Minggu, 02 Mei 2010

Perjalanan Menuju Kebenaran

Saya dilahirkan di Arkansas dalam sebuah keluarga Kristen, yang juga lahir di Arkansas. Jika saya menoleh ke belakang, semua keluarga saya datang dari wilayah Utara Amerika Serikat. Saya dibesarkan dalam sebuah keluarga ladang, dimana setiap pagi saat bangun dari tidur, adalah memerah susu lembu, memberi makan ayam-ayam dan sebagainya. Bapa saya adalah seorang Baptist, yang merupakan satu bagian dari Kristen, seperti Katolik, Metodis dan sebagainya.

Semua ini adalah agama Kristen, tetapi dengan pelbagai doktrin. Mungkin dapat saya jelaskan seperti perbedaan antara Syiah dan Sunni. Saya tinggal di sebuah kota yang secara totalnya dipenuhi dengan warga kulit putih dan beragama kristen. Makanya saya tidak pernah terdedah dengan budaya atau agama lain. Saya sering diajar bahwa semua makhluk adalah sama di sisi Tuhan, dan tidak ada bedanya warna kulit, budaya atau amalan keagamaan. Kemudiannya saya mendapati bahwa ini merupakan satu perkara yang mudah untuk diajari selagi mereka mempunyai pikiran tertutup dan orang lain tidak menakluk dunia mereka.

Pertama kalinya saya menemui seorang muslim ialah ketika saya berada dalam sebuah kolej di Universitas Arkansas. Itulah pertama kalinya saya memandang wanita-wanita dengan pakaian mereka yang berbeda dan lelaki mereka yang memakai anduk yang dibalut di kepala serta memakai pakaian tidur. Tetapi buat pertama kalinya saya berpeluang untuk mengenali seorang muslimah yang membuat saya merasa mudah untuk bertanya, disinilah bermulanya sebuah dahaga dalam hati dan ruhani yang tidak pernah merasa puas. Alhamdulillah!!!

Saya tidak akan pernah melupainya, dia datang dari Palestina dan saya akan duduk berjam-jam untuk mendengar cerita berkaitan negara dan budayanya, tetapi apa yang begitu merangsang saya adalah agamanya- Islam. Wanita ini mempunyai ketenangan dalam jiwanya. Saya tidak pernah menemui orang lain sepertinya. Saya bisa mengingati semua cerita-ceritanya berkaitan Allah swt dan para Nabi. Walaupun saya tidak pernah menyuarakan perkara ini kepada sesiapa, saya senantiasa bertanya apakah itu konsep trinitas dalam Kristian dan mengapa kami terpaksa menyembah Nabi Isa as dan bukan terus kepada Allah swt, dan mengapa terlalu banyak ditekankan kepada ‘Jesus' dan bukan kepada Tuhan.

Rekan saya melakukan segala upaya untuk membuat saya percaya bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang akan membuat saya masuk syurga, dan ia bukan sekadar hanya sebuah agama, tetapi ia adalah sebuah cara hidup yang lengkap. Enam bulan kemudian rekan saya menamatkan pelajarannya dan kembali ke Palestina. Dia terbunuh dua minggu selepas itu. Saya merasa sangat kecewa seolah-olah sebagian dari diri saya mati bersamanya. Kami tahu bahwa saat dia kembali ke Palestina maka peluang untuk bertemu kembali dalam hidup ini adalah suatu yang mustahil, tetapi dia mengatakan bahwa apa yang penting sekali bagi dirinya ialah dia akan menemui saya di Akhirat dalam syurga.

Pada masa ini saya menemui ramai orang dari Timur Tengah. Mereka amat membantu saya dalam menangani kehilangan rekan baik saya. Di sinilah juga saya mula jatuh cinta dengan bahasa Arab. Ia sangat indah sekali.
Saya akan mendengar kaset Quran mereka selama berjam-jam, walaupun saya tidak punya sebarang ide apa yang diperkatakan. Sehingga sekarang ini, saya begitu suka bila ada seseorang yang membaca Quran untuk saya, dan saya masih tidak faham dengan apa yang diperkatakan, pun demikian ia tetap menyentuh jiwa dan raga saya. Saya tidak punya waktu untuk belajar bahasa Arab di Kolej, tetapi saya berusaha keras sekarang untuk bisa bertutur dan membaca dalam bahasa Arab, Insya'Allah. Dan bagi mereka yang pernah mendengar saya bertutur atau menulis dalam bahasa Arab dalam latin, mereka bisa memberitahu anda bahwa perjalanan saya masih jauh. Dan saya mengucapkan terima kasih karena kesabaran dan pengajaran mereka.

Selepas saya meninggalkan tempat belajar dan kembali ke dalam komunitas saya, saya tidak lagi berpeluang untuk bersama dengan muslim. Tetapi cinta dan keinginan saya kepada bahasa Arab tidak luntur. Di mana perkara ini akan menambahkan kemaharan ibubapa dan kawan-kawan saya. Inilah yang membuat saya bingung, karena saya sering diajar bahwa kita semua sama di sisi Tuhan. Mungkin ada beberapa pengecualian dalam konsep ini bagi kawan-kawan dan keluarga saya.

Pada musim semi tahun 1995, Allah swt telah mengaruniakan saya seseorang. Orang ini adalah teladan terbaik sebagai seorang muslim dan sekali lagi saya mula bertanya kepadanya. Malah saya telah dibawa ke masjid untuk pertama kali dalam hidup. Itulah satu kenangan yang tidak akan luput dari ingatan saya.

Selama 8 bulan saya belajar segala-galanya berkaitan Islam dari dia dengan menggunakan kaset dan dimana saja dia menemui saya. Pada tanggal 15 Februari tahun 1996 saya akhirnya memeluk agama Islam. Alhamdulillah!!!

Kami bertunangan, tetapi putus karena keluarganya tidak mengizinkan kami untuk berkahwin karena ibubapanya tidak suka dengan orang Amerika. Walaupun kami tidak lagi bertunang, Saya tetap menghormatinya. Dan saya tidak akan meninggalkan Islam.

Sejak Februari 15, kehidupan saya banyak berubah. Dan ketika saya bertunang dengan seorang warga arab atau asing, ibu bapa saya amat terkejut, mereka jarang sekali bercakap dengan saya. Saya malah kehilangan sebagian besar dari kawan Amerika saya. Dan saat saya memeluk agama Islam, ibu bapa saya berusaha untuk memasukkan saya ke hospital sakit jiwa, dan ketika itu menemui jalan buntu, mereka meninggalkan saya. Mereka menelpon saya, hanya untuk memberi tahu semoga saya dilemparkan ke dalam neraka....begitu dengan orang-orang yang dulunya menyebut saya sebagai kawan. Mereka juga memiliki keinginan demikian. Ini benar-benar melukai saya, walaupun saya mempunyai perbedaan yang banyak dengan keluarga, tetapi saya masih tetap mencintai mereka.

Alhamdulillah wa Subhanallah, keimanan saya kuat. Kali terakhir saya bercakap dengan famili saya ialah dua hari selepas terjadinya pengeboman di Saudi Arabia. Paman dan sepupu saya mati dalam kejadian ini...sekali lagi famili menelpon saya dan memberitahu akan berita tersebut serta memastikan saya bahwa anggota keluarga yang mati terbunuh itu mencintai saya. TETAPI darah mereka berlumuran di kepala saya dan juga semua teman teroris saya. Berhari-hari saya menangis, tetapi sekali lagi, keimanan saya kukuh berdiri dan saya meneruskan hidup ini.

Empat hari selepas terjadinya pengeboman itu, saya pulang ke rumah. Seseorang telah menembak jendela-jendela rumah saya dan menyembur cat kata-kata PENCINTA TERORIS di kenderaan saya. Polisi tidak membantu apapun. Pada malam yang sama saat melakukan chatting dalam "Muslim Chat" saya terdengar bunyi tembakan. Mereka kembali dan menembak jendela yang tersisa dan membunuh haiwan peliharaan saya yang berada di luar rumah.

Polisi memberitahu bahwa jiwa saya tidak memberikan identifikasi berkaitan orang-orang ini serta kenderaan yang mereka guna, jadi mustahil untuk pihak polisi mencari orang yang melakukannya. Saya merayu mereka melakukan pemeriksaan ke atas kenderaan saya, saya ingin pergi ke motel karena saya fikir itu lebih selamat. Saya diberitahu, itu tidak mungkin saya lakukan. Mereka bimbang jika teman-teman teroris saya akan meletakkan bom di salah satu motel bagi memerangkap mereka. Saya jatuh bertekuk di tanah dan menangis meminta bantuan dan bimbingan dari Allah swt.

Suatu malam saya telah diserang di sebuah tempat parking mobil oleh seseorang yang tidak dikenali. Dia telah memukul, menikam dan mematahkan tangan serta beberapa tulang rusuk. Orang ini telah ditangkap dan sedang menanti hukuman, tetapi saat ini dia hanya melakukan kerja-kerja amal untuk kota ini. Pekan lalu saat saya mengutip pakaian dari tempat cuci pakaian, saya telah diberitahu semua barang saya hilang termasuklah hijab, jilbab, abaya dan khimar. Begitu mudah mereka menghilangkannya.

Kota tempat saya tinggal ini sangatlah kecil dan tidak ada seorang muslim yang tinggal berdekatan. Masjid yang paling dekat ialah 120 mil. Walaupun saya sendirian dan saya tidak punya sebarang teman muslim untuk saya temui atau belajar, Alhamdulillah, Allah senantiasa di sisi!!

Sedikit pengetahuan yang saya punyai mengenai Islam saya dapati dari membaca dari apa yang dapat saya gapai di internet, dan juga melalui teman-teman sejati dan keluarga di internet. Saya tidak akan berputus asa...tetapi saya ingin sekali mengucapkan terima kasih terutamanya kepada sahabat Palestina untuk cinta, dukungan, persahabatan dan doa mereka selama beberapa minggu belakangan. Anda tahu siapa anda. Semoga anda di rahmati Tuhan. Kepada semua teman-teman di internet, saya cinta kepada anda dan terima kasih.

Saya tidak menulis kisah ini untuk meraih simpati dari anda. Tetapi saya meminta anda berdoa terus untuk saya, dan barang siapa saja yang membaca artikel ini. Ketidak adilan dan prasangka yang kami hadapi di Amerika dan dunia harus diakhiri. Ia harus dihadapi dan ditangani, saya tahu saya tidak keseorangan dalam perjuangan ini. Ini adalah masanya pihak media mempublikasikan dan menunjukkan sisi BENAR Islam.
Akhir sekali, untuk rekan yang pertama kali berkongsi pengetahuan Islam dengan saya...saya tahu anda tersenyum memandang saya dari syurga dan segala puji bagi Allah swt. Insya'Allah saya akan bertemu dengan anda sekali lagi.

AMIRAH. muslimconverts.com

http://indonesian.irib.ir/index.php/agama/keindahan-islam/21221-perjalanan-menuju-kebenaran

Berawal Error Komputer, Berakhir dalam Tauhid

Siapa sangka kesalahan komputer adalah jalan pembuka bagi banyak orang untuk memeluk Islam. Kini, ia menghadap sang khaliq dengan membawa tauhid

BOCOM, Aminah Assilmi, mungkin sebagian orang ada yang belum mengenalnya. Ia adalah Presiden Internasional Union of Muslim Women, organisasi yang mengukir banyak prestasi di bawah kepemimpinannya. Aminah Assilmi telah meninggalkan saudara-saudaranya seiman pada 6 Maret 2010, dalam sebuah kecelakaan mobil di Newport, Tennesse, Amerika Serikat.

Perjalanannya menuju Islam cukup unik. Semuanya berawal dari kesalahan kecil sebuah komputer.

Ia dulu adalah seorang gadis jemaat Southern Baptist--aliran gereja Protestan terbesar di AS, seorang feminis radikal dan jurnalis penyiaran. Ia adalah seorang gadis yang bukan biasa-biasa saja, unggul di sekolah, mendapatkan beasiswa, menjalankan usahanya sendiri, bersaing dengan para profesional dan meraih penghargaan. Semua itu diraihnya ketika masih di bangku kuliah.

Satu hari, sebuah kesalahan komputer terjadi. Siapa sangka, hal itu membawanya kepada misi sebagai seorang Kristen dan mengubah jalan hidupnya secara keseluruhan.

Tahun 1975 untuk pertama kali komputer dipergunakan untuk proses pra-registrasi di kampusnya. Sebelum berangkat ke Oklahoma City untuk urusan bisnis, ia mendaftar ikut sebuah kelas dalam bidang terapi rekreasional. Perjalananan pulangnya tertunda, sehingga ia terlambat masuk kelas dua pekan. Mengejar pelajaran yang tertinggal bukan masalah baginya. Yang mengejutkan adalah, komputer mendatanya masuk dalam kelas teater, di mana siswa harus melakukan pertujukan di depan kelas. Ia adalah seorang gadis yang pemalu, jadi sangat panik membayangkan harus beraksi di depan teman-temannya.

Kelas tidak bisa dibatalkan, karena sudah terlambat. Membatalkan kelas juga bukan pilihan, karena sebagai penerima beasiswa nilai F berarti bahaya. Suaminya menyarankan agar Aminah menghadap dosen untuk mencari alternatif dalam kelas pertunjukan. Yakin dengan janji dosen yang akan membantunya, ia pun datang mengikuti kelas selanjutnya.

Tapi betapa terkejutnya ia, karena kelas dipenuhi dengan anak-anak Arab dan 'para penunggang unta'. Tak sanggup, ia pun pulang ke rumah dan memutuskan untuk tidak masuk kelas lagi. Tidak mungkin baginya untuk berada di tengah-tengah orang Arab. "Tidak mungkin saya duduk di kelas yang penuh dengan orang kafir!"

Suaminya tenang seperti biasa. Menurutnya, tuhan mereka pasti punya suatu rencana. Terlebih ada beasiswa yang jadi taruhannya.

Dua hari Aminah mengurung diri untuk berpikir, hingga akhirnya ia berkesimpulan mungkin itu adalah petunjuk dari tuhan, agar ia membimbing orang-orang Arab untuk memeluk Kristen.

Jadilah ia memiliki misi yang harus ditunaikan. Di kelas ia terus mendiskusikan ajaran Kristen dengan teman-teman Arab-nya. "Saya memulai dengan mengatakan bahwa mereka akan dibakar di neraka jika tidak menerima Yesus sebagai penyelamat. Mereka sangat sopan, tapi tidak pindah agama. Kemudian saya jelaskan betapa Yesus mencintai dan rela mati di tiang salib untuk menghapus dosa-dosa mereka."

Mereka masih juga belum berpaling, jadi diputuskannya untuk melakukan hal lain. "Saya memutuskan membaca kitab mereka, untuk menunjukkan bahwa Islam agama yang salah dan Muhammad bukan seorang nabi."

Atas permintaannya, salah seorang di antara mereka memberikan Al-Quran dan sebuah buku tentang Islam. Aminah lantas melakukan penelitian selama satu setengah tahun. Ia membaca Quran hingga tamat beserta lima belas buku Islam lainnya. Selama itu dia membuat catatan dan keberatan atas beberapa hal, yang akan digunakannya untuk membuktikan bahwa Islam adalah agama yang salah.

Namun secara tidak sadar, ia perlahan berubah menjadi seseorang yang berbeda, dan suaminya memperhatikan hal itu. "Saya berubah, sedikit, tapi cukup membuat dirinya terusik. Biasanya kami pergi ke bar tiap Jumat dan Sabtu atau ke pesta. Dan saya tidak lagi mau pergi. Saya menjadi lebih pendiam dan menjauh."

Melihat perubahan yang terjadi, suaminya menyangka ia selingkuh, karena "bagi pria itulah yang membuat seorang wanita berubah." Puncaknya, ia diminta untuk meninggalkan rumah dan tinggal di apartemen yang berbeda.

"Pertama kali saya mulai mempelajari Islam, saya tidak berharap menemukan sesuatu yang saya perlukan atau inginkan untuk mengubah kehidupan pribadi. Tidak saya ketahui bahwa Islam akan mengubah kehidupan saya. Tidak ada orang yang pernah bisa meyakinkan bahwa akhirnya saya akan merasa damai dan mendapat curahan kasih sayang dan kebahagiaan karena Islam."

Ia terus mempelajari Islam, sambil tetap menjadi seorang Kristen yang taat.

Satu hari ada yang mengetuk pintu. Seorang pria dengan 'pakaian tidur dan taplak meja kotak-kotak merah di kepala' berdiri hadapannya. Namanya Abdul-Aziz Al-Syeikh, ia ditemani tiga orang pria lain yang berpakaian serupa.

Ia merasa sangat terhina karena pria-pria muslim itu datang dengan mengenakan 'baju tidur'. Lebih terkejut lagi ketika Al-Syeikh bilang dirinya ingin masuk Islam. Dijawabnya bahwa ia adalah seorang wanita Kristen yang taat dan tidak berencana sama sekali untuk menjadi muslim. Meskipun demikian, ia ingin bertanya tentang beberapa hal.

Aminah mempersilakan mereka masuk. Ia bertanya dan membuat catatan. "Saya tidak akan pernah melupakan namanya," katanya, seraya menyatakan bahwa Abdul-Aziz ternyata seorang yang sangat sabar dan lemah lembut perilakunya.

"Ia sangat sabar dan mendiskusikan setiap pertanyaan dengan saya. Ia tidak pernah membuat saya merasa konyol atau menyatakan bahwa pertanyaan saya bodoh."

"Dia bilang bahwa Allah menyuruh kita untuk mencari ilmu dan bertanya adalah salah satu jalan untuk meraihnya. Ketika ia menjelaskan sesuatu, rasanya seperti menyaksikan sekuntum mawar mengembang, lembar demi lembar hingga merekah sempurna. Ketika saya katakan tidak setuju atas sesuatu beserta alasannya, ia selalu berkata bahwa saya benar dalam satu hal. Lantas ia mengajak saya mengorek lebih dalam dari berbagai perspektif sehingga benar-benar paham."

Akhirnya pada 21 Mei 1977, gadis jemaat gereja Southern Baptist ini menyatakan, "Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya."

Perjalanan setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, seperti halnya mualaf lain, bukanlah perkara yang mudah. Aminah kehilangan segala yang dicintainya. Ia kehilangan hampir seluruh temannya, karena dianggap 'tidak menyenangkan lagi'. Ibunya tidak bisa menerima dan berharap itu hanyalah semangat membara yang akan segera padam. Saudara perempuannya yang ahli jiwa mengira ia gila. Ayahnya yang lemah lembut mengokang senjata dan siap untuk membunuhnya.

Tak lama kemudian ia pun mengenakan hijab. Pada hari yang sama ia kehilangan pekerjaannya.

Lengkap sudah. Ia hidup tanpa ayah, ibu, saudara, teman dan pekerjaan.

Jika dulu ia hanya hidup terpisah dengan suami, kini perceraian di depan mata. Di pengadilan ia harus membuat keputusan pahit dalam hidupnya; melepaskan Islam dan tidak akan kehilangan hak asuh atas anaknya atau tetap memegang Islam dan harus meninggalkan anak-anak.

"Itu adalah 20 menit yang paling menyakitkan dalam hidup saya." Bertambah pedih karena dokter telah memvonisnya tidak akan lagi bisa memiliki anak akibat komplikasi yang dideritanya.

"Saya berdoa melebihi dari yang biasanya ... Saya tahu, tidak ada tempat yang lebih aman bagi anak-anak saya daripada berada di tangan Allah. Jika saya mengingkari-Nya, maka di masa depan tidak mungkin bagi saya menunjukkan kepada mereka betapa menakjubkannya berada dekat dengan Allah."

Ia memutuskan melepaskan anak-anaknya, sepasang putra-putri kecilnya.

Mungkin udara Colorado terlalu tipis untuk sebuah keadilan, atau mungkin Allah mempunyai rencana lain yang lebih besar. Aminah balik melawan, ia mengangkat kasusnya ke media. Meskipun ia tidak mendapatkan hak asuh atas anaknya kembali, tapi perubahan besar dalam hukum di Colorado terjadi. Seseorang tidak lagi bisa ditolak hak asuhnya dengan alasan agama yang dianutnya.

Sungguh Allah Maha Pengasih, ia diberikan anugerah untuk mengukir sejarah dalam Islam. Ke mana pun ia pergi, banyak orang tersentuh dengan kata-katanya yang indah dan perilaku Islami setelah dirinya memeluk Islam.

Setelah memeluk Islam, ia berubah menjadi seseorang yang berbeda, jauh lebih baik. Begitu baiknya sehingga keluarga, teman dan kerabat yang dulu memusuhinya, mulai menghargai tindak-tanduknya dan agama yang membuatnya berubah elok sedemikian rupa.

Dalam berbagai kesempatan ia mengirim kartu ucapan untuk mereka, yang ditulisi kalimat-kalimat bijak dari ayat Al-Quran atau hadist, tanpa menyebutkan sumbernya. Beberapa waktu kemudian ia pun menuai benih yang ditanam.

Orang pertama yang menerima Islam adalah neneknya yang berusia lebih dari 100 tahun. Tak lama setelah masuk Islam sang nenek pun meninggal dunia.

"Pada hari ia mengucapkan syahadat, seluruh dosanya diampuni, dan amal-amal baiknya tetap dicatat. Sejenak setelah memeluk Islam ia meninggal dunia, saya tahu buku catatan amalnya berat di sisi kebaikan. Itu membuat saya dipenuhi suka cita!"

Selanjutnya yang menerima Islam adalah orang yang dulu ingin membunuhnya, ayah. Keislaman sang ayah mengingatkan dirinya pada kisah Umar bin Khattab.

Dua tahun setelah Aminah memeluk Islam, ibunya menelepon dan sangat menghargai keyakinannya yang baru. Dan ia berharap Aminah akan tetap memeluknya.

Beberapa tahun kemudian ibu meneleponnya lagi dan bertanya apa yang harus dilakukan seseorang jika ingin menjadi Muslim. Aminah menjawab bahwa ia harus percaya bahwa hanya ada satu Tuhan dan Muhammad adalah utusan-Nya.

"Kalau itu semua orang bodoh juga tahu. Tapi apa yang harus dilakukannya?" tanya ibunya lagi.

Dikatakan oleh Aminah, bahwa jika ibunya sudah percaya berarti ia sudah Muslim.

Ibunya lantas berkata, "OK .... baiklah. Tapi jangan bilang-bilang ayahmu dulu."

Ibunya tidak tahu bahwa suaminya (ayah tiri Aminah) telah menjadi muslim beberapa pekan sebelumnya. Dengan demikian mereka tinggal bersama selama beberapa tahun tanpa saling mengetahui bahwa pasangannya telah memeluk Islam.

Saudara perempuannya yang dulu berjuang memasukkan Aminah ke rumah sakit jiwa, akhirnya memeluk Islam.

Putra Aminah beranjak dewasa. Memasuki usia 21 tahun ia menelepon sang ibu dan berkata ingin menjadi muslim.

Enam belas tahun setelah perceraian, mantan suaminya juga memeluk Islam. Katanya, selama enam belas tahun ia mengamati Aminah dan ingin agar putri mereka memeluk agama yang sama seperti ibunya. Pria itu datang menemui dan meminta maaf atas apa yang pernah dilakukannya. Ia adalah pria yang sangat baik dan Aminah telah memaafkannya sejak dulu.

Mungkin hadiah terbesar baginya adalah apa yang ia terima selanjutnya. Aminah menikah dengan orang lain, dan meskipun dokter telah menyatakan ia tidak bisa punya anak lagi, Allah ternyata menganugerahinya seorang putra yang rupawan.

Jika Allah berkehendak memberikan rahmat kepada seseorang, maka siapa yang bisa mencegahnya? Maka putranya ia beri nama Barakah.

Ia yang dulu kehilangan pekerjaan, kini menjadi Presiden Persatuan Wanita Muslim Internasional. Ia berhasil melobi Kantor Pos Amerika Serikat untuk membuat perangko Idul Fitri dan berjuang agar hari raya itu menjadi hari libur nasional AS.

Pengorbanan yang dulu diberikan Aminah demi mempertahankan Islam seakan sudah terbalas.

"Kita semua pasti mati. Saya yakin bahwa kepedihan yang saya alami mengandung berkah."

Aminah pernah bercerita tentang seorang temannya penderita kanker yang meninggal pada pada usia 20-an, Kareem Al-Misawee. "Tak lama sebelum ia wafat, ia mengatakan kepada saya bahwa Allah benar-benar Maha Penyayang. Ia dalam penderitaan yang luar bisa dan memancarkan cinta Allah. Dia bilang, 'Allah berkehendak agar saya memasuki surga dengan buku catatan yang bersih'. Kematiannya membuat saya merenung. Ia mengajarkan saya tentang kasih sayang dan ampunan Allah."

Dan kini, Aminah Assilmi menyusul orang-orang yang dicintainya serta meninggalkan semua yang dikasihinya. Termasuk putranya yang dirawat di rumah sakit, akibat kecelakaan mobil dalam perjalanan pulang dari New York untuk mengabarkan pesan tentang Islam. Selamat jalan Aminah.(Hidayatullah)

Saya Mengenal Islam Melalui Internet

Ia lahir dan besar dalam lingkungan Kristen. Tapi kemudian berganti-ganti agama. Pelariannya berakhir pada pelukan Islam

Benar kata orang, Islam benar-benar indah dan agama yang sangat mulia.

Walaupun selama ini cap buruk telah diberikan kepada Islam dan umat Islam pada umumnya, namun buktinya ia berhasil mendapatkan pengikutnya dan berkembang selama hampir 15 abad. Islam, dalam beberapa kata singkat, adalah hidupku. Dan Allah adalah sebuah kekuatan dalam hidupku. Tanpa Allah, saya bukanlah apa-apa.

Ketika saya duduk untuk menulis pengantar ini, saya tidak bermaksud untuk mengirim seluruh kisah kembalinya saya dalam pelukan Islam. Semakin saya berpikir tentang hal ini, semakin saya menyadari bahwa ini adalah tempat yang tepat untuk cerita.

Aku dibaptis saat lahir saat masih kecil, saat pra-sekolah di Detroit, Michigan. Semenjak itu, gereja selalu menjadi bagian dari anak usia dini di Detroit, walaupun keluarga saya tidak pergi setiap minggu. Tapi ketika orangtuaku? pindah ke North Carolina, mereka sudah mulai rajin? ke gereja.

Saya harus selalu pergi ke sekolah Katolik. Karenanya, dari kelas saya mengenal pertama kali kehidupan Yesus, Bunda Maria, para Rasul, Alkitab, dan Sakramen. Saya pertama kali mendapat? “first holy communion” pada usia 7 tahun.

Pada September 1995, lokal sekelompok orang Katolik Ortodoks dari Libanon (Melkite Byzantine Catholic) mengadakan liturgi di gereja kami. Saya pergi dengan ibu saya, dan saya jatuh cinta. Hal? paling indah saya pernah melihat, saya dengar, dan saya rasakan.? Liturgi tradisional, yang dinyanyikan dalam bahasa Inggris, Arab, dan Yunani. Dengan lilin, ikon, dan banyak kemenyan.

Ketika teman-teman saya baru belajar tentang gereja, mereka tidak pernah mencela saya, namun mereka tidak memahami mengapa saya menyukai Katolik Melkite Byzantine.? Beberapa orang menyatakan bahwa saya melakukan untuk mencari perhatian. Tapi bagi saya,? saya telah melakukan sesuatu yang sedikit lebih mengejutkan dan luar biasa!

Konflik Serius


Saya terus pergi ke gereja Melkite setiap hari minggu sampai pertengahan Maret tahun 1996.? Namun suatu hari, tepatnya 40 hari sebelum Paskah,? saya mempunyai pertengkaran serius pertama saya dengan agama Keristen. Sesungguhnya saya kurang yakin apa yang sedangb terjadi.? Tetapi tiba-tiba, saya berhenti percaya pada agama Kristen.

Untuk beberapa alasan, sesaat saya merasa? Judaisme adalah satu-satunya agama monotheistic yang paling baik yang? saya tahu. Dan akhirnya Aku pergi pada hari Sabat di sinagog Yahudi dengan teman orangtua saya.? Saya selalu tertarik budaya Yahudi, tapi saya tidak tahu banyak tentang agama Yahudi.

Saya mulai menghadiri layanan Sabat pada hari Minggu pagi.? Walaupun saya telah cukup baik diterima oleh orang-orang Yahudi di kota, saya juga banyak mendapat kritikan dari teman saya.? Sekali lagi, saya dituduh mencoba untuk mendapatkan perhatian, yang berusaha untuk menjadi berbeda.

Apapun perkataan orang,? saya perlahan mulai mengadopsi Judaisme dan Yahudi mengikuti praktek-praktek budaya dan agama mereka.? Saya juga mulai belajar untuk bahasa Ibrani tiap Sabat di hari Sabtu.

Pada saat saya mulai sekolah menengah pada tahun 1996, orang-orang memanggil saya “The kid who thinks he’s Yahudi.”[anak yang berpikir dia Yahudi]. Saya bahkan berencana? pindah ke Israel.? Tapi sedikit yang saya tahu, bahwa “kemesrahan” ku? dengan Yahudi supanya akan segera berakhir.

Suatu hari, saat Thanksgiving, saya sedang duduk di rumah menghadap Internet, untuk mencari satu dua situs yang menarik.? Mulailah saya mencari majalah melalui Internet. Terkejutlah saya ketika menangkap sebuah situs? Ibrahim Shafi’s Islam Page. Saya berhadapan dengan sebuah situs Islam.

Apa yang saya pahami tentang Islam? Tak banyak. Namun saya mempunyai teman di sekolah seorang Muslim, ibu saya bekerja dengan orang Muslim.? Namun, pengetahuan tentang Islam itu sangatlah terbatas.? Sebagian besar apa yang saya tahu berasal dari? buku. Yang membuat saya mengkerut ketika menyebut Islam perlakuan perempuan dengan sangat mulia.

Rupanya, saya mulai mempelajari Islam melalui web.? Saya segera “ngerumpi” di room chat di sebuah channel IRC (Internet Relay Chat) guna mencari teman Muslim sebanyak-banyaknya. Dari sanalah,? saya mulai syahadat dan menyatakan diri memeluik Islam.

Kehidupan saya merasa baik, tetapi saya tetap tidak merasa bahwa saya adalah bagian dari umat Islam. Persoalannya, karena saya tidak menyatakan syahadat di depan saksi.

Nah, kesempatan untuk menjadi seorang Muslim di hadapan umat Islam lainnya datang selama perjalanan ke Chicago. Saudara perempuan saya pergi ke Universitas Chicago dan saya menyadari bahwa ada? MSA (Muslim Student Association) di sana. Akhirnya, melalui MSA aku resmi menyatakan besaksi kepada Allah dan Rasul Allah memeluk Islam.

Sekarang, nama baruku berganti menjadi Tariq Ali. Namun, kadang, sehari-hari tetap dipanggil Tommy.

Meski telah memekuk Islam, masih banyak orang masih meledekku akibat agama masa laluku. “Apa agama Anda minggu ini, Tommy”. Dan biasanya, saya jelaskan,? “Saya telah Muslim.” Dan jika mereka tertarik dan bekepentingan, saya jelaskan lebih jauh agama saya yang sangat hebat ini. [cerita Tommy dimuat situs www.daily.pk/www.hidayatullah.com]

Sabtu, 01 Mei 2010

Sentuhan Islam Mampu Ubah Pola Hidup Napi

Hidup Garment benar-benar gelap. Ia menggelandang di jalanan sejak kecil. Obat bius dan minum-minuman keras meracuninya. Hidupnya kembali terang setelah mengenal Islam

Sebuah buku tergeletak di atas meja kerja Mustafa Garment. Buku itu berjudul ‘Changin Your Game Plan‘. Bagi pria Amerika keturunan Afrika ini, buku ini sangat berguna, bahkan mengubah jalan hidupnya. Kehidupannya berubah setelah pria yang kenyang dengan berbagai aksi kriminal ini masuk Islam.

“Saya dapat membuktikan dengan mengubah rencana suatu permainan, mengubah cara pikir karena ini mirip dengan pengalaman saya,” ujar Garment, kini seorang koordinator forensik di Brooklyn Mental Health Court.

Pria berjenggot bersuara lembut ini kini telah berusia 64 tahun. Ia sangat berbeda dengan penampilannya dulu, sekitar 20 tahun lalu.

Bekerja di Mental Health Court, yang merupakan afiliasi Mahkamah Agung Negara Bagian New York, ia membantu para tahanan atau napi untuk mendapatkan terapi atas penyakit jiwa atau kecanduan obat bius.

Tak seorang pun dapat memberikan bantuan lebih baik dibandingkan Garment. Apalagi ia menghabiskan masa kecilnya dengan bergelandang di jalanan lantaran tak punya rumah, selain juga kecanduan obat bius dan minum minuman keras.

Pria yang dibesarkan di lingkungan kumuh, Harlem, memiliki masa kecil penuh penderitaan. “Saya ingat sering kelaparan. Tubuh saya lemah karena lapar,” ujarnya.

Pengalaman pertama bersentuhan dengan alkohol dan obat bius, yang kemudian menjadi ‘gaya hidupnya’ selama 30 tahun, adalah saat ia berusia 13 tahun. Ia merasa keberadaannya bisa diterima teman-temannya bila ikut-ikutan merokok mariyuana dan minum anggur.

Ia putus sekolah saat kelas satu SMA. Namun, ia sudah kecanduan kokain dan tak dapat dihilangkan. Sejak saat itulah, ia mulai mencuri dan bahkan menjual obat bius. Tak heran bila ia menjadi penjahat kambuhan dan keluar masuk penjara lebih dari 30 kali atas berbagai kasus kejahatan, mulai dari menjual obat bius hingga perampokan.

Di tengah masalah kecanduan obat bius dan keluar masuk penjara, ia mengenal Islam pada 1972 saat berusia 27 tahun. Ia pun masuk Islam dan menikahi seorang wanita muslim. Sayangnya gaya hidupnya tak berubah. Istrinya pun minta cerai.

Akhirnya pada 1998, setelah hampir 40 hidup di jalanan, bertahan hidup dengan makan di dapur umum dan mencuri, serta tetap kecanduan obat, ia memutuskan membuka lembaran baru.

Ia mulai mengikuti pertemuan Narcotics Anonymous dan mencari bantuan melalui The Bridge, sebuah organisasi yang membantu kaum tunawisma dan kecanduan obat. Saat itulah ia bertemu Amin, mentornya yang Muslim dan memandunya menjadi Muslim sejati melalui tahap penyembuhan.

Amin, mantan pecandu heroin dan pasien AIDS, memperkenalkannya dengan Millati Islami, sebuah program pemulihan obat secara Islam dengan mendekatkan diri pada Allah dan melaksanakan salat.

Lucille Jackson, yang dulu mengelola The Bridge, sangat terkesan dan memberinya pekerjaan di organisasi itu, sekalipun ia masih mengikuti terapi. Saat Jackson menjabat Direktur Proyek Brooklyn Mental Health Court, Garment juga direkrut sebagai koodinator forensik.

Tugas Garment adalah memberikan terapi buat napi yang mengalami gangguan jiwa, kecanduan, atau membantu mereka yang menganggur dan tak punya tempat tinggal. Ia juga kerap mengisahkan pengalaman pribadinya, terutama kepada para napi muda.

Kini Garment telah menjadi seorang ayah dan kakek yang bahagia. Ia bersyukur kepada Allah karena telah menemukan Islam dalam masa tersulit dalam hidupnya. Selain itu, ia juga berhasil menyelesaikan sekolah dan unggul dalam pelajaran bahasa Arab agar bisa memahami Al-Quran. Ia juga berencana kuliah jurusan Kajian Islam. [iol/htb/cha/www.hidayatullah.com]

Gadis Islandia itu Temukan Islam di Amerika

Gadis manis asal Islandia itu mengucapkan syahadat melalui chatroom di internet. Ia akhirnya meninggalkan agama lamanya, Kristen

Hidayatullah.com– Kisah perjalanan menuju Islam gadis asal Islandia ini cukup menarik. Betapa tidak, seperti pengakuannya, di negaranya Islam hampir tak ada gema, saking minoritasnya. Dia sedikit tahu Islam justru ketika melakukan kontak dengan temannya, juga dari Islandia, yang sedang ikut pertukaran pelajar di Indonesia. Lalu, satu ketika, dia dapat beasiswa untuk belajar di AS. Dalam rombongannya ada seorang mahasiswa asal Mesir. Dari pemuda Mesir inilah dia mulai tahu Islam lebih jauh. Alhasil, di Amerika dia lebih banyak mencari tahu Islam hingga akhirnya bersyahadah melalui fasilitas chating di internet. Aminah, begitu namanya selepas memeluk Islam, menceritakan kisah uniknya.

00O00

“Nama saya Aminah dan memeluk Islam pada 31 Januari 1999 di usia 23 tahun. ?Saya sendiri lahir di Islandia pada tahun 1976. Keluarga besar saya semuanya anggota jamaah gereja Protestan. Saya sendiri termasuk di dalamnya dan aktif di sekolah minggu. Begitupun, kendati agama senantiasa hadir dalam keseharian namun hal itu tak banyak berperan banyak dalam perjalanan hidup saya,” tutur Aminah di awal kisahnya.
Lingkungan gereja

Sejak kecil memang dia sudah hidup dalam lingkungan agamis. Misalnya, di sekolah tempat Aminah belajar, rutin diadakan program kemah musim panas yang dikoordinir oleh sebuah organisasi berafiliasi agama Kristen. Lalu, nenek Aminah juga sering menemani sebelum tidur. Bahkan sang nenek juga mengajarkan doa tertentu di kala hendak tidur.? Namun, seperti diakui Aminah, keluarganya tidaklah begitu sering ke gereja dan agama juga tidak tampak berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari keluarga mereka.

“Oya di Islandia ada tradisi gereja bagi remaja yang beranjak dewasa, yakni di usia 14 tahun mereka ?musti dibaptis. Nah ketika itu saya dihadapkan pada satu kondisi, apa saya juga musti dibaptis atau tidak? ?Apa saya sudah cukup dewasa dan sudah pantas dibaptis? Waktu itu, saya sangat yakin adanya tuhan. Bahkan boleh dibilang tingkat keyakinan saya ini melebihi orang-orang lain. Jadi sudah pantas untuk dibaptis. Saya merasa, jika tidak melakukan itu maka sama saja tidak percaya adanya tuhan. Buat saya yang aktif ke gereja tentu hal ini sangat tragis,” tutur Aminah yang akhirnya memilih dibaptis oleh gereja.

Beberapa hari sebelum acara baptis, semua anak diwajibkan mengikuti kelas khusus berisi petunjuk-petunjuk dari pendeta. Demikian juga dengan kunjungan ke gereja juga tak boleh bolong-bolong. Intinya, sebelum dibaptis hati musti “dibersihkan” terlebih dahulu. “Begitulah tradisi yang? saya maksud itu,” imbuh dia.

Mulai tinggalkan gereja

Selepas dibaptis, Aminah rupanya masih tetap aktif hadir di kelas khusus itu. Namun tak berlangsung lama hingga dia memutuskan untuk berhenti ke gereja. “Mungkin ini bukan keputusan yang benar saat itu. Tapi jujur saja, selama ke gereja saya tak mendapat apa-apa. Tak ada perubahan sama sekali dalam jiwa saya,” aku Aminah lagi.

Alhasil, di tahun berikutnya Aminah makin tak bergairah lagi ke gereja dan perlahan agama pun mulai terkikis dari dirinya. “Saya memang sering berdoa pada tuhan, tapi tak pernah menemukan ketenangan jiwa. Saya percaya akan keberadaan tuhan. Tapi apakah itu sudah cukup?,” kata dia.

“Di Islandia Islam tidak begitu dikenal. Sangat minoritas. Karena itu saya tidak mengikuti perkembangannya. Di sekolah, kami tak pernah diberitahu tentang agama lain. Yang kami tahu cuma Kristen saja. Hanya ada sedikit informasi tentang agama Yahudi. Hingga beranjak dewasa, saya masih belum banyak memperoleh info tentang Islam. Yang? saya tahu kala itu Islam identik dengan Muhammadism atau ajaran Muhammad. Tapi apa itu Islam saya tidak tahu,” ungkap Aminah.

Kontak dengan rekan di Indonesia

Aminah, seperti orang-orang di Barat lainnya, hanya mendapatkan info Islam melalui media, Koran atau majalah saja. “Tentu saja secara umum tidak cukup untuk menggambarkan Islam yang sebenarnya. Kesan negatif akan Islam yang paling mencuat. Untungnya saya tidak sampai membenci Islam karena berita-berita miring itu,” tukas dia.

Rupanya kontak rutin dengan salah seorang rekannya, juga dari Islandia, yang sedang ikut program pertukaran pelajar di Indonesia sangat membantu Aminah dalam memahami Islam. “Waktu itu saya ada di Venezuela ikut pertukaran pelajar. Nah seorang sejawat saya ikut program yang sama dan dikirim ke Indonesia. Dari dialah saya dapat banyak info Islam di Indonesia. Ketika teman ini pulang ke Islandia, dia cerita hal-hal menarik dan positif dari Islam itu. Tentu saja apa yang diceritakan kawanku itu sangat berbeda dengan yang diberitakan di media,” lanjutnya.

Kenal pemuda Mesir

Aminah mengaku tidak tahu kapan pertamakali dia bersentuhan dengan Islam. Suatu ketika di musim gugur tahun 1997 dia berangkat ke Georgia, AS untuk mengikuti program beasiswa Rotary selama satu tahun. “Nah dalam rombongan universitas kami ada seorang mahasiswa asal Mesir? yang juga ikut program beasiswa ini. Melalui hubungan persahabatan dengan pemuda Mesir itu pula saya mulai tahu Islam. Dia sering bercerita banyak tentang Islam. Tak hanya itu, kuamati dia sering mempraktekkan apa yang dia katakan. Misalnya shalat,” ungkap Aminah tentang perkenalan pertamanya dengan Islam.

Perlahan Aminah pun mulai tertarik dengan Islam. Dia sering terlibat dalam diskusi dengan mahasiswa Mesir dan bahkan sering adu argumentasi. Merasa belum puas, atas inisiatif sendiri, Aminah mencari lebih lanjut perihal Islam. “Internet sangat membantu dalam mencari tahu apa itu Islam. Juga buku-buku Islam, termasuk di dalamnya Alquran,” aku dia. Situs www.BeConvinced.com adalah salah satu situs yang sempat jadi panduannya belajar Islam.

Upaya Aminah untuk mengenal Islam lebih dalam makin membuncah tatkala dia mudik ke Islandia di musim panas 1997. Namun Amerika sangat berkesan baginya. Hingga, atas inisiatif sendiri, dia kembali lagi ke AS guna meneruskan studinya di sana. “Selama di AS, dalam jangka waktu yang lumayan lama, satu-satunya orang yang sering saya ajak diskusi, bertanya dan berdebat Islam adalah bekas teman satu rombongan dulu yakni pemuda Mesir itu,” lanjutnya.

Belajar Islam di internet

“Selanjutnya saya banyak dapat teman chating lewat internet. Melalui media online itu pula saya menemukan sebuah nuansa keakraban yang tiada tara. Kami saling tukar pengalaman, diskusi dan mereka, teman-teman muslim itu, sangat banyak membantu aku dalam memahami Islam,”aku Aminah.

Kala pertamakali Aminah melakukan upaya pencarian apa itu Islam, dia mengaku sangat terpesona dan menemukan banyak hal-hal yang luar biasa tentang Islam yang tidak diketahui sebelumnya. “Entah kenapa waktu itu saya jadi begitu bergairah dan sulit untuk dibendung. Rasa ingin tahu semakin tinggi. Makin saya baca sesuatu hal tentang Islam semakin menarik, lalu ingin membaca lagi, lagi dan lagi. Akan tetapi untuk jangka waktu yang lama ada begitu banyak hal yang belum saya pahami. Butuh yang cukup lama untuk bisa mengerti hal-hal pelik tersebut,” aku Aminah.

“Jujur saja, pada periode awal saya mencoba segala cara untuk menemukan hal-hal negatif dalam Islam. Saya katakan pada diri sendiri “kamu tidak mungkin jadi seorang muslim.” Dalam masa-masa pencarian itu saya merasa kagok dan bingung. Saya pikir, ah lebih baik hidup saja seperti yang sedang saya jalani sebelumnya, daripada menerima kbenaran dan berbagai perubahan dalam gaya hidup. Mungkin inilah saat-saat yang paling berat dalam fase pencarian kebenaran Islam saya,” tandas Aminah.

Seperti diakui Aminah, adakalanya dia merasa Islam adalah agama yang benar dan dia benar-benar ingin dekat dengan Tuhan. Dan ingin jadi muslim segera. Tapi di lain waktu, seakan ada bisikan lain, saya menemukan berbagai hal negatif dalam Islam. “Seakan-akan ada satu malaikat di telinga kanan yang mengatakan kebenaran, lalu ada syeitan di telinga kiri yang mencegahku menuju Islam,” ungkap dia.

“Namun akhirnya saya meluruskan hati kembali dan berhenti mendengar suara “syeitan kecil” itu dan melihat cahaya kebenaran dalam Islam. Saya ingin dekat dengan Tuhan dan menjalani kehidupan sebagai seorang muslim,” lanjutnya lagi.

Bersyahadah lewat chating

Segera setelah keputusan itu dibuat, persis tengah malam, Aminah mengontak teman chatingnya untuk melakukan kontak online via internet. Waktu itu dia hendak menyatakan kesiapannya masuk Islam dan ingin mengucapkan kalimah syahadah.

“Waktu lagi chating saya sebutkan rencana untuk melakukan prosesi syahadah di pengajian muslimah esok pagi. Tapi entah bagaimana, mendadak saya berubah pikiran. Kenapa harus menunggu besok? Apa tidak mungkin syahadah secara online saja, begitu pikir saya. Lalu saya putuskan untuk bersyahadah saat itu juga. Segera saya cari seorang muslimah lain untuk ikut chating. Nah melalui fasilitas chatroom akhirnya saya pun “mengucapkan” syahadah lewat internet,” kisah Aminah tentang prosesi syahadahnya.

Latifah, salah satu muslimah yang ikut chating, menyela sebab Aminah melakukan syahadah dengan mengetik kedua kalimah syahadah di halaman chating.

“Saya salah satu saksi syahadahmu, tolong prosesi syahadah diulang. Kamu harus mengucapkan dengan lisan kamu dan bukannya dengan cara mengetik seperti ini,” seru Latifah. Begitulah, akhirnya di tengah malam buta itu Aminah pun bersyahadah dengan lisannya hingga bisa didengar oleh kedua rekan chatingnya via earphone. Subhanallah, internet telah membantu seorang muslimah untuk mendapat hidayah Allah dan akhirnya memeluk Islam.

“Selama jadi muslim, saya melewati banyak masa-masa manis disamping ada juga waktu-waktu sulit sebagai muallaf baru. Saya masih perlu belajar lebih keras lagi untuk mendalami Islam dan menjadi seorang muslim yang baik dan taat. Pada saat yang sama saya pun harus menjaga hubungan baik dengan keluarga dan teman-teman saya. Kendati mereka menaruh kesan negatif pada Islam saya tetap melakukan kontak dengan mereka. Saya yakin telah membuat keputusan yang benar dalam hidup ini. Terima kasih ya Allah telah Engkau tuntun saya menuju jalan kebenaran,” tutup Aminah seraya berharap keluarga dan teman-temannya segera mendapat hidayah-Nya. Amiin. [Zulkarnain Jalil/www.hidayatullah.com]

Kaci Starbuck Bangga Jadi Muslimah

Perceraian orangtua membuat keluar dari Kristen. Kaci kemudian lebih memilih Islam dan bangga dengan jalan hidupnya yang baru

Hidayatullah.com– Semasa remaja dia aktif di kelompok musik gereja. Kala orangtuanya cerai, ajaran Kristen mulai hilang dalam kehidupannya. Ketika masuk bangku perguruan tinggi dia pindah ke Winston Salem, North Carolina, AS untuk kuliah di Wake Forest University. Di sanalah dia kenal seorang mahasiswa muslim yang tinggal seasrama dengannya. Islam kemudian menjadi jalan hidupnya. Uniknya, walau belum masuk Islam, dia bahkan telah aktif membantu organisasi Islam di kampus. Tak hanya itu, dia juga mencoba mengenakan kerudung. Dialah Kaci “Raihanah” Starbuck yang memeluk Islam pada 12 Juli 1997.

“Aku bangga jadi muslimah,” kata dia satu ketika. Apa dan bagaimana hingga dia bersyahadah dan akhirnya mengenakan jilbab secara sempurna? Berikut kisahnya.

0O0

“Aku dibesarkan dalam keluarga Kristen. Tapi aku tahu tentang Kristen justru setelah dibaptis di sebuah gereja. Saat itu usiaku masih sangat belia sekali. Di sekolah Minggu aku dapat pesan bahwa ?jika kamu tidak dibaptis, maka kamu tidak bakal masuk neraka,” ujar Kaci memulai kisah uniknya.

Kaci mengaku waktu itu rela dibaptis untuk menyenangkan perasaan orang tuanya. “Satu hari, ayah dan ibuku masuk ke kamar dan meminta kesediaanku untuk dibaptis. Dia sangat berharap aku mau melakukannya. Akupun mau dan siap untuk dibaptis di gereja,” tukas Kaci.

Sebelum dibaptis dia musti menjawab beberapa pertanyaan. Kala ditanya: “Kenapa kamu mau dibaptis?” Kaci menjawab, “Karena aku cinta Yesus dan aku tahu Yesus juga cinta aku.” Begitu pula dengan pertanyaan-pertanyaan lain dijawabnya dengan lugas. Lalu diapun dibaptis dengan disaksikan sejumlah jamaah gereja.

Anggota vokal grup gereja

Masa-masa awal di gereja, begitu juga ketika masih di taman kanak-kanak, Kaci pernah jadi anggota vokal grup dan aktif di kegiatan misa mingguan. Kemudian, beranjak remaja, dia masuk dalam kelompok grup musik? “young girls” yang sering dapat undangan di berbagai kegiatan gereja dan juga aktifitas rohani lainnya di luar gereja.

“Waktu usia remaja aku sering dapat undangan seperti mengisi acara musik di perkemahan dan kegiatan rekreasi lainnya. Di dalam grup musik, aku dikenal saat itu sebagai yang “dituakan” dan? dijuluki “gadis pemain piano.”

“Beberapa tahun kemudian, kedua orangtuaku bercerai. Satu hal yang tak pernah kubayangkan dalam hidup ini akhirnya terjadi padaku. Kejadian ini sampai membuat agama Kristen tak lagi menarik bagiku. Waktu masih bocah, aku melihat keluarga seakan sempurna, tak ada cela. Ayahku adalah salah satu pengurus gereja. Orangnya sangat respek hingga semua jamaah kenal dia. Tapi beranjak remaja begini kejadiannya,” ungkap Kaci kecewa.

“Tahun-tahun berikutnya kulalui tanpa ayah. Aku, abang, dan seorang adikku pindah ke rumah ibu. Saat itu, ibu tak begitu aktif lagi ke gereja. Begitu pula dengan kedua saudaraku, mereka menganggap gereja tak penting lagi. Selama pindah ke rumah ibu, aku juga pindah ke sekolah baru dan ketemu banyak teman baru. Dan disana pula aku memulai kehidupan baru dalam hal agama. Aku jumpa dengan satu grup musik gereja di sana,” kata dia.

“Mereka bercerita tentang keyakinan yang ada di gereja mereka. Jemaah di gereja ini mengamalkan kitab Perjanjian Baru. Mereka tak pakai alat musik saat nyanyi di gereja. Hanya grup paduan suara. Gereja ini juga tak menggaji pendeta. Tapi orang tertua dalam jemaah yang meminpin setiap acara hari Minggu. Jemaah perempuan tidak boleh ceramah di gereja ini. Begitu pula dengan acara Natal, Paskah dan hari-hari libur lainnya, tak pernah dirayakan. Bagiku ini termasuk hal baru. Hingga aku mengira, apa dulu aku berada di jalan yang salah? Haruskah aku dibaptis lagi?,” imbuh Kaci panjang lebar.

Kenal Islam

Terhadap semua hal baru itu, Kaci curhat pada ibunya. Dia mengaku sekarang bingung dengan kontradiksi dalam ajaran Kristen. Tahun berikutnya, Kaci pun mulai kuliah di perguruan tinggi dan dia pun pindah ke kota Winston Salem, masih di North Carolina, AS. “Satu hari aku ketemu dengan seorang pemuda muslim yang juga tinggal se-asrama dengan aku. Dia cukup ramah dan kami sering terlibat tukar pikiran masalah keyakinan hidup,” kata Kaci yang kuliah di Wake Forest University.

“Satu sore, kami habiskan waktu hingga berjam-jam untuk berdiskusi tentang filosopi dan keyakinan hidup Islam. Alhasil, muncul pertanyaan dalam diriku: Apakah manusia dilahirkan dalam satu agama, dan hanya ada satu agama yang benar? Hari-hari berikutnya aku sering ketemu mahasiswa Islam ini dan melanjutkan diskusi kami yang belum tuntas. Namun, aku masih belum puas dengan jawabannya, yang menurutku masih menyentuh dasar Islam. Aku sendiri dapat memahami keterbatasan dia dalam menjelaskan Islam. Aku berupaya mencarinya sendiri,” imbuh dia lagi.

Ketika libur musim panas, Kaci memutuskan untuk kerja part time di sebuah toko buku. Di sana pula dia bisa “mengenal Islam lebih dekat.” Buku-buku Islam yang ada di toko buku itu dilahapnya. Dia juga bisa ketemu dengan seorang mahasiswa muslim lain yang juga belajar di kampus yang sama. Berbagai pertanyaan yang tersimpan sekian lama dalam kepalanya pun ditumpahkan. Rupanya si pemuda ini mampu menjawab setiap ada pertanyaan dari Kaci. Tak lama, Al-Quran pun jadi bacaan rutinnya. Tak hanya itu, Kaci juga mulai tertarik ke mesjid. Setidaknya, dia ada dua kali dalam seminggu ke mesjid setempat. Ada kebahagian yang mulai meretas dalam dirinya kala itu.

“Selepas mempelajari Islam sepanjang libur musim panas itu, aku mulai tersentuh dengan berbagai pernyataan dalam Islam. Pernah, aku coba ikut kuliah Perkenalan Islam di kampus. Waktu itu aku sedikit frustrasi, sebab dosen pengajar mata kuliah ini memberikan komentar yang menurutku salah. Tapi aku tidak tahu bagaimana mengoreksinya,” ungkap Kaci mengkritisi dosen yang bukan beragama Islam tersebut.

Organisasi Islam

Di luar aktifitas kuliah, diam-diam Kaci aktif terlibat sebagai anggota di sebuah organisasi sosial berafiliasi Islam. “Ya aku terlibat di Islam Awareness Organization. Aku satu-satunya anggota yang perempuan. Oleh anggota lainnya, aku masih sering disebut dengan? “gadis Kristen dalam kelompok kita”. Tiap ada pertemuan, ucapan itu pasti keluar. Entah kenapa, batinku tak suka disebut seperti itu. Padahal, aku melakukan segala sesuatu persis seperti apa yang mereka lakukan. Jadi, menurutku, aku seorang muslim juga,” tukas Kaci.

Kaci mengungkapkan bahwa dia sudah tidak makan babi lagi. Sudah berhenti mengkonsumsi alkohol. Bahkan kala Ramadhan dia juga ikut berpuasa. Yang menakjubkan, persis di akhir tahun pertamanya di universitas, terjadi perubahan dalam diri Kaci. Dia memutuskan untuk mengenakan kain kerudung penutup rambutnya!? “Aku tak ingin rambutku ini dilihat orang lain. Jika nanti menikah, hanya suamiku yang boleh melihatnya. Begitupun, aku belum berani memakai baju muslimah secara sempurna kala itu,” ujarnya.

Chating di internet


Satu hari Kaci mempelajari Islam melalui internet. “Aku juga mencari alamat e-mail orang-orang Islam. Maksudnya biar bisa jumpa seorang muslim yang bisa kuajak diskusi. Aku selalu menulis di surat elektronik dengan pesan tambahan “saya bukan sedang mencari jodoh – tapi hanya ingin mempelajari Islam,” kata dia.

Beberapa hari kemudian, Kaci menerima balasan dari tiga orang muslim. Satu dari mahasiswa Pakistan yang sedang studi di AS, satu dari India tapi sedang belajar di Inggris, dan terakhir berasal dari muslim yang berdomisili di Uni Emirat Arab (UAE).

“Masing-masing mereka saling membantuku. Kami terlibat diskusi secara unik di tiga negara berbeda. Tapi akhirnya aku sering kontak dengan yang di Amerika. Karena kami dalam zona waktu yang sama. Jadi perbedaan waktunya tidak jauh berbeda. Jika aku kirim pertanyaan, maka dijawabnya dengan segera dalam rentang waktu yang sama. Jawaban-jawabannya pun rasional, masuk logika pikiranku.

“Dalam pandangan Islam semua manusia sama. Islam tak melihat warna kulit, usia, jenis kelamin, ras, suku bangsa, dan lainnya. Yang penting hatinya beriman kepada Allah,” kata dia kagum. Kaci terus mendalami Islam hingga dia sampai pada keyakinan bahwa Islam adalah agama pembawa kebenaran.

“Tiap ada kesulitan akan suatu perkara, maka aku langsung melihat jawabannya dalam Al-Quran. Aku juga makin merasakan nikmatnya persaudaraan dalam Islam. Bukan main,” akunya.

Bersyahadah

Niat Kaci untuk mengikrarkan syahadahnya pun makin mengental. “Aku mendeklarasikan syahadah di mesjid. Aku kini percaya hanya ada satu Tuhan [Allah swt] yang patut disembah. Satu hari di bulan Juli 1997 aku berbicara dengan seorang muslim via telepon. Aku bertanya banyak hal tentang cara masuk Islam dan dijawab dengan simpel sekali. Hingga aku pun memutuskan untuk ke mesjid esok harinya,” kisah Kaci lagi.

Keesokan harinya Kaci pun berangkat dari rumah kost nya di Wake Forest ke mesjid terdekat. Dia ditemani oleh dua orang teman baiknya. Satu muslim, satunya lagi non-muslim. Tapi, menariknya, dia tidak menceritakan pada mereka apa maksudnya ke mesjid.

“Aku cuma bilang mau diskusi dengan pak imam. Sesampai di mesjid, pak imam barusan memberi khutbah dan jamaah mulai shalat Jumat. Nah setelah semuanya beres baru aku bicara dengan beliau. Waktu itu aku tanyakan apa yang musti dilakukan seseorang yang ingin masuk Islam.? Sang imam menjawab bahwa ada beberapa hal dasar yang perlu dimengerti tentang Islam. Plus dua ikrar dua kalimah syahadah. Lalu aku beritahu pak imam bahwa aku sudah belajar Islam lebih dari setahun dan sekarang sudah siap jadi seorang muslimah. Tak menunggu lama, aku pun mengucapkan kalimah syahadah. Ya, tepatnya tanggal 12 Juli 1997 aku memeluk Islam.? Alhamdulillah…

Dipecat karena jilbab

Kaci bangga dengan keislamannya. Ia terus belajar dan belajar. Termasuk dalam hal ibadah. “Mula-mula aku belajar tatacara shalat. Lalu mengikuti aneka aktifitas mesjid. Bahkan aku pergi ke banyak mesjid, seperti mesjid di Winston Salem, North Carolina. Yang paling menakjubkan, aku akhirnya berani memakai hijab secara sempurna, persis dua pekan setelah memeluk Islam. Alhamdulillah, selepas memeluk Islam, aku merasakan begitu banyak “pintu” yang terbuka. Semua itu terbuka dengan kasih sayang Allah,” pungkas Kaci yang kemudian mengganti namanya menjadi Raihanah.

Pernah satu ketika, di musim panas, dia bekerja part time di sebua toko tas. Waktu itu dia sudah mengenakan jilbab. Rupanya direktur perusahaan itu tidak suka dengan jilbab Kaci. “Dia minta aku untuk melepas jilbab jika ingin tetap bisa kerja. Tentu saja aku tidak mau. Akhirnya aku musti keluar dari tempat kerja alias dipecat.? Mereka mengira jilbab akan membatasi aku dan menganggap aku tidak bisa bekerja jika mengenakan jilbab. Tapi aku sendiri merasa bisa bergerak bebas kendati berjilbab. Tapi tak apa, aku tak menyesal. Aku bangga bisa jadi seorang muslimah,” cerita Kaci tentang sikap diskriminasi di tempat kerjanya.

Itulah langkah besar dalam perjalanan hidup Kaci “Raihanah” Starbuck. Ketabahan dan kekuatan imannya patut diacungi jempol hingga dia? mampu menjalani berbagai ujian selaku muallaf baru. Begitulah. [Zulkarnain Jalil/www.hidayatullah.com]

Stephen Schwartz, Jurnalis Amerika yang Bersyahadat di Bosnia

Pria yang lahir di Columbus, Ohio ini dikenal sebagai wartawan dan kerap mengkritik Bush. Kini ia menjalani Islam dan rajin shalat

Hidayatullah.com– Stephen Schwartz lahir di Columbus, Ohio tahun 1948. Lebih dari separuh hidupnya dihabiskan dengan berkarir sebagaiStephen Schwartz wartawan dan penulis.? Stephen kenal Islam dan bersyahadah ketika bertugas sebagai reporter di Bosnia. Setelah memeluk Islam, mantan wartawan senior San Francisco Chronicle ini kerap mengkritik pemerintahan Bush yang sering mengidentikkan teroris dengan Islam. Artikel-artikel kontroversialnya muncul di sejumlah koran ternama seperti The New York Times, The Wall Street Journal, The Los Angeles Times, dan The Toronto Globe and Mail. Stephen juga kontributor tetap untuk The Weekly Standard, The New York Post dan Reforma di Mexico City. Berikut kisah pria yang mengaku tertarik dengan kehidupan sufi dalam Islam dan ketika di Bosnia aktif mengikuti kegiatan tarekat Naqshabandiah. Inilah beritanya.

000

Stephen Schwartz memeluk Islam di Bosnia pada 1997 atau di usianya yang ke-49. Sebelumnya, lebih dari 30 tahun lamanya, dia melakukan studi dan menimba berbagai pengalaman hidup serta mempelajari sejarah beberapa agama samawi. Bagaimana ceritanya hingga dia terkesan dengan agama Islam?

“Aku tertarik dengan Islam sejak tahun 1990 saat berkunjung ke Bosnia untuk melakukan studi tentang sejarah Yahudi di Balkan. Aku butuh data itu untuk mengisi kolom rutin di jurnal Jewish Forward. Nah dalam penelitian itu, aku sempat menjalin kontak dengan tokoh-tokoh Islam Balkan,” kisah Stephen.

Jika menilik sejarah hidupnya, dia mengaku berasal dari keluarga “agamis”. “Aku dibesarkan dalam lingkungan yang benar-benar ekstrem bagi kebanyakan orang Amerika. Ayahku seorang Yahudi yang taat. Sementara ibuku adalah anak dari seorang tokoh kelompok Protestan fundamentalis. Dia sangat paham dengan Bibel, juga Kitab Perjanjian Lama dan Baru,” kata pria yang menambah Suleiman Ahmad di depan namanya selepas memeluk Islam.

Stephen sendiri mengaku, pertama kali bersentuhan dengan agama adalah tatkala ikut kegiatan gereja Katolik. Walau saat itu belum memutuskan ikut ajaran itu, dia? sempat tertarik dengan sejumlah literatur tentang kebatinan dalam ajaran Katolik. Keingintahuannya membuat dia melakukan sejumlah studi dan riset mendalam hingga ke negeri matador Spanyol.

Riset di Spanyol

Di awal penelitiannya, Stephen mengamati bahwa di balik kejayaan Katolik Spanyol ternyata terdapat pengaruh kuat sejarah Islam kala berkuasa di Spanyol. Dia mengaku takjub dan terinspirasi dengan agama Islam yang masih bertahan dalam sejumlah tradisi di sana.

“Sebagai seorang penulis, aku meneliti fenomena ini selama bertahun-tahun. Mula-mula kupelajari sejarah itu melalui aneka karya sastra masa lampau yang menunjukkan pengaruh Islam di kawasan Iberia itu,” ungkap dia.

Awal 1979, dia mulai mempelajari Kabbalah, sebuah tradisi mistik bangsa Yahudi. “Nah, menariknya di dalam Kabbalah itu juga kudapati adanya pengaruh Islam,” ujar Stephen yang meneliti tentang Kabbalah selama hampir 20 tahun lamanya.

Kenal Islam di Bosnia

Selama meneliti Kabbalah, dia sempat melakukan perjalanan ke Bosnia dalam kapasitasnya sebagai seorang reporter. “Tahun 1990 untuk pertama kalinya aku bersentuhan secara langsung dengan Islam di Bosnia dan untuk pertama kalinya pula aku mengunjungi sebuah mesjid di ibukota Sarajevo,” kata dia.

“Perlahan, aku melihat Islamlah yang mampu menawarkan jalan “terdekat” untuk mendapatkan kasih sayang Allah,” ujar pria yang juga aktif mengikuti tarekat Naqshabandiah kala di Bosnia. Dia bertemu dengan Syekh Hisham, seorang guru tarekat Naqshabandi di sana. Hatinya benar-benar terkesan hingga dalam hitungan minggu diapun bersyahadah di negeri Balkan itu. “Aku bangga jadi orang Islam,” aku dia.

Di Sarajevo, Stephen menemukan banyak hal yang mengesankan hatinya. “Kutemukan sebuah pos terdepan Islam di Eropa, saat mana aku tidak merasa sebagai seorang asing di sana. Saat mana aku secara gampang bisa berjumpa dan bergaul langsung dengan orang-orang Islam yang begitu ramah, demikian pula kalangan terdidiknya. Aku menemukan puisi dan gubahan musik yang begitu indah, yang mengekspresikan nilai-nilai keagungan dan kedamaian dalam Islam,” ungkap dia dipenuhi rasa kagum.

“Aku telah temukan sebuah “taman tua” yang indah,” ujar Stephen mengutip salah satu bait lagu Bosnia yang sangat terkenal yang berkisah tentang masa jaya Kekhalifahan Usmani di Balkan dan kontribusinya terhadap budaya Islam.

Stephen juga membaca beberapa bagian dari Alquran dan mengunjungi monumen-monumen Islam selama kunjungannya di Balkan.

“Aku layaknya kembali ke taman itu dan akhirnya masuk ke dalamnya,” ujar dia memberi ibarat. Ya, akhirnya dia memang memutuskan masuk Islam kala di Bosnia.

Takut timbul konflik

Sejak menerima Islam, Stephen sangat berhati-hati sekali dalam mengirim informasi keislamannya, baik itu kepada keluarga, teman-temannya hingga para tetangga dekatnya.

“Aku tidak mau sembarangan memberikan info ini, takut nanti timbul konflik dan kontroversi.. Aku juga tidak mau pengalaman ini dilihat atau dicap sebagai sesuatu yang bodoh atau picik. Ini bukan menyangkut diriku pribadi, tapi ini berkaitan dengan Allah. Aku ingin proses keislaman ini berada di jalan yang wajar. Hal ini semata-mata untuk kebaikan umat Islam dan juga bagi terbentuknya hubungan persaudaraan Islam di dalam ikatan kalimat la ilaha illallah,” tukas dia.

“Aku amati, adakalanya kalangan nonmuslim melihatku sebagai seorang muallaf baru yang terpengaruh oleh kehidupan di Balkan. Tapi aku segera meluruskan pendapat ini seraya menyebutkan bahwa aku suka Islam bukan karena terlibat politik atau alasan kemanusiaan,? tapi murni semata-mata karena pesan indah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah,” kata dia lagi.

Damai dalam Islam

“Seperti telah kusebutkan di awal, aku menemukan bahwa hal-hal positif dalam agama samawi Yahudi dan Nasrani. Nilai-nilai positif itu terefleksikan dalam ajaran Islam.? Jadi, Islam datang menyempurnakan agama terdahulu,” kata Stephen.

“Aku sangat yakin, tanpa adanya toleransi orang-orang Arab Spanyol dulu, terutama di saat Kekhalifahan Usmani masih berjaya, maka bangsa Yahudi telah lama hilang dari permukaan bumi ini. Halnya agama Yahudi hari ini, sangatlah jauh berbeda dengan ajaran mereka saat masih hidup berdampingan dengan orang-orang Islam dahulu,” tegas Stephen.

“Setelah memeluk Islam, hal yang sangat berkesan bagiku adalah adanya kedamaian hati disertai kehadiran Allah di dalam setiap hal. Muncul perasaan lembut, sopan santun, sederhana dan rasa ikhlas. Hidupku jadi mudah. Bahkan di saat aku ada masalah atau ujian dalam hidup ini,” tutur Stephen yang sangat yakin jika nilai-nilai Islam itu akan mampu menyelesaikan aneka permasalahan di Amerika, terutama perkara krisis moral.

Kritik Bush

Begitulah. Saat ini Stephen Schwartz dipercaya sebagai Direktur Eksekutif Center for Islamic Pluralism yang didirikan pada 25 Maret 2005 dan berpusat di Washington DC. Dia juga penulis buku best seller The Two Faces of Islam: Saudi Fundamentalism and Its Role In Terrorism.

Buku itu telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Dalam buku tersebut dia mengungkapkan rasa tak setujunya dengan cap Islam teroris dan mengkritik secara terbuka pemerintahan Bush yang selalu mengidentikkan teroris dengan Arab. Akibat kritik tajamnya itu Stephen pun lantas dipecat dari posisinya sebagai penulis berita di media bergengsi Voice of America.

Begitupun, dalam beberapa hal, Stephen mengaku sangat sedih kala melihat konflik di Timur Tengah. “Aku sering memimpikan adanya kedamaian dan persahabatan antara Israel dan Arab. Persis sepertimana di saat orang Yahudi bisa hidup damai di masa kepemimpinan orang Islam,” kata pria yang dikala mudanya pernah terlibat dalam kelompok radikal sayap kiri itu. [Zulkarnain Jalil/www.hidayatullah.com]

Luna Cohen, Yahudi Maroko Menemukan Kebenaran Islam

Luna Cohen, lahir di kota Tetouan, Maroko dari keluarga Yahudi. Pada usia 16 tahun, ia sudah meninggalkan rumah rumah keluarga di Maroko untuk melanjutkan sekolahnya di sekolah khusus perempuan Bet Yaakov di Washington Heights, Manhattan, Amerika Serikat. Bet Yaakov adalah sebuah sekolah Yahudi Ortodoks yang dikenal rasis.

Usia 18 tahun ia memutuskan menikah lelaki yang sampai saat ini menjadi suaminya. Sejak menikah, Luna dan suaminya sampai tiga kali berpindah tempat tinggal di apartemen yang ada di Brooklyn, New York karena ia dan suaminya merasa tidak pernah bahagia tinggal di lingkungan masyarakat Yahudi di tempat tinggalnya. Pasangan suami isteri itu kemudian memutuskan untuk membangun masa depan di Israel. Luna beserta suami yang ketika itu sudah dikaruniai empat anak, akhirnya pindah ke Israel.

Ketika tiba di Israel, Luna dan keluarganya tinggal pemukiman Yahudi, Gush Qatif di wilayah Jalur Gaza. Luna mengaku menjalani masa-masa yang berat karena melihat “cara hidup” orang-orang Yahudi di tempat tinggalnya itu dan meminta pada suaminya agar mereka pindah saja ke Netivot, yang terletak sekitar 23 kilometer ke arah utara di wilayah pendudukan Israel di Palestina.

Di tempat itu, Luna lagi-lagi menyaksikan kehidupan masyarakat Yahudi Israel yang disebutnya tidak berpendidikan. “Mungkin cuma satu dari sejuta anak yang berperilaku baik,” kata Luna. Ia menyaksikan bagaimana orang-orang Yahudi di Netivot, sama seperti di pemukiman Yahudi Gush Qatif, membenci orang-orang yang bukan Yahudi yaitu orang-orang Arab Palestina.

“Kami melihat tindakan mereka sebagai tindakan mereka yang buruk dan mau menang sendiri. Pada titik ini, saya dan suami tidak sepakat dengan sikap orang-orang Yahudi itu,” ujar Luna.

Hingga suatu hari suami Luna yang juga Yahudi tapi sekuler, pulang ke rumah dan mengatakan bahwa baru saja membaca al-Quran dan memutuskan untuk masuk Islam. Luna tidak tahu, bahwa suaminya selama ini banyak mempelajari Islam lewat dialog yang dilakukannya dengan seorang Muslim asal Uni Emirat Arab yang dijumpainya saat masih tinggal di pemukiman Gush Qatif. Selama dua tahun suami Luna dan kenalan Muslimnya itu berdiskusi tentang Yudaisme dan Islam.

Mendengar pernyataan suaminya ingin masuk Islam, Luna mengaku sangat-sangat syok. “Karena dalam Yudaisme, kami selalu diajarkan untuk membenci agama lain,” kata Luna yang sebenarnya mempertanyakan ajaran yang dinilainya “mau menang sendiri” itu.

Tapi sang suami cukup bijak dan mengatakan bahwa Luna boleh tetap memeluk agama Yahudi jika tidak mau masuk Islam, karena dalam Islam, seorang lelaki Muslim boleh menikah dengan perempuan ahli kitab. Suami Luna pun masuk Islam dan memakai nama Islam Yousef al-Khattab.

Dua minggu setelah suaminya masuk Islam, Luna tertarik untuk membaca al-Quran dan ketika ia membacanya, Luna merasa semua pertanyaan yang mengganjal di kepalanya terjawab semua dalam al-Quran. Luna lalu menyusul suaminya mengucapkan dua kalimah syahadat dan menjadi seorang Muslimah. Luna memilih nama Qamar sebagai nama Islamnya.

Karena situasi yang tidak memungkinan buat mereka untuk tinggal lebih lama wilayah Israel, keluarga mualaf itu lalu memutuskan pindah ke Maroko, negara asal Luna pada tahun 2006. Sampai saat ini, pasangan Yousef dan Qamar al-Khattab hidup bahagia di tengah saudara-saudara Muslim Maroko dan menemukan kehidupan sejati setelah menemukan kebenaran dalam jalan Islam. (ln/jewsforAllah) [eramuslim]

Elizabeth Valencia Bersyahadah Melalui Telepon

Gadis kelahiran Tijuana, Meksiko ini memeluk Islam melalui telepon.? Sebelumnya, dia pernah tak punya semangat hidup

Elizabeth Valencia adalah seorang gadis belia kelahiran Tijuana, Meksiko. Sebelum memeluk Islam dia merasa hidupnya seakan tak berharga. Karena tubuhnya yang gemuk dia sering diejek di sekolah. Dia makin stress dan tak punya semangat hidup. Begitulah, waktu terus berjalan hingga satu ketika di musim panas tahun 2000, Elizabeth bertemu dengan seorang pemuda yang kemudian memperkenalkan Islam dan memberinya hadiah sebuah mushaf Al-Quran. Diapun mulai mengkajinya hingga akhirnya pada 13 Februari 2001 dia bersyahadah dan mengganti namanya menjadi Asma Alia. Bagaimana kisah ketertarikannya pada Islam? Berikut kisah lengkapnya seperti dituturkannya.

***

“Aku muallaf sejak 13 February 2001. Alhamdulillah!” ujar Elizabeth Valencia? yang lahir di Tijuana, Baja California, Mexico pada 14 Juni 1986. Selepas masuk Islam di usia 14 tahun, dia berganti nama dengan Asma Alia.

“Saat ini akulah satu-satunya muslim di dalam keluarga. Tapi aku yakin satu saat akan bertambah lagi muallaf di rumahku, Insya Allah,” tukas dia yakin.? Bagaimana kisahnya hingga Asma memeluk Islam?

“Kisah keislamanku sebenarnya telah dimulai sejak aku masih kanak-kanak,” lanjut Asma seraya berharap kisahnya bisa membawa perubahan bagi orang lain yang saat ini mencari kebenaran dalam lembaran hidup mereka.

Hidup tak bernilai

“Sebelum memeluk Islam, aku merasa hidupku seakan tak bernilai. Aku melihat seakan tak ada lagi kehidupan bagiku, tak ada yang namanya masa depan. Ditambah lagi hubunganku dengan kedua orangtua yang tak harmonis,” aku Asma.

Di sekolah, Asma merasa disisihkan oleh rekan-rekannya. “Memang aku punya banyak teman, tapi jujur saja mereka serasa bak orang asing di mataku. Sehingga sulit sekali untuk akur dan saling berbagi,” imbuh dia.

“Adakalanya, orang-orang melihatku dengan pandangan aneh. Aku ibaratnya seperti orang buangan. Oya waktu masih bocah aku kelebihan berat badan alias. Bahkan makin gemuk persis orang dewasa padahal waktu itu aku masih duduk di bangku SMP. Sering aku pulang ke rumah dengan tangisan sebab teman-temanku kerab mengejekku dengan kata-kata yang menyakitkan. Inilah yang membuatku makin down dan tersisih,” kata dia lagi.

Hal itu membuat prestasinya di sekolah menurun, padahal dia termasuk siswa berperingkat bagus. “Waktu masih di kelas 6 aku tak pernah bolos sekolah. Aku cinta sekolah,” kata dia mengenang. Hingga satu ketika aku mencoba berteman dengan beberapa anak muda. Ya biasa lah, masuk masa puber, mulai suka dengan lawan jenis. Aku ingin akrab dengan mereka. Sayangnya, aku harus menelan kekecewaan. Tak ada seorangpun yang menyukaiku. Ketika itu, aku makin benci dengan diriku sendiri,” lanjutnya.

“Satu hari, aku pasrah dengan keadaan dan tak mampu mencari solusi lain untuk mengatasi permasalahan hidupku. Aku ceritakan semua masalah yang membebaniku kepada setiap orang dalam rumahku, tentang bagaimana sikap orang-orang di sekolahku. Termasuk kepada kakek dan nenek, yang kutahu juga tidak begitu menyukaiku. Aku tumpahkan semua isi hatiku, tentang betapa tak bahagianya hidupku, betapa aku kesepian. Pokoknya semuanya.”

Sebagai penganut Katolik Asma lalu berupaya mencari solusi dengan banyak berdoa. “Aku berdoa untuk hidup yang lebih baik. Tapi tak ada yang berubah. Aku pasrah dan ingin bunuh diri. Keinginan ini muncul saat aku berumur 13 dan 14 tahun. Untung pikiranku masih jernih, bunuh diri bukan jalan terbaik menyelesaikan masalah. Tapi hidup makin hari serasa makin berat saja,” lanjut dia.

Asma sering cemburu dengan teman-temannya yang rata-rata sudah punya pacar. Dia sering berangan-angan punya wajah cantik. Lalu disukai banyak pria. Sering juga sang ibu menghibur Asma dengan menyebutkannya anak yang cantik. “Tapi aku tahu ibu berbohong. Ucapan itu cuma untuk menghiburku saja,” tukas Asma.

“Tapi, selepas memeluk Islam, dan ingat kejadian masa lalu, rasanya aku bukanlah orang yang buruk di dunia ini. Ya aku cuma gemuk saja. Tak lebih dari itu. Benar kata ibu wajahku cantik. Tapi entah kenapa aku merasa hidupku buruk. Untung Allah datang dan membimbingku ke jalan yang benar,” syukur Asma.

Bertemu pemuda Islam

Ceritanya, pas musim panas tahun 2000 silam, Asma bertemu dengan seorang seorang pemuda yang kemudian memperkenalkan Islam kepadanya. “Aku masih sangat ingat, hari Sabtu 4 Nopember dia menghadiahiku sebuah mushaf Al-Quran. Akupun mulai mengkajinya. Hanya dalam waktu 3,5 bulan, aku berhasil mempelajarinya secara tuntas!? Menakjubkan. Tahu tidak, inilah bacaan pertamaku yang mampu kutamatkan secara tuntas tanpa kehilangan satu katapun. Sebelumnya buku apapun yang kubaca tak ada yang tamat. Masya Allah!,” kata Asma gembira.

Pada 13 Februari 2001 Asma jatuh sakit dan dia terbaring lemah di atas pembaringannya di rumah. Dia merasa depresi berat. Layaknya orang baru putus cinta. “Batinku benar-benar tertekan. Aku punya pacar dan kami sudah sepakat nanti jika sudah sampai waktunya akan menikah. Dia pun tak menampik. Sayangnya, keluarga pacarku itu ternyata telah menyiapkan gadis lain di kampungnya,” cerita Asma kelu.

Di tengah kegalauan itu muncul ide dalam kepalanya. “Aku ingin bikin perubahan dalam hidup ini,” batin Asma. Kendati kondisi lemah, dia beranjak dari tempat tidur dan bergegas menuju ke Mesjid Hamzah, sebuah mesjid di Mira Mesa, selatan California. Sebelumnya Asma mengontak dua orang rekan muslimah untuk ketemu di sana.

“Aku ceritakan pada mereka bahwa aku telah mempelajari Islam dan butuh saran mereka. Kepada salah seorang dari muslimah itu, dia baru berusia 13 tahun, aku sebutkan bahwa aku mau masuk Islam tapi tidak tahu bagaimana caranya. Rekan muslimah itu menyebut sangat sederhana sekali. Pertama harus ada dua kalimah syahadah di dalam hati. Begitupun, kata dia, aku musti mendeklarasikan kalimah itu di hadapan muslim lain sebagai saksi keislamanku,” kisah Asma panjang lebar.

Bersyahadah via telepon

Mendengar penjelasan temannya tersebut Asma pun setuju dan tak mau menunggu lagi untuk segera mengucapkan dua kalimah syahadah. “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah. Alhamdulillah! Aku bersyahadah melalui telepon. Disaksikan oleh rekan muslimah yang baru berusia 13 tahun itu, di seberang sana ada saksi lain yakni? ayah si muslimah tersebut dan seorang pembantunya. Merekalah saksi keislamannku,” kisahnya lagi.

Asma tampak berlinangan airmata. Dia merasakan tubuhnya ringan sekali. Mungkin itu yang disebut, dosa-dosa di masa silam bagi orang yang baru memeluk Islam dimaafkan alias dihapuskan.

“Segera setelah proses syahadah itu, aku pun menemui rekan-rekan lain yang selama ini mengajarkanku apa itu Islam. Mereka sangat gembira sekali. Setelah itu akupun pulang untuk mandi. Di kaca aku berujar “Aku sudah jadi muslim, aku sudah jadi muslim. Oh masya Allah, aku jadi muslim!”. Ya aku sangat gembira sekali,” ujar Asma.

Ibunya syok

Hari-hari berikutnya, Asma bertemu dengan banyak rekannya yang muslimah seraya memberitahukan keislamnnya. “Tapi aku belum berani menceritakan pada orangtuaku. Aku takut dan menduga bisa saja dibunuh, gara-gara masuk Islam. Aku minta saran seorang muslimah apa yang musti kulakukan. Kata dia memang sebaiknya tak usah diberitahukan dulu hingga nanti ada waktu yang tepat. Soalnya aku juga masih sangat kecil sekali, baru 14 tahun,” sebut Asma.

Asma akhirnya menceritakan perihal keislamannya kepada sang ibu. “Ibu sangat terkejut dan sempat syok. Namun di hari berikutnya keadaan membaik. Dia bisa menerima berita itu. Ibu juga menyarankan untuk memberitahu ayah. Tapi aku menolak sarannya. Aku masih butuh waktu. Dan ini semua adalah proses,” ceritanya lagi.

Hari-hari berikutnya Asma menghabiskan waktunya dengan belajar tatacara shalat. “Aku belajar sendiri melalui buku-buku hingga aku bisa hafal bacaan di dalam shalat. Subhanallah!,” syukur Asma. Asma juga kadangkala ke mesjid untuk berjumpa rekan-rekannya dan menanyakan hal-hal yang belum dikuasainya.

Mulai pakai jilbab

Waktu terus berjalan dan kadar keimanan Asma pun semakin meningkat. Hingga dia memutuskan untuk mengenakan jilbab. Sesuatu yang awalnya sangat berat sekali bagi Asma. “Aku mulai pakai jilbab kala pergi keluar rumah. Aku mencoba untuk istiqamah,” ujar Asma.

Satu ketika tanpa disadarinya sang ayah melihat kelakuan Asma itu. Asma benar-benar takut kala tahu ayahnya mengamati dia. “Aku takut sekali. Aku takut bakal dimarahi. Dengan segenap kekuatan hati kusampaikan bahwa aku telah masuk Islam dan apa yang kulakukan ini adalah mengikuti perintah Allah. Ayah terpana sejenak. Lalu dia menyebut: “Tidak apa-apa anakku. Tapi sekarang sudah besar dan kamu sudah saatnya memilih. Nak, kamu anak ayah yang paling pintar,” kisah Asma perihal jilbab dan respon ayahnya.

Sejak itu Asma seolah mendapat kekuatan berlipat. Tepat tanggal 11 Juni 2001 diapun mulai mengenakan jilbab di sekolah.

“Hanya 3 hari sebelum ulang tahunku yang ke-15. Jadi ini merupakan hadiah ulang tahun terbesar dalam hidupku. Awaknya aku hendak mengenakannya pas di hari ultah. Tapi batinku mengatakan kenapa musti ditunda sesuatu yang bisa dilaksanakan sekarang. Masha’Allah!,” tukas Asma lagi.

Sejak itu pula Asma berhenti memikirkan pandangan orang lain terhadapnya. Misalnya pandangan aneh kala ada warga yang melihatnya berjilbab dan macam-macam hal lainnya. “Berat memang, tapi rasa percaya diriku benar-benar tumbuh. Aku suka dengan jalan hidupku ini. Terutama setelah berjilbab. Alhamdulillah!,” kata dia penuh percaya diri.

Tak hanya itu, Asma pun mulai berani berdakwah. “Aku mulai menceritakan apa itu Islam kepada ayah setelah sebelumnya hal yang sama juga kuceritakan pada ibu. Aku hanya berusaha, hidayah ada di tangan Allah. Tapi aku yakin satu ketika kedua orangku Insya Allah akan mengikutiku. Amiin,” harap Asma.

“Aku sangat bahagia sebab Allah SWT telah memberiku peluang untuk menjadi seorang muslim dan satu hari nanti, Insya Allah, semoga aku bisa mendapat seorang pendamping hidup yang saleh, menikah dan memiliki anak serta aku akan menjadi guru bagi mereka. Indah sekali rasanya. Aku sangat mensyukuri atas semua karunia ini. Semoga Allah memelihara hidayah ini dan berharap Allah juga segera memberi hidayah untuk kedua orangtuaku,” tutup Asma. [Zulkarnain Jalil/www.hidayatullah.com]

http://www.gaulislam.com/elizabeth-valencia-bersyahadah-melalui-telepon

Memahami Kristen Justru Setelah Masuk Islam

Troy tidak mudah percaya berita di media Barat tentang Islam yang selalu digambarkan secara negatif. Dampaknya ia masuk Islam

Nama saya Troy Bagnall. Usia 22 tahun dan sebentar lagi 23 tahun. Mahasiswa di Arizona State University (ASU), berasal dari Poenix, Arizona. Saya mempelajari film dan media di ASU.

Saya masuk Islam Februari lalu karena berbagai alasan. Saya sudah tertarik dengan Islam cukup lama, karena Islam merupakan topik hangat dalam berita-berita dan peristiwa belakangan ini. Saya tertarik dengan sejarah kuno dan sejarah dunia, serta masalah perang dan politik.

Jika saya mendengar berita mengenai sebuah konflik yang terjadi di berbagai tempat seperti Sudan, Somalia, Palestina, Iraq, Afganistan, Pakistan, Chechnya, Libanon, dan lain-lain, saya akan segera mencari tahu informasi mengenai konflik tersebut sehingga saya bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi pada konflik-konflik itu, sebab media di sini (Amerika) cenderung tidak jelas mengabarkannya secara jujur dan tanpa prasangka apa-apa.

Ketika saya mencari informasi tentang konflik terkait, saya juga tertarik untuk mempelajari sejarah dunia Muslim. Saya menghabiskan waktu dengan belajar sendiri mengenai sejarah dan kebudayaan dunia Muslim. Saya juga mengambil kelas peradaban Islam di ASU. Saat saya belajar sejarah dan kebudayaan dunia Muslim, saya tertarik dengan agamanya, Islam.

Saya dibesarkan sebagai seorang Kristen, tapi berhenti mengamalkan ajarannya sejak usia 15 tahun. Menurut saya pribadi, ajaran Kristen sangat membingungkan dan tidak masuk akal. Masalah doktrin trinitas dan penebusan dosa sangat tidak masuk akal, apalagi mengingat di dalam Bibel juga terdapat ayat-ayat yang bertentangan dengan doktrin itu.

Ketika saya mengambil kelas sejarah Islam, saya bertemu dengan saudara Mohammad Totah yang sangat paham masalah Bibel, Al-Qur’an, dan seluruh 3 agama Ibrahimi lainnya. Kami melakukan banyak diskusi tentang perbandingan agama. Di samping itu saya juga melakukan penelitian sendiri. Saya mendapat lebih banyak pelajaran bagaimana ajaran Kristen itu bertentangan dengan kitabnya sendiri.

Saya juga banyak belajar bahwa begitu banyak ajaran dalam Bibel yang sebenarnya mendukung Islam. Hal lain yang saya temukan adalah, ajaran Barnabas mengabarkan dan menyebut nama akan kedatangan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam. Dan ajaran itu dihilangkan dari dalam Bibel.

Mengenai Qur’an yang sangat mengagumkan dan tidak ada noda sedikit pun, saya mendapati Qur’an itu sangat sederhana dan sangat mudah untuk dipahami. Islam sendiri sangat sederhana dan lugas tanpa ada doktrin yang rumit. Dalam Islam tidak ada kepercayaan buta seperti yang ada dalam Kristen.

Islam mengakui adanya Nabi terakhir, yang tidak ada dalam kepercayaan Yahudi, karena Yahudi mengingkari Nabi yang akan datang, seperti Nabi Isa alaihissalam.

Semakin saya mempelajari Islam, saya memahami ketidakpastian yang dulu saya temui dalam ajaran Kristen. Sebenarnya saya lebih mengetahui banyak tentang Bibel dan ajaran Kristen sejak saya memeluk agama Islam daripada ketika saya masih beragama Kristen.

Sejak menjadi Muslim saya juga merasa lebih dekat dengan Tuhan. Bukan bermaksud meremehkan Kristen, tapi menurut saya agama itu lebih mengajarkan ajaran Paus dan para murid Yesus lainnya dari pada ajaran Yesus (Nabi Isa) itu sendiri.

Saya juga banyak menghabiskan waktu belajar mengenai sejarah-sejarah agama semenjak mereka ada dan penyebarannya ke seluruh penjuru dunia. Saya tahu Islam, yang di Barat dipandang sebagai sebuah ajaran eksotis dari timur. Tapi sesungguhnya Islam mengajarkan apa yang dibawa oleh seluruh nabi yang diutus untuk mengajarkannya, yaitu penyembahan kepada Allah semata. Sangat menyebalkan melihat bagaimana media selalu menggambarkan Islam secara negatif.

Saya memahami jika ada konflik dan kekerasan di beberapa bagian dunia Islam, tapi konflik itu sebenarnya tidak lebih dari masalah politik.

Ya, saya akui sangat berat mempraktikkan ajaran Islam di tempat saya hidup, di Amerika, sementara media di sini terus-menerus selalu menjejali dengan stereotipe negatif atas Islam. Dan agak berat bagi saya karena banyak mahasiswa Amerika yang hidup bebas dan hura-hura. Meskipun demikian hal itu tidak terlalu menjadi masalah bagi saya, karena saya tipe seorang kutu buku.

Saya mendapat banyak pertanyaan dari non-Muslim seputar masalah politik, dan kebudayaan Timur Tengah. Dan saya harus menunjukkan kepada mereka, sangat berbeda antara apa itu Islam dengan ideologi politik dan adat kebiasaan budaya.

Timur Tengah sudah jelas merupakan pusat dunia Islam, tapi sangat menggemaskan juga bagaimana media selalu mengidentikkan Muslim dengan Timur Tengah. Karena Muslim berasal dari berbagai penjuru dunia. Saya kira ada rasisme di sana, sebab Barat sepertinya tidak melihat fakta bahwa Yahudi dan Kristen berasal dari Timur Tengah juga, sebagaimana Islam.

Secara ringkasnya, saya menerima Islam hanya karena saya bersaksi bahwa itu adalah agama yang benar dari Tuhan. Islam itu sederhana, lugas, dan tidak membingungkan.

Saya juga menyukai, bagaimana Islam memiliki ikatan universal di antara para pengikutnya. Islam telah menolong saya menjadi seorang manusia yang lebih baik.

Saya merasa lapang ketika mempraktikkan ajaran Islam. Hal itu membantu saya merasakan hidup yang lebih baik dan membantu saya mengatasi tekanan dan masalah-masalah dalam kehidupan.

Saya sungguh berharap, orang-orang di Barat lebih mendapatkan pendidikan tentang dunia Islam dan memahami Islam itu sesungguhnya, daripada mendengarkan kritik negatif dan tidak sepenuhnya benar seperti yang sering digambarkan media tentang Islam.

Saya berharap, kisah saya ini bisa memberi inspirasi bagi mereka yang tertarik dengan Islam agar mau belajar lebih banyak tentangnya. [di/iol/www.hidayatullah.com]

Moisha Krivitsky, dari Sinagog Pindah ke Masjid

Mengenal Islam karena dimintai pendapat tentang terjemahan Al-Qur’an yang dibuat oleh Krachkovsky

Setiap orang menempuh jalannya masing-masing dalam menuju kebenaran. Bagi seorang Moisha Krivitsky, jalan yang ditempuhnya melewati fakultas hukum, sebuah sinagog dan penjara. Ia seorang calon pengacara yang menjadi rabi, lalu memeluk Islam dan pernah dijebloskan ke penjara.

Sekarang Musa — demikian nama yang yang dipilihnya setelah ia menjadi seorang Muslim, tinggal di sebuah masjid kecil di Al-Burikent, sebuah daerah pegungungan di Makhachkala, dan bekerja sebagai seorang penjaga di Masjid Jami Pusat.

Dalam sebuah kesempatan, kami berbincang-bincang mengenai dirinya, bagaimana ia menjadi seorang Muslim dan tinggal di sebuah masjid.

Musa mengawali ceritanya dengan menyampaikan bahwa ia seperti begitu saja tiba di masjid itu dan kemudian tinggal di sana. Namun sebelumnya ia menempuh perjalan yang cukup sulit.

“Jika Anda mendalami Islam, Anda akan mengerti bahwa Islam adalah agama yang sangat mudah. Namun, perjalanan yang harus ditempuh untuk menuju Islam bisa jadi sangat sulit. Seringkali orang tidak paham mengapa seseorang bisa berpindah agama, memeluk Islam. Islam itu seperti apa yang kita bayangkan dan yang tidak kita bayangkan,” katanya.

Ketika dikatakan kepadanya bahwa seorang rabi pindah agama memeluk Islam adalah sesuatu yang cukup menghebohkan, ia berkata, “Sebenarnya itu sudah tidak lagi menghebohkan — sudah lebih dari satu tahun saya menjadi Muslim. Awalnya memang aneh juga buat saya. Tapi keputusan yang saya buat itu bukanlah keputusan yang tiba-tiba. Sebelum menjadi Muslim, saya membaca buku-buku tentangnya, dan saya pun tertarik.”

“Saya lulus sekolah agama setingkat sekolah menengah atas. Setelah kelulusan saya pergi ke Makhachkala dan menjadi seorang rabi di sana.”

“Saya berasal dari sebuah daerah yang sangat jauh. Tapi sekarang saya sudah seperti menjadi orang Daghestan sejati. Di sini saya punya banyak teman, Muslim dan juga orang-orang yang sangat jauh dari Islam.”

Musa kemudian menceritakan pengalamannya ketika masih di sinagog.

“Ketika itu situasinya cukup paradoks. Ada sebuah masjid di dekat sinagog tempat saya bekerja. Sebuah masjid kota. Kadang-kadang teman-teman saya yang merupakan jama’ah masjid itu datang ke tempat saya, hanya untuk berbincang-bincang. Kadangkala saya pun mendatangi masjid itu, untuk melihat bagaimana peribadatan di sana dilakukan. Saya sangat tertarik. Jadilah kami hidup layaknya bertetangga yang baik. Dan pada suatu saat di bulan Ramadhan, seorang wanita datang mengunjungi saya — yang kemudian saya ketahui berasal dari keluarga yang turun-temurun memeluk Islam. Ia meminta pendapat saya mengenai terjemahan Al-Qur’an yang dibuat oleh Krachkovsky. Sebagai balasannya, ia meminta saya untuk memberikan Taurat. Maka kemudian Al-Qur’an itu saya baca, kira-kira sepuluh kali.”

“Awalnya sangat sulit, tapi kemudian setahap demi setahap saya saya mulai mengerti, dan bisa menangkap ajaran dasar Islam.”

Sejenak Musa menghentikan ceritanya. Ia melihat ke arah seorang putra teman saya, Ahmad kecil yang berusia enam tahun tertidur di pelataran masjid. Ia menyarankan agar bocah itu dipindahkan ke dalam masjid.

Kemudian Musa melanjutkan ceritanya.

“Wanita itu mengembalikan Tauratnya. Menurut dia sangat sulit baginya untuk membaca serta memahami isinya. Sebagaimana membaca literatur agama, diperlukan konsentrasi dan perhatian yang sangat tinggi.”

“Saya menemukan jawaban di Qur’an tentang banyak pertanyaan Tapi tentu tidak semuanya, karena yang saya baca bukan asli bahasa Arab, melainkan terjemahannya.” Jawab Musa ketika ditanya apakah ketika itu ia mulai membandingkan antara Al-Qur’an dengan Taurat.

“Meskipun demikian saya mulai memahami banyak hal,” lanjutnya.

Kami bertanya apakah itu artinya ada pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh Taurat?

“Saya tidak tahu, dalam setiap hal ada yang Allah kehendaki di sana,” katanya.

“Sepertinya, orang-orang Yahudi yang masuk Islam pada jaman Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam, tidak menemukan jawaban di Taurat atas beberapa pertanyaan mereka. Namun, mereka menemukannya dalam Islam. Mungkin juga mereka tertarik akan kepribadian Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam, akhlaknya, dan caranya berkomunikasi dengan orang. Itu semua adalah hal yang penting.”

Lalu pertanyaan seperti apa yang tidak bisa dijawab oleh Taurat?

“Sebelum saya ada kontak dengan Islam, ada pertanyaan-pertanyaan yang bahkan tidak saya upayakan untuk mencari jawabannya. Sepertinya sebuah buku berperan penting di sini, yaitu yang ditulis oleh Ahmad Deedat, cendikiawan yang berasal dari Afrika Selatan. Buku yang membandingkan Al-Qur’an dengan Bibel.”

“Ada satu kalimat kunci, yang sangat dikenal oleh mereka yang akrab dengan masalah-masalah keagamaan, yaitu ikutilah Nabi Muhammad, seorang rasul yang akan datang kemudian. Dan ketika saya mempelajari Islam, saya yakin bahwa Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam, adalah nabi yang benar, yang harus diikuti. Keduanya, Bibel dan Taurat menyuruh kita untuk melakukannya.”

Apakah yang Taurat katakan mengenai nabi yang terakhir itu?

“Kita tidak akan menemukan namanya di dalam Taurat. Tapi, kita bisa mengetahui ciri-cirinya dengan kunci khusus. Sebagai contoh, kita bisa mengetahuinya dengan melihat sejarah orang ini dalam masalah peribadatan. Satu hal yang menggambarkan tentang Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam adalah beliau akan menyembah hanya kepada satu Tuhan saja, Pencipta Tunggal dari dunia ini. Dan Nabi Muhammad cocok dengan ciri-ciri yang diberikan.”

“Ketika saya membaca mengenai hal itu, saya menjadi sangat tertarik. Saya tidak tahu apa-apa tentang Islam sebelumnya. Kemudian saya berusaha mengkajinya lebih dalam, dan mencari tahu apakah ada mukjizat dan tanda-tanda berkaitan dengan nabi itu.”

“Dalam Bibel dikatakan bahwa Tuhan memberikan mujizat kepada para nabi untuk menegaskan tugas khusus yang diberikan kepadanya di mata orang banyak

“Saya bertanya kepada para ulama tenang hal ini, mereka mengatakan, ‘Ini sekumpulan hadits shahih yang menggambarkan mukjizat-mukjizat yang berkaitan dengan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam. Kemudian saya membacanya dan menemukan bahwa beliau sering berkata, ada para nabi dan rasul yang pernah diutus sebelum dirinya.”

“Kita dapat menemukan nama-namanya dalam Bibel dan juga Taurat. Ketika saya mulai tertarik lebih dalam, hal itu kedegarannya seperti aneh bagi saya.”

“Akhirnya, apa yang saya lakukan membawa saya kepada keadaan sekarang ini. Kadang saya berpikir, mengapa saya lakukan ini semua? Mungkin saya harus bertaubat karena punya pikiran seperti itu.”

Kami bertanya kepadanya, setelah menjadi Muslim, apakah ia merasa punya tanggung jawab yang lebih terhadapnya, atau ada perasaan lain.

Musa menjawab, “Ya, ada rasa tanggung jawab. Tapi juga ada yang lain. Saya katakan dengan tegas, ketika seseorang menjadi Muslim, berarti ia menapakkan kedua kakinya ke tanah dengan kuat. Islam sangat membantu orang-orang. Saya tidak jujur jika mengatakan bahwa di Daghestan ini semua adalah Muslim yang sebenarnya.”

“Kadang kami berdiskusi mengenai hal itu di masjid. Saya katakan tidak banyak orang Islam yang benar-benar Muslim di Daghestan. Hanya para ustadz dan murid-muridnya. Selebihnya, kita ini hanya orang-orang yang ‘calon Muslim’. Saya tidak bisa mengatakan bahwa kita ini umumnya telah mengikuti apa yang diajarkan dalam sunnah nabi. Kita hanya berusaha mengikutinya. Dan kita masih banyak tidak melakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Sebaliknya, kita malah berusaha berkelit mencari alasan-alasan yang masuk akal.”

Kenyataan bahwa banyak orang Islam yang tidak memegang teguh dan menjalankan agamanya dengan benar, sempat membuat Musa bingung.

“Kita harusnya berusaha keras menjalankan kewajiban kita. Sulit bagi saya menyaksikan hal ini, kadang saya dibuyarkan oleh apa yang terjadi di sekitar. Saya berusaha mengatasinya, dan kelemahan saya terlihat jelas di sini. Bukan berarti saya putus asa. Tapi saya juga tidak berhak mengatakan bahwa saya sudah menjalankan Islam dengan sebenarnya.”

Ada hal yang ia tidak pernah pikirkan sebelum masuk Islam.

“Ketika saya memutuskan bahwa saya harus menjadi seorang Muslim, saya pikir Islam itu tidak ‘bercabang-cabang’, hanya satu jalan atau seperti sebuah samudera yang tidak terbelah. Tapi kemudian saya menemukan ada beberapa cabang pemikiran dalam Islam. Dan sejak itu mulai muncul beberapa pertanyaan. Cabang-cabang pemikiran itu seperti pusaran air [yang menarik orang masuk ke dalamnya] yang berputar, terus berputar dengan keras. Orang berkata kepada Anda, ‘Lihat, kami mengikuti hadits, hanya kami yang mengerti Qur’an dengan benar’. Lalu Anda mengikuti orang itu, karena Anda pikir orang itu berkata hal yang benar. Dan karena Anda ingin membuat Allah ridha.”

“Tapi beberapa bulan kemudian Anda akan tahu, bahwa semua klaim seperti itu adalah keliru. Allah yang menjadikan kita bisa berbuat baik. Tentu Anda akan berpikir, jika mereka mengaku menempuh jalan yang benar, maka mengapa mereka juga melakukan hal yang salah?”

Kemudian Musa bercerita tentang pengalamannya dijebloskan ke penjara.

“Allah berkehendak atas segala sesuatunya. Dan itu termasuk kehendak Allah.”

“Dari apa yang saya alami selama ini, hidup di balik jeruji besi, mengajarkan sesuatu kepada saya.”

“Beberapa waktu lalu saya melihat sebuah acara di televisi yang menampilkan seorang wakil dari Republik Chechnya di Moskow. Saya lupa namanya, hanya ingat jika namanya itu bagus dan kedengaran seperti nama orang Perancis, seperti Binaud atau semacamnya. Ia mengatakan bahwa penguasa akan melakukan tindakan seperti sebelumnya, yaitu menyatroni rumah-rumah, menyusupkan obat terlarang dan senjata kepada orang-orang [sebagai jebakan]. Kemudian orang akan turun ke jalan melakukan protes. Hal seperti itu sering terjadi di sini.”

“Mereka juga menyusupkannya kepada saya. Kemudian pada malam harinya mereka mendatangi dan membawa saya pergi. Sebelumnya, saya menangkap ada semacam permainan hukum di sini. Saya tidak percaya mereka tega melakukan hal seperti itu. Itu bukanlah cara yang benar. Saya tidak boleh berkata kasar mengomentariya, karena Islam melarang hal itu. Yang pasti Allah Maha Mengetahui, dan orang-orang itu harus mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuatnya di akhirat nanti.”

“Tigabulan di penjara, justru menebalkan iman saya.”
“Saya melihat bagaimana orang-orang bertahan dalam situasi yang sangat parah, baik itu Muslim maupun non Muslim. Seharusnya mereka yang memegang kekuasaan berpikir dengan baik. Bahwa mereka tidak perlu berusaha membasmi Islam dengan cara yang tidak baik.”

Kami bertanya, mungkin saja ia membuat takut penguasa.

Musa menjawab, “Tidak mungkin, bahkan anak kecil saja tidak takut kepada saya.”

Pembicaraan kami terputus ketika adzan yang sangat indah dikumandangkan.

“Apakah ada seorang muadzin di masjid ini?” kami bertanya karena penasaran.

“Ya, namanya Muamat Tarif. Yang barusan kita dengar adalah suaranya,” kata Musa.

“Apakah hanya Anda dan dia yang bekerja di masjid ini?” tanya kami lebih lanjut.

“Sebenarnya hanya dia yang bekerja di sini. Saya masih agak canggung setelah keluar dari penjara. Ia mengijinkan saya tinggal di sini. Agak sulit untuk menceritakannya. Ada sedikit masalah dengan orang-orang yang tinggal satu flat dengan saya. Sepertinya tidak ada saling memahami antara kami. Dan saya mulai melihat mereka agak berbeda,” cerita Musa.

Ingin rasanya mendengar cerita Musa lebih banyak lagi. Tapi tidak baik mencari-cari tahu tentang kehidupan seseorang lebih jauh.

Orang-orang mulai berdatangan ke masjid. Kami pun bangkit dan bergegas untuk bersama-sama menunaikan shalat. [di/msc dengan narasumber/www.hidayatullah.com]

http://www.gaulislam.com/moisha-krivitsky-dari-sinagog-pindah-ke-masjid

Di Ujung Jalan Berliku Terdapat Telaga Kedamaian

Hidupnya penuh liku-liku, keinginannya untuk meraih kebahagiaan membawa Abdullah Al-Kanadi menemukan Islam

Nama saya sekarang Abdullah Al-Kanadi. Nama asli saya adalah Craigh Robertson. Saya dilahirkan di Vancouver, Kanada. Keluarga saya penganut Katolik Roma membesarkan saya sebagai seorang Katolik Roma hingga usia 12 tahun. Sekarang saya sudah menjadi Muslim dan ingin berbagi dengan Anda cerita tentang perjalanan saya menuju Islam.

Semasa kecil saya bersekolah di sekolah agama Katolik. Di sana saya diajarkan tentang kepercayaan Katolik, disamping mata pelajaran lainnya. Prestasi saya di kelas agama sangat baik, secara akademis saya mendapat nilai sangat baik dalam bidang studi ajaran-ajaran gereja.

Sejak di usia sangat dini, orangtua memaksa saya untuk mengikuti kegiatan pelayanan, menjadi “anak altar”, yang mana hal itu sangat membanggakan kakek dan nenek. Namun, semakin saya pelajari, semakin saya mempertanyakan ajaran agama saya.

Ketika saya kecil, dalam sebuah acara misa di gereja, saya bertanya kepada ibu, “Apakah agama kita ini adalah agama yang benar?”

Ibu menjawab dengan jawaban yang masih terngiang di telinga hingga saat ini, “Craig, semua agama sama, semuanya baik.” Menurut saya hal itu keliru. Jika semua agama sama baiknya, maka apa gunanya bagi saya mempelajari agama ini?

Ketika berusia 12 tahun, nenek didiagnosa menderita kanker usus besar. Beberapa bulan kemudian setelah berjuang keras melawan penyakitnya, ia pun meninggal. Saya tidak pernah menyadari seberapa dalam kematiannya mempengaruhi hidup saya, hingga suatu waktu di masa depan.

Pada usia 12 tahun itu juga saya memutuskan menjadi seorang atheis, untuk menghukum Tuhan. Kala itu saya menjadi seorang bocah yang marah. Saya marah kepada dunia, kepada diri sendiri. Dan yang paling parah, saya marah kepada Tuhan.

Di awal usia remaja, saya berusaha menarik perhatian teman-teman di sekolah menengah umum dengan melakukan apa saja. Saya menyadari banyak hal yang harus dipelajari. Sekolah umum sangat berbeda dengan sekolah agama. Saya memaksa teman-teman untuk mengajarkan apa yang tidak saya dapati di sekolah agama. Tak lama kemudian saya pun mempunyai kebiasaan baru. Saya sering menyumpah-nyumpah dan mengolok-olok orang yang lebih lemah dari saya.

Meskipun saya berusaha keras untuk bisa diterima di lingkungan baru, sebenarnya saya tidak pernah berhasil melakukannya. Saya tetap saja dilecehkan, para gadis mengolok-olok dan sebagainya.

Untuk anak seusia saya saat itu, keadaan tersebut sangatlah mengerikan. Akhirnya saya pun menarik diri dari lingkungan. Masa remaja penuh dengan penderitaan dan kesepian. Kedua orangtua berusaha berbicara dengan saya. Namun, saya bersikap memusuhi dan tidak menghormati mereka.

Musim panas tahun 1996 saya lulus sekolah menengah. Saya merasa harus berubah memperbaiki diri. Karena tidak mungkin saya terus menerus berkelakuan buruk.

Saya diterima di sebuah sekolah teknik setempat. Saya bertekad untuk melanjutkan sekolah dan mencari kerja. Menurut saya dengan demikian pasti saya akan bahagia.Saya bekerja di sebuah restoran cepat saji tak jauh dari rumah.

Beberapa minggu sebelum sekolah dimulai, teman kerja mengajak saya untuk pindah tinggal bersama dengan mereka. Bagi saya, ini sepertinya jawaban atas masalah-masalah saya! Saya akan meninggalkan rumah, melupakan keluarga, kemudian berkumpul bersama teman-teman sepanjang waktu.

Suatu malam saya menyampaikan kepada orangtua bahwa saya akan pindah, tinggal bersama teman-teman. Mereka mengatakan tidak boleh. Menurut mereka saya belum siap untuk itu, karenanya mereka tidak mengijinkan. Kala itu saya berusia 17 tahun dan sangat keras kepala. Saya menyumpahi mereka dengan kata-kata kasar — yang akhirnya saya sesali hingga saat ini. Saya merasa bahagia dengan kebebasaan saya, merasa merdeka dan saya bisa mengikuti apa saja kemauan saya. Saya pindah, tinggal bersama teman2 dan tidak bicara dengan kedua orangtua untuk waktu yang cukup lama setelah kejadian itu.

Saya masih sekolah dan bekerja ketika teman sekamar mengenalkan saya dengan mariyuana. Saya langsung menyukainya pada hisapan pertama! Saya mulai menghisapnya sedikit di rumah sepulang kerja untuk menenangkan diri. Tak lama kemudian saya mulai menghisapnya lebih banyak, lagi dan lagi. Hingga pada suatu waktu, pada hari Senin pagi, saya tersadar bahwa saya harus berangkat sekolah. Tak mungkin saya pergi ke sekolah dalam keadaan mabuk. Saya pikir tidak mengapa membolos sehari saja. Esok hari saya akan kembali bersekolah, toh teman-teman tidak akan merindukan saya. Namun, kenyataannya saya tidak pernah kembali ke sekolah sejak hari itu. Saya merasa keadaan saya sangat baik pada masa itu. Saya mencuri makanan di restoran dan saya bisa menghisap mariyuana sesuka hati, jadi untuk apa pergi ke sekolah?

Saya merasa menjalani hidup yang hebat, di tempat kerja saya menjadi “anak bandel” dan para gadis mulai memperhatikan saya. Saya mencoba narkoba yang lebih keras, tapi alhamdulillah, saya diselamatkan dari hal yang sangat buruk. Hal yang sangat aneh adalah, ketika saya tidak mabuk, saya merasa sangat merana. Saya merasa tidak berguna dan sama sekali tak berharga. Saya mencuri barang-barang di tempat kerja dan milik teman agar bisa terus membeli narkoba.

Saya mulai merasa ketakutan terhadap orang-orang di sekitar, dan merasa polisi mengejar-ngejar saya setiap saat. Saya merasa hancur dan perlu mencari solusi. Saya pikir agama dapat membantu saya.

Saya ingat pernah menyaksikan film tentang penyihir, dan menurut saya hal itu tepat untuk saya. Saya membeli buku-buku tentang Wicca dan penyembahan kepada alam. Saya mendapati bahwa ajaran itu menganjurkan untuk menggunakan obat-obat alami, oleh karena itu saya terus mempercayainya. Orang-orang bertanya apakah saya percaya kepada Tuhan. Kami melakukan dialog yang aneh saat “kerasukan”. Ketika itu saya ingat bahwa saya menjawab bahwa saya tidak percaya Tuhan sama sekali. Saya percaya ada banyak tuhan yang tidak sempurna, sama seperti saya.

Ada satu teman yang dekat dengan saya. Ia seorang Kristen yang “terlahir kembali”. Ia selalu menceramahi saya, meskipun saya mengolok-olok kepercayaannya di setiap waktu. Ia adalah satu-satunya teman yang tidak menghakimi saya saat itu, oleh karena itu ketika ia mengajak untuk mengikuti kemah akhir pekan bagi para pemuda saya mengiyakan. Saya pikir, saya akan bisa tertawa terbahak-bahak dengan mengolok-olok mereka para pengikut Bibel. Di malam kedua, mereka melakukan peribadatan di sebuah aula besar. Mereka memainkan berbagai macam musik pujian kepada Tuhan. Saya memperhatikan mereka, tua-muda, laki-perempuan menangis memohon ampun. Saya merasa tersentuh dan mulai mengucapkan doa dengan suara pelan, “Tuhan, saya sadar selama ini telah menjadi orang yang sangat buruk, tolonglah saya, maafkan saya, dan biarkan saya memulainya kembali.” Saya diliputi emosi yang sangat dalam, terasa air mata membasahi pipi. Saat itu saya memutuskan untuk menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Penyelamat saya. Saya mengangkat tangan ke atas dan mulai berputar menari-nari (sungguh-sungguh menari!). Semua orang Kristen di sekeliling saya melihat saya dengan terpana, orang yang selama ini mengolok-olok mereka dan berkata betapa bodohnya mereka yang percaya kepada Tuhan, sekarang menari-nari dan memuja Tuhan!

Saya kembali ke rumah, saya membuang semua narkoba, racun dan para gadis. Saya mulai menyampaikan kepada teman-teman bahwa mereka perlu menjadi pemeluk Kristen dan harus diselamatkan. Saya terkejut mereka menolak ajakan saya, karena sebelumnya mereka selalu mendengarkan kata-kata saya. Akhirnya saya kembali ke rumah orangtua dan mulai menghujani mereka dengan alasan-alasan mengapa mereka harus menjadi penganut Kristen. Mereka penganut Katolik, mereka merasa sudah menjadi orang Kristen. Tapi menurut saya mereka belum menjadi penganut Kristen karena mereka orang Katolik menyembah orang yang dianggap suci. Akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan rumah lagi, namun kali ini dengan alasan yang bagus, dan saya diberi pekerjaan oleh kakek yang ingin menolong saya bangkit kembali dari keterpurukan.

Saya mulai sering mendatangi “rumah pemuda Kristen”, yang merupakan sebuah rumah di mana para pemuda dapat berkumpul, bebas dari tekanan keluarga dan berdiskusi tentang agama Kristen. Saya paling tua di antara para pemuda di sana, sehingga saya menjadi orang yang paling banyak bicara dan berusaha membuat para pemuda itu merasa nyaman. Namun saya merasa seperti seorang penipu, karena saat itu saya mulai kembali minum-minum dan berkencan dengan para gadis. Di siang hari saya bicara tentang Yesus dan kasihnya untuk mereka para pemuda, tapi di malam hari saya mabuk-mabukan. Seorang teman berusaha menasehati dan mengajak saya kembali ke jalan yang benar.

Suatu hari, seorang pemuda membawa seorang temannya yang Muslim ke rumah pertemuan kami. Ia masih sangat muda, saya lupa siapa namanya. Yang saya ingat, teman saya berkata, “Saya membawa teman ini, ia seorang Muslim dan saya ingin menolongnya untuk menjadi seorang penganut Kristen.” Saya sangat kagum dengan bocah Muslim berusia 14 tahun itu. Ia sangat tenang dan ramah. Percaya atau tidak, ia membela dirinya sendiri dan Islam dihadapan sekelompok pemuda Kristen yang “menyerang” dirinya dan Islam! Ketika kami duduk menyampaikan banyak hal dengan mengutip kata-kata dari Bibel dalam keadaan semakin marah dan marah, ia hanya duduk dengan tenang, tersenyum dan menyampaikan kepada kami tentang perbuatan syirik menyekutukan Tuhan, dan tentang kasih sayang dalam Islam. Anak itu seperti seekor kijang di antara kepungan sekelompok hyena. Meskipun demikian, ia sepanjang waktu terus tersenyum ramah, tenang dan penuh hormat. Sungguh tak masuk akal!

Bocah Muslim itu meninggalkan sebuah Al-Qur’an di rak buku, entah ia lupa atau sengaja saya tidak tahu. Tapi saya kemudian mengambil dan mulai membacanya. Saya terkejut terhadap buku itu. Bagi saya buku itu lebih masuk akal daripada Bibel. Saya melemparnya ke sofa dan pergi dengan rasa marah. Tapi setelah membacanya, rasa ragu mulai menghinggapi saya. Saya berusaha melupakan bocah Muslim itu dan berusaha menikmati waktu bersama pemuda-pemuda Kristen di rumah pertemuan. Kelompok pemuda Kristen biasa mengunjungi gereja-gereja yang berbeda di akhir pekan. Mereka menghabiskan waktu pada Sabtu malam di sebuah gereja besar, bukan di sebuah bar. Saya ingat di sebuah acara yang disebut The Well, saya merasa begitu dekat dengan Tuhan dan ingin merendahkan diri kepada-Nya, dan saya ingin menunjukkan rasa cinta saya kepada Sang Pencipta. Saya melakukan apa yang saya rasa wajar, saya bersujud. Saya bersujud seperti apa yang dilakukan orang-orang Muslim ketika mereka beribadah setiap harinya. Meskipun saya belum paham apa yang saya lakukan, saya merasa sangat nyaman. Saya merasa apa yang saya lakukan itu benar melebihi apapun yang pernah saya lakukan. Saya merasa sangat khusyuk.

Saya terus melakukan kegiatan seperti biasa, namun saya mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres.

Pastur selalu mengajarkan bahwa kami harus mengikuti kehendak Tuhan, dan bagi saya tidak ada keinginan lain selain melakukannya, tapi saya tidak tahu caranya. Saya sering berdoa, “Tuhan, jadikan kehendakku adalah kehendak-Mu, dan buatlah aku mengikuti kehendak-Mu,” dan seterusnya. Tapi, setelah itu tidak ada sesuatu pun yang terjadi. Perlahan terasa bahwa saya mulai menjauhi gereja, seiring dengan kepercayaan yang mulai surut. Pada saat itulah, teman baik yang dulu mengajak saya masuk Kristen, bersama seorang teman lainnya memperkosa gadis yang sudah saya pacari selama 2 tahun. Ketika peristiwa itu terjadi saya berada di ruangan lain dan terlalu mabuk untuk bisa mengetahui dan mencegahnya. Beberapa minggu kemudian, terungkap bahwa laki-laki yang mengelola rumah pertemuan remaja Kristen tempat saya berkumpul, pernah berbuat keji kepada seorang teman saya.

Dunia rasanya seperti tercabik-cabik. Saya dikhianati oleh teman dan orang-orang yang seharusnya dekat dengan Tuhan dan bekerja untuk surga. Tak ada lagi yang saya miliki, semuanya hampa. Hidup saya kembali kehilangan arah. Saya hanya bekerja, tidur dan berpesta. Tak lama kemudian saya putus dengan pacar. Rasa bersalah, marah dan sedih berkecamuk menjadi satu dalam diri ini. Bagaimana bisa Sang Pencipta membiarkan terjadi apa yang saya alami selama ini?

Kemudian pada suatu hari, manajer tempat saya bekerja memberitahukan akan ada seorang Muslim yang bekerja bersama kami, ia sangat religius dan sebaiknya kami bersikap sopan padanya. Sejak hari pertama Muslim itu bekerja, ia mulai berdakwah. Ia tidak pernah melewatkan waktu menerangkan tentang Islam kepada kami. Semua orang berkata kepadanya bahwa mereka tidak mau mendengar apapun tentang Islam. Kecuali saya. Jiwa saya menangis, bahkan kepala batu saya tidak mampu menghentikannya. Kami mulai bekerja sama, saling menceritakan dan berdiskusi tentang agama kami. Saya sudah tidak lagi percaya Kristen sama sekali, namun ketika ia mulai bertanya banyak hal, saya merasa sebagai “tentara pembela salib” yang membela agama melawan Muslim itu.

Saya mulai menyadari bahwa saya sedang didorong ke suatu arah, maka saya berdoa terus dan terus kepada Sang Pencipta dan menyerahkan semua kepada-Nya. Saya merasa doa saya sedang dijawab; saya pulang ke rumah dan berbaring di kasur. Kemudian saya merasa harus berdoa, rasanya seperti saya belum pernah berdoa sebelumnya. Saya duduk di atas kasur dan memohon, “Yesus, Tuhan, Budha, atau siapapun Engkau, tolong, tolong bimbinglah saya, saya membutuhkan-Mu! Saya sudah banyak melakukan dosa dalam hidup ini, dan saya membutuhkan pertolongan-Mu! Jika Kristen adalah agama yang benar, maka buatlah saya semakin teguh dengannya. Jika Islam yang benar, maka bawalah saya kepadanya!” Saya berhenti berdoa dan air mata mulai surut, jiwa ini rasanya begitu tentram, saya sudah menemukan jawabannya. Esok harinya saya berangkat bekerja dan berkata kepada saudara Muslim itu, “bagaimana cara ‘menyapa’ mu?” Ia bertanya apa maksud saya. Saya katakan padanya, “Saya ingin masuk Islam.” Ia memandang saya dan berseru, “Allahu Akbar!” Kami berangkulan sekian lama, saya berterima kasih untuk semua kepadanya. Dan saya memulai perjalanan di dalam Islam.

Mengenang kembali apa yang telah terjadi sepanjang hidup ini, saya merasa sepertinya memang dipersiapkan untuk menjadi seorang Muslim. Saya ditunjukkan betapa besarnya ampunan dan kasih sayang Allah. Semua yang terjadi dalam hidup saya memberikan pelajaran. Saya belajar betapa indahnya ajaran Islam yang melarang narkoba, seks bebas dan perlunya hijab. Akhirnya saya berada di jalan yang benar, menjalani hidup dengan tenang, dan berusaha menjadi seorang Muslim yang baik.

Tantangan dalam hidup akan selalu ada, sebagaimana yang saya dan Anda rasakan. Tapi dengan adanya tantangan ini, dengan sakit dalam dada yang kita rasakan, kita menjadi lebih kuat. Kita belajar, dan akhirnya kembali kepada Allah. Kita yang telah menerima Islam dalam hidup ini, sungguh telah mendapatkan berkah dan keberuntungan. Kita diberikan kesempatan, kesempatan untuk mendapat kasih sayang dan ampunan yang sangat besar. Rahmat yang sebenarnya tidak layak kita terima, namun Allah berkehendak untuk memberikannya kepada kita di hari akhir nanti.

Saya telah berdamai dengan keluarga dan mulai kembali menyerahkan hidup kepada kehendak Allah. Islam sungguh sebuah pedoman hidup yang benar. Meskipun kita mendapat perlakuan buruk dari sesama Muslim atau non Muslim, kita harus bersabar dan menyerahkan semuanya kembali kepada Allah.

Jika ada kata yang salah maka datangnya dari saya, dan segala yang benar datangnya dari Allah. Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada nabi Muhammad. Amin. [di, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]

http://www.gaulislam.com/di-ujung-jalan-berliku-terdapat-telaga-kedamaian