Kamis, 01 April 2010

Easa Ashby Memeluk Islam di Usia 13 Tahun

Menjadi muslim di usia muda bukan masalah.Itulah trend baru geliat Islam di kota metropolitan London, Inggris

Hidayatullah.com–Ada fenomena baru di Inggris saat ini di mana pemeluk Islam dari kalangan muda meningkat secara signifikan setiap tahunnya. Usia muallaf baru itu bahkan bisa dibilang sangat belia. Easa Ashby salah satunya. Remaja asal kota London itu memeluk Islam di usianya yang ke-13. Dia tertarik Islam melalui “dakwah” salah seorang anak tantenya. Sepupunya itu, yang masuk Islam pada usia 15 tahun, satu hari mengajak Easa ke rumahnya. Di rumah sepupunya itu Easa diperlihatkan kitab suci Alquran. Berawal dari sana pula dia mulai tertarik belajar Islam. Rasa ingin tahunya tentang Islam membuncah hingga uang jajannya habis untuk beli buku-buku Islam.

o00o

Kenal Islam Melalui Sepupu

Easa saat memeluk Islam baru berumur 13 tahun. Sebelum masuk Islam, saat masih berusia 10 tahun dia seperti bocah-bocah lainnya, melewati kehidupan normal, pergi sekolah, bercengkrama dengan teman-temannya. Ya seperti umumnya anak-anak di sekolah dasar.

Kala di sekolah menengah pertama, salah satu saudara sepupunya yang perempuan berumur kira-kira 15 tahun diketahuinya telah memeluk Islam. Sepupunya itu tiap berkunjung ke rumah saudara-saudaranya yang lain selalu menceritakan kepada sanak keluarganya tentang Islam. Anggota keluarga semua ikut mendengar dan tentu saling beda pendapat satu sama lain. Lalu muncul adu argumentasi dan debat. Menariknya si saudaranya yang baru muallaf itu tidak membantah. Dia lebih banyak diam dan hanya mendengar saja. Tidak mau berdebat secara frontal.

“Satu ketika, kala aku sendirian di rumah, sepupuku itu mengajakku ke rumahnya yang jaraknya cuma 15 menit jalan kaki. Ya itu rumahnya bibi Easa,” kisah Easa. Sesampai di rumahnya, si sepupunya itu menunjukkan pada Easa kitab suci Alquran seraya bertanya apa dia tahu buku apa itu. Spontan Easa menjawab tidak tahu.”

“Serta merta dia menjelaskan persis seperti orang Kristen menjelaskan apa itu Bibel. Aku baru tahu rupanya itu kitab suci umat Islam,” lanjutnya. Kepada sepupunya, Easa menyebut tidak tahu apapun tentang Islam. Agama yang dia tahu cuma Kristen yang sering dia dengar dari ibunya. Ketika itu sepupunya menerangkan tentang Allah SWT dan Nabi Muhammad zang merupakan utusan-Nya. Dan Al-Quran itu diturunkan oleh Allah melalui perantaraan Nabi Muhammad.

Terkesan dengan Al-Quran

Begitulah, Easa menemukan apa yang dia sebut sebagai keajaiban ilmiah di dalam Alquran hingga menggiringnya memeluk Islam. Hari-hari berikutnya dia suka mendengar kisah-kisah para muallaf lain, terutama pengalaman spiritual mereka kala memeluk Islam. Bagi Easa sendiri dia sagat terkesan dengan fakta dan gambaran kehidupan yang diceritakan dalam Alquran, yang nyata serta rasional.

“Misalnya, keterangan yang begitu jelas tentang proses kejadian manusia di dalam rahim seorang ibu. Lalu tentang kejadian jagat raya, bintang-bintang, laut dan aneka keterangan ilmiah lainnya. Menurut aku,? ilmu pengetahuan yang ada hari ini seharusnya berterima kasih atas fakta-fakta ini,” kata dia.

Tentang shalat lima kali sehari, mengikuti anjuran makan makanan halal, dan busana muslim yang menutup aurat, bagi Easa hal itu tidak masalah. Bukan sebuah perkara yang sulit, kata dia. Sepupunya juga menjelaskan hal-hal mendasar dalam Islam. Easa lalu mempelajari dua hal yakni shalat dan satunya tentang etika berbusana menurut Islam. Dia akhirnya memilih untuk fokus pada masalah shalat. Buku-buku tentang tatacara shalat pun dicari lalu dipelajarinya.

Awalnya, dia tidak menceritakan kepada siapapun tentang hal ini. Sebab seperti diakuinya, dia belum begitu siap jika ada komentar atau kritikan. Dia mengaku sangat belia sekali, belum siap secara mental. Easa bahkan punya obsesi untuk pergi ke Mesir dan Yaman supaya bisa mempelajari Islam lebih mantap. Tapi keinginan itu disimpannya dulu dalam-dalam. Takut nanti bermasalah. Sebab, selain sepupunya itu, dia tak punya kenalan lain yang beragama Islam.

Uang jajan untuk beli buku Islam

Rasa ingin tahunya tentang Islam makin membuncah. Hingga uang jajan habis untuk beli buku di sebuah toko buku Islam di kotanya. Buku yang dia beli berisi penjelasan shalat, puasa, buku-buku tauhid, kehidupan Rasulullah dan kisah para sahabatnya.

Setelah tiga atau empat bulan belajar secara otodidak, dia mengunjungi pengajian yang sering diadakan di kediaman Syeikh Abdur Rahman di selatan kota London . Pengajian yang berlangsung di ruang tamu sang ustaz itu sangat menarik. Para pengunjung, yang umumnya adalah para muallaf, terlihat sangat menikmati ceramah Syekh Rahman. Easa mengaku sangat terinspirasi dengan pengajian tersebut. Dia mendapat banyak sekali masukan hal-hal mendasar dalam Islam.

Dia berusia 15 tahun pada saat mulai belajar tentang Islam secara terbuka dan intensif. Pada saat bersamaan Easa punya teman yang juga baru masuk Islam dan karena itu mereka saling mengisi satu sama lainnya. Bahkan kala ke mesjid pun mereka sering berdua.? Hanya saja kala di sekolah mereka kerap mendapat kesulitan untuk ke mesjid untuk shalat Jumat, karena bertubrukan dengan jam sekolah.

Meskipun dia baru kenal Islam di usia yang sangat belia, namun dia tidak melihat Islam sebagai agama yang keras atau penghalang aktifitasnya. Justru dia merasa Islam sangat menarik. Dari situ dia tahu kenapa alkohol itu haram. Masuk akal, menurut Easa, Islam melarang alkohol. Sebab hampir semua perbuatan buruk berawal dari sana .

Tetap berinteraksi dengan non muslim

Di rumah Syeikh Rahman Easa banyak mendapat informasi misalnya hal apa yang dibolehkan dan diharamkan. Begitupun dia terkesan dengan Islam yang tak pernah membeda-bedakan golongan atau kelompok. Jadi dia masih tetap bisa berinteraksi dengan rekan-rekannya yang non muslim. Namun jika rekan-rekannya itu mengajaknya ke tempat yang dilarang Islam, misal ke pub atau ke bar untuk minum-minum, dia serta-merta menolaknya.

“Aku tidak mengisolasikan diri dengan teman-teman yang non-muslim. Begitupun aku tetap berpijak pada Islam jika ada yang tak berkenan dalam pertemanan kami. Misalnya, aku tak mau lagi terlibat dalam suasana ghibah (membicarakan keburukan orang lain).

“Informasi tentang kebenaran Islam tak cukup dari mendengar saja. Tapi kita harus berusaha terus mencari dan mencari. Tidak boleh malas. Dan, jalan terbaik untuk mendapatkan pengetahuan Islam adalah melalui Alquran dan hadist, terutama hadist Bukhari dan Muslim,” anjur Easa terutama bagi para muallaf baru. Dia juga menganjurkan untuk mempelajari kehidupan para sahabat Rasulullah. Karena merekalah yang melihat langsung cara hidup Rasul dan mempraktekkannya dalam kehidupan harian. Para sahabat menerima Islam langsung dari tangan pertama, yakni Rasulullah.

“Saat ini ada jarak yang sangat jauh sekali. Kita telah banyak meninggalkan sunnah-sunnah Nabi. Sehingga muncul berbagai amalan tanpa mengaju kepada ajaran dasar Islam. Muncul pula konflik dalam tubuh umat Islam akibat melakukan sesuatu tanpa pengetahuan yang cukup. Kini krisis ummat harus diselesaikan dengan kembali ke ajaran yang sebenarnya. Jangan lagi terkotak-kotak. Sunnah Rasul adalah cara hidup terbaik,” pesan remaja belia itu lagi.

Krisis Identitas Islam

Easa mengamati sebagain besar pemuda Islam seakan kehilangan pegangan. “Mereka telah lepas kontrol dan jadi korban budaya tak beradab. Ironisnya mereka mengikuti cara hidup orang lain dan meinggalkan cara hidup Islam. Easa sendiri mengaku sangat beruntung bisa mendapatkan jalan hidup Islam di saat masih sangat belia, di usia 13 tahun. Sehingga semua yang dipelajarinya mudah terserap dan berkesan dalam hati. Rasa ingin tahunya yang besar membuat Easa selalu menghadiri setiap pengajian yang diadakan di rumah Syekh Rahman. Bahkan dia punya cita-cita untuk bisa jadi penghafal (hafiz) Alquran satu saat nanti.

Menjadi muslim di usia sangat muda bukannya tanpa masalah. Apalagi di kota London yang serba metroplit. “Masalah yang sangat kentara adalah di kala melamar pekerjaan. Walau dikatakan tak ada perbedaan dari segi agama atau kelompok, tapi kenyataannya ketika seorang muslim melamar sebuah pekerjaan maka ada banyak kesulitan yang bakal dihadapi. Akhirnya, tentu saja muncul rasa putus asa,” kata Easa.

“Lain halnya jika yang melamar non muslim. Mereka sangat gampang mendapatkannya. Sebab agamanya sama dengan yang menawarkan pekerjaan. Ini kenyataan lapangan yang tak bisa dibohongi. Jadi rasisme itu masih dan terkadang sangat kentara. Mungkin ini yang masih harus terus diperjuangkan oleh umat Islam disini,” imbuh dia lagi.Terhadap masalah itu Eesa menganjurkan pada muallaf baru untuk menahan diri dan sabar.

“Yang paling penting, jangan mudah marah hanya gara-gara hal itu. Apalagi sampai mebuat kerusuhan. Ini tidak baik bagi umat Islam sendiri. Sabar, jangan cepat marah dan jangan frustasi,” saran Easa bijak. Dia, secara khusus, menyarankan agar pimpinan komunitas Islam di Inggris untuk bersatu padu. Sekarang ini, menurut dia, tema-tema tentang menjadikan Inggris sebagai negara Islam sudah tak pada tempatnya lagi. Yang ada hanya perpecahan dan muncul bahaya yang lebih parah dimana Islam bakal tak mendapat tempat lagi.

“Sekarang bukan masanya lagi bicara tentang hal itu (negara Islam-red). Konon lagi di Barat. Jika semua sudah melaksanakan Islam secara sempurna itu akan datang dengan sendirinya. Mari belajar dan jalankan Islam secara benar. Tak ada yang baru dalam Islam karena Islam sudah sangat sempurna. Masalah yang muncul hari ini justru karena ketelodoran umat Islam sendiri, karena salah paham dan salah dalam pengamalannya,” tukas Easa panjang lebar. [Zulkarnain Jalil/www.hidayatullah.com]

Aku Tinggalkan Anak-anakku Demi Islam

Meski pedih, ia hancurkan rasa cinta kepada dua putranya tersayang, karena Kavita lebih memilih cintanya kepada Islam

Namaku dulu adalah Kavita, dan nama panggilanku Poonam. Setelah memeluk Islam, aku bernama Nur Fatima. Usiaku 30-an tahun. Tapi aku merasa baru berumur lima tahun, karena pengetahuanku tentang Islam tidak melebihi pengetahuan anak usia 5 tahun.

Aku dulu bersekolah di Mumbai, di sebuah sekolah yang cukup besar khusus untuk anak-anak dari keluarga bangsawan. Kemudian aku melanjutkan pendidikan ke Universitas Cambridge. Setelah menyelesaikan program master, aku mengambil banyak kursus komputer.

Aku menyesal, banyak gelar duniawi yang sudah diraih, tapi aku belum melakukan apapun untuk kehidupan akhirat. Sekarang aku ingin melakukan sesuatu untuk akhiratku.

Lingkungan tempat aku dibesarkan, adalah lingkungan Hindu ekstrimis yang sangat membenci Islam. Keluargaku bagian dari dari organisasi Hindu garis keras, Shiv Sena.

Aku menikah di Mumbai, dan memiliki dua orang putra. Bersama suami dan anak-anak, kami kemudian pindah ke Bahrain.

Aku memeluk Islam setelah menikah, tapi aku sudah tidak meyukai menyembah dewa-dewa pujaanku sejak aku beranjak dewasa. Aku ingat, suatu hari aku membuang sesembahanku ke kamar mandi. Ketika ibu menegur aku, kukatakan padanya bahwa benda-benda itu tidak bisa melindungi diri mereka sendiri. Jadi mengapa kita meminta berkah dari mereka, menyembah mereka. Apa yang bisa mereka berikan kepada kita?

Ada sebuah ritual di keluarga kami, jika seorang gadis sudah menikah, maka ia membasuh kaki suaminya, lalu meminum air basuhannya. Tapi aku menolak melakukan hal itu sejak hari pertama menikah. Karena itu aku dimarahi habis-habisan.

Ketika masih sendiri aku pernah mengikuti sekolah pendidikan guru, dan aku suka mengendarai mobil sendirian. Aku kadang mengunjungi sebuah Islamic Center terdekat. Di sana, aku mendengarkan pembicaraan orang, dan akhirnya mengetahui bahwa orang Islam tidak menyembah dewa.

Mereka tidak mencari karunia dari seseorang yang lain. Mereka tidak punya Baghawan. Aku suka cara pandang mereka. Pada akhirnya aku mengetahui, yang mereka sembah ternyata adalah Allah, Yang Mengurus segala sesuatu.

Aku terkesan sekali dengan shalat. Awalnya aku tidak tahu itu adalah cara orang Islam berdoa. Yang aku tahu orang Islam sering melakukannya. Dulu kusangka itu semacam olahraga. Aku baru mengetahui gerakan itu dinamakan shalat ketika mulai mengunjungi Islamic Center.

Aku sering bermimpi setiap kali tidur. Aku melihat ada sebuah ruangan persegi empat. Mimpi itu selalu mengganggu tidurku dan membuat aku terbangun dalam keadaan berkeringat. Ruangan yang sama selalu muncul dalam mimpi ketika aku tidur kembali.

Setelah menikah aku pindah ke Bahrain, tempat yang membantu aku memahami Islam dengan lebih baik. Karena itu adalah sebuah negara Muslim, maka aku dikelilingi oleh tetangga Muslim. Aku berteman dengan seorang Muslimah. Ia jarang mengunjungiku, tapi aku sering mengunjunginya.

Suatu hari ia melarang aku mengunjungi rumahnya, karena waktu itu bulan Ramadhan, bulan untuk beribadah. “Ibadahku terganggu karena kamu berkunjung ke rumah,” begitu katanya.

Aku sangat ingin tahu tentang ibadah ritual yang dilakukan orang Islam. Oleh karena itu aku memintanya untuk tidak melarangku berkunjung ke rumahnya. Aku berkata, “Lakukan saja apa yang ingin kamu lakukan. Aku hanya akan melihat apa yang kamu lakukan. Aku tidak akan berkata apapun, dan hanya akan mendengar apa yang kamu baca.” Maka ia pun tidak melarangku berkunjung ke rumahnya.

Ketika aku melihatnya sedang beribadah, aku tertarik untuk menirukannya. Kemudian aku bertanya padanya tentang “gerak badan” itu. Ia memberitahu, itu namanya shalat. Dan buku yang selalu ia baca, adalah kitab suci Al-Quran.

Aku berharap bisa melakukan semua yang ia lakukan. Aku pulang ke rumah dan mengunci diri dalam kamar. Aku meniru semua apa yang dilakukan temanku secara diam-diam, meskipun aku tidak tahu banyak mengenai hal itu.

Suatu hari aku lupa mengunci kamar dan melakukan shalat, ketika itu suamiku masuk. Ia bertanya, apa yang aku lakukan. Aku bilang, “Aku melakukan shalat.” Ia pun berkata, “Apakah kamu masih waras? Kamu tahu apa yang kamu katakan?”

Awalnya aku ragu. Mataku terpejam dan ketakutan. Tapi tiba-tiba, aku merasa ada sebuah kekuatan besar dalam diriku, yang membuat aku berani untuk menghadapi situasi saat itu. Aku berkata bahwa aku sudah memeluk agama Islam, dan karena itu aku melakukan shalat.

Suamiku berseru, “Apa?! Apa kamu bilang? Coba kamu katakan sekali lagi?” Aku mengulangi ucapanku, sambil memberi tekanan, “Ya! Aku masuk Islam.” Mendengar hal itu ia langsung memukuli aku.

Kakakku mendengar suara ribut-ribut dan mendatangi kami. Ia berusaha menyelamatkan aku. Tapi, ketika suamiku menceritakan semuanya, ia pun maju dan ikut memukuli aku.

Aku berusaha menghentikannya dengan berkata, “Kamu tidak perlu ikut campur. Aku tahu apa yang baik dan apa yang buruk buatku. Aku telah memilih jalanku.”

Mendengar perkataanku itu, suamiku semakin naik pitam. Ia menyiksaku sedemikian rupa hingga aku tidak sadarkan diri.

Ketika itu semua terjadi, kedua putraku berada di rumah. Saat itu putra pertamaku berusia 9 tahun dan adiknya 8 tahun.

Tapi setelah peristiwa itu, aku tidak diperbolehkan bertemu siapapun. Aku dikurung dalam sebuah ruangan. Meskipun sebenarnya belum benar-benar memeluk Islam, tapi aku selalu mengatakan bahwa aku telah masuk Islam.

Suatu malam, ketika aku masih dikurung, putra sulungku datang dan menangis dalam pelukanku. Aku bertanya, kemana anggota keluarga yang lain. Ia bilang mereka semua pergi mengunjungi sebuah acara. Tak ada seorang pun di rumah. (Malam itu ada sebuah festival keagamaan).

Putraku minta agar aku kabur dari rumah, karena keluargaku akan membunuhku. Aku katakan padanya, bahwa hal seperti itu tidak akan terjadi. Mereka tidak akan menyakiti aku. Dan kukatakan pada putraku, agar ia menjaga dirinya sendiri dan juga adiknya.

Tapi ia terus memaksa dan memohon agar aku meninggalkan rumah. Aku berusaha membuatnya mengerti, jika aku pergi maka aku tidak bisa bertemu dirinya dan adiknya. Namun ia menjawab, aku akan bisa menemui mereka jika aku masih hidup. “Pergilah mama, mereka akan membunuhmu,” katanya.

Akhirnya aku memutuskan untuk pergi. Aku tak bisa melupakan peristiwa itu, ketika putra pertamaku membangunkan adiknya dan berkata, “Bangunlah. Mama akan pergi meninggalkan rumah. Temuilah ia sekarang, karena kita tidak tahu apakah kita akan berjumpa lagi dengannya atau tidak.”

Itu pertama kali si bungsu melihatku setelah kami tak jumpa sekian lama. Ia mengusap-usap matanya ketika melihatku. Ketika aku mendekatinya, ia pun memelukku dan menangis tersedu-sedu. Anak-anak mungkin sudah mengetahui semuanya. Ia hanya berkata, “Mama akan pergi?” Aku hanya mengangguk, dan meyakinkannya jika kami akan bertemu lagi.

Aku merasa meremukkan cinta seorang ibu dengan kakiku. Di satu tangan aku menggenggam cinta anak-anakku, dan di tangan lain aku menggenggam cintaku pada Islam yang akan menggantikannya. Aku merintih dan memeluk erat anak-anakku. Aku berusaha menghancurkan cintaku pada mereka.

Luka-lukaku masih segar, aku tidak bisa berjalan. Namun aku berusaha untuk melakukannya.

Kedua putraku menyaksikan kepergianku malam itu, di malam yang gelap dan dingin. Mereka melambaikan tangan sambil menangis di pintu gerbang.

Aku tidak bisa melupakan saat-saat itu. Setiap kali aku mengingatnya, aku teringat orang-orang yang telah meninggalkan rumah dan keluarga mereka demi untuk Islam.

Setelah meninggalkan rumah, aku langsung menuju ke kantor polisi. Masalahku saat itu, mereka tidak mengerti bahasaku. Untungnya, seorang di antara mereka bisa berbahasa Inggris.

Saat itu aku sulit bernapas dan tidak bisa bicara karena gemetaran. Aku memintanya agar mengizinkanku beristirahat sampai aku bisa memulihkan keadaanku.

Tak lama kemudian aku pun pulih. Aku katakan padanya kalau aku meninggalkan rumah dan ingin memeluk Islam. Aku ragu-ragu untuk menceritakan semua kejadian yang sebenarnya. Namun polisi itu berusaha menenangkanku dan berkata bahwa ia seorang Muslim, ia akan membantuku semaksimal mungkin. Kemudian aku diajak pulang ke rumahnya dan diberi tempat menginap di sana.

Pagi harinya, suamiku mendatangi kantor polisi meminta bantuan. Ia mengatakan bahwa istrinya telah diculik. Tapi kemudian dikatakan kepadanya bahwa istrinya tidak diculik. Istrinya datang sendiri ke kantor polisi. Karena ia ingin memeluk Islam, maka suaminya tidak lagi memiliki hubungan dengannya karena berbeda agama. Jadi istrinya tidak boleh pergi dengannya.

Suamiku memaksa, dan mulai mengancam. Tapi aku sendiri menolak untuk pergi bersamanya. Aku mengatakan bahwa ia boleh mengambil semua perhiasanku, tabungan, dan rumah milikku. Tapi aku tidak akan pergi dengannya.

Awalnya ia tidak menyerah. Namun, karena melihat kegigihanku menolaknya, ia pun minta dibuatkan pernyataan tertulis bahwa ia mendapatkan semua harta bendaku.

Polisi yang menolongku berkata bahwa sekarang keluargaku tidak bisa menyakitiku lagi, dan aku bisa memeluk Islam. Aku berterima kasih padanya, lalu pergi ke rumah sakit, karena seluruh badanku penuh dengan luka.

Aku tinggal beberapa hari di rumah sakit. Suatu hari seorang dokter bertanya, “Dari mana asalmu? Tidak ada seorang anggota keluarga pun yang datang menjengukmu ke rumah sakit.” Aku diam, tidak menjawab. Sebab aku meninggalkan rumah karena mencari satu hal. Dan sekarang aku tidak memiliki rumah atau keluarga. Yang aku miliki hanya Islam.

Polisi Muslim yang menolongku, ia memanggilku sebagai seorang saudara perempuan. Dan ketika aku berada di rumahnya, ia memperlakukanku seperti saudara kandungnya. Ia telah memberiku tempat berteduh di malam yang dingin, ketika aku kehilangan seluruh keluargaku. Aku tidak akan pernah melupakan jasanya.

Dan ketika aku berada di rumah sakit, aku bingung. Apa selanjutnya yang harus aku lakukan? Kemana aku harus mencari tempat berlindung yang aman.

Setelah keluar dari rumah sakit, aku langsung pergi ke Islamic Center. Saat itu tidak ada seorang pun, hanya ada seorang bapak tua yang sepertinya tinggal di sana. Aku menemuinya, dan kukatakan maksud kedatanganku. Sejenak ia merasa ragu, lalu berkata, “Nak, sari ini bukanlah pakaian seorang Muslimah. Pergi dan pakailah kerudung, tutupilah dirimu sebagaimana orang Muslim.”

Aku mempunyai sisa uang yang kubawa ketika meninggalkan kantor polisi. Kubeli seperangkat pakaian dengan uang itu, lalu kembali ke Islamic Center.

Pak tua itu mengajariku cara berwudhu. Setelah aku berwudhu, ia membawaku ke sebuah ruangan. Ketika memasuki ruangan itu, aku melihat sebuah gambar tergantung di dinding. Aku terdiam, karena aku melihat ruangan seperti yang ada dalam mimpiku. Seketika aku berseru, “Ini yang sering aku lihat dalam mimpiku. Yang selalu mengganggu tidurku.”

Pak tua tersenyum, ia berkata bahwa itu adalah rumah Allah. Muslim dari seluruh penjuru dunia datang ke rumah itu untuk melakukan haji dan umrah. Namanya Baitullah. Aku terkejut mengetahuinya. Aku pun bertanya, “Apakah Allah tinggal di sebuah rumah?” Ia menjawab, pertanyaan-pertanyaanku dengan senyum dan penuh perhatian. Sepertinya ia tahu banyak tentang Islam.

Aku tidak mengalami kesulitan berbicara dengannya. Ia menjelaskan setiap hal dalam bahasa ibuku. Aku merasakan kebahagiaan yang aneh saat itu.

Ia membimbingku mengucapkan syahadat. Kemudian menjelaskan tentang Muslim dan Islam. Setelah itu aku merasa tidak takut dan juga tidak ada beban dalam pikiranku. Aku merasa diriku sangat cerah. Rasanya seperti berenang di tempat kotor, lalu pindah ke dalam air yang jernih.

Pengelola Islamic Center itu mengangkatku sebagai anak, dan membawaku pulang ke rumahnya. Beberapa waktu kemudian ia pun menikahkah aku dengan seorang Muslim. Keinginan pertamaku saat itu adalah melihat rumah Allah. Lalu aku pun pergi melakukan umrah.

Setelah aku memeluk Islam, aku tidak pernah kembali ke India, dan aku pun tidak ingin pergi ke sana. Keluargaku mempunyai hubungan dengan organisasi-organisasi politik dan Hindu di sana. Mereka bahkan telah menawarkan sejumlah uang untuk kepalaku.

Dulu aku diberitahu bahwa mujahidin adalah orang-orang yang suka menindas. Dan mereka sering melakukan penindasan melewati batas. Kami dibuat agar membenci mujahidin. Tapi sekarang aku telah mendapatkan kebenaran, dan aku mencintai mereka. Kuucapkan doa untuk mujahidin dalam setiap shalatku.

Aku juga berdoa kepada Allah, jika Ia mengaruniaiku dengan anak-anak laki-laki, aku akan sangat bahagia jika melihat mereka ada dalam barisan para mujahid. Aku akan mempersembahkan mereka untuk kejayaan Islam. Insya Allah.[di/iw/www.hidayatullah.com]

http://www.gaulislam.com/aku-tinggalkan-anak-anakku-demi-islam

Kegundahan Hati Charles Le Gai Eaton

Ia mengenal kata 'Tuhan' untuk pertama kalinya dari pengasuh anak yang bekerja di rumahnya.

Charles Le Gai Eaton hanyalah sebagian kecil dari jajaran diplomat Kerajaan Inggris yang memilih Islam sebagai jalan hidup. Ia memutuskan memeluk Islam pada 1951, setelah menempuh pencarian yang panjang. Sejak saat itu dia menyandang nama baru Hassan Abdul Hakeem. Namun, dalam berbagai kesempatan ia kerap menggunakan nama Hassan Le Gai Eaton.

Ia lahir di Swiss pada 1921, saat perjanjian damai untuk mengakhiri Perang Dunia pertama ditandatangani. Meski lahir di Swiss, namun ia bukan orang Swiss. Kedua orang tuanya berkebangsaan Inggris. Ayah Eaton adalah seorang tentara Inggris yang dikirim ke Swiss. Mereka adalah pemeluk Kristen. Kendati demikian, Eaton tumbuh dan dibesarkan sebagai seorang agnostik oleh orang tuanya.

Ia mengenyam pendidikan di Charterhouse dan King's College, Cambridge. Di sana, ia bekerja selama beberapa tahun sebagai pengajar dan jurnalis di Jamaica dan Mesir, sebelum akhirnya memutuskan bergabung dengan British Diplomatic Service (Dinas Diplomasi Inggris). Dia juga pernah menjadi konsultan Pusat Budaya Inggris di London.

Di negara asalnya, Eaton dikenal luas berkat karya-karya tulisnya yang indah, puitis, dan bagus. Buku-bukunya antara lain Islam and the Destiny of Men (Islam dan Tujuan Manusia), King of the Castle (Raja Istana), dan Remembering God (Mengingat Tuhan). Buku-buku karya Charles Le Gai Eaton itu telah mengubah hidup beberapa orang. Bahkan, bukunya juga memegang rekor tertinggi di bidang ilmu pengetahuan dan literatur.

Surat kabar The Sunday Times edisi Februari 2004 dalam sebuah artikelnya menulis bahwa tulisan-tulisan mantan diplomat Inggris ini banyak menginspirasi masyarakat non-Muslim Inggris untuk masuk Islam. Eaton menerima surat dari banyak orang yang tidak setuju dengan Kristen yang semakin kontemporer dan mencari agama lain yang tidak begitu berkompromi dengan kehidupan modern.

Perkenalan Eaton dengan agama Islam terjadi begitu saja, tanpa ia sadari. Saat itu usianya masih belasan tahun. Ia mengenal Islam dari seorang wanita muda yang dipekerjakan oleh ibunya sebagai pengasuh anak. Pengasuhnya ini, terang Eaton sebagaimana dilansir situs Islamreligion, memiliki ambisi menjadi seorang misionaris di Arab Saudi.

''Dia kerap menyebut bahwa dirinya harus menyelamatkan jiwa-jiwa yang tersesat, yakni orang-orang yang disebutnya sebagai kafir Muslim,'' terang Eaton menjelaskan tentang sikap pembantunya itu.

Suatu hari, kata Eaton, pengasuhnya ini mengajaknya jalan-jalan hingga mereka melewati penjara Wandsworth (saat itu keluarganya tinggal di wilayah Wandsworth, selatan London). Sepanjang perjalanan sang pengasuh mengatakan kepada Eaton berbagai hal yang menakutkan mengenai keberadaan seseorang berambut merah di langit sana, yang sewaktu-waktu siap menembak dirinya jika ia nakal.

Kisah mengenai perjalanan itu kemudian ia sampaikan ke ibunya, setelah tiba di rumah. ''Aku tidak ingat apa yang dikatakannya untuk menghibur saya, tapi gadis itu segera diberhentikan. Namun, inilah kali pertama saya mendengar mengenai keberadaan Tuhan,'' paparnya.

Peristiwa tersebut mendorong orang tuanya untuk mengirim Eaton ke sekolah berasrama, Charterhouse. Di sekolah barunya ini, ia banyak mendapatkan pengajaran tentang ajaran Kristen dan kitab suci mereka. Di sinilah ia mulai secara intens bersentuhan dengan dogma-dogma agama. Pada akhirnya, Eaton mulai merasakan ketertarikan terhadap ilmu filsafat. Secara rutin, ia mulai membaca karya-karya Descartes, Kant, Hume, Spinoza, Schopenhauer, dan Bertrand Russell, atau membaca karya-karya yang menjelaskan ajaran-ajaran mereka.

Setelah menamatkan pendidikan di Charterhouse, ia mendaftar di King's College, Cambridge. Saat menempuh pendidikan di King's College ini, ia berkenalan dengaan novelis Inggris, Leo H Myers. Karya-karya Myers banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Hindu Vedanta. Namun, Perang Dunia Kedua (PD II) yang berkecamuk pada 1939, memaksanya meninggalkan bangku sekolah dan ikut program wajib militer. Ia kemudian dikirim ke Akademi Militer Kerajaan di Sandhurst. Pendidikan militer ini ia tempuh selama lima bulan.

Selepas dari kemiliteran, Eaton mulai menulis. Banyak hal yang ia tulis saat itu, di antaranya mengenai ajaran Vedanta, Taoisme, dan Budhisme Zen. Karya-karya awalnya ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran penulis-penulis Barat, termasuk Leo Myers. Tulisan-tulisannya ini kemudian ia terbitkan sebagai sebuah esai dengan judul The Richest Vein.

Saat The Richest Vein diluncurkan, Eaton telah meninggalkan Inggris menuju Jamaica. Salah seorang teman sekolah, menawari Eaton sebuah pekerjaan sebagai penulis di Jamaica. Namun, pekerjaan tersebut hanya dijalaninya selama 2,5 tahun. Karena alasan keluarga, ia memutuskan kembali ke Inggris.

Belajar Islam

Saat kembali ke Inggris ini Eaton menerima dua buah surat dari penggemarnya yang diketahuinya kemudian hari juga banyak membaca karya-karya Rene Guenon, seorang penulis sufisme Islam. Karena tertarik pada isi surat tersebut, kemudian ia memutuskan untuk bertemu dengan mereka. ''Mereka mengatakan bahwa saya bisa menemukan apa yang jelas-jelas saya cari selama ini, tidak di India atau Cina tetapi dalam dimensi sufi Islam,'' jelasnya mengenai ungkapan penggemarnya itu.

Maka sejak saat itu, Eaton mulai membaca tentang Islam dengan semakin meningkat minatnya terhadap sufisme Islam. Perubahan yang terjadi padanya ini mendapat reaksi keras dari seorang teman dekatnya yang bekerja di Timur Tengah. Sang sahabat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap keinginan Eaton untuk mendalami Islam. Sahabatnya ini banyak bercerita mengenai ajaran Islam yang tidak rasional, erat dengan kekerasan, dan sejumlah keburukan lainnya yang banyak disematkan oleh dunia Barat.

Pada saat bersamaan, perubahan juga terjadi dalam kehidupan ekonomi Eaton. Sekembalinya di Inggris, ia tidak memiliki pekerjaan dan hidup dalam kemiskinan. Ia mengajukan surat lamaran tiap kali membaca iklan lowongan kerja. Salah satunya adalah surat lamaran yang ditujukan kepada Universitas Kairo untuk posisi asisten dosen jurusan Sastra Inggris. ''Ini hal terbodoh yang pernah aku lakukan,'' ujarnya membatin.

''Bagaimana mungkin aku yang lulusan Cambridge jurusan sejarah dan buta sama sekali mengenai sastra sebelum abad ke-19 bisa diterima. Karena bagaimanapun mereka pasti akan mempekerjakan seseorang yang memiliki kualitas,'' ungkapnya.

Akhirnya pada Oktober 1950, saat usianya menginjak 29, Eaton berangkat ke Kairo. Di antara rekan-rekan kerjanya di Universitas Kairo adalah seorang Muslim berkebangsaan Inggris, Martin Lings, yang telah lama menetap di Mesir. Lings merupakan salah seorang teman Rene Guenon yang juga merupakan teman dari dua orang penggemar karya-karyanya. Tali pertemanan pun kemudian terjalin di antara Eaton dan Lings. Di luar waktu kerja, Eaton kerap berkunjung ke rumah Lings yang berada di luar Kota Kairo.

Dari interaksi yang kerap dilakukannya bersama Lings, ia banyak mengetahui mengenai ajaran Islam lebih jauh. Ketertarikannya terhadap Islam semakin menggebu-gebu, setiap kali ia menyampaikan mata kuliah di hadapan para mahasiswanya. Kendati demikian, keragu-raguan masih menghinggapi dirinya.

''Padahal, saat itu saya mulai benar-benar bisa menikmati kehidupanku di Kairo. Tapi, satu pertanyaan yang menuntut sebuah jawaban tegas tengah menanti di hadapanku di saat yang bersamaan,'' ujarnya.

Setelah berpikir masak-masak, Eaton akhirnya datang menemui rekan kerjanya, Martin Lings. Di hadapan rekannya itu, ia menumpahkan seluruh kegundahan hatinya dan meminta Lings untuk membimbingnya membaca kalimat Syahadat, sebagai tanda bahwa ia menerima Islam sebagai agamanya yang baru. ''Meskipun pada awalnya ragu-ragu, ia melakukannya,'' kenang Eaton.

Rasa takut sekaligus bahagia, ungkap Eaton, menjalari sekujur tubuhnya. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, sambung dia, dirinya memanjatkan doa kepada Sang Pencipta. Maka resmilah ia menjadi seorang Muslim bertepatan dengan bulan Ramadhan 1951. Keesokan harinya, terang Eaton, ia memutuskan untuk ikut berpuasa. ''Sesuatu yang saya tidak pernah membayangkan akan saya lakukan.''

Red: Taqi
Reporter: Nidia Zuraya

http://www.republika.co.id/node/101533

Gene Netto, Dengan Rasionalitas Menemukan Islam

''Mengapa seseorang harus menanggung dosa orang lain? Masak, hanya dengan meminta ampun, dosa langsung diampuni tanpa ada perbuatan yang dilakukan untuk memperbaikinya. Sangat tidak masuk akal.'' Begitulah kalimat yang disampaikan Gene Netto, mualaf asal Selandia Baru, saat ditanya Republika alasannya memilih Islam.

Karena kebingungannya memahami maksud yang tidak rasional itu, Gene memutuskan menjadi seorang yang tidak percaya dengan agama (ateis). Saat itu, ia baru berusia 10 tahun. Baginya, daripada percaya dengan hal demikian, lebih baik memikirkan hal yang lain. Namun begitu, ia percaya Tuhan.

Ketika beranjak dewasa dan menjadi mahasiswa di Universitas Griffith, Australia, Gene tetap tidak tertarik dengan agama apa pun. Baginya, tidak ada agama yang mampu menjelaskan masalah pengampunan dosa itu.

Maka, ketika bertemu dengan seorang mahasiswa asal Indonesia yang beragama Islam dan menjelaskan bahwa hanya Tuhan yang mampu mengampuni dosa asal orang tersebut tidak mengulanginya lagi, pria kelahiran New Zealand 39 tahun lalu ini langsung terperangah. ''Benarkah demikian?'' batin Gene.

Padahal, itulah untuk pertama kalinya Gene bertemu dengan orang Islam. Maka, ia pun banyak bertanya tentang konsep Tuhan dalam Islam. Awalnya, ia memandang Islam sama seperti agama-agama lainnya. Tidak masuk akal, tidak rasional.

Namun, setelah bertanya dan membandingkannya, ia mulai menemukan secercah cahaya dalam Islam. Maka, ia pun terus-menerus mempelajari Islam, berharap mendapatkan sesuatu yang bisa salah dan keliru. Namun, semakin ia mempelajari, Gene semakin menemukan sesuatu yang sangat menakjubkan.

Puncaknya adalah saat ia mempelajari Alquran, kitab sucinya umat Islam. Bukan isinya, melainkan hanya tulisan Arab-nya. Ia membandingkan Alquran cetakan terbaru dengan cetakan puluhan tahun silam. Hasilnya, tak ada satu pun huruf yang berubah. Begitu juga dengan Alquran versi Australia, Inggris, Indonesia, Arab Saudi, Mesir, dan lain sebagainya. Semuanya sama.

Sementara itu, kitab Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama yang ia punya sudah memiliki perbedaan makna. ''Saya membandingkan cetakan tahun 1960-1990 dengan penerbit yang sama. Ternyata, di dalamnya terdapat perbedaan atau perubahan. Karena itu, saya semakin yakin, Islam adalah yang benar dan dari Tuhan. Masak kitab yang difirmankan Tuhan dalam waktu hanya 30 tahun sudah berubah,'' batinnya.

Suatu hari, ketika berkesempatan ke Indonesia, ia mempelajari budaya Indonesia sekaligus Islam. Ia mendalami agama Islam melalui buku-buku. Akhirnya, setelah lebih dari lima tahun mempelajari agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ini, ia pun mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang Muslim.

''Alquran tidak mungkin ditulis oleh Muhammad, tetapi ada yang membimbingnya dan menjelaskan firman-firman itu, yakni Allah SWT,'' terang Gene yang pernah menjadi mahasiswa di Universitas Atmajaya dan Universitas Indonesia ini.

Saat mengucapkan dua kalimat syahadat, Gene hanya dibimbing oleh seorang teman. Saat itu, Gene mengaku tak ada perasaan khusus apa-apa. Hanya, dia merasa dirinya lebih lengkap, lebih baik, dan merasa melangkah di jalan yang benar. ''Sebelumnya, saya tidak beriman. Sekarang, saya jadi beriman dan merasa lebih baik.''

Hal yang terpikirkan pertama kali saat Gene menjadi mualaf dan tekadnya pertama kali adalah mau belajar shalat saja. Sebenarnya, hal itu tidak ada istimewanya, namun dia mengaku bingung, bagaimana memulainya dan bagaimana caranya. Terlebih lagi, dia tak masuk pesantren atau belajar agama kepada seseorang.

Belum setahun mualaf ini menjalani Islam dalam kehidupannya, seorang teman mengajak Gene untuk bertemu dengan KH Masyhuri Syahid, wakil ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang wafat tahun 2007 silam.

Dari ulama inilah, Gene menimba ilmu agama. Pelajaran fikih didapatnya tiap Rabu. ''Saya selalu bingung dan bertanya, mengapa ini benar dan mengapa itu salah. Dari sisi tafsir dan fikih. Beliau belum pernah tidak tahu berbagai pertanyaan dari saya. Bahkan, saya pernah iseng-iseng tanya, bagaimana shalatnya orang di ruang angkasa. Eh, ternyata, beliau menjawabnya dengan jelas. Beliau membimbing saya terus sampai wafatnya.''

Karena itulah, ia merasa keislamannya kini semakin mantap. Apalagi, Islam selalu memberikan jawaban yang logis. Mulai dari persoalan emosi, fisik, dan spiritual. Manusia membutuhkan itu semua. Manusia makan, menangis, marah, dan lainnya. Tapi, manusia juga butuh kebutuhan spiritual.

Bagaimana memenuhi kebutuhan spiritual itu? ''Harus semakin dekat dengan Tuhan. Sebab, tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang tidak membutuhkan Tuhan. Itu sudah ada sejak ribuan tahun silam, termasuk ketika manusia menciptakan berhala-berhala untuk disembah,'' terang Gene yang kini semakin sibuk dengan undangan ceramah di berbagai tempat di Indonesia.

''Saya semakin yakin dan mantap dengan agama Islam. Mudah-mudahan, saya bisa istikamah dalam menjalankan perintah Allah dan mengikuti sunah Rasulullah SAW,'' harapnya. ed : sya

Saat memutuskan diri menjadi Muslim, Gene merasa semakin lebih baik. Kendati harus berpisah dengan kedua orang tua dan adik-adiknya di Selandia Baru, Gene betah di Indonesia. Ia merasa dunia dakwah di Indonesia ini penuh dengan tantangan.

Gene mengakui, Indonesia adalah negara yang sangat kondusif dalam menyebarkan dakwah. Karena itu, ia akan senantiasa mengisi dakwah dan ceramah demi menemui umat dan menyampaikan kebenaran Islam.

''Kalau di Selandia Baru atau Australia, mungkin belum cocok buat saya berdakwah. Sebab, kalau di sana, mungkin hanya satu-dua orang yang mau masuk Islam. Tapi, kalau di sini sangat banyak dan bisa memberikan pendalaman agama kepada orang yang sudah Islam sejak lahir,'' terangnya.

Tak hanya melalui panggung ke panggung, Gene juga berdakwah melalui tulisan dan media massa, seperti blog , email, dan lainnya. ''Melalui tulisan, banyak orang yang bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan bisa diakses di mana saja,'' ujarnya.

''Saya tak berniat pulang kembali ke Australia ataupun Selandia Baru untuk berdakwah,'' tambahnya.

Ia kini sangat mencintai Indonesia, sama seperti kampung halamannya sendiri. Namun, Gene kesulitan untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Ia berharap, ia diberikan kemudahan menjadi warga negara Indonesia (WNI) atau mengurus visa. Gene kini hanya bergantung pada visa budaya yang harus diperbaruinya setiap enam bulan.

Pembinaan mualaf
Satu hal penting yang kini menjadi pemikiran Gene adalah pembinaan para mualaf, orang-orang yang baru masuk Islam. Menurutnya, orang-orang yang baru masuk Islam itu harus mendapatkan pembinaan khusus untuk memperkuat pengetahuan keislaman dan keimanan mereka. Tanpa itu, jelas Gene, dikhawatirkan akan banyak mualaf yang hanya menjadi bahan ledekan orang-orang non-Muslim yang tak senang dengan Islam. Untuk itu, kata dia, harus ada lembaga khusus yang menangani mereka.

''Sekarang ini memang ada lembaga yang mewadahi para mualaf. Namun, lembaga itu masih sebatas tempat berkumpul saja,'' ujarnya.

Diakui Gene, kelompok tersebut juga ada yang membina pengetahuan keislaman para mualaf. Namun, menurutnya, hal itu masih sangat kurang. ''Saya berharap lebih menasional dan banyak. Sebab, banyak mualaf ataupun orang yang ingin belajar Islam dan berada di pelosok daerah, namun mereka kesulitan untuk mempelajari Islam yang lebih komprehensif,'' jelasnya.

Gene menambahkan, banyak orang yang masuk Islam, tapi tak tahu bagaimana menjalankan ibadah dan harus ke mana mereka bertanya. Sementara itu, di daerah tersebut tidak ada lembaga khusus yang menangani mereka.

''Para mualaf itu biasanya akan disingkirkan oleh keluarganya, dijauhi dari lingkungan asalnya, bahkan dikeluarkan dari tempat kerjanya. Mereka kerap merasa sendirian. Untuk itulah, dibutuhkan lembaga yang membantu mereka,'' paparnya.

Pengalaman inilah yang dialami Gene Netto. Ia menjelaskan, sewaktu dirinya sudah menjadi Muslim, anggota keluarganya di Australia sempat menolak kehadirannya. Namun, setelah diberikan penjelasan secara khusus, barulah mereka menerimanya.

Karena itu, agar kejadian serupa tidak menimpa kalangan mualaf lainnya, ada baiknya dibentuk wadah khusus untuk membina dan mewadahi kalangan mualaf ini.

Gene mengakui, saat ini ada organisasi yang membina kalangan mualaf, seperti Perhimpunan Muslim Tionghoa Indonesia (PITI) atau Pembina Iman Tauhid Indonesia. Namun, organisasi ini masih sangat terbatas. Ia berharap, organisasi semacam ini bisa lebih luas dan menjangkau seluruh Indonesia.

''Apalagi kalau ada dana. Sehingga, ada petugas khusus yang ditempatkan di masing-masing daerah untuk membina mualaf. Jika ada orang yang ingin bertanya lebih dalam tentang Islam di suatu daerah, petugas atau ustaz itulah yang akan menanganinya,'' harapnya.

Ustaz pembina itu, lanjutnya, diharapkan memahami karakter setiap mualaf atau orang yang mau mempelajari Islam, terutama orang luar negeri (bule). ''Orang bule itu biasanya membutuhkan penjelasan yang sesuai dengan logika dan akal. Kalau seorang ustaz tidak bisa menjelaskannya dengan logika, mereka tidak akan tertarik dengan yang disampaikan.

''Kalau A bilang boleh dan B bilang tidak boleh, mereka tak bisa bedakan. Mereka tidak bisa asal masuk masjid dan minta tolong. Banyak yang tidak tahu kalau mereka boleh masuk masjid (dalam keadaan non-Muslim). Mereka takut akan diusir,'' ujar Gene yang sedang mempersiapkan sebuah buku mengenai perjalanannya menemukan Allah dengan judul, Mencari Tuhan, Menemukan Allah .

Ia berharap lembaga, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Departemen Agama, memiliki hal itu sehingga memudahkan calon-calon mualaf mendapatkan penjelasan tentang Islam yang benar.

Biodata

Nama: Gene Netto
Lahir: Selandia Baru, tahun 1970
Masuk Islam : 1996
Pendidikan : Universitas Griffith Australia, Universitas Atmajaya, dan Universitas Indonesia (UI).
Aktivitas : ceramah, mengajar bahasa Inggris, dan guru di PP Daarul Quran Tebet.

Red: irf
Reporter: dewi mardiani

http://www.republika.co.id/berita/106751/gene-netto-dengan-rasionalitas-menemukan-islam

Sugen Threen, Masuk Islam Setelah Jadi Pengelana Agama

Mimpi yang dialaminya pada suatu malam di penghujung September 2005 seakan menjadi pembuka jalan hidayah bagi Sugen Threen. "Dalam mimpi tersebut saya mengenakan pakaian gamis, bersorban lengkap dengan selendang sedang berdakwah," ujarnya membuka pembicaraan dengan Republika, Kamis (4/3).

Setelah mendapat mimpi seperti itu, pria kelahiran Jakarta, 15 Maret 1969, ini lantas menemui seorang ulama kenalannya yang bermukim di daerah Cibarusah, Bekasi. Kepada ulama tersebut, Sugen menceritakan mimpi yang didapatnya. "Mimpi bagus datangnya dari Allah, mimpi buruk datangnya dari setan," begitu jawaban sang kiai kala itu.

Mendapat jawaban seperti itu, Sugen merasa bahwa mimpi yang datang dalam tidurnya itu merupakan sebuah mimpi bagus. Ia pun teringat dengan perkataannya sendiri tatkala sang ulama memintanya untuk masuk Islam jauh sebelum ia mendapatkan mimpi itu.

Waktu itu ia berkata, "Buat apa masuk Islam, sedang orang Islam sendiri banyak yang tidak benar. Kalau Allah menyuruh secara langsung, saat itu juga saya akan masuk Islam." Setelah melakukan diskusi dan merenung, Sugen pun dengan mantap memutuskan masuk Islam.

Peristiwa tersebut terjadi tepat 10 hari sebelum datangnya bulan Ramadhan tahun 2005. Di hadapan KH Abdul Haq Hamidy, sang guru spiritualnya, ia mengutarakan keinginannya untuk masuk Islam. Dengan dibimbing oleh KH Abdul Haq Hamidy, ia pun mengucapkan syahadat.

Setelah resmi menjadi seorang mualaf, hari-harinya ia isi dengan belajar shalat wajib lima waktu. Semua itu, ia pelajari secara autodidak, baik melalui bukubuku agama maupun melihat secara langsung gerakan orang shalat. "Saya awalnya belajar shalat dari buku. Lalu, saya catat. Suatu hari, ketika ikut shalat berjamaah, catatan saya bawa. Sambil mengikuti shalat berjamaah, saya memerhatikan catatan tersebut. Akibatnya, jamaah di samping saya bingung dengan tindakan saya," ujar Sugen mengingat memori masa lalunya belajar Islam.

Awalnya, Sugen adalah pemeluk Hindu. Ayahnya adalah warga Indonesia keturunan India, sementara sang ibu keturunan Arab. Meski kedua orang tuanya menikah secara Islam, namun menurutnya, dalam keseharian mereka tidak pernah menjalankan kewajiban sebagai seorang Muslim. Bahkan, dalam perjalanannya, ibunya memilih untuk menjadi pemeluk Hindu. Keyakinan yang dianut sang ibu ini pun diikuti oleh Sugen dan ketiga orang adiknya.

Ketika mengenyam pendidikan di bangku kuliah, ia sempat berpindah keyakinan ke agama Katolik. Hal ini dikarenakan ia mempunyai seorang pacar beragama Katolik. "Saya sempat dibaptis dan mendapat nama baptis Franciscus Xaverius," ujarnya.

Namun, karena hubungannya tak direstui sang Ibu, Sugen kembali ke Hindu dan memutuskan hubungan dengan sang pacar. Oleh orang tuanya, Sugen dijodohkan dengan gadis keturunan India yang juga merupakan pemeluk Hindu.

Doa kiai Selepas menamatkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Trisakti pada 1992, Sugen melakoni sejumlah pekerjaan yang menurut istilahnya `bekerja di jalan yang keras'. Dengan postur tubuh yang tinggi besar, tak mengherankan jika ia pernah menjadi seorang debt collector dan backing di tempat-tempat hiburan. Pekerjaan tersebut, ia jalani di sela-sela kesibukannya sebagai seorang pengacara.

Profesinya selalu menjadi bayangbayang ancaman dari pihak yang tidak menyukainya. Ia pun menjalin hubungan dengan ulama dan kiai. "Setiap kali akan bekerja saya selalu minta didoakan, selain kepada ibu juga ke para kiai dan ulama tersebut. Salah satunya adalah KH Abdul Haq Hamidy," kenangnya.

Meski bukan seorang pemeluk Islam, namun doa yang diberikan oleh KH Abdul selalu ia lafalkan setiap kali hendak berangkat kerja. Dan, atas izin Allah, ia kerap luput dari berbagai upaya penyerangan yang hendak dilakukan oleh para musuh-musuhnya. Berbagai ujian Perihal keputusannya memeluk Islam, dengan cepat diketahui oleh orangorang terdekat Sugen. Ibunya langsung memanggilnya. "Kamu pindah agama seperti pakai baju aja, tidak bilangbilang dan didiskusikan dulu dengan keluarga," ujar sang ibu kala itu.

Setelah berdiskusi, ibunya memutuskan kembali ke Islam. Ia pun bersyukur. Ia berhasil mengembalikan ibunya ke jalan yang benar. Anak-anaknya pun mengikuti jejaknya. Ia berharap, anggota keluarganya yang lain segera menyusul.

Kabar keislamannya makin meluas. Tetangga, teman, rekan kerja, pun banyak yang tahu. Di sinilah ujian bertubi-tubi datang menghantam. Atasannya--seorang pemeluk Hindu-langsung memanggilnya. Tak ada angin atau hujan, ia diberi cuti oleh perusahaannya selama sebulan.

Awalnya, ia menganggap cuti ini sebagai perhatian perusahaan pada dirinya. Ia anggap, cuti itu sebagai hadiah agar makin khusyuk menjalankan puasa. Selepas cuti pertama, ia masuk kantor. Lagi-lagi, perusahaan memberikan tambahan cuti baginya. Sebulan lagi. Kembali `hadiah' ini ia ambil. Namun, di sinilah mulai munculnya ujian yang sesungguhnya.

Ketika menjalani masa cuti kedua kalinya ini, datang surat dari kantor. Isinya meminta Sugen untuk mengembalikan fasilitas kantor berupa mobil dinas. Ia juga di-nonjob-kan. "Saat itu rasanya saya seperti dihantam gemuruh besar," ujarnya sambil berusaha menahan air mata yang sore itu tak kuasa ia bendung. Yang bisa ia lakukan kemudian hanya pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan shalat.

Keesokan harinya, ia masuk ke kantor untuk menyelesaikan segala urusan administrasi dan pekerjaan kantor yang belum sempat ia selesaikan. Ia juga mendatangi kantor pusat untuk melapor. Saat datang ke kantor pusat ini, beruntung pemilik perusahaan tempatnya bekerja memanggilnya.

"Berkat beliau juga pihak kantor mau membayarkan gaji saya pada saat cuti selama dua bulan." Setelah resmi keluar dari pekerjaannya, Sugen menafkahi keluarga besarnya hanya dengan gaji yang terakhir dan menjual beberapa aset yang ia miliki saat itu, seperti mobil. Hidup sebagai pengangguran sempat ia jalani selama dua tahun. Meski dalam kondisi terpuruk pun, ia tidak pernah melupakan Allah SWT. "Hari-hari saya isi dengan belajar ngaji dan memperdalam Islam," ungkapnya.

Namun, di balik ujian ini, pasti ada hikmah. Melalui tangan seorang hambaNya, Allah SWT memberinya kesempatan untuk menjejakkan kaki di Tanah Suci. Salah seorang kenalannya yang bernama Sofyan Leimena, bersedia membiayainya untuk umrah. Saat itu, baru delapan bulan ia menjadi seorang Muslim dan tengah menganggur.

Karunia Allah SWT kemudian menghampirinya lagi pada Agustus 2007. Saat itu, akhirnya ia bisa mendapatkan pekerjaan, meski secara serabutan. Kemudian, pada Oktober 2007, ia mendapatkan panggilan wawancara dari sebuah perusahaan swasta. Ia pun diterima bekerja, dan hingga saat ini, ia masih bekerja di perusahaan tersebut.

Kemurahan hati sang pemilik perusahaan tempatnya bekerja saat ini, juga telah membawanya bisa menunaikan rukun Islam terakhir, naik haji. Pada musim haji tahun lalu, atas sebagian biaya dari kantor, ia berangkat ke Tanah Suci.

Red: irf
Reporter: nidia zuraya

http://www.republika.co.id/berita/106124/sugen-threen-masuk-islam-setelah-jadi-pengelana-agama

Hidayah untuk Pengedar Marijuana

Masa lalu yang dilalui Abdullah Abdul Malik sangatlah gelap. Sampai-sampai dia enggan lagi menyebut nama aslinnya sebelum masuk Islam. Sebelum menemukan Islam, dia adalah generasi hip hop yang dekat dengan narkoba dan kehidupan brutal. Kini dia sudah berusia 28 tahun.

Ini adalah tahun kelima bagi dia dalam menikmati kehidupan Islam. Abdullah lahir dan tumbuh di Pennsylvania dalam masyarakat yang sebetulnya hidup cantik. Sepak bola adalah olah raga yang sangat digemarinya.

Begitu menginjak dewasa, dia mulai gemar mendengarkan musik rap dan film-film yang menonjolkan aksi kekerasan. Dari situ dia kemudian yakin bahwa hidup harus dijalani penuh kekerasan dan kemaksiatan. Dia pun memulai perkenalkannya dengan dunia gelap. Saat itu, Abdullah merasakan kebiasaan buruknya sebagai sesuatu yang menyenangkan.

Tokoh-tokoh dalam film kekerasan dan para penyanyi rap yang identik dengan ketidakteraturan pun kemudian menjadi model panutannya. Jalan pikiran sebagian film kekerasan dan syair rap bahwa hidup adalah merampok, pun sangat mempengaruhi kehidupannya. Kini dia baru menyadari betapa bahayanya musik dan film negatif bagi kehidupan para penggemarnya.

Saat usianya menginjak bangku sekolah menengah, dia mulai berkenalan dengan marijuana (salah satu jenis obat terlarang). Tak hanya mengonsumsi, saat itu dia juga ikut menjadi pengedar barang haram tersebut. "Saat itu, saya merasa kosong. Teman yang saya punya, bukanlah teman yang sejati," ujar dia mengenang masa lalunya.

Menginjak masa remaja, kedua orang tuanya terbelit masalah finansial kemudian pindah ke Florida. Tapi Abdullah saat itu memilih untuk tetap tinggal di Pennsylvania. Dalam kondisi tersebut, dia mengembangkan perdagangannya hingga masuk jaringan polisi setempat. Tahun 2004, dia harus menikmati saat yang menyulitkan di penjara.

Saat itulah dia menghentikan segala aktivitas penuh dosa. Keluar dari penjara, dia bertemu dengan seorang berusia paruh baya yang beragama Islam. Abdullah tidak menyebutkan orang yang dimaksudkannya itu. Dia pun mulai berbicara soal Islam dengan orang itu. "Saya tanyakan ke dia, apa bisa saya memeluk Islam, tapi tetap mempercayai Yesus," kata Abdullah.

Orang yang ditanya pun memberi jawaban yang sangat bijak. Sosok itu menjelaskan bahwa Yesus adalah orang yang punya kedudukan tinggi dalam agamanya, tapi bukanlah Tuhan. Abdullah menjelaskan bahwa orang itu mengungkapkan, Islam mengakui seluruh nabi mulai dari Adam AS hingga Muhammad SAW. Sedangkan Tuhan orang Islam hanyalah satu Yang Maha Esa dan tidak ada pembandingnya.

Percakapan ini sangat menyentuh hatinya. Pemikiran dan jalan hidupnya pun mulai berubah. Suatu malam, orang itu memberinya Alquran untuk dipelajari. "Saya berterima kasih kepadanya, dan mulai membaca Kitab pemberiannya," ujar dia. Hidayah pun turun kepadanya. Dari Alquran dia menemukan banyak sekali kebenaran dan Islam.

Kini, dia menjadi penjaga sekolah dan punya rencana untuk bisa keliling dunia untuk membantu orang-orang bernasib kurang beruntung sambil berdakwah. "Ketika Anda hidup keliru, kemudian menemukan kebenaran, maka kebenaran itu tampak sangat terang," tutur dia. Atas hidayah yang diterima, dia pun mengaku sangat bersyukur. Dia telah berhasil mengubah kehidupannya dari jalanan, menuju penjara, dan akhirnya berlabuh dalam Islam.

Red: irf
Sumber Berita: readingislam

http://www.republika.co.id/berita/105708/hidayah-untuk-pengedar-marijuana

Lucy Bushill-Matthews: Kegelisahan Hati Sang Putri Inggris


Ia tertarik dengan Islam karena sikap pemeluknya yang santun dan terbiasa dengan hidup sehat.

Menjadi mualaf di negara mayoritas non-Muslim, dibutuhkan perjuangan dan kesabaran ekstra untuk menghadapi setiap tantangan. Bila tak kuat, bukan tak mungkin, Islam hanya akan menjadi olok-olokan dan cemoohan banyak orang. Namun, bila berhasil menaklukkan tantangan itu, cahaya Islam akan senantiasa menyinari setiap sanubari manusia.
Situasi seperti inilah yang dialami Lucy Bushill-Matthews, perempuan asli Inggris yang telah menjadi Muslimah selama 16 tahun. Perkenalan Lucy dengan Islam terbilang sangat sederhana. Dalam buku memoirnya yang berjudul Welcome to Islam, ibu dari tiga orang anak ini menuturkan kisah perjalanan hidupnya dalam menemukan Islam.

Saat itu, usianya baru menginjak 16 tahun. Oleh kedua orang tuanya yang asli Inggris, ia dimasukkan ke sekolah berasrama (boarding school) tradisional Inggris.

Sebelumnya, Lucy selalu menempuh pendidikan di sekolah khusus perempuan yang siswanya beragama Kristen. Di sekolah baru ini siswanya campur, laki-laki dan perempuan.

Saat mengenyam pendidikan di sekolah barunya inilah, Lucy berkenalan dengan Julian, seorang pemuda Muslim berdarah campuran Inggris-Iran. Secara fisik, sosok Julian tak ada bedanya dengan pemuda Inggris lainnya.

Namun, perilaku dan kebiasaan Julian, membuat Lucy tertarik. Julian tidak pernah minum minuman yang mengandung alkohol. Bahkan, segelas anggur pun tak akan disentuhnya. Kebiasaan ini tentu saja berbeda dan terlihat aneh dengan kebiasaan remaja Inggris, yang senantiasa menghabiskan akhir pekan dengan minuman keras dan mabuk-mabukan.

Perilaku Julian yang dianggapnya 'tidak wajar' ini membuat Lucy ingin mengetahui lebih jauh tentang sikapnya. Maka itu, pertemanannya dengan Julian, ia manfaatkan untuk bertanya tentang sikapnya dan Islam. Dari penjelasan-penjelasan yang diberikan Julian, membuat Lucy makin tertarik dengan ajaran yang dianut Julian.

Perlahan-lahan, Lucy mempelajari Islam dari berbagai buku dan orang Muslim di Inggris. Di waktu luang, Lucy mulai berani berkunjung ke sebuah masjid dekat Regent's Park, London.

Penjaga masjid mengajaknya berkeliling masjid. Di akhir kunjungan, dia diberi buku berjudul What Everyone Should Know about Islam and Muslims. Buku tersebut, menurut Lucy, bisa menjawab beberapa pertanyaan yang selama ini berkecamuk di hatinya.

''Sebelum meninggalkan masjid, sekilas aku melihat tempat berdoa di dalam masjid. Tidak ada furniturnya, hanya ada karpet dari tembok ke tembok dan beberapa orang tampak sedang membaca doa dalam hati. Kulihat mereka tenang dan penuh pengharapan memanjatkan doa,'' papar Lucy mengenang pengalaman pertamanya mengunjungi masjid.

Ketertarikannya untuk mengenal tentang Islam lebih jauh semakin kuat, manakala ia dan seorang temannya mendapat undangan makan malam dari sebuah keluarga Muslim berkebangsaan Israel. Saat itu, Lucy tengah mengikuti program kerja remaja Inggris pada sebuah komunitas Yahudi (kibbutz) di bagian utara Galilee di Israel.

Keluarga Muslim yang mengundangnya makan malam, jelas Lucy, adalah sebuah keluarga sederhana bahkan bisa dibilang memiliki kehidupan yang tergolong miskin.

''Mereka hanya punya dua ekor ayam di pekarangan mereka. Dan, mereka memotong satu ayam itu untuk kami. Kami menyantap hidangan yang sangat lezat dan tidak memberi mereka apa pun,'' ujarnya.

Sekembalinya ke Inggris, ketertarikan Lucy terhadap Islam semakin kuat. Untuk menambah keyakinannya tentang Islam, Lucy memutuskan untuk bergabung dengan perkumpulan mahasiswa Muslim di lingkungan kampusnya, Universitas Cambridge. Padahal saat itu, ia belum memeluk Islam.

Lucy pun semakin giat mempelajari Islam dari berbagai buku bacaan, yang banyak mengulas ajaran Islam dan komunitas Muslim. Salah satu buku yang dibacanya adalah Islam: Beliefs and Teachings karya Sarwar G.

''Ibadah Muslim mulai sedikit masuk akal bagiku begitu aku tahu artinya dalam bahasa Inggris. Ikrar keimanan harus diucapkan berulang kali, setiap shalat lima waktu. Berpuasa satu bulan dalam setahun. Menyumbangkan hartanya sekali setiap tahun, dan mengunjungi Makkah sekali seumur hidup. Muslim boleh beribadah lebih dari semua itu, tetapi tak boleh mengurangi kewajiban pokok itu,'' papar Lucy mengenang perkenalannya dengan ajaran Islam.

Menjadi Muslimah
Puncak di cinta ulam pun tiba. Bila hati sudah semakin mantap, apa pun tak akan mungkin melepaskannya. Begitulah kata pepatah. Ungkapan ini layak disematkan pada Lucy.

Suatu malam di bulan November 1991, Lucy tak bisa tidur nyenyak. Dia merasa gelisah. Kegelisahannya karena memikirkan tentang Tuhan. Berkali-kali ia membolak-balikkan badan dan berusaha memejamkan mata, tetap saja ia tak bisa tidur. Seakan-akan ada yang mengawasinya.

''Aku terjaga semalaman dengan pikiran berkecamuk tak henti-hentinya dalam kepalaku. Aku percaya pada Tuhan. Tuhan yang Serbatahu dan Mahakuat. Jika Tuhan Mahakuat, Dia pasti ada di mana-mana, dan itu berarti Tuhan juga bersamaku, saat ini. Jadi, Tuhan bisa melihatku dan Tuhan bisa melihat pikiran terdalamku. Itu benar-benar kabar buruk,'' ujarnya menceritakan pengalaman yang terjadi di awal semester tahun keduanya di Cambridge.

Kegelisahannya itu membawanya untuk semakin dalam mempelajari Islam. Dan akhirnya, saat kemantapan hati itu semakin kuat, Lucy pun berikrar untuk menjadi seorang Muslim. Walau belum resmi, ia pelan-pelan mempelajari shalat.

Setelah benar-benar yakin, ia pun mengumumkan jati diri keislamannya seminggu kemudian. Bertempat di kamar asrama dan disaksikan sejumlah rekan-rekan sekampus, Lucy mengucapkan dua kalimat syahadat. ''Bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah rasul Allah.''

Kabar keislamannya pun segera menyebar ke segenap kampus. Teman-temannya yang non-Muslim pun semakin banyak yang mengetahuinya. Maka, saat itu, Lucy resmi menyandang status Muslimah.

Orang tuanya baru mengetahui kabar keislamannya, ketika Lucy menyampaikan kepada mereka di saat liburan semester. Beruntung Lucy memiliki keluarga yang egaliter dan demokratis. Sang kakak, Julie, memberinya dukungan dan bersikap positif dengan keputusan Lucy menjadi Muslim.

Sementara itu, ayahnya berpikir bahwa apa yang terjadi pada Lucy hanyalah sebuah fase dalam kehidupan putrinya. Hanya sang ibu yang sempat kaget mengetahui anaknya memilih menjadi Muslimah. ''Bagaimana mungkin anaknya menjadi Muslimah?'' Mungkin begitulah bayangan yang ada dalam pikiran ibunya saat itu.

Lucy nyaris bimbang. Di satu sisi, ia tidak ingin menyakiti dan menghancurkan hati ibunya. Apalagi, di Alquran dalam surah Al-Ahqaf ayat 15 disebutkan bahwa manusia hendaknya senantiasa berbuat baik kepada ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya selama sembilan bulan, dan melahirkannya dengan susah payah. Namun, apa hendak dikata, Lucy tetap mantap memilih Islam sebagai agama barunya. Dan, ia tetap menjalin hubungan baik dengan kedua orang tuanya, termasuk ibu yang sangat dicintainya.
Baginya, ibu adalah orang yang wajib dikasihi. Namun, ia juga sudah jatuh cinta dengan Islam. Dan, Islam mengajarkan untuk senantiasa mengajarkan pemeluknya menghormati kedua orang tua, kendati mereka berbeda agama.ed: sya

Hari-hari yang Penuh Tantangan

Sebagai mualaf, Lucy sangat serius menekuni ajaran Islam. Dia belajar shalat, mengenakan kerudung (jilbab), dan meninggalkan semua hal yang tidak diperbolehkan (dilarang) dalam ajaran Islam. Seperti, tidak mengonsumsi daging babi, minuman beralkohol, dan menghindarkan diri berduaan dengan yang bukan muhrimnya.

Kebiasaan yang tak umum ini, awalnya sangat sulit ia lakukan. Pasalnya, hal itu sudah merupakan kebiasaan sehari-hari. Bahkan, menurut adat istiadat dan budaya Barat, kebiasaan mengonsumsi minuman keras dan makan daging babi adalah sesuatu yang biasa saja. Lucy pun harus berhadapan dengan kebiasaan yang tak lazim ini di tengah kehidupannya sehari-hari.

Seperti, ketika ia memutuskan untuk menikah dengan Julian, di usianya yang masih terbilang muda, 19 tahun. Sebagaimana layaknya setiap pesta dalam kultur Barat yang wajib ada alkohol, tapi kini harus dihindari. Begitu juga, dengan makanan yang tersedia hanya yang terbuat dari bahan-bahan yang halal.

Benturan juga terjadi manakala Lucy harus memilih busana pengantin. Model yag ditawarkan selalu dengan bagian dada dan punggung terbuka. Sementara itu, ia menginginkan sebuah busana pengantin yang serba tertutup dan dilengkapi dengan kerudung. Hal ini sempat menimbulkan pertentangan antara Lucy dan sang ibu. Namun, Lucy sudah mantap untuk meyakinkan ibunya bahwa baginya hal itu adalah yang terbaik dan sesuai dengan ajaran Islam, yang telah menjadi keyakinannya.

Berbagai benturan lainnya, banyak ditemui Lucy takkala ia memasuki dunia kerja selepas menamatkan pendidikan di Cambridge. Setelah lulus kuliah, Lucy diterima bekerja di sebuah perusahaan consumer goods multinasional sebagai analis keuangan. Sebagai penganut agama minoritas di Inggris, kantornya tak menyediakan tempat shalat. Lucy lalu menyiasatinya dengan menumpang di ruang kesehatan untuk melakukan shalat. Saat ada pasien, sebagai gantinya ia kerap menggunakan ruangan bosnya untuk tempat shalat.

Demikian juga, ketika jam makan siang tiba. Menu nonhalal yang banyak disediakan oleh pihak pengelola kantin kantor, membuatnya harus memesan makanan terpisah, tanpa babi. Belum lagi, berbagai pertanyaan aneh dari para rekan kerjanya yang bingung melihat Lucy berkerudung.

Red: taqi
Reporter: Nidia Zuraya

http://www.republika.co.id/berita/104712/lucy-bushill-matthews-kegelisahan-hati-sang-putri-inggris

Jacian Fares, Angkatan Laut AS yang Memilih Islam


Jalan untuk menemukan Islam yang dilalui Jacian Fares tergolong terjal. Sebelum masuk Islam, dia terlebih dulu melewati masa peperangan di Irak. Orang-orang yang diperangi saat itu mayoritas umat Muslim. "Sebenarnya saya sama sekali tidak setuju dengan peperangan itu. Tapi sebagai anggota angkatan laut AS, saya tidak punya pilihan," ujar dia seperti dikutip Islamonline.net.

Jacian adalah pria keturunan dari keluarga Fares yang berkedudukan di Hebron. Ayahnya lahir di Lebanon dan ibunya keturunan Spaniard (warga asli Spanyol). Dia adalah generasi pertama dari keluarga Fares yang lahir di Amerika, persisnya di Dearborn, Michigan. Ayahnya bukanlah orang yang taat beragama. Tapi kakek dan neneknya Muslim yang saleh.

"Saya bisa membayangkan betapa sedihnya kakek dan nenek saat mengetahui bahwa keluarga kami tidak beragama," imbuh dia. Setelah tumbuh di Amerika, dia kemudian menghabiskan masa remajanya di Lebanon. Dialah satu-satunya anak dari tiga bersaudara yang bersedia untuk menjalani masa remaja di Lebanon selama enam tahun. Inilah saat pertama bagi Jacian untuk bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat Timur Tengah.

Dari Lebanon, dia kembali ke Amerika dan bergabung dengan angkatan laut AS. Saat Amerika menginvasi Irak di tahun 2003, dia termasuk salah satu personel yang ikut bergabung dalam pasukan koalisi. Hati kecilnya sangat kuat menolak perintah itu, tapi sebagai prajurit, dia harus menjalankan perintah.

Saat itu, dia ditugaskan di Fallujah dan kota-kota lain di Provinsi Al Anbar. Pengalaman ini menjadikannya semakin paham tentang kehidupan masyarakat lokal. Saat Ramadhan tiba, dia pun menyaksikan ketaatan warga setempat terhadap agama yang dipeluknya, yakni Islam. Ini menjadi bekal penting dalam kehidupannya di masa mendatang.

Saat bertugas di Fallujah, dia tertembak dan harus ikhlas kehilangan satu ginjalnya. "Ini kehendak Allah SWT," tutur dia. Jacian pun mengaku yakin bahwa Allah memiliki alasan yang sangat kuat saat menentukan takdir bagi hamba-hamba-Nya.

Mulanya, dia mengaku sangat tertekan dengan kejadian itu. Kondisinya bertambah buruk saat keluarga pelan-pelan meninggalkannya. Kegiatan rutin yang biasa dijalankannya pun tidak bisa lagi dilakukan. Latar belakang kakek, nenek, dan pamannya yang beragama Islam, membuatnya mendapat titik cerah. Hatinya semakin kuat untuk menuju Islam saat seorang wanita asal Kuwait yang ditemuinya pun menyarankan dia untuk masuk Islam.

Sepanjang Agustus 2008 Jacian banyak menghabiskan waktunya untuk mulai membaca Alquran. Hatinya pun tersentuh. "Kuat sekali sentuhannya dibanding saat saya membaca Injil maupun Taurat," ungkap dia. Dari situlah kemudian dia menemukan Islam secara utuh. Akhirnya, dia pun menjalani kewajibannya sebagai pemeluk Islam dan merasa kehidupannya menjadi jauh lebih baik.

Lewat Islam, dia menemukan banyak sahabat dari berbagai negara di Timur Tengah. Sebagian temannya datang dari Palestina, Yordania, Qatar, Mesir, juga beberapa negara lain. Tahun lalu, adalah tahun kedua baginya menjalani puasa Ramadhan. Sayang, dia tidak bisa ikut berpuasa karena gangguan ginjal. Dan tahun itu pula, ulang tahunnya jatuh bertepatan dengan Idul Fitri.

Meski kini tinggal sendiri di Amerika, dia tidak pernah merasa hidup sendirian. Umat Islam di sekitarnya sudah dianggap sebagai keluarga. "Agama telah menjadikan kita bisa hidup bersama seperti ini," imbuh Jacian. Dia pun menganggap Islam sebagai agama yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupannya.

Dia mengaku sangat menyukai Ramadhan. Hadirnya Bulan Suci ini menjadikannya semakin kuat berkeinginan untuk menjadi Muslim yang baik. Sebagai Muslim, Jacian pun meyakini bahwa dirinya bisa ikut berkontribusi untuk menjadikan kehidupan ini menjadi lebih baik.

Red: irf
Sumber Berita: readingislam

http://www.republika.co.id/berita/104434/jacian-fares-angkatan-laut-yang-memilih-islam

Rusman Unri Surbakti, Terbuai Lantunan Ayat Suci


Berbagai keraguan sering muncul dalam hatinya saat mendalami Injil dan mengikuti kebaktian di gereja.

Alquran adalah kitab suci umat Islam. Ia menjadi pedoman hidup dan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Tak ada keraguan di dalamnya. Susunan kata begitu indah, gaya bahasanya begitu menarik, dan kandungan yang ada di dalamnya sangat jelas dan tegas. Bahkan, dari Alquran pula, banyak orang yang sukses. Ribuan bahkan jutaan buku ditulis. Semuanya bersumber dari Alquran.

Tak heran bila banyak orang yang kagum dan takjub dengan kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW itu. Khalifah Umar Ibn Khattab memeluk agama Islam berkat kandungan yang ada di dalamnya. Ia terkesima dengan lantunan kalam Ilahi itu. Padahal, sebelumnya, ia adalah penentang agama Islam yang sangat ditakuti.

Tak hanya Umar, seorang aktivis gereja di Indonesia pun akhirnya memilih agama Islam berkat lantunan kalam Ilahi ini. Dia adalah Rusman Unri Surbakti, seorang anak muda aktivis gereja di Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Pria ini akhirnya memeluk Islam karena banyak keraguan yang ia yakini sebelumnya menjadi tak masuk akal. Akhirnya, setelah menelusuri dan mendalami berbagai aliran dan agama yang ada, ia pun bertekad bulat memeluk Islam. Subhanallah.

Hidayah
Islam, bagi dia, sebetulnya bukan hal yang baru. Ketika kecil, entah mengapa, anak kelima dari delapan bersaudara itu selalu tertarik jika mendengarkan suara ayat suci di stasiun TVRI yang dilantunkan menjelang acara pengajian. ''Lantunan itu menarik hati saya. Tapi, karena keluarga saya penganut Kristen, siaran TV itu segera dimatikan.''

Lulus SMA, dia merantau ke Batam setelah sempat ke Pekanbaru. Di Batam, Rusman bekerja di sebuah bengkel. Di sela-sela kesibukan kerjanya, dia aktif di gereja, bahkan menjadi ketua pemuda gereja. Dalam setiap perayaan natal dan kegiatan serimonial Kristen yang lain, Rusman selalu jadi ketua panitia.

Beberapa lama kemudian, Rusman pindah kerja ke kawasan Batamindo. Di situ, dia mulai bergaul dengan teman-temannya yang aktif di kegiatan keislaman. Hal itu mengingatkan kembali memori masa kecilnya ketika mendengarkan lantunan ayat suci Alquran. Muncullah dalam hatinya ketertarikan untuk mengenal Islam lebih dekat.

Anehnya, ketika muncul ketertarikan terhadap Islam, ia justru juga semakin giat mendalami ajaran agama yang dianutnya, yakni Kristen Protestan. Namun, di balik usahanya itu, hatinya justru semakin dekat dengan Islam.

''Di Injil, saya melihat ada beberapa surat yang tak konsisten. Di satu surat, ada yang mengharamkan babi, tapi dalam surat lain boleh.'' Rusman menyebutkan, masih banyak contoh lainnya yang membuatnya ragu dengan agama yang dipeluknya sejak kecil itu.

Suatu ketika, dalam kebaktian di gereja, dia memerhatikan umat yang datang. Tak sedikit perempuan yang datang dengan mengenakan pakaian yang terbuka, mengumbar aurat. Tiba-tiba, ia merasa risih. Padahal, dari dulu sudah begitu. Namun, entah mengapa, perasaannya hari itu sangat berbeda.

''Itulah puncak dari kegelisahan saya. Saat itu juga, saya keluar dari agama yang sejak kecil saya anut.''Ia pun kemudian mempelajari agama Islam. Namun, sebelum mantap meyakini Islam, ia mencoba mempelajari agama lainnya. ''Siapa tahu cocok,'' demikian batinnya.

Aliran kepercayaan ia pelajari, namun tak cocok dengan hati nuraninya. Yahudi, tak kena di hati. Agama Buddha dan Hindu juga tak berkenan di hatinya. Di tengah kebimbangannya itu, ia makin khawatir kalau tiba-tiba sakaratul maut menjemputnya. ''Saya gelisah, takut mati karena tak punya agama,'' katanya.

Akhirnya, suatu ketika, dia membaca buku Sejarah Islam dari Segi Hukum dan Sejarah Iman. Dari buku itu, Rusman menemukan sesuatu yang selama ini dia inginkan: kedamaian dan ketenteraman. Buku itu seolah menjadi magnet yang menarik dirinya untuk memeluk agama Islam. Setelah itu, dia mulai mempelajari Islam secara lebih intens. Sampai akhirnya, Rusman membaca dua kalimat syahadat pada usianya yang 22 tahun.

Ceritanya, siang hari pada bulan Ramadhan, Rusman mendatangi Masjid Nurul Hikmah di kawasan industri Batam. Kebetulan, pengurus masjid Nurul Hikmah, Mohammad Soleh--yang pernah satu kantor dengannya--ada di masjid itu. Ia pun langsung menyapa Soleh.

''Selamat siang, Mas Soleh,'' sapa Rusman.
''Eh, Bang Rusman. Ada apa ini?'' jawab Soleh agak terheran dengan kedatangan Rusman. Beberapa jamaah di masjid juga memandang curiga kehadirannya.
''Saya mau masuk Islam,'' jawab Rusman tanpa basa-basi.
''Oh , ya? Wah , ada apa ini? Kok , tiba-tiba.''
''Niat saya sudah bulat, Mas.''
''Mohon maaf, Bang Rusman, agama bukan barang mainan. Mohon, pelajari dulu dengan baik. Nanti, jika sudah paham, baru benar-benar masuk Islam.''
''Saya sudah pelajari, Mas. Pokoknya, saya mau masuk Islam.'' Tekad Rusman sudah bulat.
''Oke kalau begitu. Nanti, datang ke sini lagi sebelum Maghrib. Ada baiknya mandi besar dulu.''
''Apa itu mandi besar?''
''Pokoknya mandi yang bersih, keramas.''

Sore hari menjelang Maghrib, Rusman sampai di masjid. Sekilas, matanya sempat melihat pengumuman di dinding. ''Sore ini, pengislaman saudara Rusman Surbakti.''
Pemuda kelahiran 7 November 1971 itu sempat tergetar melihat pengumuman itu. Begitu melangkah ke dalam masjid, ia disambut oleh para pengurus masjid.

Rupanya, di dalam masjid sudah dipenuhi oleh jamaah. Mereka ingin menyaksikan aktivis Kristen itu masuk Islam. Selama ini, Rusman yang mereka kenal adalah penganut fanatik agama Kristen. Setidaknya, itu dibuktikan melalui posisi Rusman semacam ketua pemuda Kristen yang aktif melakukan kegiatan seremonial agama Kristen.

Ia kemudian duduk menghadap hadirin. ''Segera saya duduk bersila di depan meja yang sudah disiapkan. Di sisi kiri saya, ada saksi. Di sisi kanan, tokoh masyarakat. Di depan saya, ustaz Muhammad Machfud. Beliau-lah yang mengislamkan saya,'' kata Rusman.

Setelah masuk Islam dan menjadi mualaf, pada 13 Maret 1993 ia mengganti nama yang sudah diberikan orang tuanya. Dari Rusman Unri Surbakti menjadi Abdullah Hidayat Ramadhan. Hidayah dari Allah itu datang pada bulan Ramadhan karena itu nama tengah dan belakang memakai nama Hidayat Ramadhan.

Dicibir
Setelah beberapa saat memeluk Islam, teman-temannya segereja dulu mencibirnya. Mereka tak percaya, seorang aktivis gereja tiba-tiba pindah agama dan memeluk Islam. Mereka mengira, Rusman pindah agama karena perempuan.

Namun, setelah mengetahui kepindahannya bukan disebabkan ketertarikannya pada perempuan, namun karena keraguan Rusman terhadap agama yang dianutnya dulu, teman-temannya pun mengejeknya. Apalagi, setelah namanya berganti menjadi Abdullah, ia makin dijauhi. ''Mereka mungkin tidak membenci saya, tapi tetap saja menjauh,'' kata Rusman alias Abdullah.

Bagaimana sambutan keluarga? Sebulan setelah masuk Islam, Abdullah pulang ke kampung halamannya di Asahan, Sumatra Utara. Dia datang menjelang malam. Keluarga sedang makan malam bersama, sebuah tradisi keluarga besar mereka.

'' Ah , si Rusman datang. Ayo, ayo, langsung makan,'' begitu abangnya menyambut kedatangannya. Di kursi yang mengelilingi meja besar itu, duduk ayah dan ibunya serta saudara-saudara sekandungnya. Mereka juga mengajak makan bersama.

''Alhamdulillah, saya sudah makan di jalan,'' jawabnya.
Hah? Ungkapan singkat itu membuat semua yang ada di ruangan tersebut menjadi terkejut. Abdullah memahami keterkejutan itu. Belum selesai keheranan mereka, Abdullah berkata lagi, ''Saya memang sudah pindah agama. Sekarang, saya seorang Muslim.''

Suasana menjadi tegang. Abangnya yang sulung terlihat paling geram. ''Apa-apaan ini? Kamu tidak tahu, itu lihat Iran dan Irak yang sama-sama Islam malah saling bunuh!''

Suasana makin panas, tensi meninggi. Brak! Tangan kanan abangnya menggebrak meja. ''Tidak ada itu pindah agama. Kamu ini gimana, sih ?''
''Saya tidak mau tahu. Saya yakin, Islam itu yang benar.'' Abdullah tak kalah lantang menjawabnya.
''Benar menurut kamu, belum tentu benar menurut kami,'' kata ayahnya.
''Ayah, saya sudah yakin dengan pilihan saya. Kalau ayah dan abang menyuruh saya mencabut keimanan saya, saya pilih mati!''

Suasana mendadak hening. Semua terdiam. Tensi ketegangan entah mengapa makin menyurut. Sesaat kemudian, ayahnya angkat bicara.

''Baiklah, kalau memang sudah begitu keputusanmu. Silakan jalan dengan keyakinanmu. Tapi, ada satu permintaan, jangan menjauh dengan keluarga ini,'' terang ayahnya.
''Islam tak membeda-bedakan, ayah. Jadi, aku pun tidak akan meninggalkan keluarga ini meskipun kita punya keyakinan yang berbeda,'' kata Abdullah.

Abdullah pun kemudian mendalami Islam secara giat. Bila dulu ia menjadi aktivis gereja, kini ia aktif di kegiatan keislaman. Di kawasan industri Batamindo, ia ditunjuk menjadi ketua majelis taklim gabungan Fastabiqul Khaerat . Lembaga ini menghimpun 14 majelis taklim di daerah itu. ed : sya


Dari TKI Menjadi Ustaz

Begitu masuk Islam, Abdullah Hidayat Ramadhan merasakan bahwa pemahamannya terhadap Islam masih kurang. Karena itu, atas berbagai pertimbangan, ia merasa perlu untuk merantau ke Jawa, belajar tentang Islam secara lebih mendalam, termasuk belajar Alquran secara baik dan benar. ''Saya belajar ke Yayasan Maarif di Blitar.''

Setahun belajar Islam di Blitar, Abdullah kembali ke Batam. Di sana, oleh teman-teman pengajian, Abdullah ditunjuk sebagai ketua seksi pembinaan mualaf. Tak berapa lama, karena kreativitasnya dalam menjalankan roda organisasi dan pengajian, Abdullah ditunjuk sebagai ketua majelis taklim gabungan Fastakibul Khaerat. Di Batam ini pula, dia menemukan jodohnya, seorang Muslimah.

Sekitar lima tahun memeluk Islam, dia merasa ada yang tidak pas dengan atmosfer keislaman di Tanah Air. Ada banyak kelompok yang masing-masing merasa paling benar sendiri. Dia trauma dengan agama sebelumnya yang juga banyak kelompok keagamaan. ''Saat itu, saya berpikir untuk mencari Islam ke sumbernya dan pilihannya tak lain adalah Arab Saudi.''

Abdullah memantapkan diri pergi Arab Saudi. Sebagai apa? TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Mobil pun dijual. Sebagian hasilnya untuk menambah uang saku ke Arab, sebagian lagi untuk kehidupan keluarganya. Maka, berangkatlah dia mencari ilmu agama Islam, langsung ke sumbernya di Makkah pada Juli 2000.

Sampai di Arab, dia dipekerjakan sebagai sopir di Jeddah. Tapi, baru sekitar empat bulan, dia bentrok dengan majikannya. Ia menilai, majikannya itu telah melecehkan martabatnya sebagai manusia. ''Saya keluar dari pekerjaan itu. Konsekuensinya, surat-surat saya ditahan oleh majikan.''

Untuk mengambil surat-surat itu, ia harus menebus dengan uang yang jika dijumlahkan sekitar Rp 200 juta. Uang sebesar itu bukan jumlah yang kecil. Karena itu, dia hidup menggelandang, mencari pekerjaan yang sifatnya gelap. Tujuh bulan hidup lontang-lantung di negeri orang.

Sampai-sampai pernah 'tinggal' di Masjidil Haram sekitar sepekan. Untuk makan, Abdullah mengandalkan sedekah dari pengunjung masjid. ''Saya kadang hidup dengan satu riyal sehari, cukup untuk beli roti Arab,'' kata Abdullah.

Ia pun berdoa, memohon dimudahkan dalam segala urusan. Ia pergi ke depan Ka'bah, menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Allah menjawab doanya. Beberapa orang anggota Kerukunan Keluarga Sumatra Utara (KKSU) di Arab Saudi meminjamkan uang untuk menebus surat-surat dan paspor agar dia menjadi sah (legal).

Sejak itu, Abdullah bisa bekerja secara legal dan tidak takut untuk dideportasi (meskipun sebelumnya dia memilih dideportasi karena benar-benar tidak punya uang untuk hidup).

Singkat cerita, Abdullah bekerja di Panitia Penyelengara Ibadah Haji (PPIH) di Arab Saudi, sebuah lembaga yang mengurus ibadah haji di bawah KBRI. ''Selama empat tahun saya bekerja di situ, akhirnya utang-utang kepada orang yang membantu saya untuk menebus paspor itu bisa lunas,'' kata Abdullah.

Ketika menjadi petugas haji, Abdullah secara otodidak terus mengembangkan wawasan keislamannya. Berbagai buku dia baca untuk menambah pengetahuan tentang Islam. Diskusi dengan ulama Arab Saudi tak pernah dilewatkan.

Pemahaman tentang Islam terus bertambah seiring dengan waktu. Hingga suatu saat, dia mengkritik cara kerja Departemen Agama dalam penyelenggaraan haji. ''Saya kamudian 'ditendang' dari PPIH.''

Keluar dari PPIH, Abdullah bekerja di travel Malaysia sebagai pemandu jamaah haji plus. Hanya setahun di situ, Abdullah pindah ke perusahaan travel Indonesia sebagai muthawwif. Kini, mantan aktivis Kristen itu menikmati kehidupan yang damai dan indah sebagai ustaz di Makkah. anif ed : sya

Red: taqi
Reporter: Anif Punto Utomo

http://www.republika.co.id/berita/103055/rusman_unri_surbakti_terbuai_lantunan_ayat_suci

Gadis Amerika Memeluk Islam

Hajar adalah nama baru bagi YAMILA, seorang gadis Amerika umur 28 tahun, mahasiswi MISSOURI UNIVERSITY, Columbia, jurusan ilmu sosial. Dua tahun yang lalu ia mulai mempelajari Islam dengan sungguh-sungguh dan mendalami mengenai “apa hakikat Islam itu.” Masalah ini adalah masalah yang sulit yang belum pernah dijumpai di Amerika yang matrealistis itu. Setelah dua tahun mendalami Islam ia memproklamirkan dirinya memeluk agama Islam dan mengubah namanya YAMILA menjadi HAJAR. Ia mencintai nama itu karena ada hubungannya dengan Islam.

Hajar menceritakan pengalamannya demikian :
“Sudah lama timbul pertanyaan dalam hati saya tentang alam ini, existensi dan kehidupan dalam alam ini. Untuk mendapatkan jawaban ini secara filosofis telah membuat saya menjadi kurus,” katanya. “karena saya sewaktu mempelajari kebudayaan Amerika tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan mengenai hal itu.”

Saya sebenarnya sudah pernah mendengar tentang agama Islam tetapi gambarannya belum jelas dalam hatiku, bahkan gambaran yang saya dapati malah jelek. Saya menduga bahwa Islam adalah agama pemisah antara laki-laki dan perempuan dan berdiri di atas kebengisan dan kekerasan. Demikianlah saya belum juga mengerti tentang hakikat Islam. Setelah saya menekuninya barulah saya tahu tentang kesucian Islam dan mengerti bahwa ia adalah agama yang menentang kekuatan materialis. Dari sejak itulah saya lebih giat lagi mempelajarinya walaupun terasa sangat berat karena di sana tidak ada buku-buku berbahasa inggris yang menjelaskan Islam secara benar. Hal ini bukan penghalang bagi saya sebab saya memang sudah cinta kepada Islam dan saya yakin benar bahwa Islam adalah agama yang adil dan obyektif, yang memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk mempertanggung jawabkan perbuatan sendiri. Demikian terus-menerus saya fahami dan bertambah sadar yang akhirnya atas petunjuk Allah saya memeluk agama Islam.”

HAJAR berda’wah kepada Islam :
Setelah hajar memeluk Islam ia bekerja sungguh-sungguh untuk menyebarkan Islam karena ia sadar bahwa tugasnya sekarang adalah berjuang membela dan menegakkan Islam serta menyampaikan da’wah Islamiyah kepada orang-orang Amerika. Mereka menjadi bodoh tentang Islam karena ulah musuh-musuh Islam yang dengki yang memberikan gambaran jelek tentang Islam.

Islam sungguh telah mengubah keadaan Hajar secara total. Kalau dulu sebelum Islam ia hidup seperti gadis-gadis Amerika lain, bermain-main dan menghibur diri, kini ia menjadi orang yang patuh kepada ajaran dan norma-norma Islam. Hal ini terbukti dalam ucapannya yaitu :
“Sesungguhnya tujuanku yang pokok ialah saya berjuang membela Islam dan memerangi kapitalis, kelaliman, kejahatan serta segala keburukan. Saya yakin bahwa Islam adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan manusia dari bahaya perang, kelaparan dan nyanyian.”

Ketika ia ditanya mengapa hanya Islam yang menjadi penyelamat manusia ia menjawab : “karena hanya Islam yang mampu menjajikan pemecahan problem dunia sekarang ini, baik dari sudut sosial maupun politik. Karena ia adalah peraturan hidup yang komplex yang mempunyai keseimbangan antara tuntutan rohani dan jasmani tanpa ada kekurangan.

Sungguh aku telah mendapatkan jawaban secara falsafi di dalam Islam yang dulu pertanyaan-pertanyaan itu membuatku gelisah sampai tidak bisa tidur nyenyak.

Dan Hajar pada waktu berbicara tentang Islam yakin benar atas kebenaran apa yang diucapkannya. Bahkan kadang-kadang ia menguraikan ibarat yang Islami dengan bahasa Arab. Pada pokoknya ia benar-benar mengerti bahwa Islam adalah peraturan hidup yang multi komplex bukan hanya untuk ibadah saja.
Ajaran jihad dalam Islam menurut Hajar merupakan yang paling penting dan yang paling diperlukan oleh umat Islam pada saat sekarang ini. Sejak memeluk Islam ia mengubah cara hidupnya. Ia memakai busana muslimah dan melaksanakan shalat lima waktu. Ia mencurahkan tenaga untuk menghafal ayat-ayat Al-Qur’an agar mampu melaksanakan shalat secara lebih sempurna.

Suatu hal yang wajar kalau ia menghadapi hambatan dari keluarga dan rekan-rekannya. Namun hal itu dianggapnya sebagai hal yang ringan saja. Ia mengatakan : “dalam rangka menjalankan kepercayaanku, segala rintangan kuanggap ringan dan itu adalah wajar bagi seorang muslim. Sebelumnya juga memang sudah banyak terjadi orang muslim disiksa, akan tetapi mereka tetap dalam Islam. Demikian pula saya, tidak ada yang saya perdulikan kecuali bahwa saya adalah muslim.”

Kegiatan Hajar tidak terbatas dalam segi sosial dan agama saja. Ia juga aktif dalam bidang politik dan beranggapan bahwa ada hak yang adil bagi bangsa Palestina Muslim. Karena itu ia selalu memberikan ceramah tentang penindasan dan penganiayaan terhadap bangsa Palestina.

Hajar memang gadis tunggal yang tiada duanya. Ia seorang gadis berkulit putih yang merubah profesinya manjadi da’iyah Islamiyah yang membela urusan bangsa Palestina, padahal ia hidup di tengah-tengah masyarakat yang tidak mau mendengarkan omongannya, namun ia tidak goyah dan tidak bosan. Tugas dakwahnya secara umum ditujukan kepada segenap umat Islam dan secara khusus ditujukan kepada bangsa Arab.

Hai bangsa Arab, kalau kamu menyinari jalan semua umat manusia janganlah kamu lemah menghadapi israil dan antek-anteknya yang telah merampas bumimu yang suci itu.

(Sumber : Syaikh Muhammad Ibn Jamil Zainu, Bimbingan Islam untuk Pribadi dan Masyarakat)
http://tauziyah.com/2008/04/30/gadis-amerika-memeluk-islam/

Aisyah Bhutta (d/h Debbie Rogers) Islamkan Orangtua dan 30 Temannya

Aisyah Bhutta (34), dulu, ia bernama Debbie Rogers. Kini hidup tenteram dan bahagia setelah memeluk Islam. Di apartemennya yang terletak di Cowcaddens, Glasgow, ia melewati hari-hari dengan amalan Islam. Rumahnya pun telah dihiasi dengan nuansa Islam. Di dinding tergantung kaligrafi Al-Quran. Ada juga poster bergambar kota suci Mekkah. Lalu jam yang disetel khusus dengan suara azan yang senantiasa mengingatkan Aisyah dan keluarganya tiap masuk waktu shalat. Wajahnya kini terbungkus rapi oleh jilbab yang makin menunjukkan kesalehannya. Dia sangat gigih dalam berdakwah. Tidak saja untuk keluarganya dan kerabat bahkan tetangga-tetangga juga tak luput dari dakwahnya. Alhasil, dia dapat mengislamkan orangtua, kerabat dan 30 temannya. Berikut kisahnya seperti dilansir dari Islamweb.com.

Bagi seorang gadis Kristen taat seperti Debbie Rogers, masuk Islam lalu menikah dengan pria Muslim, adalah suatu hal yang luar biasa. Tak hanya itu, ia juga telah mengislamkan kedua orantuanya, beberapa orang saudaranya. Dan yang menakjubkan ia telah mengajak sedikitnya 30 orang teman dan tetangganya masuk Islam!

Debbie Rogers dulunya berasal dari keluarga Kristen yang taat. Mereka aktif dalam aneka kegiatan gereja. Kala remaja lainnya asyik dengan idola mereka, misalnya mengoleksi poster penyanyi kesayangan mereka, katakanlah seperti penyanyi terkenal George Michael atau asyik dengan hura-hura sepanjang malam. Maka Debbie Rogers justru sebaliknya. Di dinding kamarnya penuh dengan poster Yesus. Musiknya adalah musik bernuansa rohani, bernada puji-pujian bagi Yesus. Itulah aktifitasnya sebelum kenal Islam.

Tapi akhirnya dia “lelah” sendiri. Ia merasa tak mendapatkan apa-apa dari apa yang dipelajarinya. Bahkan banyak sekali daftar pertanyaan tentang paham Kristen yang tak berjawab. Debbie Rogers kemudian berkenalan dengan seorang pria keturunan Pakistan, Muhammad Bhutta namanya. Pria yang mengenalkan Islam padanya dan dikemudian hari menjadi suaminya. Tapi jangan dikira ia masuk Islam gara-gara jatuh cinta dengan Muhammad.

Terkesan dengan shalat


“Waktu itu saya masih kecil. Baru berumur 10 tahun. Kebetulan keluarga kami punya toko dan Muhammad adalah salah satu pelanggan tetapnya. Saya sering mengintip Muhammad kala shalat di belakang toko kami.

“Dari wajahnya saya melihat pancaran kedamaian. Tampaknya dia sangat ikhlas dan menikmati shalatnya. Kala saya tanya, dia bilang dia orang Islam. Apa itu Islam?” tanya Aisyah kecil heran.

Berselang beberapa lama, dengan bantuan Muhammad, Aisyah cilik mulai mendalami Islam lebih jauh. Sekitar lima tahunan ia pelajari kitab suci tersebut dan menariknya dia telah mampu membaca seluruh isi Al-Quran dengan bahasa Arab.

“Semua saya baca. Sungguh sangat menarik sekali. Serasa menancap di hati,” kenangnya.

Alhasil, di usianya yang ke-16 Debbie Rogers pun mengucap dua kalimah syahadat. “Ketika saya mengucapkan kalimah itu, serasa seperti baru melepaskan beban berat yang lepas dari pundak saya. Luar biasa. Saya merasa seperti seorang bayi yang baru dilahirkan,” ujarnya. Ia lantas mengganti namanya, Debbie Rogers menjadi Aisyah.

Meskipun Aisyah sudah memeluk Islam, namun bakal calon mertuanya –ayah kandung Muhammad– tidak setuju putranya menikah dengan wanita Barat. Orangtua Muhammad masih berpikiran tradisional yang menganggap perempuan Barat sulit menerima Islam. Dan, menurut mereka, malah nanti Muhammad yang dibawa ke jalan yang tidak benar. Mereka takut nanti nama keluarga menjadi jelek di mata masyarakat Islam. Namun tekad Muhammad sudah bulat. Iman Aisyah harus diselamatkan.

Muhammad melaksanakan pernikahan di mesjid setempat. Bahkan pakaian nikah yang dikenakan Aisyah dijahit sendiri oleh ibu kandung Muhammad dan saudaranya yang menyelinap secara sembunyi-sembunyi. Sebab bapaknya menolak menghadiri acara sakral dalam hidup anaknya itu. Halnya Michael dan Marjory Rogers, orangtua Aisyah, turut hadir di pernikahan anaknya. Mereka mengaku terkesan dengan baju nikah Aisyah.

Hubungan hambar dengan bapaknya akhirnya mencair. Ceritanya, nenek Muhammad datang khusus dari Pakistan untuk menjenguk cucunya yang baru menikah. Bagi neneknya, pernikahan dengan perempuan Barat juga masih tabu. Namun, semuanya berubah tatkala nenek Muhammad berjumpa dengan Aisyah. Dia sangat takjub dengan perempuan Skotlandia itu yang sudah mampu membaca Al-Quran dan menariknya lagi Aisyah bisa bercakap dalam bahasa Punjab. Perlahan Aisyah telah jadi bagian dari keluarga besar Muhammad.

Islamkan orangtua

Enam tahun kemudian, Aisyah mulai menjalankan misi sulit, yakni mengislamkan kedua orangtua dan anggota keluarganya. Aisyah dan suaminya menceritakan apa itu Islam. Aisyah sendiri kini telah berubah banyak dan hal itu tentu bagian dari dakwah kepada kedua orangtuanya. Misalnya kini dia jadi anak yang sopan, tidak suka membantah kata-kata orangtuanya seperti dulu. Kesan perubahan sikap dan tingkah laku sang anak rupanya merasuk ke hati sang ibu. Tak lama, ibunya memeluk Islam dan berganti nama menjadi Sumayyah.

“Bahkan ibu kini sudah mengenakan jilbab. Ibu shalat tepat waktu. Kini tak ada yang menarik baginya kecuali senantiasa berhubungan dengan Allah,” tutur Aisyah bangga. Akan halnya dengan ayah Aisyah, ternyata sangat sulit untuk diajak. Ibu Aisyah turut membantu mengenalkan sang ayah kepada Islam. “Ibu dan saya sering berdiskusi tentang Islam. Nah satu hari kami duduk-duduk di dapur. Lalu ayah berkata, “Kalimat apa yang kalian ucapkan ketika masuk Islam? Spontan saya dan ibu melompat ke atasnya,” cerita Aisyah sumringah. Ayah pun memeluk Islam.

Lalu, tiga tahun kemudian, abang kandung Aisyah juga mengucap dua kalimah syahadah. Uniknya sang abang memeluk Islam melalui telepon karena ia tinggal agak jauh. Aisyah makin bersemangat tatkala melihat istri abangnya, diikuti oleh anak-anaknya juga memeluk Islam. Bahkan keponakan istri si abang juga masuk Islam. Bukan main bahagianya Aisyah.

Membuka kelas Islam

“Saya belum mau berhenti berdakwah. Keluarga sudah, lalu saya beralih kepada para tetangga di Cowcaddens. Kawasan ini perumahannya sangat padat, bahkan bisa dikatakan kumuh. Tiap hari Senin selama 13 tahun saya membuka kelas khusus tentang Islam bagi wanita-wanita Skotlandia yang ada di situ,” kisah Aisyah mengenang. Sejauh ini dia sudah berhasil mengislamkan tetangga sekitar 30 orang.

“Latar belakang mereka macam-macam. Trudy misalnya, dia seorang dosen di Universitas Glasgow. Trudy adalah seorang Katolik yang awalnya mengikuti kelas saya untuk mengumpulkan data penelitian yang sedang dikerjakannya. Namun setelah berjalan enam tahun Trudy memutuskan memeluk Islam. Menurutnya Kristen sulit diterima akal dan membingungkan, ” sebut Aisyah. Trudy sendiri mengaku masuk Islam karena terkesan dengan kuliah Aisyah yang mudah diterima dan masuk akal.

Disamping siswa non-Muslim, kelas binaan Aisyah juga dipenuhi oleh gadis-gadis Islam yang telah terkena polusi pemikiran Barat. Menurut Aisyah, justru mereka yang patut diselamatkan. Aisyah pun fleksibel dalam kuliahnya. Dia menerima secara terbuka setiap pertanyaan dan mengajak peserta berdiskusi.

Suami Aisyah, Muhammad Bhutta (43), tampaknya tidak begitu tertarik untuk berdakwah di kalangan warga asli Skotlandia. Dia konsentrasi pada usaha restorannya. Fokus suami Aisyah adalah keluarga dan usaha. Suaminya yang bertugas memberikan ajaran Islam kepada kelima anaknya. Tumbuh dengan akhlak dan nuansa Islam, itulah obsesi Aisyah dan suaminya akan anak-anak mereka. Bahkan Safia, anaknya tertua yang berusia 14 tahun menjadi sebab masuk Islamnya seorang wanita tua.

Ceritanya, suatu hari Safia melihat seorang nenek di jalan, dia tergerak untuk membantu si nenek dengan membawakan belanjaannya. Sang nenek rupanya terkesan. Tak berapa lama si nenek pun ikut kelas Aisyah Bhutta, dan beberapa waktu kemudian akhirnya bersyahadat.

“Muhammad orangnya romatis,” ujar Aisyah tersipu. “Saya seakan telah mengenalnya selama berabad-abad. Jadi tak mungkin terpisahkan. Dia bukan hanya kawan dalam hidup di dunia ini, tapi yang lebih penting lagi semoga juga kawan di surga nanti dan selama-lamanya. Itulah hal terindah,” tutup Aisyah.

[Zulkarnain Jalil/www.hidayatul lah.com]
http://tauziyah.com/2008/04/30/aisyah-bhutta-dh-debbie-rogers-islamkan-orangtua-dan-30-temannya/

Disiplin dalam Islam Membawa Kebahagiaan Sejati

Dawood Kinney adalah seorang pria dari keluarga Katolik. Sejak kecil ia meyakini adanya Tuhan, tapi ketika dewasa dan melewati titik rendah dalam hidupnya, gereja Katolik justru menolaknya kembali. Berikut kisah perjalanannya mencari Tuhan.

Mengenang lagi masa kecil dulu, saya selalu terkagum-kagum dengan alam semesta tempat kita hidup ini; bagaimana semuanya berjalan dengan sangat sempurna. Saya sering berbaring di halaman rumput depan rumah. Memandang bintang-bintang, membayangkan betapa besarnya luas alam ini. Saya juga selalu terpesona melihat tubuh manusia yang bisa bekerja sendiri. Detak jantung, paru-paru mengembang dan mengempis tanpa bantuan saya sama sekali. Dan sejak dulu pula, saya telah merasa bahwa ada "pencipta" dari semuanya ini.

Namun ketika beranjak remaja, saya mulai terbawa arus kehidupan. Sangat mudah bagi saya terjerembab ke suatu kebiasaan buruk demi untuk mengatasi tekanan-tekanan hidup. Ketertarikan akan Tuhan mulai hilang, dan saya hanya menghabiskan waktu untuk sekolah, seks, dan permainan kanak-kanak yang biasa dilakukan para pemuda Amerika yang sedang tumbuh.

Memasuki masa dewasa, obsesi saya berubah menjadi seputar uang, jabatan, tempat tinggal yang lebih bagus, mobil yang lebih cepat, dan kekasih yang lebih cantik. Semuanya merupakan tujuan rendahan.

Saya menjalani hidup dengan obsesi itu selama beberapa tahun dan perlahan tapi pasti mulai kehilangan kontrol atas hidup. Saya pikir saya sedang mengejar kebahagiaan. Padahal saya justru semakin tertekan, semakin bingung, dan melakukan lebih banyak lagi kekacauan dalam hidup.

Sampai pada satu titik, hidup saya berputar-putar saja seperti spiral, dan terus turun, hingga akhirnya hancur.

Saya lantas segera kembali kepada Tuhan. Karena dulu dibesarkan dalam keluarga Katolik, maka saya segera kembali mendatangi gereja. Saat itu saya telah bercerai dan menikah kembali. Namun ternyata, gereja tidak lagi mau menerima saya.

Oleh karena saya membutuhkan Tuhan dalam hidup ini, maka saya lantas berpaling kepada agama Budha.

Saya mengikuti agama Budha yang memiliki akar tradisi Tibet, yang lebih menekankan pada pemberdayaan dengan mencari berkah dari banyak Budha. Namun saya merasa justru tidak membuat diri ini lebih baik, karena hanya berputar-putar mencari kekuatan iman dengan melakukan berbagai macam ritual.

Tiba-tiba saya teringat pesan Budha yang terakhir kali ia ucapkan sebelum meninggal, yaitu jangan menyembah dirinya. Akhirnya saya sadar, bahwa dasar ajaran persembahyangan yang dilakukan selama ini bukan hanya menyembah Sang Budha, tapi juga menyembah budha-budha lainnya.

Putus asa, maka saya pun kembali kepada kebiasaan lama, bergaul dengan alkohol dan kesenangan-kesenangan buruk lainnya. Dan sekali lagi, saya begitu tertekan. Namun kali ini, ada efek emosional di mana saya menjadi begitu sangat ketakutan dan merusak diri sendiri.

Ketika muda, saya sangat menyenangi musik-musik Cat Steven (Yusuf Islam). Ketika mendengar ia masuk Islam, saya sedang bertugas di Angkatan Laut dan terjebak dalam suasana genting di Iran. Oleh karena itu, saya lantas menyimpulkan bahwa Cat Steven telah menjadi seorang teroris. Dan saya meyakini hal itu selama beberapa tahun ke depan.

Sekitar awal tahun 2006, Dawood Kinney kembali mendengar berita tentang Yusuf Islam. Namun kali itu berbeda nuansanya.

Saya mendengar ia akan diwawancarai di televisi. Saya ingin mendengar tentang orang gila ini, yang meninggalkan kehidupan yang hebat dan memilih menjadi seorang teroris.

Harus saya akui, bahwa saya terhanyut dengan wawancara tersebut. Karena ia ternyata bukan teroris, melainkan orang yang lembut tutur bahasanya, jelas ucapannya. Seorang pria damai yang memancarkan kasih sayang dan kesabaran, serta kecerdasan.

Esok harinya saya langsung mencari tahu tentang Islam di internet. Saya mendapati sebuah rekaman ceramah dalam bentuk RealAudio yang disampaikan oleh Khaled Yasin. Ceramahnya itu membuat saya semangat kembali.

Pertama adalah saudara Khaled yang sangat berjasa bagi saya. Berdua dengan saudara Yusuf (Cat Steven), keduanya benar-benar berbicara (tentang Islam) kepada kami yang tidak dibesarkan dalam lingkungan Muslim. Semuanya sangat mudah diterima akal, tentang keberadaan Tuhan sangat mudah untuk dipahami. Mengapa saya bisa begitu bodoh selama ini?!

Semakin saya belajar, semakin saya yakin bahwa inilah jalan yang tepat untuk saya lalui, yang selama ini saya cari. Islam mengajarkan tentang disiplin, baik fisik, mental dan spiritual, yang bisa membawa kepada kebahagiaan sejati. Tapi yang lebih penting adalah, ia merupakan jalan untuk menuju Allah.

Pengalaman mengucapkan dua kalimat syahadat, rasanya seperti membersihkan diri dari segala apa yang telah saya perbuat selama ini. Dan sejak itu, saya menjadi sering menangis, menangis, dan menangis. Sangat menakjubkan!

Saya mendapatkan ucapan selamat dan sambutan yang hangat dari semua saudara sesama Muslim laki-laki dan perempuan dari seluruh dunia. Saya sangat menikmatinya, mengetahui bahwa--tanpa memperdulikan masa lalu yang kelam--saya benar-benar dikelilingi oleh keluarga saya sesama Muslim, yang tidak akan pernah menelantarkan diri ini, selama saya tetap menjadi Muslim. Tidak ada satu pun kelompok orang yang pernah memperlakukan saya seperti ini.

Jalan saya masih panjang dan penuh tantangan. Menerima Islam adalah satu bagian yang mudah, tapi meniti jalan yang lurus adalah bagian yang berat, khususnya bagi orang yang hidup di dalam masyarakat yang tidak beriman. Tapi, saya berdoa kepada Allah, memohon kekuatan dan petunjuk. Dan setiap hari, sedikit demi sedikit, saya berusaha meningkatkan kualitas keislaman saya. [di/ir/www.hidayatullah.com]