi, aku pun tidak akan meninggalkan keluarga ini meskipun kita punya keyakinan yang berbeda,” kata Abdullah.

Abdullah pun kemudian mendalami Islam secara giat. Bila dulu ia menjadi aktivis gereja, kini ia aktif di kegiatan keislaman. Di kawasan industri Batamindo, ia ditunjuk menjadi ketua majelis taklim gabungan Fastabiqul Khaerat. Lembaga ini menghimpun 14 majelis taklim di daerah itu.

Begitu masuk Islam, Abdullah Hidayat Ramadhan merasakan bahwa pemahamannya terhadap Islam masih kurang. Karena itu, atas berbagai pertimbangan, ia merasa perlu untuk merantau ke Jawa, belajar tentang Islam secara lebih mendalam, termasuk belajar Al-Qur'an secara baik dan benar. “Saya belajar ke Yayasan Maarif di Blitar.”

Setahun belajar Islam di Blitar, Abdullah kembali ke Batam. Di sana, oleh teman-teman pengajian, Abdullah ditunjuk sebagai ketua seksi pembinaan mualaf. Tak berapa lama, karena kreativitasnya dalam menjalankan roda organisasi dan pengajian, Abdullah ditunjuk sebagai ketua majelis taklim gabungan Fastakibul Khaerat. Di Batam ini pula, dia menemukan jodohnya, seorang Muslimah.

Sekitar lima tahun memeluk Islam, dia merasa ada yang tidak pas dengan atmosfer keislaman di Tanah Air. Ada banyak kelompok yang masing-masing merasa paling benar sendiri. Dia trauma dengan agama sebelumnya yang memiliki banyak aliran keagamaan. “Saat itu, saya berpikir untuk mencari Islam ke sumbernya dan pilihannya tak lain adalah Arab Saudi.”

Abdullah memantapkan diri pergi ke Arab Saudi. Sebagai apa? TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Mobil pun dijual. Sebagian hasilnya untuk menambah uang saku ke Arab, sebagian lagi untuk kehidupan keluarganya. Maka, berangkatlah dia mencari ilmu agama Islam, langsung ke sumbernya di Makkah pada Juli 2000.

Sampai di Arab, dia dipekerjakan sebagai sopir di Jeddah. Tapi, baru sekitar empat bulan, dia bentrok dengan majikannya. Ia menilai, majikannya itu telah melecehkan martabatnya sebagai manusia. “Saya keluar dari pekerjaan itu. Konsekuensinya, surat-surat saya ditahan oleh majikan.”

Untuk mengambil surat-surat itu, ia harus menebus dengan uang yang jika dijumlahkan sekitar Rp. 200 juta. Uang sebesar itu bukan jumlah yang kecil. Karena itu, dia hidup menggelandang, mencari pekerjaan yang sifatnya gelap. Tujuh bulan hidup lontang-lantung di negeri orang.

Sampai-sampai pernah ‘tinggal’ di Masjidil Haram sekitar sepekan. Untuk makan, Abdullah mengandalkan sedekah dari pengunjung masjid. ''Saya kadang hidup dengan satu riyal sehari, cukup untuk beli roti Arab,'' kata Abdullah.

Ia pun berdo'a, memohon dimudahkan dalam segala urusan. Ia pergi ke depan Ka'bah, menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Allah menjawab do'anya. Beberapa orang anggota Kerukunan Keluarga Sumatera Utara (KKSU) di Arab Saudi meminjamkan uang untuk menebus surat-surat dan paspor agar dia menjadi sah (legal).

Sejak itu, Abdullah bisa bekerja secara legal dan tidak takut untuk dideportasi, meskipun sebelumnya dia memilih dideportasi karena benar-benar tidak punya uang untuk hidup.

Singkat cerita, Abdullah bekerja di Panitia Penyelengara Ibadah Haji (PPIH) di Arab Saudi, sebuah lembaga yang mengurus ibadah haji di bawah KBRI. “Selama empat tahun saya bekerja di situ, akhirnya utang-utang kepada orang yang membantu saya untuk menebus paspor itu bisa lunas,” kata Abdullah.

Ketika menjadi petugas haji, Abdullah secara otodidak terus mengembangkan wawasan keislamannya. Berbagai buku dia baca untuk menambah pengetahuan tentang Islam. Diskusi dengan ulama Arab Saudi tak pernah dilewatkan.

Pemahaman tentang Islam terus bertambah seiring dengan waktu. Hingga suatu saat, dia mengkritik cara kerja Departemen Agama dalam penyelenggaraan haji.

Keluar dari PPIH, Abdullah bekerja di travel Malaysia sebagai pemandu jama'ah haji plus. Hanya setahun di situ, Abdullah pindah ke perusahaan travel Indonesia sebagai muthawwif. Kini, mantan aktivis Kristen itu menikmati kehidupan yang damai dan indah sebagai ustadz di Makkah.

Dari Republika Online

http://kotasantri.com/bilik/mualaf/2010/07/01/rusman-unri-surbakti-terbuai-lantunan-ayat-suci

Astrid A. Nurhamzah : Bacaan Basmallah Menuntun Menuju Islam

Penulis : Indra Widjaja

Astrid A. Nurhamzah, seorang dokter yang bekerja pada sebuah klinik pengobatan masyarakat di Cikini - Jakarta Pusat, sangat terkesima dengan bacaan basmallah. Ada kekuatan dan pengalaman lain di balik ayat tersebut yang membuat wanita berkaca mata minus itu memutuskan untuk memeluk agama Islam sebagai pegangan hidupnya.

Menuju jalan kebenaran yang diridhai Allah SWT memang didambakan semua umat manusia. Segala amal upaya akan dilakukannya untuk menuju jalan kebenaran tersebut, yaitu jalan yang lurus untuk menuju kehidupan dunia dan akhirat. Kehidupan yang seperti itulah yang di inginkan oleh Astrid A. Nurhamzah.

Di masjid At-Taqwa PP Muhammadiyah Jakarta, dengan disaksikan para jama'ah shalat Ashar, atas rahmat Allah SWT, dara keturunan Makassar - Sulawesi Selatan ini dengan tulus ikhlas mengikrarkan dua kalimah syahadat dan meninggalkan agama Katolik yang selama ini ia peluk.

Sebelum melangsungkan pembacaan syahadat di masjid, siang harinya Astrid datang ke Majelis Tabligh dan Dakwah (MTDK) dengan diantar oleh ayahnya, Alfred Hamzah, yang sebelumnya juga masuk Islam pada tahun 1999, dan tunangannya. Saat masuk ke kantor MTDK, nampak rasa keceriaan pada raut mukanya. Perasaan penasaran dan keingintahuan tentang ajaran agama Islam secara mendalam serta ingin merasakan benar-benar menjadi seorang muslim yang sejati terbayang dalam benak dokter lulusan Universitas Airlangga Surabaya ini.

Ia menuturkan, sepanjang perjalanan hidupnya dia melihat keanehan tersendiri tentang agama Islam dan itu yang membuat dirinya tertarik. Sebagai seorang yang berprofesi dalam bidang kesehatan, ia menyadari betul, bahwa betapa hebatnya seorang dokter, belum tentu bisa menyembuhkan penyakit pada diri manusia. Masih ada kekuatan yang ada di luar jangkauan pengobatan dokter yang mampu menyembuhkan pasien. Yaitu kekuatan dan kebesaran Allah SWT, Astrid sadar, Dia-lah kekuatan penyembuh dari segala macam penyakit.

Ini yang menjadi landasan awal bagi Astrid. Selain itu, ada keanehan pada dirinya, mengapa setiap akan melakukan sesuatu, seorang pasien harus membaca kalimat basmallah. Astrid pun ikut mempraktikkannya kala ia memberikan pengobatan pada seorang pasien yang berobat padanya. Diucapkannya kalimat basmallah setiap kali dia melakukan pengobatan. Anehnya, pasien yang diobati itu lekas cepat sembuh. "Pengalaman itu saya lakukan berulang-ulang pada setiap pasien dan saya mendapatkan kemudahan dari Allah untuk menyembuhkannya dan saya berterima kasih kepadaNya," kata Astrid dengan senyum khasnya.

Setiap manusia memiliki pengalaman tersendiri untuk merasa terpanggil dan hijrah pada agama Allah, dimana agama Islam merupakan agama yang paling sempurna. Proses kesadaran akan kebenaran ajaran Allah tak bisa dipaksakan begitu saja. Semua itu melewati tahapan dan proses waktu yang sangat panjang pada diri manusia.

Begitu pula yang dialami oleh Astrid dan keluarga Alfred. Ternyata tidak semuanya dalam keluarga Alfred Hamzah itu memeluk agama Islam. Istri Alfred dan anak-anaknya yang lain masih menganut agama Katolik sebagai keyakinannya. Seiring dengan perjalanan waktu, Alfred selaku ayah dari Astrid mengharapkan seizin Allah SWT suatu saat nanti istri dan anak-anaknya yang lain akan mengikuti jejaknya dan jejak Astrid yang sudah dulu memeluk agama Islam. Pintu Allah akan selalu terbuka bagi orang-orang yang ingin berbuat keshalihan.

Setelah Astrid membacakan kalimat Syahadat dengan menyatakan bahwa Tiada Tuhan Selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, maka pada saat itu pula Astrid mencatat sejarah baru dalam hidupnya, ia telah berubah menjadi seorang muslimah dan akan patuh menjalankan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah Rasul.

Dari mualaf.com

http://kotasantri.com/bilik/mualaf/2010/06/24/astrid-a-nurhamzah-bacaan-basmallah-menuntun-menuju-islam

Robin Padilla : Dari Dunia Gemerlap Menuju Islam

Penulis : Redaksi KSC

Siapa yang tak kenal Robinhood? Seorang sosok ksatria pembela kaum miskin dari tanah Inggris. Ia senantiasa membela kaum lemah dengan mengandalkan panah sebagai senjata utamanya. Tak jauh berbeda dengan Robin Padilla, aktor asal Filipina ini juga pernah membintangi film serupa di negeri asalnya.

Nama lengkapnya adalah Robinhood Fernando Carino Padilla. Namun, ia lebih populer dengan panggilan Robin Padilla. Ia adalah aktor Filipina yang pernah berjaya di era tahun 1990-an. Film-film yang dibintanginya selalu masuk dalam jajaran box office di negaranya. Tak heran bila namanya masuk dalam daftar teratas aktor dan aktris Filipina terlaris.

Nama pesohor kelahiran Kota Manila, 23 November 1967 ini makin meroket setelah membintangi sejumlah film laga di negaranya. Bahkan karena peran yang dimainkannya sebagai seorang gangster berdarah dingin dalam sejumlah film, ia mendapat julukan The Bad Boy of Philippine Action Movies.

Bakat akting memang sudah mendarah daging dalam keluarga besar Robin Padilla, yang merupakan pemeluk Kristen Protestan. Ketiga orang kakak Robin, yakni Rustom Padilla, Royette Padilla, dan Rommel Padilla, juga dikenal publik Filipina sebagai aktor. Kehidupan sebagai bintang besar (megastar) membawa Robin dekat dengan dunia malam dan obat-obatan terlarang.

Ia pun akhirnya menjadi pecandu dunia malam. Kariernya sebagai superstar pun meredup. Ia terlibat dalam kehidupan preman jalanan. Akibat sikap dan perilakunya itu, pada tanggal 21 Juli 1994, kepolisian Filipina mengeluarkan surat penangkapan terhadap dirinya. Ia dinyatakan bersalah atas kepemilikan senjata api ilegal dan dijatuhi hukuman selama 21 tahun penjara. Namun, ia dibebaskan pada awal tahun 1998.

Saat menjalani kehidupan dari balik terali besi, Robin berkenalan dengan seorang Muslim bernama Gene Gallopin. Gallopin adalah aktivis pejuang HAM bagi masyarakat Minoritas Muslim di Filipina. Dari Gallopin yang juga merupakan seorang mualaf, Robin mulai mengenal Islam. Keduanya kerap bertukar pikiran. Apa yang disampaikan Gallopin ternyata membekas dalam diri sang aktor.

Setelah melakukan diskusi panjang dengan Gallopin mengenai agama, Robin mantap untuk memeluk Islam. Tak hanya memeluk Islam, ayah lima orang anak ini pun kemudian mengganti namanya dengan Abdul Aziz. Meski dalam keseharian ia masih menggunakan nama Robin Padilla. Tak lama berselang, Liezl, sang istri pun mengikuti jejaknya untuk menjadi seorang Muslimah.

Perihal keislaman Robin, membuat publik Filipina terhenyak. Terutama para fans berat pemeran utama dalam film Bad Boy 2 ini, karena tidak banyak pemberitaan yang mengulas mengenai proses dirinya menjadi seorang Muslim.

Bagi Robin, menjadi seorang Muslim memberikan tantangan tersendiri. Berkali-kali ia diberitakan miring terkait aktivitas keagamaannya. Ia kerap dikaitkan dengan Kelompok Abu Sayyaf, sebuah kelompok Muslim yang kerap dicap sebagai kelompok radikal di Filipina. Salah satunya adalah pemberitaan mengenai penangkapan terhadap seorang petinggi Abu Sayyaf oleh pihak berwenang di Filipina.

Belakangan diketahui jika orang yang ditangkap tersebut merupakan salah seorang pengawal pribadinya. Langkah Robin untuk membantu saudara-saudaranya sesama Muslim pun begitu mengesankan. Pada tahun 2004, ia membentuk sebuah lembaga advokasi yang difokuskan untuk penanggulangan wabah malaria. Melalui lembaga advokasi bentukannya ini, Robin memberikan bantuan secara cuma-cuma kepada masyarakat Muslim Filipina. Atas dedikasinya ini, Departemen Kesehatan Filipina menunjuknya sebagai juru kampanye Gerakan Pemberantasan Malaria.

Robin juga dikenal aktif dalam kegiatan sosial dan pendidikan. Dalam suatu waktu ia berhasil melakukan penggalangan dana sebesar satu juta peso Filipina untuk membangun area pemakaman Muslim di kota Norzagaray, Provinsi Bulacan. Ia juga mendonasikan uang sebesar 2,5 juta peso Filipina kepada sebuah lembaga kemanusiaan di Filipina, Muay Association of the Philippines.

Sementara dalam bidang pendidikan, melalui Yayasan Dindang Kapayapaan yang dibentuknya, ia mendirikan sebuah lembaga pendidikan prasekolah bagi anak-anak Muslim di atas lahan miliknya di Fairview Park, Quezon City. Lembaga pendidikan tersebut telah beroperasi sejak tahun 2007 hingga saat ini.

Robin menjelaskan, para murid yang belajar di sekolah tersebut, nantinya akan mendapatkan bimbingan membaca Al-Qur'an dari para tenaga pengajar terpilih. Selama menimba ilmu di sekolah tersebut, tambahnya, para peserta didik akan tinggal di rumah pribadinya yang berada dalam satu lokasi dengan gedung sekolah. "Para murid kita bebaskaan dari uang sekolah, biaya pembelian buku, papan tulis, dan biaya asrama," paparnya sebagaimana dikutip dari laman situs Manila Bulletin.

Meski menyandang status sebagai mantan narapidana, namun hal tersebut tidak membuat karir Robin di dunia akting meredup. Berbagai tawaran untuk tampil di layar lebar datang kepadanya. Namun berbeda dengan sebelum mendekam di penjara, selepas menghirup udara kebebasan ia memutuskan untuk beralih ke film-film bergenre drama dan komedi.

Debutnya di dunia akting selepas keluar dari penjara adalah membintangi film bergenre drama berjudul Tulak ng Bibig, Kabig ng Dibdib. Setelah debut perdananya kembali ke dunia perfilman Filipina, sejumlah tawaran untuk bermain dalam film menghampirinya.

Beberapa film yang pernah ia bintangi setelah dibebaskan, yaitu Bakit Ngayon Ka Lang, Hari ng Selda : Anak ni Baby Ama 2, Tunay na Tunay : Gets Mo? Gets Ko, Ooops..., Teka Lang Diskarte Ko To, Kailangan Ko'y Ikaw, You and Me Against The World, Videoke King, dan Pagdating Ng Panahon. Dalam film-film tersebut, ia selalu dipasangkan dengan aktris-aktris ternama Filipina. Sebut saja di antaranya Judy Ann Santos, Angelika dela Cruz, Jolina Magdangal, Claudine Barretto, dan Kris Aquino.

Kiprah ayah dari Ted Matthew (tidtid), Queenie, Kylie, Zhelireen (zhen-zhen), dan Robin Jr (Ali Padilla) dalam dunia akting tidak hanya sebatas di layar lebar, namun juga merambah ke layar televisi. Di antaranya ia pernah membintangi serial TV Asian Treasures produksi GMA Network. Serial televisi yaang dibintanginya ini selalu menempati peringkat atas acara televisi yang selalu ditonton pemirsa.

Dari Republika Online

http://kotasantri.com/bilik/mualaf/2010/06/17/robin-padilla-dari-dunia-gemerlap-menuju-islam

Minggu, 04 Juli 2010

Perjalanan Mantan Penasihat Presiden Nixon Menemukan Islam


Berbagai posisi penting dalam pemerintahan Amerika Serikat (AS) pernah ditempati Robert Dickson Crane. Dia pernah menjabat sebagai penasihat politik luar negeri untuk Presiden AS ke-37, Richard Nixon, dari 1963 sampai 1968, dan untuk waktu yang sangat singkat menjabat wakil direktur perencanaan Dewan Keamanan Nasional pada masa pemerintahan Nixon, serta menjadi duta besar untuk Uni Emirat Arab (UEA) di masa pemerintahan Presiden Ronald Reagan.

Setelah memeluk Islam, lelaki kelahiran Cambridge, Massachusetts, AS, 26 Maret 1929 ini lebih banyak berkecimpung dalam berbagai kegiatan yang mengkampanyekan tentang Islam. Perjalanan Crane dalam menemukan Islam cukup panjang. Nenek moyang Crane dari garis ibu berasal dari daratan Eropa yang bermigrasi ke wilayah Amerika.

Keluarganya datang ke New Haven, Connecticut, pada 1636. Beberapa di antara mereka menetap di Elizabethtown (sekarang Elizabeth), New Jersey. Sementara nenek dari pihak ayahnya berasal dari suku Indian Cherokee. Meski berasal dari kalangan suku Indian, namun keluarga besar Crane tetap menomorsatukan urusan pendidikan. Ayah Crane merupakan seorang pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Harvard.

Sementara keluarga besar ibunya dikenal publik Amerika sebagai salah satu penyokong finansial Universitas Northwestern. Karenanya tak mengherankan jika sedari kecil hingga dewasa ia mendapatkan pendidikan yang memadai.

Selepas menamatkan pendidikan menengah atas, Crane sempat berkuliah di Universitas Harvard, namun tidak sampai tamat. Kemudian ia melanjutkan pendidikan setingkat sarjana muda di Universitas Northwestern. Setelah lulus dari Northwestern, ia diminta untuk membantu menjalankan usaha keluarga.

Kemudian kedua orang tuanya memintanya untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Harvard. Sejak muda, Crane gemar menulis berbagai artikel. Salah satu artikel yang pernah ditulisnya adalah mengenai strategi ruang angkasa Soviet. Ketika pecah Krisis Misil Kuba, ia menulis sebuah artikel panjang tentang strategi perang psikis.

"Saya sudah menduga bahwa Soviet akan memenangkan krisis misil itu. Setiap orang berpikir bahwa Amerika Serikat akan menundukkan mereka, tetapi bagi saya jelas bahwa tujuan Krushchev (pemimpin Soviet kala itu, red) bukanlah mengintimidasi atau menggunakan misinya untuk melawan Amerika Serikat. Tujuannya adalah mengkonsolidasi kekuatan Komunis di Kuba. Caranya adalah dengan memasang misil-misil tersebut, kemudian menariknya kembali dengan jaminan komitmen Amerika agar tidak mencampuri urusan Fidel Castro, itulah yang sebenarnya terjadi,’’ papar Crane dalam buku American Jihad, Islam After Malcolm X, karya Steven Barbosa.

Tanpa ia duga, artikel tersebut dibaca oleh mantan orang nomor satu di Amerika, Richard Nixon. Nixon membacanya di atas pesawat dalam penerbangan dari California ke New York. "Dia memanggil saya segera setelah mendarat, pada Januari 1963, dan bertanya apakah saya bersedia menjadi penasihatnya untuk urusan politik luar negeri," ungkap Crane.

Sebagai penasihat presiden tentunya ia harus menguasai berbagai aspek persoalan terkait dengan politik luar negeri. Tugas utamanya saat itu adalah mengumpulkan artikel-artikel terbaik pada setiap pokok persoalan dan menggabungkan semua artikel tersebut menjadi buku ringkasan untuk dibaca oleh Nixon.

Berbagai macam artikel dibacanya, salah satunya adalah mengenai agama. Ia tertarik untuk membaca tentang bermacam-macam agama. Dan dia ingin mengetahui tentang Islam. "Saat itu saya telah membaca sedikit tentang Islam, sebab saya pikir Islam akan menjadi sekutu Amerika Serikat yang paling kuat dan tahan lama untuk melawan Komunisme. Sebab kami berdua, saya dan Nixon, memandang Komunisme sebagai ancaman dunia," tutur Crane.

Saat Nixon hendak mencalonkan diri sebagai Presiden AS, Crane termasuk salah satu orang terdekat Nixon yang tidak memberikan dukungan. Terlebih lagi pemikirannya yang kerap berseberangan dengan ketua tim sukses Henry Kissinger, membuatnya disingkirkan selama masa kampanye 1968.

Setelah terpilih menjadi Presiden AS ke-37, Nixon menunjuk Crane menjadi wakil direktur perencanaan untuk Dewan Keamanan Nasional. Sementara posisi direktur dipegang oleh Kissinger. Namun, hubungannya yang kurang harmonis dengan Kissinger membuat Crane tersingkir dari Dewan Keamanan Nasional.

Crane mengakui pada awalnya tidak pernah memikirkan Islam secara serius. Yang diketahuinya tentang Islam hanyalah bahwa Muslim yang baik harus membunuh orang Kristen dan surga orang Muslim seperti rumah pelacuran. "Saya sangat muak dan tidak pernah berhasrat mempelajari agama ini. Agama ini sangat primitif. Dan saya menasihati Nixon untuk menggunakan Islam sebagai sekutu untuk melawan komunis. Saya pikir Islam adalah agama yang menjijikkan, tetapi paling tidak, dapat digunakan untuk melawan komunisme," kata dia memaparkan.

Tetapi, sebuah perjamuan makan di Bahrain mengubah pandangannya tentang Islam. Saat itu musim panas tahun 1977, Crane beserta istrinya sedang berada di Bahrain. Di tengah suhu yang begitu panas, sang istri memintanya menemani melihat-lihat istana di Al-Muharraq, yang merupakan kota dagang tertua di dunia. Kota ini hanya terdiri dari lorong-lorong sempit, seperti sebuah jaringan jalan yang semrawut.

Kondisi jalan yang semrawut ini membuat Crane dan istrinya tersesat di tengah keramaian. Dalam kondisi bingung, tiba-tiba ada orang tua lewat di depannya dan mengajak Crane ke rumahnya yang berada tidak jauh dari lokasinya saat itu. Crane beserta istri kemudian menghabiskan sisa hari mereka di sana. Sang tuan rumah menjamu mereka dengan berbagai macam makanan.

"Kami berbicara tentang berbagai hal, dan dia mengatakan bahwa dia seorang Muslim. Saya sungguh terpesona karena dia benar-benar orang baik. Kami tidak pernah membicarakan tentang Islam. Kami berbincang tentang apa-apa yang baik di dunia, tentang hal-hal yang buruk di dunia, dan tentang apa yang penting di dunia. Juga tentang peran Tuhan di dunia, tetapi tidak mengenai agama Islam,’’ ujar dia mengenang.

Momen tersebut benar-benar membekas dalam dirinya. Setelah perjamuan tersebut, Crane mulai berpikir apakah sebaiknya ia mulai mempelajari agama Islam. Ia pun mempelajari Islam, dan menyadari bahwa segala sesuatu dalam Islam adalah benar-benar apa yang selama ini selalu diyakininya.

Pada tahun 1980, ia berkesempatan mengikuti sebuah konferensi tentang gerakan Islam di New Hampshire. Seluruh pemikir besar dari gerakan Islam dunia hadir di sana. Ketika waktu makan siang tiba, Crane lebih memilih bergabung bersama para tamu asing. Yang ada dalam pikirannya saat itu hanyalah keinginan untuk belajar sebanyak mungkin dari mereka.

Tanpa banyak bertanya, Crane kemudian mengikuti langkah para delegasi asing ini ke sebuah ruangan yang lantainya ditutupi permadani. Semula ia mengira mereka akan makan siang. Namun, dia baru menyadari kalau hari itu adalah hari Jumat.

"Mereka akan melakukan shalat Jumat. Saya memutuskan sebaiknya saya meninggalkan mereka. Tetapi saya pikir itu akan menyinggung perasaan mereka. Lalu saya hanya duduk di bagian belakang ruangan," ujar. Yang bertindak selaku imam shalat saat itu adalah Hasan Al-Turabi, seorang tokoh terkemuka gerakan Islam internasional asal Sudan. Menyaksikan Al-Turabi bersujud, Crane pun terhenyak sesaat.

"Saya menyadari bahwa dia membungkuk kepada Allah. Jika dia dapat bersujud kepada Allah maka itu artinya dia sepuluh kali lebih baik dari saya. Saya memutuskan bahwa saya juga harus bersujud," batinnya. Dia merasa mendapatkan teladan dari situ. Saat itu juga, Crane bersujud dan memutuskan untuk menjadi seorang Muslim.

http://www.mualaf.com/kisah-a-pengalaman/muallaf-foreigner/5689-perjalanan-mantan-penasihat-presiden-nixon-menemukan-islam

Akhirnya aku mengerti apa arti memiliki Tuhan sesungguhnya dalam Islam

Setelah diskusi berlangsung beberapa kali, pendeta tersebut minta maaf karena tidak bisa melanjutkan diskusi lagi karena akan pergi ke luar negeri selama beberapa waktu. Beliau merekomendasikan dua orang pendeta untuk menggantikan posisi beliau selama beliau tidak ada. Pendeta pertama adalah seorang yang dulunya beragama Islam namun keluar (murtad) dari agama Islam dan menjadi pendeta. Saat kami mendatangi rumah pendeta ini, dari pembicaraan dengannya terkesan bahwa beliau menolak dan menghindar dengan alasan yang tidak jelas. Pendeta kedua adalah seorang doktor teologia ahli perbandingan agama dan memiliki kedudukan yang cukup tinggi di sebuah universitas. Karena kesibukan dan kedudukan beliau inilah, kami agak kesulitan menemui beliau. Ketika akhirnya kami berhasil menemuinya, ternyata beliau keberatan dan tidak bersedia berdiskusi bersama kami dengan alasan sibuk. Pendeta kedua ini menyarankan agar kami kembali berdiskusi dengan pendeta X.

Karena proses diskusi ini (yang tadinya aku berharap begitu banyak para pendeta ini dapat memberi pelajaran pada A) ternyata sedikit terhambat, akhirnya aku mendatangi pendeta X seorang diri. Aku menceritakan semua hal berkenaan dengan latar belakang diskusi ini dan aku memohon kepada beliau untuk membantuku meneruskan proses diskusi dengan A. Sayangnya… ternyata beliau menolak permintaanku dengan alasan yang tidak jelas –bahkan bisa dikatakan tanpa alasan-. Sebagaimana harapan besar lainnya – yang jika tertumpu pada seseorang namun ternyata tidak dipenuhi oleh orang tersebut-, maka kekecewaan yang besar pun kurasakan waktu itu. Ketika aku pamit pulang, pendeta tersebut masih sempat berpesan kepadaku,

“Apapun yang terjadi, jangan sampai kamu menikah dengan dia (A). Kalau dia tidak mau masuk agama Kristen, pertahankan imanmu (iman Kristen).”

Gundah, bingung, sedih, dan kekecewaan yang menumpuk, semua bergumul menjadi satu setelah mendapat berbagai penolakan dari pihak-pihak yang aku harapkan dapat membantuku memberi penjelasan tentang agama Kristen ini kepada A. Bahkan pihak-pihak ini adalah orang yang kuanggap pakar dan ahli sehingga dapat membantuku menjawab dan menjelaskan tentang agama Kristen kepada A. Aku pun merasakan sesuatu yang janggal dari pesan terakhir dari pendeta X. Aku simpulkan bahwa sebenarnya mereka tidak memiliki argumen dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dan aku merasakan bahwa ada sesuatu yang kurang dari agama ini (Kristen).

Sejak itulah, aku berusaha melihat dan menilai Islam dan Kristen sebagai dua agama yang sejajar kedudukannya, dan aku berusaha berada pada posisi netral seakan-akan sedang menjadi juri untuk keduanya. Berat dan tertekan. Itu yang aku rasakan ketika harus bergumul dan berusaha keras untuk melepaskan diri dari doktrin Kristen. Doktrin yang telah aku cintai sejak kecil dan telah kuikat secara sungguh-sungguh. Namun, dari sinilah aku mulai membuka diri dengan selain Kristen. Aku baru bisa mulai mempelajari seperti apa Islam sebenarnya. Kesan pertama yang kudapatkan dalam penilaianku adalah, ‘Apa yang jelek dari Islam? Kelihatannya ajarannya ok ok saja.’ Sambil melakukan ini, aku tetap terus membaca Alkitab Kristen.

Suatu ketika, A mengajukan suatu ayat dalam Alkitab yang mengatakan,”Jangan sampai kita sudah setiap hari menyeru ‘Tuhan-Tuhan,’ tetapi tidak selamat seperti yang tertulis dalam Injil.”

Kata-kata ini terpatri dalam benakku. Malam harinya, aku mencari ayat itu dalam Alkitab dan menemukannya, yaitu pada Matius 7:21, yang isinya, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku, ‘Tuhan, Tuhan!’ akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-ku yang di sorga.”

Aku termenung seakan-akan tak percaya yang aku baca. Perlahan-lahan ‘ku tutup Alkitab yang sedang kubaca tersebut.

Keesokan harinya dan hari-hari sesudahnya terasa seperti hari penuh perenungan untuk pikiran dan benakku. Walaupun aku (berusaha) beraktifitas seperti biasa, namun pikiranku tidak tenang memikirkan ayat tersebut. Untuk meyakinkan diriku, ‘ku baca kembali ayat tersebut berulang-ulang, namun ternyata aku justru menjadi ketakutan setelah memikirkan makna yang terkandung di dalamnya. Sepertinya ayat ini sangat berkaitan dengan apa yang telah aku lakukan selama ini, dan aku takut ternyata aku termasuk yang pada akhirnya tidak masuk surga. Jangan-jangan apa yang kulakukan selama ini walaupun dengan kecintaan dan kesungguhan dan penuh perjuangan adalah hal sia-sia.

Sejak itu, aku mulai tertarik dengan Islam dan menjadikannya alternatif pengganti agamaku. Aku mulai bekerja di luar kota Yogyakarta di sebuah Puskesmas di Banjarnegara. Sendirian… tanpa sanak saudara ataupun teman dekat dan sahabat yang dapat kuajak diskusi tentang Islam. Aku belajar tentang Islam dari pengajian-pengajian masjid di desa yang terdengar dari pengeras suara atau acara desa dan kecamatan yang biasanya terdapat sentilan tentang ajaran Islam. Dan tentu saja tak ketinggalan, aku belajar dari diskusi yang sangat sangat banyak dengan A.

Sampai pada akhirnya, A menawarkanku untuk masuk Islam, dan akupun menyetujuinya walaupun tidak langsung melaksanakannya. Aku masih terus berdiskusi, belajar dan berpikir sehingga aku benar-benar merasa yakin dan mantap untuk memeluk agama Islam. Dan ketika keyakinan ini bertambah kuat, aku merasa ada kebutuhan mendesak yang harus kulakukan, yaitu aktifitas menyembah Allah. Rasanya keyakinanku akan sia-sia dan terasa hampa jika tidak ada aktifitas ibadah yang harus aku lakukan untuk menyembah Allah. Namun, aku sama sekali belum bisa cara beribadah yang ada pada Islam.

Dengan melihat orang sholat di televisi dan memperhatikan teman sholat, akhirnya aku berusaha meniru gerakan sholat. Tentu saja segala sesuatunya masih kacau saat itu. Dengan hanya memakai piyama tidur (tanpa tahu ada aturan harus menutup seluruh aurat saat shalat) menggelar selimut untuk dijadikan sajadah, dan berdiri tidak mengetahui harus menghadap kemana, aku sholat. Ya! Aku sholat! Hanya dengan tiga kalimat yang aku ketahui, bismillahirrahmanirrahim, allahu akbar, dan alhamdulillah dan dengan gerakan yang tanpa urutan dan aturan. Rasanya melegakan karena aku melepaskan keinginan untuk menyembah satu Ilah dan hanya Ilah inilah yang harus aku sembah. Aku lakukan ini berkali-kali tanpa diketahui oleh siapapun. Aku masih belum mengetahui tentang pembagian sholat yang lima waktu. Aku masih sendirian saat itu, menjadi kepala Puskesmas, dan aku pun masih merahasiakan statusku dari siapapun termasuk staf di kantor bahkan Si A tidak tahu kalau aku melakukan sholat karena aku masih malu, takut dan masih menutup diri. Sehingga tidak ada seorangpun yang dapat mengajariku.

Sampailah waktunya…
Aku dan A memberanikan diri datang kepada orangtuaku. Di situ, A mengutarakan keinginanku untuk memeluk agama Islam kepada orangtuaku. Dapat dibayangkan apa yang terjadi. Kekagetan luar biasa, marah, tidak percaya mengelegak keluar. Orangtua memintaku mengutarakan sendiri hal tersebut, dan aku pun mengatakan hal yang sama, “Aku ingin masuk Islam.” Mereka tetap tidak percaya dan memintaku memikirkannya kembali. Aku kembali ke Banjarnegara dan A juga kembali ke Jakarta tempat ia bekerja.

Beberapa waktu kemudian, Bapak, Ibu dan adikku menemuiku di Banjarnegara. Menanyakan kembali keputusan akhirku. Saat itu, aku meminta A menemaniku, karena aku dalam kondisi sangat takut dan kalut. Jawabanku pun tetap sama, “Aku ingin masuk Islam.”

Betapa orangtuaku marah mendengarnya. Sebuah kemarahan yang aku belum pernah menyaksikan sebelumnya. Ibu berkata, “APA KAMU SANGGUP MENGHIANATI YESUS!!! TEGANYA ENGKAU DENGAN YESUS!!!”

Rasanya hatiku teriris mendengar teriakan marah dan kekecewaan yang luar biasa dari kedua orangtuaku tersebut. Aku pun memahami jika akan seperti ini, karena seluruh keluarga besar beragama Kristen dan hampir seluruhnya adalah aktivis-aktivis gereja, sering berkhotbah di gereja. Tidak ada satupun yang beragama lain. Dan… aku yang diperkirakan juga akan mengabdi dengan sesungguhnya pada agama Kristen ternyata menjadi orang pertama yang masuk ke agama Islam. Tentu ini hal yang sangat berat terutama untuk kedua orangtuaku. Anggapan-anggapan negatif baik dari pihak keluarga, jemaat gereja, keluarga besar lainnya tentu akan datang bertubi-tubi menekan mereka. Dengan keputusanku yang tidak berubah ini, akhirnya hubunganku dengan keluarga menjadi agak renggang.

Derai air mata sejak itu masih terus mengalir. Aku sempat ragu ketika mengingat perkataan ibuku,

“Sanggupkah engkau mengkhianati Yesus.”
“Tegakah pada Tuhan Yesus.”

Pikiranku terus berkecamuk, ‘Benarkah itu? Benarkah aku harus menyembah Yesus? Benarkah jika aku memeluk Islam, Yesus akan marah?’ Berkutat pada kebimbangan antara perkataan orangtuaku dan apa yang telah kupelajari dalam Islam. Dalam puncak kebingunganku, aku bermimpi…

Aku hendak pergi tidur. Tiba-tiba… terdengar ketukan dari jendela kayu yang bersebelahan dengan tempat tidurku. Kubuka jendela tersebut dan aku kaget karena ternyata di depanku ada sesosok Yesus (wajahnya memang tidak jelas, namun berjubah dan dalam mimpi itu aku dipahamkan bahwa itu adalah Yesus). Sosok itu tidak berbicara apa-apa namun tampak seperti tersenyum, tidak marah dan mengulurkan tangannya (seperti) hendak menyalamiku. Sosok tersebut tidak berbicara namun aku dipahamkan bahwa maksud beliau adalah mengucapkan selamat kepadaku. Setelah itu sosok tersebut berlalu.

Aku pun terbangun dalam keadaan bingung dan takut. ‘Apa maksud mimpi ini?’ pikirku. Apakah ini suatu tanda bahwa pilihanku benar.

Waktupun berlalu dan aku semakin mengokohkan keputusanku untuk memeluk agama Islam. A yang hampir selalu hadir dalam perjalananku menggapai hidayah Islam ini akhirnya melamarku. Alhamdulillah…akhirnya orangtuaku pun mengizinkan kami menikah. Hubungan kami dengan keluargaku sudah baik kembali sampai saat ini. Kami menikah dengan wali dari KUA. Rasa haru dan bahagia menyelimutiku saat itu. Setelah menikah, aku langsung minta dibelikan mukena dan minta diajarkan shalat. Dan A terus mendampingiku dan mengajarkanku shalat lima waktu. Sampai aku telah dapat melakukan shalat sendiri, A baru bisa menjalankan kewajibannya untuk shalat di masjid.

Perjalananku dalam memahami Islam tentu saja tidak berhenti sampai di situ. Setelah lima tahun sejak aku masuk ke dalam agama Islam, aku melanjutkan studi S2 di FK UGM, jurusan Ilmu Kedokteran Dasar dan Biomedis (minat Histologi dan Biologi Sel) dan aku seperti tersentak untuk kedua kalinya. Aku baru menyadari dan memahami betapa Allah mengatur segala sistem dalam tubuh kita dengan begitu rapi, canggih, teratur, beralasan dan sempurna sampai ke tahap molekuler, tanpa kita sadari. Aku banyak termenung saat menyadari hal itu, namun juga menjadikanku banyak bertanya kepada dosen pakar saat itu. Subhanallah, Dia-lah pencipta, pengatur, pemelihara yang sedemikian rupa rumitnya. Dan tidak mungkin semua itu berjalan, berproses dan bermekanisme dengan sendirinya. Mulai saat itulah aku lebih terpacu lagi untuk belajar dengan membaca dan memahami Al-Qur’an.

Dan proses belajar itu terus berlangsung sampai sekarang. Dahulu aku telah mengetahui bahwa Allah-lah, Ilah yang disembah dalam agama Islam. Namun, perlu waktu bertahun-tahun untuk aku memahami bahwa hanya Allah-lah Ilah yang BERHAK untuk disembah. Dan pemahaman ini ternyata suatu perkembangan, semakin kita belajar mengenal Rabb kita, insya Allah semakin bertambahlah pemahaman dan ketauhidan kita, dan akan semakin sadar bahwa masih banyak sekali hal yang tidak kita ketahui. Dari proses pembelajaran inilah aku semakin memahami siapakah Allah yang selama ini aku sembah, mengapa hanya Allah yang harus aku sembah. Kini aku sedikit lebih paham (karena masih banyak hal yang belum aku pahami), tentang kekuatan rububiyah Allah (sebagai pencipta, yang berkuasa) yang melazimkan bahwa hanya Dia-lah yang berhak disembah dan mengapa aku tidak boleh mempersekutukan-Nya karena jika aku melakukan kesyirikan maka ia akan menjadi dosa yang tak terampuni (jika tidak bertaubat).

Saudariku… agama Islam terlalu tinggi, canggih dan terlalu sempurna, dengan konsepnya yang sangat jelas, sehingga agama-agama lain menjadi sangat lemah untuk menjadi pembandingnya, termasuk agama yang aku anut dahulu.

http://www.mualaf.com/kisah-a-pengalaman/muallaf-a-to-z/5690-akhirnya-aku-mengerti-apa-arti-memiliki-tuhan-sesungguhnya-dalam-islam

Jumat, 02 Juli 2010

Takahashi, 5 Menit Menuju ke Surga

Kuringgu… kuringgu …. kuringgu!!! (kring …kring …kring..). Suara telepon rumah Muhammad berbunyi nyaring.

Muhammad: Mosi mosi? (Hallo?)

Takahashi: Mosi mosi, Muhammad san imasuka ? (Apakah ada Muhammad?)

Muhammad: Haik, watashi ha Muhammad des. (Iya saya).

Takahashi: Watashi ha isuramu kyo wo benkyou sitai desuga, osiete moraemasenka? (Saya ingin belajar agama Islam, dapatkah Anda mengajarkan kepada saya?)

Muhammad: Hai, mochiron. (ya, sudah tentu.)

Percakapan pendek ini kemudian berlanjut menjadi pertemuan rutin yang dijadwalkan oleh dua manusia ini untuk belajar dan mengajar agama Islam.

Setelah beberapa bulan bersyahadat, Takahashi kian akrab dengan keluarga Muhammad. Dia mulai menghindari makanan haram menurut hukum Islam.

Memilih dengan hati-hati dan baik, mana yang boleh di makan dan mana yang tidak boleh dimakan merupakan kelebihannya. Terkadang tidak sedikit, keluarga Muhammad pun mendapatkan informasi makanan-makanan yang halal dan haram dari Takahashi.

“Pizza wo tabenaide kudasai. cheese ni ra-do wo mazeterukara.. (Jangan makan pizza walau pun itu adalah cheese, karena di dalamnya ada lard, lemak babi)”, nasihatnya di suatu hari. Takahashi mengetahui informasi semacam ini karena memang kebiasaan tidak membeli pizza, atau makanan produk warung di Jepang memang sudah terpelihara sebelumnya di keluarga Muhammad.

Toko kecil makanan halal milik keluarga Muhammad, menjadi tumpuan Takahashi dalam mendapatkan daging halal. Suatu ketika Takahashi ingin makan daging ayam kesukaannya, tapi dia ngeri kalau melihat daging ayam bulat (whole) mentah yang ada di plastik, dan tidak berani untuk memotongnya. Dengan senang hati, Muhammad memotong ayam itu untuk Takahashi. Dia potong bagian pahanya, sayapnya, dan badannya menjadi beberapa bagian.

Setiap pekan, Takahashi terkadang memesan sosis halal untuk lauk, bekal makan siang di kantor. Setiap pagi ibunya selalu menyediakan menu khusus (baca: halal) untuk pergi ke kantor tempat dia bekerja. Sebagai ukuran muallaf Jepang yang dibesarkan di negeri Sakura, luar biasa kehati-hatian Takahashi dalam memilih makanan yang halal dan baik. Terkadang Muhammad harus belajar dari Takahashi tentang keimanan yang dia terapkan dalam kehidupan sehari-harinya.

Pernah dalam suatu percakapan tentang suasana kerja, Takahashi menggambarkan bagaimana terkadang sulitnya menjauhi budaya minuman sake di lingkungan tempat kerjanya. Di Jepang, suasana keakraban hubungan antara atasan dan bawahan atau teman bekerja memang ditunjukkan dengan saling memberikan minuman sake ke gelas masing-masing.

Dalam kondisi hidup ber-Islam yang sulit, Takahashi ternyata terus melakukan dakwah kepada ibunya. Beberapa bulan kemudian akhirnya ibunya pun menjadi muallaf dengan nama Qonita, nama pilihan Takahashi sendiri buat ibu yang dia cintainya. Sampai saat ini, bagaimana dia mendapatkan nama itu, tidak ada seorang pun yang tahu, kecuali Takahashi.

Beberapa bulan berlalu, pertemuan kecil-kecilan berlangsung …terlontar dari mulutnya suatu kalimat.

“Watashi ha kekkon simasu (Saya mau menikah)….”, ujarnya.

Dengan proses yang panjang, akhirnya dia mendapatkan jodohnya, wanita Jepang yang cantik, yang dia Islamkan sebelumnya. Setahun kemudian, suatu hari Takahashi datang ke rumah Muhammad dengan istrinya yang berkerudung, ikut serta juga buah hati mereka yang telah hadir di dunia ini.

Pada suatu hari, iseng-iseng Muhammad bertanya kepada Takahashi, “Apa yang menyebabkan Takahashi lebih tertarik dengan Islam?”

“Sebenarnya saya belajar juga Kristen, Budha dan Todoku (Agama moral) selain Islam,” Takahashi menjelaskan.

“Masih ingat dengan telepon kita dulu? Waktu pertama kali aku telepon ke Muhammad beberapa bulan dulu”, sambungnya.

“Iya ingat sekali”, jawab Muhammad.

“Kita waktu itu membuat perjanjian untuk bertemu di suatu tempat bukan?”, tanya Takahashi.

“Iya benar sekali”, sambung Muhammad lagi sambil mengingat-ingat kejadian saat itu.

“Saya sungguh ingin mantap dengan Islam, karena Muhammad datang 5 menit lebih dulu dari pada waktu yang kita janjikan, dan Muhammad datang terlebih dahulu dari pada aku. Muhammad pun menungguku waktu itu”, jawab Takahashi beruntun.

“Karena itu aku yakin, aku akan bersama dengan orang-orang yang akan memberikan kebaikan”, sambungnya lagi.

Jawaban Takahashi membuat Muhammad tertegun, Astaghfirullah sudah berapa kali menit-menitku terbuang percuma, gumam Muhammad.

Begitu besar makna waktu 5 menit saat itu untuk sebuah hidayah dari Allah SWT. Subhanallah, 5 menit selalu kita lalui dengan hal yang sama, akan tetapi 5 menit waktu itu sungguh sangat berharga sekali bagi Takahashi.

Bagaimana dengan 5 menit yang terlewat barusan, milik Anda?

http://www.dakwatuna.com/2010/takahashi-5-menit-menuju-ke-surga/

Aku Bergabung dengan Keluarga Terbaik di Dunia

Aku luluh dengan apa yang kubaca. Tak ada satupun yang berubah dari isi kitab ini, tak satu titikpun, sejak 1400 tahun yang lalu. Aku bergabung dengan apa yang ku anggap sebagai keluarga terbesar dan terbaik yang ada di dunia ini. Kalau kami bersatu, kami betul-betul tak tertahankan.”

Yvonne Ridley, bekerja sebagai wartawan Sunday Express, koran terbitan Inggris, Ridley pada September 2001 yang lalu diselundupkan dari Pakistan ke perbatasan Afghanistan

untuk melakukan tugas jurnalistik. Ia menututurkan pengalamannya di Afghanistan saat ditangkap Taliban yang justru membuatnya masuk Islam bahkan menyebutnya sebagai keluarga terbesar dan terbaik didunia.

Alkisah, mantan guru sekolah Minggu yang juga mantan peminum itu masuk Islam setelah membaca Al-Qur’an usai dilepas oleh Taliban. Ia pernah ditahan, diinterogasi oleh pasukan pemerintah Taliban di Afghanistan. Sosok yang selalu digambarkan ‘kejam’ oleh media AS. Ia ditangkap pada 28 September 2001 dan dibebaskan pada 8 Oktober 2001.

Sinar mentari pagi menyelinap perlahan-lahan dari balik teralis jendela, membangunkanku dari tidurku yang tidak pernah lelap. Hari ini aku akan ke Afghanistan! Kalimat itulah yang selalu menghantui pikiranku sepanjang malam. Nama Afghanistan, dan hanya Afghanistan, yang senantiasa bergema di seluruh penjuru otakku. Tegang, takut, semangat, antusias,…, semuanya bercampur menjadi satu.

Aku sudah kenyang meliput berbagai kawasan konflik, aku diutus Sunday Express ke perbatasan Pakistan-Afganistan, beberapa hari usai tragedi 11 September, segera setelah Amerika menudingkan telunjuknya kepada Usamah bin Ladin dan rezim Taliban sebagai penanggungjawab serangan.

Aku ingin segera melihat lebih dekat bagaimana brutalnya pemerintahan Taliban – yang disebut Presiden Bush sebagai rezim syetan. Dan dorongan utamaku adalah untuk membuktikan image yang kerap mangkal di benakku sendiri, bahwa pria Taliban sangat membelenggu dan meminggirkan wanita. Aku tak punya agenda politik, aku hanyalah reporter. Aku hanya ingin menjadi orang pertama menyaksikan invasi terhadap negeri ini. Talentaku inilah yang mendorongku untuk bisa masuk ke wilayah Afganistan..

Dipandu penerjemah, Hamid, dan pengawal keamanan, Munir Abdullah, aku memasuki Afganistan secara ilegal, tanpa paspor dan visa. Untuk menyamarkan identitas, aku mengenakan burqa layaknya wanita Afgan. Inilah petualangan yang paling mendebarkan sepanjang aku menjalani profesiku sebagai jurnalis.

Sebuah papan besar yang menunjukkan bahwa kami akan memasuki daerah terlarang, tribal area merupakan peringatan bahwa perjalanan melintas daerah ini bukan perjalanan main-main atau piknik akhir pekan. Memasuki daerah ini, semua orang asing harus mendapatkan izin dari Political Agency dan dikawal tentara bersenjata. Daerah ini adalah daerah tanpa hukum, di mana kekuasaan hukum Pakistan tak lagi mampu menunjukkan taring kekuasaannya di sini. Hukum Pakistan hanya berlaku sepanjang jalan raya dan daerah 16 m di sebelah kanan dan kiri dan jalan. Tidak lebih dari itu. Bila seorang asing tewas tertembak di sini, tak seorangpun dapat dituntut tanggung jawabnya. Karena di daerah liar ini, hanya hukum suku yang berlaku. Suku-suku “liar” yang mendiami tribal area.

Di gerbang masuk itu, yang mirip gerbang perbatasan pemisah dua Negara. Di wilayah tribal area ini, di kanan-kiri jalan sesekali nampak rambu-rambu berwarna kuning yang bergambar tentara lengkap dengan senapan laras panjang di bahunya. Rambu-rambu yang tidak kumengerti apa maknanya ini, namun sudah cukup untuk memperingatkan bagi para pendatang, bahwa daerah ini adalah daerah sensitif yang berbahaya. Pemeriksaan dokumen-dokumen mulai diperiksa dengan teliti. Lembar demi lembar halaman paspor pun diamati dengan seksama oleh para petugas. Mulailah keteganganku mengalami peningkatan yang drastis luar biasa.

Perjalananku memang terbilang nekad, tak berpaspor dan tak punya visa. Walaupun ditemani dua orang guide professional, namun tidak bisa dipungkiri bahwa aku tengah mengalami ketegangan hebat. Tiba-tiba tustel mini milikku terjatuh. Maka penyamaranku ketahuan juga. Di desa Kama yang sepi, tentara Taliban mengarahkan moncong senjata, dan memaksaku turun dari punggung keledai. Entah darimana asalnya, tiba-tiba kerumunan lelaki berjenggot tebal mengitariku. Dan akupun diangkut mobil pick up tua. Aku ditahan di desa Kama dekat Jalalabad di sebuah tempat yang seperti bekas tempat peristirahatan musim dingin Raja Shah. Ruangan itu berpendingin udara dan aku diberi sebuah kunci untuk mengunci diri di malam hari.

Aku sadar bahwa aku tak pernah diculik oleh Taliban. Aku ditangkap karena masuk ke negeri itu secara ilegal tanpa paspor dan visa. Aku tahu persis apa kesalahanku. Tentara Taliban menuduhku sebagai mata-mata Amerika.Aku langsung berpikir, tak mungkin lagi bisa melihat matahari. Aku mengira akan mati dan walaupun para penahanku bersikap baik, pengalaman itu sangat menakutkan.

Aku mempercayai propaganda bahwa orang-orang ini adalah bagian dari rezim paling kejam di dunia. Segala hal buruk yang pernah terjadi di penjara Abu Ghraib, Bagdad, kutakuti akan terjadi padaku. Aku terus menunggu kapan saatnya orang jahat yang membawa alat penyetrum muncul, tapi itu tak pernah terjadi. Salah satu pengalaman paling sulit bagiku adalah terisolasi secara total dari dunia luar. Walaupun aku hanya ditahan selama sepuluh hari, aku sama sekali tak tahu apa yang terjadi di luar sana dan mengira bahwa aku akan segera dilupakan.

Kecurigaanku kepada Taliban membuatku berkali-kali yakin bakal dicambuk atau dieksekusi. Itulah yang membuatku kehilangan kendali, marah, memaki-maki – sesuatu yang tak mungkin dilakukan para sandera pengidap Stockholm syndrome. Eh, bukannya siksaan atau hukuman mati. Kaum Taliban malah tersenyum mendengar makianku. Mereka bilang, aku adalah tamu dan saudari mereka.

Aku terkejut. Dan selama menjalani hari-hari penawananku, kejutan demi kejutan kembali berulang, yang kian menggerogoti habis dugaan burukku selama ini terhadap kaum Taliban. Masih terngiang dalam ingatan, hari itu penerjemahku, Hamid, sambil menyerahkan baju kurung pengantin, bilang bahwa aku adalah tamu penting dan terhormat Taliban. Hatiku tersanjung, sambil kukenakan baju pemberian Taliban

Aku melakukan mogok makan selama 10 hari itu di Jalalabad. Para penahanku membentangkan sehelai kain di atas lantai dan menyajikan makanan untukku tiga hari sekali. Setiap kali tiba waktu makan, mereka datang ke ruanganku dan mencuci tanganku dengan sekendi air. Mereka selalu mengatakan kepadaku bahwa aku adalah tamu mereka. Mereka sungguh-sungguh gusar karena aku tidak mau makan dan mencoba membujukku agar mau makan, termasuk dengan menawariku Anggur !

Setiap hari selama enam hari aku diinterogasi oleh sekelompok lelaki bertampang seram. Terkadang ada orang yang berbeda dan mereka melibatkan seorang penerjemah muda bernama Hamid. Ada saat-saat ketika ia tampak lebih ketakutan daripadaku karena ia harus menerjemahkan kata-kataku, padahal terkadang jawaban-jawabanku sangat menjengkelkan. Pertanyaan-pertanyaan itu monoton dan biasanya interogasi baru berakhir setelah berjam-jam.

Pertanyaan yang paling sering ditanyakan adalah mengapa aku masuk ke negara mereka secara ilegal. Mereka pada mulanya tak mau percaya bahwa aku adalah seorang wartawan dan mereka tak bisa memahami konsep berita eksklusif. Karena frustasi, pada suatu hari, aku mengangkat tangan dan berkata aku akan menceritakan alasan yang sebenarnya mengapa aku masuk secara ilegal. Mereka semua mencondongkan tubuh ke depan saat Hamid menerjemahkan kata-kata itu.

Lalu aku berkata, “Aku datang ke Afganistan untuk bergabung dengan Taliban!” Mereka tertawa terbahak-bahak dan menunjukkan rasa humor yang membuatku merasa lega. Mereka tak pernah mengancamku secara fisik. Walaupun mereka melakukan semacam mind game terhadapku dan seseorang mengancamku bahwa aku akan dikurung selama 20 tahun jika aku tidak mau berkata jujur pada mereka.

Tak lama masuklah seorang lelaki bergamis dan bersorban serba putih ke ruang tahananku. Dari caranya bersikap, aku tahu dia seorang pemuka agama. Dia menanyakan status keagamaanku – Protestan, pandanganku terhadap Islam, dan menawarkan dengan santun kemungkinanku memeluk Islam.

Sungguh menakutkan. Selama lima hari aku telah menghindar bicara soal agama di negara yang kata Presiden George W. Bush dipimpin para ekstrimis. Jika aku memberi jawaban salah – lagi-lagi kata sahabat-sahabat Baratku, aku akan dilempari batu hingga mati. Setelah berpikir panjang, aku berterima kasih atas tawaran itu, namun kubilang sulit bagiku untuk mengambil sebuah keputusan penting dalam hidup sedangkan aku di penjara. Tapi aku berjanji, jika dilepas dan kembali ke London, aku akan belajar Islam. Karena jawaban itulah, aku dipindahkan ke sebuah penjara kumuh di Kabul, disatukan bersama enam tahanan wanita lain beragama Protestan yang juga pernah ditawari masuk Islam.

Waktu kecil, aku dididik ajaran Yesus, bergabung dalam paduan suara gereja, dan belajar di sekolah Kristen. Belakangan, citra ekstrimitas Kristen yang kurasakan sama seperti bayanganku tentang ekstrimitas kaum Taliban. Masih jelas teringat ketika suatu malam aku duduk di lapangan penjara, tiba-tiba telinga kiriku menangkap suara hymne gereja, sementara telinga kananku mendengar suara azan. Aku terperangkap di antara dua jepitan ajaran kaum fundamentalis. Ketika malam kian larut dan bintang-gemintang bersinar terang, aku seperti terjebak dalam cengkraman alam semesta, yang menghendakiku segera menentukan sikap.

Beberapa hari kemudian aku dibebaskan tanpa syarat, atas perintah langsung Mullah Muhammad Umar, pemimpin spiritual Taliban yang bermata satu. Selama dalam penjara, kaum Taliban memperlakukanku dengan ramah dan rasa hormat, meskipun aku kerap memaki mereka. Jika rasa lapar menerjangku, kala waktu makan tiba, mereka selalu mengambilkan air kobokan untuk membasuh tanganku. Mereka juga rajin shalat lima waktu, tak peduli apapun yang terjadi. Sebagai imbalan rasa salutku pada mereka, kupenuhi janjiku untuk mendalami agama mereka.

Itulah niatku pada awalnya, dan caraku mempelajari Islam sama seperti cara akademisi non muslim mendalami agama Muhammad. Tapi baru beberapa halaman kubaca, aku sungguh terpikat, dan makin tergoda untuk mendalami kalimat demi kalimat. Kudatangi sejumlah tokoh cendekiawan muslim, seperti Dr. Zaki Badawi dan Syekh Abu Hamzah Al-Masri yang sebelumnya pernah kutemui dalam sebuah debat keagamaan di Universitas Oxford.

Aku juga mengaji kepada Dr. Muhammad Al-Massari, dan mendapat pencerahan setelah berdiskusi dengan tiga wanita anggota Hizbuttahrir. Referensi terpenting tentu kutemukan dari internet, khususnya ketika chatting dengan para netter muslim di situs New Muslim Project, yang juga memberiku akses untuk berdiskusi bersama kawan-kawan senasib yang tengah berjalan menuju Islam. Mereka sangat mendukung dan bersahabat, namun yang mengejutkan, tak seorang pun menekanku memeluk Islam.

Tapi sejumlah media Barat kemudian menuduhku membuka madrasah untuk rekrutmen anggota Al-Qaidah di apartemenku di Soho. Namaku juga tiba-tiba masuk dalam website “Watch on Terror” di Amerika, yang membuatku digolongkan dalam daftar pelaku subversif oleh sejumlah agen intelijen Amerika.

Peristiwa yang kian memuakkanku adalah ketika tentara Israel mengepung dan menembaki gereja tempat kelahiran Yesus, Church of Nativity. Tak satu pun pemimpin gereja – kecuali Paus, yang mengecam tindakan Israel. Bahkan Perdana Menteri Inggris Tony Blair yang taat beragama dan bangga jika keluarganya diidentikkan dengan kesalehan, diam saja. Aku sangat shock, sedih dan merasa sendirian. Lalu kupikir, kenapa aku harus memikirkannya sedangkan para pemimpin spiritual dan pemerintahan pun tak peduli. Sedangkan dengan Islam, aku bisa bicara lantang, dan langsung tanpa perlu perantara pemimpin spritual. Kepada Tuhanpun aku bisa berhubungan langsung kapanpun kumau.

Berbeda dengan saudara sesama muslim, tekanan justru datang dari kerabat dan kawan-kawan jurnalis yang sinis dan melontarkan kritik atas niatku memeluk Islam. Kata mereka, agama apapun akan menyusahkanku, sedangkan dengan Islam, akan lebih buruk lagi kondisiku. Mereka mengiraku masuk ajaran syetan, ahli sihir, atau semacam sekte Ku Klux Klan. Yang lain lagi menganggapku menjalani pencucian otak, yang membuatku tak lama lagi mengenakan burqa — kain penutup ala perempuan Afganistan, dan membisu selamanya seperti wanita muslim lain.

Namun semua itu omong kosong. Tak pernah kutemui kelompok wanita yang sangat terpelajar, cerdas, berbicara lantang dan sangat melek politik melebihi kelompok wanita Muslim Inggris. Memang benar, masih banyak wanita muslim yang terbelakang, akibat “pembajakan” kultural atau kesalahan interpretasi terhadap ajaran Al-Qur’an. Padahal Kitab Suci Islam ini, setahuku, mensejajarkan kedudukan pria dan wanita dalam keberagamaan, pendidikan, kesempatan kerja dan tanggungjawab sosial. Kalau aku diberi kesempatan lagi mengunjungi Afganistan, tema kesejajaran inilah yang akan kukumandangkan pada kaum pria di sana.

Sebagai jurnalis dan aktivis perempuan yang tergabung dalam kelompok feminis, Yvone berharap akan menemukan perintah-perintah Tuhan yang memperlakukan wanita sebagai warga kelas dua, yang boleh saja disakiti, sehingga niqap atau jilbab dapat menutupi luka memar bekas kekerasan dalam rumah tangga.

Justru Yvonne merasa terkejut bahwa tidak ada satu pun ayat yang menyatakan tentang hal tersebut. Malah sebaliknya ia menemukan ajaran luhur bahwa sesungguhnya wanita diletakkan dalam derajat tertinggi di rumah tangga, ujar Yvonne yang senyuman selalu tersungging di bibirnya.

“Ternyata Islam memanjakan perempuan. Perempuan tak perlu dipaksa bekerja agar dapat mendidik anak-anaknya, agar terhindar dari minum-minuman keras, pornografi, dan hal-hal lain yang dapat menghambat pertumbuhan remaja seperti yang tengah dikhawatirkan pemerintah Inggris. Bahkan ditegaskan di dalam Islam, perempuan merupakan tiang negara dan sesungguhnya surga berada di bawah telapak kaki ibu,”

“Ada perempuan-perempuan tertindas di negara-negara Muslim, tapi perempuan-perempuan tertindas juga ada di tepi jalan di Tyneside, Inggris. Penindasan itu berasal dari kultur, bukan dari ajaran Islam. Al-Quran menyatakan dengan sangat jelas bahwa perempuan itu setara dengan kaum laki-laki.”

“Melalui tulisan tentang isu-isu kultural seperti pernikahan di bawah umur, praktik sunat terhadap perempuan, pembunuhan atas nama kehormatan keluarga, dan kawin paksa, mereka salah menilai ajaran Islam dengan aspek kultural para pemeluk agama Islam. Lebih buruk lagi, Arab Saudi mereka jadikan contoh sebuah negeri Muslim dimana kaum perempuan dipinggirkan karena di sana perempuan dilarang menyetir. Isu-isu di atas tak ada hubungannya dengan Islam, tapi kebanyakan orang Barat masih menulis dan membicarakan tentang hal-hal semacam itu dengan nada angkuh dan sok kuasa seraya menyalah-nyalahkan Islam. Padahal, ada beda mendasar antara tingkah laku kultural dan ajaran Islam.”

Mengenai tuduhan bahwa Islam mengizinkan laki-laki memukul istri mereka, Yvonne mengatakan bahwa itu tidak benar. Orang-orang yang senang mengkritik Islam tentu mendasari anggapan itu dengan mengutip Al-Quran dan Hadist secara acak, tapi biasanya dikutip di luar konteksnya. Dalam Islam, jika seorang laki-laki menyentuh istrinya, ia tak diizinkan meninggalkan bekas apa pun di tubuhnya. Ini sebenarnya cara lain al-Quran mengatakan, Jangan kau pukul istrimu, tolol!

Menurut Yvonne, berdasarkan data statistik dari National Domestic Violence Hotline, empat juta perempuan di Amerika Serikat mengalami serangan serius oleh pasangan mereka dalam rentang waktu 12 bulan dan lebih dari tiga orang perempuan dibunuh oleh para suami atau pacar mereka setiap hari. Sebagian orang mungkin berkata ini adalah tuduhan mengejutkan terhadap sebuah masyarakat yang beradab, tapi perlu dikatakan bahwa kekerasan terhadap sebuah masyarakat beradab kaum perempuan adalah sebuah isu global. Lelaki yang kejam tidak datang dari agama atau kultur tertentu. Faktanya, satu di antara tiga perempuan di seluruh dunia pernah dipukul, dipaksa secara seksual, atau dikasari selama hidupnya. Kekerasan terhadap perempuan melintasi batas-batas agama, tingkat ekonomi, kelas sosial, warna kulit, dan budaya. Kenyataanya, di Barat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan hanyalah ilusi. Dalam istilah Yvonne yang lugas dan tandas, “Barat adalah sebuah masyarakat di mana kekuatan atau pengaruh seorang perempuan biasanya hanya ditentukan oleh ukuran payudaranya.”

Yvonne Ridley dan MSA Vanderbilt University's (MSA - Vanderbilt University\'s)Yvonne pun berbicara lantang membela cara berpakaian perempuan Muslim yang kerap menjadi sasaran kritik media massa Barat dan dianggap membelenggu kaum perempuan. “Memakai hijab berarti aku menyatakan diri bahwa aku adalah seorang Muslim dan oleh karena itu aku berharap diperlakukan dengan penuh hormat.” Tulis Yvonne.

Yvonne menolak keras segala tuduhan sejumlah politisi di Inggris, termasuk mantan Mentri Luar Negeri, Jack Straw, Mentri Gordon Browen, dan John Reid yang menyatakan bahwa nikab atau cadar adalah sebagai penghambat komunikasi. Menurut Yvonne, jika itu yang jadi persoalan, mengapa pula ponsel, e-mail, sms, radio, dan mesin faksimile tidak dianggap sebagai penghambat komunikasi hanya karena tidak memerlihatkan wajah lawan komunikator?

Yvonne melontarkan kritik pedas bahwa mungkin saja Islamofobia telah menjadi perlindungan terakhir orang-orang rasis.

“Dahulu aku adalah seorang feminis sekuler selama bertahun-tahun dan kini, sebagai seorang Muslim, aku masih mempromosikan hak-hak kaum perempuan. Perbedaannya adalah kami lebih radikal daripada rekan-rekan sekuler. Kami semua membenci pemilihan ratu kecantikan dan nyaris tak bisa menghentikan gelak tawa kami ketika pemunculan putri Afghanistan dalam balutan bikini disambut sebagai lompatan raksasa untuk pembebasan perempuan di Afghanistan.”

Para muslimah seharusnya melihat hijab dan feminis sebagai prasyarat keagamaan dan cara untuk menunjukkan pada dunia bahwa mereka menolak dampak-dampak buruk gaya hidup Barat seperti minuman keras, seks bebas, dan penggunaan narkoba yang terbukti amat merusak.

Kepada BBC, Yvonne berkata dalam sebuah wawancara, “Jika aku menganggap ada sesuatu dalam agama ini yang tidak adil terhadap kaum perempuan, aku pasti tak akan mau masuk Islam.”

Yvonne kembali menohok dengan pernyataanya yang lugas, “Kini katakan kepadaku mana yang lebih membebaskan, dinilai karena panjang pendek rokmu dan ukuran buah dada palsumu, atau dinilai karena kepribadian, otak, dan kecerdasanmu? Majalah-majalah mendikte kita bahwa untuk dicintai kita harus bertubuh tinggi, langsing, dan cantik. Bahkan, tekanan kepada para pembaca remaja untuk memiliki pacar sudah nyaris mengarah ke cabul.”

Yvonne juga menyatakan bahwa Islam menjamin sepenuhnya hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan merupakan tugas semua perempuan untuk mencari pengetahuan, apakah dia lajang atau menikah. Tak ada dalam pandangan Islam yang menyatakan bahwa tugas kaum perempuan di dunia diharuskan secara mutlak mencuci, membersihkan rumah, atau memasak untuk kaum lelaki.

Pendek kata, dalam istilah Yvonne, “Segala yang diperjuangkan oleh kaum feminis pada dasawarsa 1970-an ternyata sudah didapat oleh para perempuan Muslim 1400 tahun silam. Bahkan ditegaskan di dalam Islam, wanita merupakan tiang negara dan sesungguhnya syurga berada di bawah telapak kaki ibu,” ujar Yvonne yang kini aktif berdakwah.


http://www.dakwatuna.com/2008/aku-bergabung-dengan-keluarga-terbaik-di-dunia/