Rabu, 20 Januari 2010

Martin Lings, Hidayah Allah untuk Sang Penyair


Menyebut nama Abu Bakr Siraj Ad-Din, mungkin tak banyak orang yang mengenalnya. Ketika disebut nama Martin Lings, tentu hanya sebagian umat Islam yang mengetahuinya. Namun, bagi kebanyakan pelajar, peneliti, dan tokoh muslim, nama Martin Lings sangat populer. Karena, tulisan dan karya-karyanya mampu memberi inspirasi banyak orang dalam mempelajari Islam. Padahal, sang penulis dulunya seorang pemeluk Kristen yang taat. Berkat hidayah Allah, ia pun memeluk Islam dan menjadi mualaf.

Salah satu karyanya yang sangat fenomenal berjudul Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (Muhammad: His Life Based On The Earliest Sources), diterbitkan tahun 1983. Buku yang berisikan biografi Rasulullah SAW ini didedikasikan untuk pemimpin Pakistan, Zia ul-Haq.

Dengan gaya narasi (bertutur) yang halus dan mudah dipahami, Martin Lings mampu menghadirkan sebuah riwayat hidup dan perjalanan seorang tokoh inspiratif bagi dunia, yakni Nabi Muhammad SAW. Ia menulisnya dengan sangat detail dan mengagumkan.

Oleh banyak kalangan, buku ini dinilai sebagai salah satu buku biografi Rasulullah SAW yang terbaik dan pernah diterbitkan. Tentunya, hanya seseorang yang berkemampuan istimewa yang bisa menghasilkan sebuah buku yang berkualitas dan menyentuh. Itulah yang dilakukan Martin Lings karena kecintaannya pada Sang Uswatun Hasanah, Nabi Muhammad SAW.

Banyak sudah pembaca yang memuji karya cendekiawan Inggris ini. Orang menyebutnya tour de force, karya nan tiada bandingannya. Ditulis dari perspektif seorang cendekiawan-sejarawan yang juga mempraktikkan Islam dalam keseharian, buku tersebut cepat terkenal dan menjadi salah satu bacaan wajib mengenai kehidupan Nabi Muhammad SAW. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam 10 bahasa serta memperoleh sejumlah penghargaan dari dunia Islam.

Profesor Hamid Dabashi dari Columbia University mengungkapkan kekagumannya. ''Ketika membaca buku Muhammad karya Lings, kita akan bisa merasakan semacam efek kimia pada narasi dan komposisi bahasa yang terkombinasi dengan keakuratan serta gairah syair. Lings adalah cendekiawan-penyair,'' katanya.

Selain buku di atas, nama Martin Lings juga banyak dikenal dari berbagai karya-karyanya yang lain. Di antaranya adalah terjemahan teks Islam, puisi, seni, dan filsafat. Dari tulisan-tulisannya itu, Lings kerap disejajarkan dengan peneliti seni berkebangsaan Swiss-Jerman, Titus Burckhardt; tokoh filsuf abadi dan metafisikawan Prancis, Rene Guenon; serta cendekiawan Jerman, Fritjhof Schuon. Martin Lings sangat identik dengan seorang sufi yang gigih dalam menyebarkan Islam di Barat melalui tulisan-tulisan dan artikel-artikelnya yang tajam dan kritis.

Namun, hal yang paling berkesan dari Lings adalah keterkaitan karya dengan jiwa ihsan (keindahan dan kecemerlangan) yang dimilikinya. Ia mencurahkan jiwa dan hatinya dalam menghasilkan sebuah karya yang inspiratif, jelas, dan berkualitas.

Kini, sang tokoh sudah tiada. Pada 12 Mei 2005 lalu, Lings mengembuskan nafas terakhir dalam usia 96 tahun di kediamannya di kawasan Westerham, Kent County, Inggris. Umat Islam di seluruh dunia pun berkabung atas wafatnya penyair sufi modern terkemuka ini.

Berasal dari keluarga pemeluk Kristen Protestan, Lings lahir di Burnage, Lancashire, Inggris, pada 24 Januari 1909. Meski begitu, dia menghabiskan masa kecilnya di Amerika Serikat, mengikuti ayahnya. Ketika keluarganya kembali ke Inggris, dia didaftarkan ke Clifton College, Bristol. Kemudian, Lings melanjutkan pendidikannya di Magdalen College, Oxford. Ia belajar literatur Inggris dan memperoleh gelar BA tahun 1932. Tahun 1935, dia memutuskan pergi ke Lithuania untuk menjadi pengajar studi Anglo-Saxon dan Inggris Tengah di Universitas Kaunas.

Mengenal Islam
Pada tahun 1939, Lings datang ke Mesir mengunjungi seorang teman dekatnya yang kebetulan mengajar di Universitas Kairo. Temannya ini juga merupakan asisten filsuf Prancis, Rene Guenon. Akan tetapi, pada saat kunjungannya itu, sang teman meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Kemudian, Lings diminta untuk mengisi posisi yang ditinggalkan oleh temannya ini. Dia menerima tawaran tersebut.

Lings pun mulai aktif belajar bahasa Arab dan mempelajari Islam. Setelah banyak berhubungan dengan ajaran Sufi Sadzililiyah, dia berketetapan hati untuk masuk Islam. Sejak saat itu, ia menjadi pribadi baru dengan nama Abu Bakr Siraj Ad-Din.

Bagi Lings, Islam bukan hanya sekadar agama. Islam menjadi petunjuk hidup umat manusia. Ia sangat terkesan dengan Alquran dan pribadi Rasulullah SAW. Baginya, tak ada tokoh yang melebihi Nabi Muhammad SAW, baik dalam akhlak maupun kepribadiannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, bukunya yang berjudul Muhammad, Kisah Hidup Nabi merupakan salah satu bukti kecintaannya kepada Rasulullah SAW.

Komitmennya dalam Islam terbawa sepanjang hayat. Bahkan, sepuluh hari sebelum meninggal dunia, Lings masih sempat menjadi pembicara di depan tiga ribu pengunjung pada acara Maulid Nabi Muhammad SAW yang bertajuk Bersatu untuk Sang Nabi yang diadakan di Wembley, Inggris. Lings mengatakan, itu adalah pertama kalinya dia berbicara mengenai makna kehidupan Nabi Muhammad SAW dalam waktu 40 tahun.

Setelah masuk Islam, Lings makin dekat dengan Rene Guenon yang juga sudah memeluk Islam. Dia lantas menjadi asisten pribadi serta penasihat spiritual Guenon.

Pada saat tinggal di Mesir, ia menikah dengan Lesley Smalley. Keduanya lantas tinggal di sebuah kamp pengungsi di dekat piramid. Namun, ketika revolusi anti-Inggris oleh kaum nasionalis yang berujung pada kerusuhan melanda Mesir, Lings memutuskan kembali ke Inggris pada 1952.

Sekembali dari negara di kawasan Afrika ini, ia melanjutkan pendidikan ke School of Oriental and African Studies, London, hingga mendapat gelar doktor. Tesisnya mengenai seorang sufi terkenal asal Ajazair, Ahmad al-Alawi, yang kemudian ia terbitkan menjadi sebuah buku dengan judul A Sufi Saint of the Twentieth Century. Sementara itu, sang istri yang berprofesi sebagai psikoterapis bekerja sesuai bidangnya itu.

Kemudian, tahun 1955, dia bekerja sebagai asisten ahli naskah kuno dari kawasan Timur pada British Museum. Pekerjaan itu dilakoninya hingga hampir dua dasawarsa.

Tahun 1973, Lings merangkap kerja di British Library, di mana dia memfokuskan perhatiannya terhadap kaligrafi Alquran. Beberapa tahun kemudian, dia memublikasikan karya klasiknya pada subjek yang sama, yaitu The Qur'anic Art Of Calligraphy And Illumination, bertepatan dengan penyelenggaraan Festival Dunia Islam tahun 1976.

Sejak itu, Lings pun mulai menulis secara teratur. Karya-karyanya, selain sufisme dan buku-buku lainnya, meliputi artikel mengenai tasawuf pada terbitan Cambridge University, Religion in the Middle East dan The Eleventh Hour: The Spiritual Crisis of the Modern World in the Light of Tradition and Prophecy, serta banyak artikel untuk jurnal kuartalan, Studies in Comparative Religion. Jurnal itu turut andil dalam memperluas cakrawala dunia Barat dalam memahami ketinggian Islam.

Pengagum Shakespeare
Selain berkutat dalam bidang filsafat, Lings juga berkiprah di bidang seni. Kiprah awalnya di bidang seni dimulai pada tahun 1944 dengan memproduksi sandiwara Shakespeare. Para pemainnya tak lain adalah para muridnya sendiri.

Ia memang senang mempelajari karya-karya pujangga itu. Ketertarikannya pada karya-karya Shakespeare lantas membawanya, sekitar 40 tahun kemudian, membuat buku berjudul The Sacred Art of Shakespeare: To Take Upon Us the Mystery of Things. Sebagai bentuk penghargaan terhadap karya-karya Lings, Putra Mahkota Kerajaan Inggris Pangeran Charles pun bersedia memberikan kata pengantar dalam buku ini.

Dalam kata pengantarnya, Pangeran Charles menulis, ''Kejeniusan khusus yang dimiliki Lings terletak pada kemampuannya untuk menyampaikan, seperti yang tidak pernah dilakukan orang lain sebelumnya. Teks-teks dasar yang ia sajikan dalam karya teater ini telah meninggalkan kesan yang mendalam, tidak hanya kepada para pecinta karya seni, tetapi juga kepada para pembaca awam.'' nidia zuraya

Biodata :
Nama : Martin Lings
Nama Muslim : Abu Bakr Siraj Ad-Din
TTL : Burnage, Lancashire, Inggris, 24 Januari 1909
Wafat : 12 Mei 2005
Profesi : Pengajar dan Seniman
Istri : Lesley Smalley
Beberapa karyanya :
1. Muhammad: His Life Based On The Earliest Sources
2. The Sacred Art of Shakespeare: To Take Upon Us the Mystery of Things
3. A Sufi Saint of the Twentieth Century
4. The Qur'anic Art Of Calligraphy And Illumination
5. Religion in the Middle East
6. The Eleventh Hour: The Spiritual Crisis of the Modern World in the Light of Tradition and Prophecy

http://www.republika.co.id/node/95930

Senin, 11 Januari 2010

Aisha Canlas: Merasakan Kedamaian Mendengar Adzan

Aisha Canlas, adalah penganut Katolik sebelum menjadi seorang Muslim. Kedua orantuanya juga Katolik, namun ketika itu ia menjadi anggota perkumpulan gereja yang berbeda dengan gereja kedua orangtuanya. Namun mereka sama-sama berdoa di depan gambar sosok laki-laki yang diyakini sebagai Tuhan umat Kristiani. Saat itu, Canlas sering bertanya, benarkah ini wajah Tuhan? Bagaimana sesorang bisa tahu seperti apa wajah Tuhan? Apakah mereka sudah pernah bertemu dengan Tuhan?

Di sisi lain, Canlas selalu merasa ketenangan dan kedamaian ketika mendengar suara adzan dari sebuah masjid di kota Manila, Filipina. "Saya selalu memejamkan mata dan merasakan ketenangan meskipun, saya tidak tahu makna kata-kata dalam adzan. Suara adzan seperti suara musik di hati saya," tutur Canlas. Tapi saat itu, ia sama sekali belum terpikir untuk masuk Islam.

Canlas akhirnya merantau ke Arab Saudi untuk bekerja, dengan harapan bisa memberikan masa depan yang lebih baik untuk keluarganya. Sebelum berangkat ke Saudi, Canlas belajar banyak hal tentang Saudi untuk menghindari syok akibat perbedaan budaya dan untuk memudahkannya bergaul di negara tempat ia bekerja.

"Saya belajar tentang budaya, dan tentang negara Saudi secara keseluruhan, mulai dari bahasa dan tentu saja agamanya. Dan saya mulai tertarik dengan agama Islam dan ingin lebih tahu banyak tentang Islam," ujar Canlas.

Ia mengakui prosesnya masuk Islam cukup panjang. Ia sering bertanya pada para dokter di tempat kerjanya tentang agama Islam. Kemudian saya mengetahui bahwa ada sebuah madrasah di lingkungan kerjanya dan memutuskan untuk ikut mendaftarkan diri di madrasah tersebut dan mulai mengikuti pelajaran di madrasah itu bersama seorang teman dan kawan sekamarnya pada 17 Januari 2008.

"Awalnya, saya menjadi pusat perhatian, karena saya anak baru di kelas dan satu-satunya penganut Kristen yang duduk bersama mereka. Saya mendengarkan apa yang disampaikan guru kami tentang Islam, al-Quran, Rasulullah dan Allah swt," papar Canlas.

"Sejak itu, saya mulai memahami agama Islam. Kemudian meminta izin pada ibu saya di Filipina agar memberikan restu pada saya untuk berpindah agama dari seorang penganut Katolik menjadi seorang Muslimah," sambung Canlas.

Beruntung, Canlas tidak menghadapi kendala dari sang ibu. Menurut Canlas, ibunya cuma khawatir ketika ia masuk Islam ia akan melupakan orang tuanya. Canlas menjelaskan pada ibunya bahwa Muslim sangat menghormati orang tuanya, terutama ibu.

Canlas mengucap dua kalimat syahadat pada 24 Januari 2008 di hadapan guru dan siswa-siswa madrasah lainnya. Canlas mengaku tidak mengungkapkan seperti apa perasaannya saat itu. "Yang saya tahu, setelah bersyahadat saya merasa hati saya terlepas dari beragam beban. Saya merasakan kedamaian yang selama ini saya cari dalam kehidupan ini. Menjadi seorang Muslim sungguh sangat berbeda rasanya," ungkap Canlas.

Canlas mengatakan, beberapa teman bertanya mengapa ia masuk Islam. Dan ia menjawab bahwa tidak ada seorang atau sesuatu yang patut disembah kecuali Allah swt dan Rasulullah Muhammad saw adalah utusanNya.

"Beberapa diantara mereka mengatakan bahwa saya mengkhianati agama saya yang dulu, Katolik. Tapi di lubuk hati saya mengatakan bahwa itu tidak benar," tukas Canlas.

Berbahagialah Canlas karena sebagai seorang Mualaf ia sudah bisa menunaikan umrah.pada bulan Maret kemarin. Baginya, pengamalan umrah adalah pengalaman yang spesial dan tak terlupakan.

"Saya berharap dan berdoa pada Allah swt agar saya bisa meyakinkan keluarga saya untuk masuk Islam juga. Saya ingin mereka selamat dari api neraka pada Hari Kiamat nanti," harap Canlas. (ln/iol)

sumber : eramuslim

Abdul Aziz Myatt: seorang Neo Nazi

Sebagai seorang aktivis kelompok sayap kiri dan pendukung Neo-Nazi, lelaki asal Inggris ini menempuh perjalanan panjang dan berliku sebelum akhirnya memutuskan untuk memeluk agama Islam. Ego sebagai bagian dari masyarakat Barat yang modern dan maju, menghalanginya untuk menemukan cahaya Islam. Namun ia yakin Allah swt telah membimbing dan memberikannya hidayah, hingga ia masuk ke sebuah masjid, mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang Muslim dengan nama Abdul Aziz Myatt.

Perkenalan Myatt dengan Islam berawal ketika ia berlibur ke Mesir. Di negeri Piramida itu ia berkunjung ke sebuah masjid dan hatinya tersentuh dengan keindahan suara adzan yang dilantunkan dari masjid itu meski ia belum mengerti apa itu adzan. Sejak itu, Myatt mulai ingin tahu tentang Islam dan setiap berlibur ke Mesir, ia mencari kesempatan untuk berbincang-bincang dengan Muslim Mesir dan menanyakan tentang agama mereka.

Myatt juga membeli sebuah al-Quran, membacanya sedikit demi sedikit hingga ia berkesimpulan ajaran al-Quran adalah ajaran yang masuk akal dan makin membuatnya kagum dengan Islam dan umat Islam. "Semakin banyak saya bertemu dengan Muslim, saya semakin mengagumi mereka," kata Myatt.

Ketika itu, Myatt tidak langsung berpikiran untuk masuk Islam. Ia masih dikuasai oleh egonya, cara hidupnya sebagai orang Barat dan dua hal yang membuatnya menahan diri untuk tidak mengapresiasi Islam secara penuh dan mempelajarinya lebih jauh lagi.

Dua hal itu adalah, pertama, karena keyakinannya yang tertanam sejak lama pada alam semesta. Keyakinan bahwa umat manusia adalah milik dari seorang "ibu" yaitu "bumi". Kedua, karena budaya bangsanya yang membuatnya merasa lebih mulia dan superior dibandingkan bangsa lainnya. Selama puluhan tahu, Myatt terombang-ambing dalam keyakinan itu, yang ia pikir sebagai sumber dari zat yang suci. Belum lagi posisinya sebagai aktivis kelompok sayap kiri dan Neo-Nazi yang membuat banyak orang termasuk para wartawan yang menilainya sebagai politisi yang jahat.

"Ketika itu saya masih bersikap arogan, yang hanya percaya dengan keyakinan saya sendiri dan dalam memahami apa yang telah saya raih," imbuh Myatt.

Hatinya tergerak kembali untuk mulai serius mempelajari Islam ketika ia beralih profesi, mengelola sebuah peternakan. Ia bisa bekerja selama berjam-jam seorang diri. Kedekatannya dengan alam, mengetuk jiwa dan rasa kemanusiaannya. Ia mulai menyadari kesatuan alam semesta dan bagaimana ia menjadi bagian dari semua itu yang ciptakan oleh Tuhan.

Jauh di dasar hatinya, Myatt mengakui bahwa alam semesta ini tidak terjadi secara kebetulan tapi memang diciptakan. Terkadang keyakinan dan ego lamanya muncul. Ia merasakannya seperti berperang dengan godaan setan. Namun ia makin meyakini di dalam hatinya tentang satu-satunya Sang Maha Pencipta.

"Untuk pertama kalinya saya merasa diri saya begitu kecil. Kemudian tanpa sengaja saya mengambil al-Quran dari rak buku, al-Quran yang saya beli waktu berkunjung ke Mesir. Saya mulai membacanya dengan seksama. Sebelumnya, saya hanya membolak-balik lembarannya dan membaca sepintas lalu beberapa ayat," tutur Myatt.

"Apa yang saya temukan di al-Quran adalah hal-hal yang logis, alasan, kebenaran, keadilan, kemanusiaan dan keindahan," sambungnya.

Myatt makin tertarik untuk lebih mendalami agama Islam. Ia pun mencari informasi tentang Islam lewat internet dan membaca banyak artikel tentang agama Islam di situs-situs Islam. Dengan melepaskan semua prasangka dan arogansinya, Myatt harus mengakui kalau agama Islam adalah agama yang mulia.

"Saya merasakan menemukan ajaran tentang kemuliaan, rasa hormat, rasa saling percaya, keadilan, kebenaran, kemasyarakatan, mengingat Tuhan setiap hari, disiplin diri, penyikapan terhadap materi dari sisi spiritual dan pengakuan bahwa kita adalah hamba yang harus mengabdi pada Tuhan," papar Myatt.

Ia juga mempelajari sosok Nabi Muhammad saw dan kehidupannya. Bagaimana Rasulullah menyebarkan agama Islam dan membentuk sebuah peradaban manusia, yang membuat Myatt terkagum-kagum. "Bagi saya, ia (Rasulullah) adalah manusia sempurna dan contoh sempurna yang harus kita tiru," tukas Myatt.

Ia melanjutkan, "Semakin banyak saya tahu tentang Islam, semakin banyak keraguan dan pertanyaan dalam diri saya yang terjawab selama hampir 13 tahun belakangan ini. Saya benar-benar merasa bahwa saya akhirnya 'pulang ke rumah', menemukan jati diri saya. Rasanya seperti ketika saya pertama kali tiba di Mesir dan berkeliling kota Kairo dengan menara-menara masjid dan suara adzannya."

Myatt merasa bahwa hijrahnya ke agama Islam bukan sebuah pertanyaan lagi, tapi sebuah tugas yang harus dilakukan. Karena saya telah menemukan kebenaran bahwa Tiada Tuhan Selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusanNYa.

Myatt kemudian mendatangi sebuah masjid dan menyatakan ingin menjadi seorang Muslim. Ia diterima oleh jamaah masjid dengan hangat dan penuh rasa persaudaraan, yang membuatnya terharu dan meneteskan air mata. Ia bersyukur Allah swt telah menunjukannya jalan yang benar. (ln/iol)

sumber : eramuslim

Abdullah DeLancey: Perjalanan Spiritual Pembantu Pastor

Semuanya kemudian berubah. Keyakinan saya selama ini terhadap ajaran Kristen runtuh. Saya tidak lagi mempercayai ajaran Kristen atau menjadi seorang Kristiani."

Jalan untuk meraih cita-citanya sebagai pastor atau pemimpin misionaris terbuka lebar, namun jalan yang terbentang itu justru membawanya untuk mengenal Islam. Sehingga ia akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang Muslim dan melepaskan semua ambisinya, meski pada saat itu ia sudah menjadi pembantu pastor. Dia adalah Abdullah DeLancey, seorang warga Kanada yang menceritakan perjalanannya menjadi seorang Muslim.

"Dulu, saya adalah penganut Kristen Protestan. Keluarga saya membesarkan saya dalam ajaran Gereja Pantekosta, hingga saya dewasa dan saya memilih menjadi seorang jamaah Gereja Baptist yang fundamental," kata DeLancey mengawali ceritanya.

Menurutnya, sebagai seorang Kristen yang taat, kala itu dia kerap terlibat dengan berbagai aktivitas gereja seperti memberikan khotbah pada sekolah minggu dan kegiatan-kegiatan lainnya. "Saya akhirnya terpilih sebagai pembantu pastor. Saya benar-benar ingin mengabdi lebih banyak lagi pada Tuhan dan memutuskan untuk mengejar karir sampai menjadi seorang Pendeta," tutur DeLancey yang kini bekerja memberikan pelayanan pada para pasien di sebuah rumah sakit lokal.

Keinginannya, sebenarnya menjadi seorang Pastor atau menjadi seorang misionaris. Namun ia berpikir, jika menjadi seorang Pendeta maka akan memperkuat komitmen hidupnya dan keluarganya pada gereja secara penuh. DeLancey pun mendapatkan beasiswa untuk mengambil gelar sarjana di bidang agama.

"Sebelum mengikuti kuliah di Bible College, saya berpikir untuk lebih menelaah ajaran-ajaran Kristen dan saya mulai menanyakan sejumlah pertanyaan-pertanyaan serius tentang ajaran agama saya. Saya mempertanyakan masalah Trinitas, menagapa Tuhan membutuhkan seorang anak dan mengapa Yesus harus dikorbankan untuk menebus dosa-dosa manusia seperti yang disebutkan dalam Alkitab," ujar DeLancey yang dikaruniai tiga anak dari perkawinannya selama hampir 20 tahun.

Hal lainnya yang menjadi tanda tanya bagi DeLancey, bagaimana bisa orang-orang yang disebutkan dalam "Kitab Perjanjian Lama" bisa "selamat" dan masuk surga padahal Yesus belum lahir. "Saya dengan serius merenungkan semua ajaran Kristen, yang selama ini saya abaikan," sambung DeLancey. Ia mengakui tidak mendapatkan jawaban yang masuk akan dan cukup beralasan atas semua pertanyaan-pertanyaan yang menjadi dasar ajaran Kristen itu.

"Lantas, untuk apa Tuhan memberikan kita akal yang luar biasa jika kemudian kita tidak boleh menggunakannya. Itulah yang perintahkan agama Kristen, agama Kristen meminta kita untuk tidak menggunakan akal ketika menyatakan bahwa Anda harus punya keyakinan. Sebuah keyakinan yang buta," kata DeLancey, mengenang pengalamannya di masa lalu.

Sejak itu, DeLancey sadar bahwa selama ini ia sudah menelan ajaran Kristen dengan secara buta dan tidak pernah mempertanyakan hal-hal yang sebenarnya membuatnya bingung. "Saya sama sekali tidak pernah menyadarinya," ujar DeLancey.

"Saya tidak bisa menemukan jawaban-jawabannya di Alkitab. Begitu saya sadar bahwa Trinitas cuma sebuah mitos dan bahwa Tuhan cukup kuat untuk "menyelamatkan" seseorang tanpa membutuhkan bantuan dari seorang anak atau siapapun, atau apapun. Semuanya kemudian berubah. Keyakinan saya selama ini terhadap ajaran Kristen runtuh. Saya tidak lagi mempercayai ajaran Kristen atau menjadi seorang Kristiani."

"Saya meninggalkan gereja untuk selamanya dan istri saya mengikuti langkah saya, karena ia juga mengalami hal yang sama dalam menerima ajaran-ajaran Kristen. Inilah yang akan menjadi awal perjalanan spritual saya, ketika itu saya tanpa agama tapi tetap percaya pada Tuhan," papar DeLancey.

Hidayah Itupun Datang

DeLancey mengakui, saat-saat itu menjadi saat-saat yang sulit bagi dirinya dan keluarganya yang selama ini hanya tahu ajaran Kristen. Namun ia terus mencari kebenaran dan mulai mempelajari berbagai agama. DeLancey tetap menemui kejanggalan-kejanggalan dalam agama-agama yang dipelajarinya, sampai ia mendengar tentang agama Islam.

"Islam !!! Apalagi itu? Sepanjang yang saya ingat, saya tidak pernah mengenal seorang Muslim dan tidak pernah mendengar Islam, bahkan pembicaraan tentang Islam sebagai salah satu agama di tempat saya tinggal di Kanada kecuali cerita-cerita buruk tentang Islam. Ketika itu, saya sama sekali tidak mempertimbangkan Islam," tutur DeLancey.

Tapi kemudian, DeLancey mulai membaca-baca informasi tentang Islam dan mulai membaca isi al-Quran. Isi al-Quran itulah yang mengubah kehidupannya sehingga ia tertarik untuk membaca segala sesuatu tentang Islam. Beruntung, DeLancey menemukan sebuah masjid yang letaknya sekitar 100 mil dari kota tempat tinggalnya.

"Saya lalu membawa keluarga saya ke masjid ini. Dalam perjalanan, saya merasa gugup tapi juga dipenuhi semangat dan saya bertanya pada diri sendiri, apakah saya akan diizinkan masuk ke masjid karena saya bukan seorang Arab atau Muslim," kisahnya.

Setelah sampai di masjid, saya pun merasa bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ia dan keluarganya disambut hangat oleh seorang Imam dan sejumlah Muslim di masjid itu. "Mereka sangat baik. Tidak seburuk berita-berita tentang Muslim," aku DeLancey.

Di masjid itu, DeLancey diberi buku yang ditulis oleh Ahmad Deedat dan ia diyakinkan bisa menjadi seorang Muslim. DeLancey membaca semua material-material tentang Islam dan sangat menghargai pemberian itu, karena di perpustakaan di tempatnya tinggal hanya ada empat buku tentang Islam.

"Setelah mempelajari buku-buku itu, saya sangat syok. Bagaimana bisa saya menjadi seorang Kristiani begitu lama dan tidak pernah mendengar ada kebenaran? Saya akhirnya meyakini Islam dan ingin masuk Islam," kisah DeLancey.

Ia kemudian mengontak komunitas Muslim di kotanya dan pada 24 Maret 2006 saya pergi ke masjid dan mengucapkan syahadah beberapa saat sebelum pelaksanaan salat Jumat, dengan disaksikan komunitas Muslim di kotanya.

"Saya mengucapkan La illaha ill Allah, Muhammadur Rasul Allah, tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Saya pun menjadi seorang Muslim. Hari itu adalah hari paling indah dalam hidup saya. Saya mencintai Islam dan merasakan kedamaian sekarang," tukas DeLancey mengingat kembali saat-saat ia menjadi seorang Mualaf.

DeLancey mengakui, ia dan keluarganya menghadapi masa-masa sulit setelah memutuskan memeluk Islam terutama dari teman-temannya yang Kristen dan dari kedua orangtuanya. Ia tidak diakui lagi sebagai anak dan teman-temannya yang Kristen tidak mau lagi bicara dengannya. DeLancey dijauhi bahkan ditertawai.

"Saya senang menjadi seorang Muslim, tak masalah jika teman-teman saya sesama orang Kanada memandang saya aneh karena memilih menjadi seorang Muslim. Karena saya sendiri yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan saya pada Allah setelah saya mati."

"Allah memberi saya kekuatan dan Allah yang Maha Besar menolong saya untuk melewati masa-masa sulit setelah saya masuk agama Islam. Saya punya banyak sekali saudara seiman sekarang," tandas DeLancey.

Setelah masuk Islam, DeLancey mengubah nama depannya dan jadilah namanya sekarang Abdullah DeLancey. menjadi orang pertama dan satu-satunya pembimbing rohani Islam yang dibolehkan bekerja di rumah sakit di kotanya. Ia juga mengelola sebuah situs Islam Muslimforlife.com yang dididirikannya.

"Saya seorang Muslim dan saya sangat bahagia menjadi seorang Muslim. Rasa syukur saya panjatkan pada Allah swt," tukas DeLancey mengakhiri kisah perjalanannya dari seorang pembantu pastor menjadi seorang Muslim. (iol)

sumber : eramuslim

Thomas Webber: Masuk Islam Ketika Agama Islam Dituduh Teroris

Serangan 11 September 2001 menjadi titik awal perang AS melawan teror di bumi-bumi Muslim. Invasi AS ke Irak dan Afghanistan membuat dunia percaya bahwa Islam dan Muslim identik dengan kekerasan dan terorisme. Tapi kampanye-kampanye negarif tentang Islam dan Muslim yang demikian gencar justeru membuat banyak non-Muslim di Barat yang tertarik mempelajari Islam dan tak sedikit diantara mereka yang akhirnya memilih menjadi seorang Muslim. Mereka berani mengucap dua kalimat syahadat karena yakin Islam sebenarnya adalah agama yang paling sempurna dan mengajarkan perdamaian.

Thomas Webber seorang pemuda Inggris, adalah salah satu orang yang tidak percaya begitu saja dengan kampanye hitam terhadap Islam yang dilakukan dunia Barat. Terlahir dari keluarga Kristen, Webber dan saudara-saudara kandungnya; satu orang kakak lelaki dan dua adik perempuan kembar, diwajibkan ikut sekolah Minggu oleh ibunya.

Sejak kecil, Webber memang sudah dikenal cerdas. Apa yang diajarkan di sekolah Minggu membuat Webber kecil bertanya-tanya mengapa Tuhan yang ia kenal penuh cinta kasih dan memiliki kekuatan seperti keyakinan dalam Kristen, harus membunuh anaknya untuk menanggung beban dosa-dosa manusia. Webber berpikir ajaran itu tidak masuk akal. Waktu terus berjalan, Webber pun beranjak remaja. Pada masa ini, Webber tidak lagi terlalu memikirkan konsep ketuhanan. Bagi Webber, hari-hari besar keagamaan adalah hari libur dimana ia bisa santai atau saatnya bagi-bagi hadiah. Dia memandang orang-orang yang percaya pada agama adalah orang-orang yang cara berpikirnya lemah atau bodoh, karena mereka tidak bisa membuktikan ajaran agama mereka seperti pembuktian dalam ilmu pengetahuan yang ia pelajari di sekolah.

Di ulangtahunnya yang ke-13, terjadi perubahan dalam diri Webber. Ia merasa mulai peduli lagi pada agama. Tapi bukan dalam artian ia kembali menjadi penganut Kristen yang religius. Tapi hanya meyakini bahwa ada satu kekuatan atas segala sesuatu yang ia tidak mampu melakukannya.

Webber pun mulai mempelajari bermacam-macam agama, kecuali Islam. Agama-agama yang ia pelajari membuatnya berpikir bahwa semua agama itu bertujuan untuk membuat orang menjadi lebi bermoral. Webber merasa masih ada sesuatu yang kurang dari beragam agama yang sudah ia pelajari. Pencarian atas kebutuhan jiwanya yang belum terpenuhi itupun terus ia lanjutkan.

Menemukan Kebenaran Islam

Tahun 2001, terjadilah serangan 11 September ke gedung kembar World Trade Center di New York yang membuatnya hampir tak percaya menyaksikan tragedi itu. Namun ramainya pemberitaan tentang peristiwa kelabu itu sama sekali tidak terlalu mempengaruhi kehidupannya. Perhatiannya mulai terusik ketika laporan-laporan tentang serangan itu mulai menyebut-sebut tentang teroris Islam, tindakan balasan terhadap Muslim dan dilanjutkan dengan laporan-laporan tentang serangan ke Afghanistan lalu ke Irak. Webber mulai mempertanyakan semua itu dan tergerak untuk mencari kebenaran tentang Islam.

“Saya tidak begitu saja percaya bahwa orang-orang Islam bisa menjadi teroris yang hanya bisa membunuh dan menimbulkan kebencian. Bagi saya itu sangat aneh, sehingga saya mengabaikannya. Tapi mungkin ini adalah saat ketika saya untuk pertama kalinya benar-benar merasa ingin untuk belajar agama,” kata Webber.

Di tahun keenam masa kuliahnya, Webber berkenalan dengan seorang Muslim. Dari sahabat Muslimnya itulah Webber menemukan menemukan bukti yang jelas dan nyata bahwa orang-orang Muslim adalah seperti penganut-penganut agama lain pada umumnya, dan bukan orang-orang yang brengsek dan hanya bisa melakukan kekerasan.

Sejak itu, Webber mulai serius belajar Islam. Ia diam-diam menggali berbagai informasi tentang Islam dari internet. Ia melakukannya saat sedang seorang diri, karena Webber mengaku belum siap jika ada orang yang melihatnya atau berpikir Webber sedangn mempertimbangkan masuk agama tertentu, apalagi memilih agama Islam. Tapi Webber meyakini apa yang ia baca tentang Islam, meski ia sedikit mengalami kebingungan yang membuat perjalanannya menuju Islam agak tersendat.

Pada suatu saat di Musim Panas, Webber merasa bahwa ia sudah hampir mantap untuk memilih Islam, meski masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang berseliweran di kepalanya dan ia tidak punya tempat untuk bertanya. Untunglah sahabat Muslimnya menelponnya dan butuh berjam-jam buat Webber untuk mengatakan bahwa ia bantuan sahabatnya itu.

Akhirnya, Webber berani mengatakan bahwa ia masih bingung tentang agama. Saat itu Webber masih belum mau mengatakan bahwa ia ingin masuk Islam sampai ia benar-benar yakin bahwa ia harus menjadi seorang Muslim.

Kesempatan itu akhirnya datang juga. Di ulangtahunnya yang ke-20 Webber memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, beberapa hari sebelum ia berangkat ke London untuk menghadiri Konferensi ”Global Peace and Unity”.

”Malamnya, saya berusaha tidur tapi yang terdengar di telinga saya hanya suara adzan. Itulah saat-saat terindah yang pernah saya rasakan,” tukas Webber menceritakan betapa gelisahnya ia menunggu detik-detik bersejarah dalam hidupnya, mengucapkan dua kalimat syahadat.

Setelah menjadi seorang Muslim, Webber masih harus berjuang keras agar ia bisa diterima oleh keluarganya. Perjuangannya tak sia-sia, karena keluarga sekarang sudah menerimanya menjadi seorang Muslim. Tapi perjalanan Webber sebagai mualaf masih panjang.

”Sekarang saya masih belajar hadist dan alQuran dan hal-hal lainnya tentang Islam,” tandas Webber. (ln/iol)

sumber : eramuslim

Yvonne Ridley: Berbicara Tentang Khilafah, Syariat dan Jihad

Yvonne Ridley, wartawati-feminis Inggris, yang menjadi mualaf setelah ditawan Taliban, dan kini menjadi pembela Islam di Inggris. Berikut ini adalah ceramah Yvonne Ridley beberapa tahun lalu di Global Peace & Unity Conference, London, tepatnya pada tanggal 30 November 2006. Mudah-mudahan bisa jadi informasi bagi saudara-saudara yang belum mengetahui sebelumnya.

Awalnya saya ingin mempersembahkan pidato saya di Global Peace and Unity Conference ini kepada Imam Anwar Al-Awlaki-seorang ulama terkemuka dan dihormati di komunitas Muslim berbahasa Inggris – yang ditahan di Yaman dua bulan yang lalu. Namun, saya juga harus berterima kasih kepada saudara Fahad Ansari dari Islamic Human Rights Commussion, penulis artikel “God Save The Deen”, yang menginsoirasi saya menulis ceramah ini. Sebagian besar isi ceramah ini terinspirasi oleh tulisannya itu.

Keislaman saya masih amat belia, karena saya baru menjadi muslimah pada 2003 – dan meskipun masih banyak yang harus saya pelajari, saya dapat merasakan frustasi yang dirasakan umat muslim pada saat ini. Saya tahu serangan 11 September berdampak luar biasa besar pada dunia, tapi itu bukan suatu awal … itu adalah kelanjutan dari warisan imperalisme AS dan ketakutannya terhadap Islam.

Sekitar 10 tahun yang lalu, para pemuda Muslim dari berbagai belahan dunia membanjiri Bosnia untuk membantu saudara-saudara merekan berjuang mempertahankan diri menghadapi Serbia yang melancarkan genosida, sementara dunia hanya berdiam diri menontonnya. Jihad menyatukan Muslim dari segala kebangsaan, status, dan kultur. Semua disatukan, bahkan mereka yang tidak bisa berangkat untuk berperang berusaha mengulurkan bantuan dalam berbagai bentuk lain seperti penggalangan dana, penyelenggaraan acara penyadaran masyarakat, dan demonstrasi.

Hasilnya, umat Muslim berhasil mematahkan usaha genosida.Dunia Barat baru melakukan intervensi setelah tampak jelas bahwa Muslim Bosnia akan meraih kemenangan.Mereka tidak bisa menerima berdirinya sebuah negera Islam di jantung Eropa, sehingga mereka pu mengitervensi. Ini buka semata-mata kesimpulan saya, tapi mantan Presiden Bill Clinton pun mengakuinya dalam autobiografinya.

Ketakuan terhadap Islam telah berkembang selama 10 tahun belakangan, sehingga darah saydara-saudara kami kini mengalir bagaikan sugau-sungai yang melintasi Chechnya, Kashmir, Palestina, Afganista, Irak, dan baru-baru ini kita semua menyaksikan apa yang terjadi di Lebanon. Saya pernah mendatangi banyak dari ladang-ladang pembantaian ini dan izinkan saya mengatakan kepada Anda bahwa tubu-tubuh rusah, meldak berkeping-keping dari saudara-saudara Muslim kami sama persis dengan tubuh-tubuh yang tersebar pada hari ini sangat jelas: darah Muslim adalah komoditas murah.

Sementara itu, puluhan ribu Muslim tak bersalah masih disiksa di tempat-tempat terpencil seperti Teluk Guantanamo, Bandara Bagram di Afganistan, Abu Gharib, Diego Garcia, dan penjara-penjara rahasia di berbagai penjuru dunia.

Sementara itu, di penjara-penjara bawah tanah di Suriah, Yordania, Maroko, Tunisia, Argeria, Mesir … saudara-saudara kami disiksa atas prakarsa dan tuntutan pemerintah AS. Dam saua uakin pemerintah Inggris pun terlibat dalam hal ini … Para pejabatintelejen Inggris tidak lama lagi akan dipermalikan karena keterlibatan mereke.

Bahkan sampai sekarang, masih ada 9 warga negara Inggris yang ditahan di Guantanamo – orang-orang Amerika tidak menginginkan mereka, tapi pemerintah Inggris juga tidak mau menerima mereka. Meskipun Departemen Luar Negeri memberikan berbagai dalih, sebenarnya mereka hanya perlu menelepon untuk meminta pembebasan saudara kami itu. Dan jangan pikir hanya laki-laki yang disekap dan disiksa – Moazzam bisa mendengan jeritan seorang perempuan di sel penyiksaan di Afganistan tempat dia ditahan oleh Amerika.

Temuilah Moazzam Begg di stan Cage Prisoners hari ini dan tanyakan kepadanya, apa yang bisa Anda lakukan untuk membantu. Karena kita bisa membantu. Hampir tak ada tahanan yang dibebaskan berkat proses pengadilan, melalui tekanan politik … yaitu ketika pemerintah turut campur tangan.

Anda yang hadir hari ini bisa membuat perubahan. Jangan hanya duduk di sini dan memndam kegeramam – beraksilah. Tekanlah para politisi Anda dan ingatkan mereka bahwa Andalah tuan-tuan mereka.

Dalam surah Al-Áshr, Allah menyatakan bahwa seluruh umat manusia, termasuk Muslim, berada dalam kerugian; kecuali mereka yang BERIMAN, MELAKUKAN AMAL KEBAIKAN, dan SALING MENGINGATKAN TENTANG KEBENARAN DAN KESABARAN. Hanya dengan memenuhi 4 kriteria ini, kita akan dapat berjumpa dengan Tuhan. Namun, jika kita membenamkan kepala kita di pasir dan berpura-pura tidak ada peninjasan di dunia, dan penderitaan saudara-saudara kita itu tak berarti apa pun bagi kita, maka mungkin kita tidak akan bisa berjumpa dengan-Nya.

Bahkan Ken McDonald, jaksa di Inggris, merasa jijik dengan tindakan-tindakan pemerintah – ia menyerang dengandengan sengit apa yang disebut “pengadilan-pengadilan rahasia“.

Pengadilan-pengadilan itu mengadili tersangka terorisme yang tidak diizinkan melihat bukti-bukti yang memberatkan mereka. Itu sungguh suatu penghinaan terhadap keadilan.

Dalam sebuah wawancara eksklusif denga Islam Channel News, dia berkomentar: “Kita harus menegaskan bahwa prinsip-prinsip ini tidak bisa ditawar-tawar. Dalam tekanan politik apa pun, dalam iklim apa pun, prinsip-prinsip ini adalah hakikat dari keadilan: persidangan yang terbuka dan dilakukan di hadapan pengadilan yang independen dan netral.

“Kita tidak menginginkan pengadilan-pengadilan rahasia, kita tidak menginginkan hakim yang dipilih secara rahasia, kita tidak menginginkan keadilan rahasia. Pengadilan yang berimbang; fairness di antara penuntut dan pembela tidak bisa ditawar-tawar; hak mendapat keterangan lengakap tentang kasus yang dituduhkan Negara terhadap Anda tidak bisa ditawar-tawar.

“Pembela berhak mengetahui tuduhan yang dihadapinya, dan mereka berhak mendapatkan bahan-bahan yang dimiliki Negara, termasuk yang merugikan tuduhan Negara atau menguntungkan tertuduh. Hak naik banding tidak bisa ditawar-tawar.

”Dan asas praduga tak bersalah, standar pembuktian kejahatan – yang melampaui keraguan-keraguan yang masuk akal – dengan tanggung jawab pembuktian terletak di pundak Negara, tak satu pun dari prinsip-prinsip ini bisa ditawar-tawar.”

Dan tentu saja ia benar – tapi Tony Blair berkata bahwa Muslim harus berhenti memiliki mentalitas korban.Namun, kalau kepala kejaksaan saja mengeluh, tentu kami punya alas an kuat.

Coba bayangkan, apa tanggapan anak-anak muda Muslim atas semua ini? Mereka membaca kisa-kisah kepahlawanan Saladin Al-Ayyubi, Khalid bin Walid, Tariq bin Ziad, dan menyimak kisah-kisah keberanian dan keperwiraan Nabi Muhammad saw, yang amat kami cintai. Tahukan Anda, 5 tahun lalu, saya sama sekali tidak tahu siapa Nabi saw itu. Namun, sekarang saya bersedia mengorbankan tetes darah terakhir saya untuk membela nama, kehormatan dan kenangan tentang beliau. Bahkan setelah wafat, beliau menunjukkan dirinya mampu menyatukan Ummah dalam protes terhadap karikatur jahat dari Denmark itu.

Pahlawan-pahlawan modern kami mencakup Malcolm X dan Syyid Qutb, yang tulisan keduanya membantu saya mendefinisikan diri sebagai Muslim.

Mereka menjadi semacam role model yang diikuti anak-anak muda kami. Namun, mereka malah menerima informasi-informasi yang simpang siur dan membingungkan. Blair mencoba melarang Milestones (Buki karangan Syyid Qutb) – ia diberi tau bahwa Usamah bin Ladin membaca buku itu … Well, Usamah juga membaca Shakespeare. Apakah kita juga harus melarang Tweifth Nightm Hamlet, dan karya-krya klasiknya yang lain? Satu menit, anak-anak muda kami diberi tahu untuk hanya takut kepada Alla SWT, tapi menit berikutnya, mereka diberi tahu untuk “melunakkan“ Islam mereka dan menunjukkan kepala dengan patuh.

Sejak peristiwa 11 September, diluncurkan kampanye gencar untuk mengubah Islam menjadi sesuatu yang lebih sesuai dengan menyuarakan Barat. Tujuannya adalah menciptakan sebuat Islam yang sekuler dan kultural yang rukun dengan dunia karena ia tunduk kepada penindas-penindasnya, bukannya kepada Allah; sebuah Islam tanpa jihad, syariah dan khilafah – hal-hal yang diperintahkan Allah kepada kami untuk menjalankannya, demi tegaknya din Allah di muka Bumi.

Dan upaya-upaya ini tampak di mana pun saya mengarahkan pandangan. Hijab direnggut dari kepala saudari-saudari kami di Tunisia, Prancis, dan Turki. Saudari-saudari kami di Belanda dan Jerman juga menjadi sasaran. Dan di Inggris, ada Jack Straw, mantan Menteri Luar Negeri Inggris uang mempermasalahkan Jilbab – dia mungkin tidak suka nikab, tapi saya berharap ia memakainya, ditambah sebuah berangus yang besar. Saya tidak membutuhkan laki-laki kulit putih setengah baya untuk memberi tau saya atau saudari-saudari saya bagaimana kami harus berpakaian. Nikab, seperti jilbab, seperti hijab menjadi simbol penolakan terhadap gaya hidup Barat yang negatif seperti penggunaan obat-obatan terlarang, mabuk-mabukkan, dan seks bebas. Sikap tersebut adalah pernyataan kepada Barat bahwa kami tidak mau menjadi seperti dirimu.

Muslim yang memilih menjadi lebih kebarat-baratan ketimbang orang Barat sendiri membuat saya tertawa – tidak sadarkah mereka bahwa tampak konyol di mata dunia? Mereka bersembunyi di balik deskripsi-deskripsi semacam moderat – lagi-lagi, pesan apakah yang ingin disampakan kepada anak-anak muda kami? Jika kita meminta mereka untuk menjadi moderat, tidakkah itu menyiratkan bahwa ada sesuatu yang salah denga Islam yang perlu dilunakkan, dijinakkan?
Apa itu moderat dan apa itu ekstremis? Saya tidak tahu. Saya hanya seorang Muslim. Saya tidak mengikuti ulama atau aliran mana pun … saya hanya mengikuti Nabi saw. Dan Sunnahnya. Apakah itu membuat saya menjadi seorang ekstremis? Saya tidak yakin Tony Blair memahami dirinya sendiri – saya menulis surat kepadanya tiga bulan yang lalu dan sampai sekarang saya masih menunggu balasannya. Menjadi Muslim itu agak mirip dengan mengandung. Pernakah mendengar ada orang yang mengandung dengan moderat?

Islam telah diserang selama 1.400 tahun dan kami sekarang sudah belajar untuk hanya bergantung kepada Allah. Namun, masih ada Muslim yang mencium tangan yang menampar mereka. Saya khawatir bahwa kita tak lagi bisa memercayai seseorang hanya karena mengenakan bisana islami. Ada pemimpin-pemimpin Muslim yang mengklaim bahwa mereka membimbing dan melindungi kami, tapi tidak semuanya memikirkan kepentingan kami. Generasi muda kami harus sangat hati-hati sejak peristiwa 11 September dan Bom London 7 Juli. Kmi harus memberi tahu generasi muda kami bahwa apa yang terjadi di Palestina, kashmir, Chechnya, Irak dan Afganistanadalah perlawanan yang dibenarkan terhadap pendudukan militer yang brutal, sedangkan kejahatan-kejahatan seperti 11 September dan Bom London adalah terorisme. Menyamakan keduanya berarti mengkhianati saudara-saudara kami yang tak punya pilihan selai melawan atau terhapus dari muka planet ini.

Hamba-hamba baru Dunia Barat menghujat partai-partai Islam dan pemerintah-pemerintah yang menerapkan syari’ah. Saya menyebut mereka “Penggembira“. Mereka diterbangkan pemerintah dari AS, Kanada, Yaman, dan Mauritania untuk menyebarkan Islam yang jinak. Hasil akhirnya adalah penjinakan din Allah, sebuah Islam yang lemah dan pasif, mau menerima status quo yang menindas dan menghinakan Muslim; sebuah Islam yang mendorong Muslim mengutuk aksi saudara-saudara mereka yang denga gagah berani melawan pendudukan dan penindasan dengan segala yang mereka punya. Bahkan mendoakan mereka pun sekarang menjadi kejahatan – berapa lama lagi sebelum kami diberi tahu untuk tidak mendoakan mujahidin?

Salah satu panglima perang terbesar yang pernah dikenal dunia, Saladin Al-Ayyyubi, pembebas Al-Quds, pernah ditanya mengapa dia tak pernah tersenyum. Dia menjawab, bagaimana mungkin dia tersenyum padahal dia tahu Masjid Al-Aqsa masih diduduki? Saya bayangkan bagaimana tanggapannya terhadap situasi dunia sekarang? Saat ini para pemimpin Arab menari perut tanpa malu di hadapan Amerika sambil menyerahkan Irak di atas sebuah piring. Pemimpin-pemimpin Arab itu berpaling sementara Palestina yang jelita tak henti-hentinya diperkosa dan “putrid jelita” Arab lainnya, lebanon … kemanakah Dunia Arab ketika ia diserang dengan amat brutal?
Dan genderang perang kembali ditabuh. Bukan janya seluruh dunia menyaksikan, melainkan anak-anak kami, generasi muda kami, masa depan kami. Kita harus mendidik dan menginspirasi mereka dengan kisah-kisah Nabi dan para Sahabat. Selama Ummah memunculkan tokoh-tokoh seperti Khalid bin Walid, Saladin Al-Ayyubi, Sayyid Qutb, dan Malcolm X, kami tidak akan kalah. Semakin kami ditindas oleh para tiran, semakin sengit kami melawan. Inilah sifat Islam.

Dan inilah Islam yang perlu diikuti anak-anak muda kami, dengan bimbingan dan ispirasi. Kmi harus mengganti pemimpin-pemimpin yang mengebiri diri mereka sendiri dalam upaya menyedihkan untuk menjadi lebih Barat ketimbang bangsa Barat sendiri. Banyak anak muda Muslim sekarang menyadari bahwa tak peduli seberapa keras mereka mengompromikan din mereka untuk melebur ke dalam masyarakat yang lebih luas, ketika keadaan menjadi runyam, mereka akan diperlakukan dengan penuh kecurigaan. Semakin kami disuruh melupakan syari’ah, khilafah dan jihad, semakin Muslim akan membayar dengan darah untuk menegakkan nilai-nilai itu. Jihad yang kita saksikan di Palestina, Irak, Afghamistan, Kashmir, dan Chechnya adalah sesuatu yang mulai, sebuah perang yang dibenarkan melawan kezaliman dan tirani.

Aksi para jihadis sama sekalitidak menimbulkan ancaman terhadap Barat atau gaya hidup orang Barat. Perlawanan mereka bukan hanya dibenarkan tetapi bahkan didukung oleh hukum international. Ekstremis religius yang sungguh-sungguh menumbulkan ancaman terbesar meradikalisasi anak-anak muda kita adalah Kristen Fundamentalis di Gedung Putih dan Downing Street. Bush dan Blair telah menjadi agen perekrutan terbaik Al-Qaidah.

Semakin banyak anak muda Muslim menyadari bahwa bukan terorisme atau ekstremisme yang menjadi target, tetapi Islam sendirilah yang menjadi target.

Kini Ummah-lah yang harus memimpin dan menginspirasi generasi muda Muslim, seperti Nabi memimpin dan menginspirasi jutaan manusia dan akan terus demikian adannya. Dan pelajaran pertama yang harus kami sampaikan kepada generasi muda kami adalah takut kepada Allah SWT. (Althaf/s3nn4multiply)

Sumber : arrahmah.com

Aria Desti Kristiana: Kenapa Tuhan Harus Disalib

''Tuhan itu siapa dan seperti apa sih , Ma? Tuhan kita siapa? Apa bedanya Tuhan dengan Allah?'' Pertanyaan kritis itu meluncur begitu saja dari mulut seorang bocah berusia enam tahun, Aria Desti Kristiana. Semua pertanyaan bocah perempuan ini hanya dijawab dengan satu kalimat, ''Tuhan itu yang kita sembah,'' ujar sang bunda seraya menunjuk kepada sesosok patung laki-laki di kayu salib yang berada di altar gereja.

Tentu saja, jawaban mamanya itu membuat gadis cilik ini tak puas. Bukannya berhenti dengan jawaban itu, malah sebaliknya ia semakin berusaha mencari jawaban yang bisa mengantarkannya pada kebenaran hakikat Tuhan sebagai pencipta.

Bahkan, semakin banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya. ''Katanya Tuhan itu yang menciptakan kita. Lalu, bagaimana sebuah patung yang tidak bisa bergerak dan disalib bisa menciptakan semua yang ada di dunia ini,'' ujar Desti sapaan akrabnya yang kini berusia 18 tahun saat ditemui Republika akhir pekan lalu di Jakarta.

Pertanyaan lainnya yang kerap muncul dalam benaknya adalah ''Mengapa Tuhan yang mesti disembah harus disalib? Kenapa Tuhan harus dirupakan dalam sebuah patung? Bukankah patung itu tidak memberi manfaat?'' Pertanyaan ini tak kunjung mendapat jawaban yang memuaskan dirinya.

Meski dilahirkan dan dibesarkan di tengah lingkungan keluarga pemeluk Kristiani yang taat, untuk urusan pendidikan, kedua orang tua Desti tak pernah mengarahkan gadis kelahiran Jakarta, 9 Desember 1991 ini ke sekolah khusus pemeluk Kristen. Oleh kedua orang tuanya, Desti justru disekolahkan di taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD) umum.

Ketika bersekolah inilah untuk pertama kalinya Desti bersentuhan dengan agama Islam. ''Karena aku bersekolah di sekolah umum, jadi pendidikan agama yang diperoleh justru pelajaran agama Islam. Itu aku dapatkan pada saat di TK dan SD,'' paparnya.

Saat duduk di bangku TK, kata dia, oleh gurunya ia sudah dibiasakan untuk mengucapkan kata Bismillah sebelum makan. Begitu juga, dalam menyebut nama Tuhan dengan sebutan Allah SWT. Dari sini, mulai muncul kebingungan dalam dirinya mengenai konsep ajaran agama dan ketuhanan yang ia anut selama ini. ''Saat itu, aku bingung kenapa beda sekali antara ajaran agama saya (dulu) dengan yang diajarkan oleh guru di TK,'' ungkapnya.

Menurut Desti, kedua orang tuanya menganut agama Kristen, namun berasal dari beberapa aliran. Ada yang Pantekosta, Kharismatik (ibu), Katholik (nenek), dan Protestan (bapak). Perbedaan ini semakin membuatnya bingung. Apalagi, ketika ia mendapatkan pendidikan agama Islam di TK dan SD, yang hanya fokus menyebut Tuhan dengan sebutan Allah SWT.

Karena itu, ia makin tertarik dengan ajaran agama yang diajarkan oleh guru di sekolahnya. Ketika duduk di bangku SD, ia mulai mempelajari lebih jauh mengenai ajaran Islam. Tidak hanya di sekolah, keinginan untuk mempelajari ajaran Islam juga ia lakukan dengan cara mengikuti pengajian di daerah tempat tinggalnya.

Berikrar syahadat

Suatu ketika, salah seorang guru mengajinya bertanya kepada Desti, apa benar ia ingin ikut mengaji. Pertanyaan tersebut dijawabnya dengan satu kata, ''Ya.'' Kemudian, oleh sang guru, Desti dan teman-temannya diminta untuk melafalkan dua kalimat syahadat. Peristiwa tersebut terjadi saat ia baru menginjak bangku kelas satu SD. Dan, sejak saat itulah anak pertama dari dua bersaudara ini berkomitmen untuk meninggalkan semua ajaran agama lamanya, Kristen Pantekosta, untuk kemudian menjalankan ajaran Islam.

''Memang prosesnya tidak seperti orang Kristen lainnya yang masuk Islam. Karena, bisa dibilang baca kalimat syahadatnya tidak secara resmi,'' ungkapnya. Dari situ, kemudian ia mulai belajar mengenai cara shalat dengan mengikuti gerakan teman-temannya. Tidak hanya shalat, ia juga mulai belajar untuk berpuasa ketika sudah duduk di bangku kelas 3 SD.

Kendati sudah memeluk Islam, setiap akhir pekan, Desti tetap datang ke gereja dan mengikuti kegiatan sekolah minggu. Hal tersebut, kata dia, karena adanya paksaan dari kedua orang tuanya. Tidak hanya memaksa dia untuk ikut kebaktian di gereja, tetapi kedua orang tuanya juga kerap memarahi serta melarang dirinya untuk melaksanakan shalat dan pergi mengaji ke masjid. Sikap kedua orang tuanya ini hanya bisa ia tanggapi dengan cara menangis.

''Tetapi, untuk urusan puasa, alhamdulillah mereka mau ngebangunin aku untuk sahur. Dan, kebetulan nenekku yang beragama Kristen Katolik kadang menjalankan puasa setiap Senin dan Kamis,'' tambah Desti.Baru ketika ia naik ke jenjang kelas 5 SD, kedua orang tuanya mulai bisa menerima keislamannya. Kedua orang tuanya tidak pernah lagi memaksanya untuk pergi ke gereja setiap akhir pekan serta tidak lagi melarang dirinya untuk melaksanakan shalat dan mengaji.

Meski demikian, pertentangan masih kerap mewarnai hubungan Desti dengan kedua orang tuanya. Pertentangan tersebut, menurutnya, muncul manakala dirinya melakukan suatu kesalahan.''Misalnya, kalau saya berbuat kesalahan, mereka selalu menyinggung-nyinggung soal agama Islam. Karena saya tipe orang yang tidak mau menerima begitu saja dan watak yang keras, saya katakan ke mereka apa bedanya pada saat saya ketika masih memeluk agama yang lama,'' sindirnya.

Tak hanya dari orang tuanya, menurut Desti, pertentangan serupa juga kerap ia dapatkan dari pihak keluarganya yang lain, seperti nenek, paman, bibi, dan saudara sepupunya. Kendati demikian, ia tetap menjaga hubungan kekeluargaan dengan sanak saudaranya ini. ''Pada saat Natal, aku tetap ikut ngumpul . Tapi, tidak ikut mengucapkan.''

Namun, ia bersyukur karena masih memiliki seorang adik perempuan, Friday Veronica Florencia, yang bersama-sama dengannya memutuskan untuk memeluk agama Islam di usia kanak-kanak. Di samping juga, teman-teman sepermainannya yang kebanyakan beragama Islam.


Beasiswa gereja

Keinginan orang tuanya untuk mengembalikannya ke agama yang lama, masih terus dilakukan hingga Desti memasuki jenjang SMA. Pada saat ia memutuskan untuk mengenakan jilbab ketika duduk di bangku kelas satu SMA, sang bunda meresponsnya dengan mengatakan bahwa jilbab itu tidak penting dan diwajibkan.

Begitu juga, ketika selepas lulus SMA, ia memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Saat mau melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, ia ditawari beasiswa dari gereja oleh kedua orang tuanya. Tawaran beasiswa tersebut kemudian ia tolak. ''Beasiswanya ini bukan hanya untuk jenjang S1, tetapi sampai ke jenjang apa pun yang saya mau. Namun, dengan syarat saya harus mau mengabdi di gereja itu,'' ungkapnya.

Untuk memperkokoh keimanan dan memperdalam pengetahuannya tentang Islam, Desti aktif dalam kegiatan Rohis (Rohani Islam--Red) yang ada di lingkungan tempat ia bersekolah. ''Alhamdulillah semua rintangan tersebut bisa dilalui dengan baik,'' ujar mahasiswi semester dua Jurusan Bahasa dan Sastra Arab ini.

Kini, di usianya yang ke-18, Desti merasa menjadi orang yang paling beruntung. Walaupun dijuluki sebagai anak 'hilang' oleh keluarga, Desti merasakan kebahagiaan yang tiada tara karena Allah SWT sudah memberikan hidayah kepadanya hingga hari ini untuk menjalankan semua itu.

Meski mengakui kadang kala masih suka lalai dalam melaksanakan kewajiban shalat lima waktu, ia berharap ke depannya bisa menjalankan semua perintah Allah SWT dengan sebaik-baiknya. Ia juga berharap kelak hidayah yang ia dan sang adik peroleh juga akan didapatkan oleh kedua orang tuanya.''Saya ingin sekali mereka bisa melihat mana jalan yang benar dan mana yang salah. Karena menurut saya, saat ini mereka bukan berada di jalan yang benar,'' ujarnya. dia


Biodata

Nama : Aria Desti Kristiana
TTL : Jakarta, 9 Desember 1991
Masuk Islam : Sejak Kelas 1 SD (Tahun 1997)
Aktivitas :
- Kuliah pada Jurusan Bahasa & Sastra Arab di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) semester II
- Aktif dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Jurusan

sumber : republika

Thufail al Ghifari: Mengenal Islam Melalui Musik Underground

''Networks at work, keeping people calm
You know they murdered X
And tried to blame it on Islam
He turned the power to the have-nots
And then came the shot.''

Kalimat di atas merupakan penggalan bait lagu berjudul Wake Up milik Rage Against The Machine (RATM). Lagu-lagu yang dibawakan grup musik asal Los Angeles (Amerika Serikat) ini mengusung ramuan musik punk, hip-hop, dan trash . Penggemar ketiga aliran musik ini, terutama punk dan trash , mayoritas berasal dari komunitas underground komunitas yang selalu diidentikkan mempunyai budaya yang negatif serta sedikit menyimpang dari norma-norma yang telah tertanam di masyarakat.

Terlepas dari semua stigma negatif ini, justru bagi seorang Richard Stephen Gosal, dari komunitas underground inilah dia mulai tertarik untuk mengenal agama Islam lebih jauh. ''Saya suka sekali dengan (lagu-lagu) Rage Against The Machine. Bahkan, sampai sekarang saya menaruh respek meskipun mereka bukan orang Islam,'' ungkap mualaf yang kini menggunakan nama Muhammad Thufail al-Ghifari.

Dari salah satu lagu yang dibawakan RATM, pria yang sejak remaja memang menyukai aliran musik underground ini mengenal Malcolm X--tokoh mualaf kulit hitam Amerika Serikat yang memperjuangkan hak asasi kaum kulit hitam di negeri Paman Sam tersebut. Tidak hanya dalam lagu band RATM, nama Malcolm X juga Thufail temukan dalam lagu grup hip-hop asal New York (AS) yang ia sukai, Public Enemy.

Rasa penasaran terhadap tokoh pejuang hak asasi manusia asal Amerika ini mendorong Thufail untuk mencari berbagai informasi mengenai kehidupan sang tokoh. ''Saya belajar banyak tentang dia. Dari Malcolm X ini kemudian saya mengenal Muhammad Ali dan Nabi Muhammad SAW,'' ujarnya.

Pada saat ia masih memeluk agama Kristen Protestan, kedua orang tuanya yang berprofesi sebagai pendeta kerap mendoktrinnya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah gambaran orang yang suka berperang, main perempuan, memiliki jenggot, berasal dari suku kedar (anti- christ ), menyesatkan umat manusia dengan Alquran, dan pengikutnya akan binasa di neraka.

Dari salah satu literatur mengenai Malcolm X yang dibacanya, menurut Thufail, ada satu kalimat yang diucapkan sang tokoh kepada Muhammad Ali petinju legendaris AS yang membuatnya terkesan. Ketika Muhammad Ali mengecam kaum kulit putih yang menindas yahudi dan orang kulit hitam, Malcolm justru berkata, ''Di Makkah, saya lihat orang bermata coklat, biru, hitam serta berkulit putih, hitam, dan coklat semuanya duduk bersama.''

Kalimat yang mengungkapkan kekaguman Malcolm terhadap umat Islam tersebut, membuat ia semakin tertarik dengan Islam. Meski dididik dengan ajaran Kristen Protestan yang cukup ketat, agama Islam bukanlah sesuatu yang baru bagi Thufail. ''Sejak di SMP, saya banyak bergaul dengan teman-teman yang beragama Islam. Bahkan, di antara mereka banyak yang sering menggoda saya dan mengatakan kapan saya masuk Islam,'' paparnya.

Dari belajar mengenai Malcolm, hingga suatu ketika Thufail merasa jenuh dengan kehidupan yang dijalaninya sebagai seorang penganut paham ateis. Kejenuhan yang sama pernah ia alami ketika masih memeluk Kristen Protestan. Saat itu, ia masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Ketika di bangku SMP itulah ia mulai tertarik dengan buku-buku mengenai sosialisme dan komunisme.

Ajaran sosialisme dan komunisme ini di kemudian hari banyak memengaruhi pola pikir Thufail. Hingga akhirnya, saat duduk di bangku kelas 2 SMA (sekitar tahun 1999-2000--Red), ia memutuskan menjadi seorang ateis. ''Saya tidak mengimani lagi Yesus Kristus dan menganggap agama hanya membuat orang saling membunuh dan berperang.''

Tiga kali syahadat
Kejenuhan terhadap paham ateisme yang dianut Thufail, bermula dari fenomena sweeping terhadap kelompok beraliran kiri di Tanah Air yang terjadi pada kurun waktu tahun 2000-2001 oleh kelompok Pancasilais. Ketika terjadi sweeping itulah, ungkapnya, banyak tokoh PRD (Partai Rakyat Demokratik)--tempat Thufail pernah bergabung menjadi salah seorang anggotanya tidak bertanggung jawab terhadap penahanan simpatisan-simpatisan mereka yang berada di kelompok underground di daerah-daerah.

''Para tokoh PRD ini menghilang, ada yang karena diculik dan ada yang bersembunyi. Di sini awal mula saya kecewa dengan yang dinamakan revolusi diri,'' tukas vokalis band rock indie The Roots of Madinah ini. Rasa jenuhnya ini kemudian ia lampiaskan kepada seorang sahabatnya, sesama anak band di komunitas underground . Walaupun memiliki pergaulan di komunitas underground , menurut Thufail, sahabatnya ini tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang Muslim untuk menunaikan ibadah shalat kendati saat itu ia sedang manggung.

Kepada sahabatnya ini, Thufail mengutarakan niatnya untuk masuk Islam. Bukan dukungan yang ia peroleh, justru larangan dari sang sahabat. Pelarangan tersebut, ungkapnya, karena sahabatnya itu tidak menginginkan keputusan dirinya untuk masuk Islam lebih karena faktor emosional sesaat. Sahabatnya ini menginginkan jangan sampai begitu ia masuk Islam terus di kemudian hari memutuskan untuk murtad. ''Menurutnya, saya tidak hanya akan kehilangan dia sebagai teman, tapi teman-teman yang lain bakal nggak suka sama saya,'' ujarnya mengenang perkataan sahabatnya kala itu.

Thufail tidak lantas menyerah. Kemudian, ia menemui teman-teman lainnya dari kalangan komunitas underground yang beragama Islam. Dengan bertempat di pinggir jalan yang berada di Kompleks Perumahan Taman Kartini, Bekasi, Thufail mengucapkan syahadat di hadapan teman-temannya ini. ''Peristiwa itu terjadi tahun 2002 dan yang menjadi saksi saya ketika itu teman-teman yang memakai baju Sepultura, Kurt Cobain, dan Metallica.''

Keputusannya untuk masuk Islam membuat kedua orang tuanya marah dan mengusirnya dari rumah. Keputusannya ini, ungkap Thufail, juga berdampak terhadap penghidupan orang tuanya. Gereja yang selama ini menjadi tempat mata pencaharian ibunya terancam ditutup begitu mengetahui ia masuk Islam. ''Sampai-sampai mama itu menyembunyikan keislaman saya dari para jemaat.''

Tinggal di jalanan, setelah diusir dari rumah, ia jalani selama tiga bulan. Beruntung Thufail bertemu dengan seorang teman lama yang menawarinya untuk menjaga rumahnya yang sedang direnovasi. Selama menjaga rumah temannya ini, tidak hanya memperoleh tempat tinggal, ia juga mendapatkan jatah makan setiap hari.

Masalah muncul ketika renovasi rumah selesai. Thufail saat itu tidak tahu akan tinggal dimana. Namun, oleh ayah temannya ini dia ditawari pekerjaan di sebuah sekolah tinggi, tempat ayah temannya ini menjabat sebagai rektor. Dengan hanya berbekal selembar CV ( curriculum vitae ), ia lalu melamar dan diterima sebagai petugas cleaning service dengan gaji sebesar Rp 600 ribu per bulan.

Ketika bekerja sebagai petugas cleaning service , ia berkenalan dengan Ustadz Nur Hasan yang merupakan imam Masjid Baiturahim Perumahan Taman Kartini, Bekasi. Oleh sang ustadz, ia ditanya bersyahadat di mana. ''Ketika saya jawab di pinggir jalan, beliau bilang syahadat saya tidak sah. Akhirnya, saya baca syahadat lagi di Masjid Baiturahim,'' ujarnya.

Sejak bersyahadat untuk kedua kalinya ini, menurut Thufail, mulai timbul keinginan untuk belajar membaca Alquran dan pengetahuan mengenai ajaran Islam lainnya. Kemudian, ia ketemu dengan seorang ustadz yang pada saat itu juga merupakan pengurus sebuah partai politik berideologi Islam. Pelajaran pertama yang didapatkannya adalah mengenai dua kalimat syahadat. ''Ketika itu semua anggota halakah disuruh syahadat lagi sama beliau. Jadi, syahadat saya tiga kali.''

Kendati sudah membaca syahadat hingga tiga kali, Thufail tidak langsung mempercayai adanya Allah SWT sebagai sang Maha Pencipta. Dia mulai meyakini keberadaan Allah SWT, justru ketika dirinya diizinkan untuk bertemu dengan sesosok makhluk gaib untuk pertama kalinya. ''Setelah bertemu dengan sosok gaib ini, saya mulai berpikir secara logika bahwa segala sesuatu di bumi ini pasti punya dua sudut pandang, ada benar dan salah, ada hitam dan putih. Begitu juga, ada benda dan yang menciptakan benda tersebut,'' paparnya.

Setelah memeluk Islam, ia mendapatkan ketenangan batin yang tidak pernah diperoleh sebelumnya. Di samping itu, ia merasa lebih optimistis dalam menjalani kehidupan dan lebih bisa mensyukuri hidupnya. ''Ketika saya menaruh hukum Allah SWT di atas segala apa pun, saya tidak takut mati, tidak takut miskin, tidak takut lapar.''

Keinginannya saat ini, menurut Thufail, adalah bagaimana ajaran Islam tidak hanya bisa dinikmatin di Masjid, tetapi juga di lingkungan komunitas underground . Diakuinya, hingga kini memang masih belum ada ustadz yang peduli dengan komunitas underground ini. ''Ada banyak teman saya yang tatoan , mabuk, tapi kalau bicara Islam diinjak-injak dia sudah nggak mau dialog. Dia pasti akan ambil parang dan ditebas orang itu,'' ungkapnya.

Karena itulah, melalui musik yang disuguhkannya bersama band rock yang dibentuknya, The Roots of Madinah, dia mau merangkul para temannya yang Muslim yang ada di komunitas underground untuk berhijrah. Aliran musik rock yang dikemas dalam lagu-lagu bersyair religi Islami, ia harapkan juga bisa menjadi senjata untuk menghantam balik musik-musik Yahudi.

''Saya bikin musik ini supaya ngebalikin orang Yahudi lagi. Mereka kan ngancurin saya waktu dulu, membuat saya keluar dari Kristen dan menjadi ateis dengan musik,'' katanya menandaskan. nidia zuraya

Biodata:

Nama Lahir : Richard Stephen Gosal
Nama Muslim : Muhammad Thufail Al Ghifari
Masuk Islam : 2002
TTL : Makassar, 11 Mei 1982
Aktivitas : Vokalis band rock The Roots of Madinah, Muslim Rapper , anggota Komunitas Islam Underground Kolektif Berandalan Tuhan, dan ketua Divisi Pembinaan Lembaga Muhtadin Masjid Agung Al Azhar Blok M-Jakarta.

sumber : republika

Perjalanan Panjang Felix Yanwar Siauw

Masa SMP merupakan momentum titik balik bagi kehidupan seorang Felix Yanwar Siauw. Pada masa remaja itulah dalam diri Felix timbul keraguan atas agama yang telah dianutnya sejak ia kecil. Berbagai pertanyaan mengenai konsep Tuhan, pengampunan dosa, dan hakikat penciptaan manusia dalam agama Katolik muncul dalam benaknya. ''Di agama saya yang lama memang banyak hal yang tidak terjawab pada waktu itu,'' ujarnya.

Sebagai contoh, ketika ia menanyakan soal trinitas dan keberadaan Yesus sebagai Tuhan kepada pastor, jawaban dari semua pertanyaaannya tersebut berakhir pada kata dogma, yakni ajaran yang sudah ada sejak dahulu dan tidak boleh dipertanyakan oleh orang-orang yang beriman kepada Yesus.

Ketika mendengar jawaban seperti itu dari sang pastor, akhirnya Felix lebih memilih untuk mundur dari agama Katolik. Keputusan untuk keluar dari agama Katolik, menurut ayah satu orang putri ini, juga dilandasi oleh kenyataan mengenai praktik-praktik keagamaan yang dilihatnya hanya sebagai sebuah ritual kosong.

''Saya melihat selama ini teman-teman saya datang ke gereja hanya untuk sebuah proklamasi kalau dia sudah punya pacar, kemudian dibawa ke gereja atau sekadar hanya untuk pamer pakaian bagus,'' ungkapnya.

Ketika ia memutuskan meninggalkan agama Katolik, sejak saat itu pulalah ia tidak percaya adanya Tuhan Sang Mahapencipta. Masa-masa seperti itu ia alami hingga menjelang akhir duduk di SMP.

Begitu memasuki kelas tiga SMP, berbagai pertanyaan yang pernah ada dahulu, muncul kembali dalam benaknya. Kemudian, dia mencari jawaban dari berbagai pertanyaan tersebut ke mana-mana. Hingga kemudian, dirinya sampai pada satu kesimpulan bahwa Tuhan itu memang benar ada.

Keyakinannya bahwa Tuhan itu ada muncul setelah ia mempelajari ilmu biologi bahwa penciptaan manusia dari sperma yang tidak mempunyai akal. Dari sini ia memahami bahwa manusia itu diciptakan dari sesuatu yang amat istimewa. ''Kemudian saya kembali yakin bahwa Tuhan itu ada. Tapi, namanya siapa ini yang belum jelas,'' tambah Felix.

Percaya tapi tak beragama
Meskipun meyakini bahwa Tuhan itu ada, namun hal itu tidak lantas membuat Felix memutuskan untuk memilih salah satu ajaran agama sebagai jalan hidupnya. ''Ketika saya mencari siapa sesungguhnya Tuhan itu ke Kristen Protestan, tidak dapat. Begitu juga di agama Buddha, karena tuhannya juga bersifat manusia, tidak layak untuk dijadikan Tuhan,'' paparnya.

Percaya Tuhan, tapi tidak beragama, begitulah kira-kira gambaran kehidupan spiritual yang sempat dijalaninya selama kurun waktu lima tahun. Selama itu pula, ia hidup dengan bayang-bayang tiga pertanyaan besar. Yakni, setelah mati manusia mau ke mana, untuk apa manusia diciptakan di dunia, dan dari mana asal mulanya alam semesta tercipta.

Ia terus mencari jawaban dari ketiga pertanyaan besar ini. Proses pencarian itu berakhir di pertengahan tahun 2002, begitu dirinya menginjak bangku kuliah semester ketiga di Institut Pertanian Bogor (IPB). Ketika itu, dirinya memutuskan pindah tempat kos. Di tempat kos yang baru ini, ia tinggal bersama-sama dengan mahasiswa yang beragama Islam.

Suatu ketika salah seorang teman kosnya yang Muslim menyarankannya untuk menemui seorang ustadz untuk mendiskusikan tiga pertanyaan besar itu. ''Saya bilang, selama ini saya diskusi dengan ustadz sama saja. Mereka enggak ada bedanya dengan pastor, cuma mereka pintar menyembunyikan kejahatannya,'' ujar Felix menanggapi saran temannya kala itu.

Temannya tidak putus asa untuk membujuk Felix agar mau bertemu dengan guru ngaji itu. Ketika ia bertemu langsung dengan sang ustadz, dirinya menemukan pandangan mengenai Islam yang sangat jauh berbeda dengan apa yang dipahaminya sebelumnya.

''Ternyata yang saya temukan dalam Islam berbeda. Saya menemukan suatu konsep yang sangat luar biasa. Di mana dia (Islam--Red) menyediakan konsep akhirat dan juga dunia. Artinya, Islam ini bisa menjawab seluruh pertanyaan saya,'' ujarnya.

Dari sini kemudian dirinya tertarik untuk mempelajari Alquran lebih dalam. Salah satu ayat di dalam Alquran yang membuatnya berdecak kagum adalah surat Albaqarah ayat 2 yang menyatakan, ''Kitab ini tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang yang bertakwa.''

Kendati demikian, pada saat itu ia masih mengira bahwa yang menciptakan kitab suci ummat Islam ini adalah seorang manusia biasa, seperti halnya kitab suci agama yang lain. Namun, ketika sampai padanya penjelasan bahwa Alquran itu bukan buatan manusia, ia menganggap hal itu sebagai lelucon. Dia pun meminta bukti bahwa penjelasan itu benar adanya.

Keraguan tersebut kemudian terjawab melalui surat Albaqarah ayat 23 yang menjelaskan, ''Dan bila kalian tetap dalam keraguan terhadap apa yang Kami turunkan ini, datangkanlah kepada Kami satu surat yang semacam dengannya.''

Bagi dirinya surat Albaqarah ayat 23 ini merupakan sebuah segel dan tantangan terbuka buat manusia, tapi manusia tidak ada yang bisa membuat seperti itu. Dari diskusi panjang tersebut Felix merasa yakin bahwa Alquran merupakan kitab yang diturunkan dari Tuhan pencipta semesta alam, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk memilih Islam--di saat usianya baru menginjak 18 tahun--sebagai jalan hidupnya hingga kini.

Mengetahui anaknya masuk Islam, sudah pasti kedua orang tua Felix syok dan marah. Namun, kemarahan keduanya hanya ditunjukkan dalam bentuk rasa kekecewaan. ''Kalau sampai pada pengusiran memang tidak terjadi seperti yang dialami mualaf lainnya.''

Rasa kecewa tersebut ditunjukkan oleh kedua orang tuanya dengan kata-kata pedas. ''Kamu ini kemasukan setan atau jin. Kamu itu seperti mutiara yang menceburkan diri ke dalam lumpur.'' Lalu saya katakan, ''Lumpurnya yamg mana dan mutiaranya yang mana.''

Namun, dengan berbagai upaya yang Felix lakukan selama tiga tahun, kini kedua orang tuanya sudah bisa menerima pilihan hidupnya itu. Meski dalam beberapa hal, baik ayah maupun ibunya, masih belum bisa menerima perbedaan tersebut. Seperti ketika putrinya yang masih berusia satu tahun mengenakan kerudung.

''Kalau anak saya dibawa ke tempat orang tua pakai kerudung, ibu saya tidak akan mau menggendongnya. Tapi, bapak saya masih mau menggendongnya,'' ungkapnya.

Sementara sang ayah merasa keberatan jika cucu perempuannya itu diminta untuk memanggil Felix dengan sebutan abi. Pasalnya, menurut sang ayah, panggilan abi tersebut tidak ada kewajibannya di dalam Alquran.

Kendati begitu, ia merasakan sebuah kepuasan diri yang tidak pernah dirasakan sebelum menemukan Islam. Selain itu, dengan meyakini Islam, hidupnya menjadi lebih bermakna dan terarah.

''Merasa puas karena setiap fenomena yang saya lihat dalam hidup ini bisa dijelaskan dengan Islam. Saya juga lebih punya tujuan hidup karena saya sudah tahu dari mana asal saya, apa yang harus saya lakukan di dunia ini, dan saya mau ke mana setelah mati,'' ujarnya. nidia zuraya

sumber : republika

Budi Setyagraha : Gara-gara Takut Rizki Dicabut

Pada umumnya, bagi warga keturunan Cina, berdagang merupakan satu-satunya cara untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga (keluarga). Karena itu, hampir tidak pernah (jarang) dijumpai ada warga keturunan yang tidak mempunyai usaha dalam perdagangan. Entah usaha bangunan, butik, makanan, obat, maupun lainnya.

Itu pula yang dilakukan Budi Setyagraha pada 1978. Dengan berbekal pengalaman, warga keturunan Cina yang terbiasa berdagang, Budi pun memulai usahanya dalam bidang bangunan, tepatnya di Jalan Kyai Mojo, Yogyakarta, 21 tahun silam. Beruntung, karena ketekunan dan ketelitiannya, dalam waktu singkat usahanya pun mulai menuai hasil. Dan, ia merasa keberhasilannya itu patut disyukuri.

Disinilah rupanya mulai muncul kebimbangan. Dirinya bingung harus bersyukur dengan cara apa dan pada tuhan yang mana. Budi mengaku, tidak yakin dengan agama Buddha yang telah dianut sebelumnya.

''Setelah lima tahun menimbang-nimbang, akhirnya pada 1983 saya memutuskan untuk masuk Islam,'' jelas Budi kepadaRepublika, di Yogyakarta, Selasa (31/3) lalu.

Takut Rezeki Dicabut
Kalau kemudian pilihannya jatuh pada agama Islam sebagai jalan hidupnya, ternyata hal itu agar rezekinya tidak dicabut oleh Tuhan dan terus bertambah. Memang, kata dia, awalnya terasa lucu juga hanya karena rezekinya takut dicabut lantas dirinya memilih Islam. Sebab, ungkap Budi, bagi warga keturunan Tionghoa, usaha dagang merupakan satu-satunya pilihan untuk mengais rezeki. ''Lha, saya waktu itu merasa ngeri bagaimana kalau nanti rezeki dicabut sama Tuhan, hidup saya akan susah,'' paparnya.

Itu awalnya. Namun, menurut pria yang kini ditunjuk menjadi Sekjen Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Perhimpunan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) ini, ia juga memilih Islam karena bila dibandingkan dengan agama lain, Islam justru terasa pas dan sejalan dengan pemikiran manusia.

''Saya memilih Islam karena konsep ketuhanan agama lain kurang pas, bagi saya. Bukan berarti ngelek-elek agama lain. Konsep ketuhanan bagi saya ada pada ketauhidan di dalam agama Islam, yaitu Laa ilaaha illallah, Muhammad Rasululllah. Kalimat tauhid tersebut yang membuka hati saya,'' jelasnya.

Ia mengaku tertarik masuk Islam karena dorongan dari lubuk hatinya yang paling dalam. Sebelum masuk Islam, Budi senang mendengarkan khutbah Buya Hamka melalui Televisi. Ia juga membaca buku-buku dan karya Buya Hamka, termasuk buku yang berjudul Dibawah Lindungan Ka'bah.

Buku tersebut sering ia gunakan sebagai referensi apabila ada tugas-tugas atau karya tulis ketika masih sekolah. Dan, dari buku ini pula yang akhirnya menuntunnya untuk memeluk Islam.

''Setelah masuk Islam saya baru tahu manfaatnya membaca buku tersebut. Selain itu, ketika saya masih sekolah juga senang berfoto di depan Masjid Syuhada Kotabaru Yogyakarta,'' katanya.

Naik Haji
Setahun setelah masuk Islam (1984), Budi pun menunaikan rukun Islam yang kelima, naik haji. Padahal, awalnya ia masih ragu-ragu untuk berhaji. Sebab, ia belum sanggup menghafal doa-doa beribadah haji. Namun, berkat dorongan almarhum AR Fakhruddin (mantan ketua umum PP Muhammadiyah--Red), Budi akhirnya mantap untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah. Budi diminta untuk membaca Doa 'Sapu Jagad' (Rabbana aatinaa fiddun ya hasanah, wafil aakhirati hasanah, waqina 'adzaaban naar).

''Beliau (AR Fakhruddin--Red) mengatakan kepada saya, ''Mumpung badannya masih sehat, imannya kuat, dan finansial (biaya) ada, bersegeralah melaksanakan haji,'' kata Budi menirukan ucapan AR Fakhruddin.

Selepas itu, Budi pun kemudian terus berupaya memantapkan pemahamannya tentang agama Islam. Ia belajar pada Ustadz Drs Ma'ruf Siregar, guru agama Islam di SMA 2 Yogyakarta. Dan, Ustadz Ma'ruf, senantiasa datang ke rumah Budi untuk mengajar dan mengkaji Islam.

Keislaman Budi Setyagraha akhirnya diketahui oleh saudara-saudaranya. Mereka pun bertanya-tanya. Apa yang menjadi alasan Budi memeluk Islam. Bahkan, istrinya pun enggan mengikuti jejaknya.

Budi mengatakan, bagi kebanyakan warga keturunan Tionghoa, Islam itu dipandang sebagai agama untuk orang-orang yang ingin menikah, atau cari istri lagi (poligami--Red). ''Banyak pertanyaan lain yang kerap mereka lontarkan pada saya. Intinya, mereka sangat sinis dan begitu negatif memandang Islam,'' terangnya.

Mendapat sindiran seperti itu, Budi tetap teguh dan kukuh pada pendiriannya, menganut agama Islam. Bahkan, ia ingin membuktikan pada keluarganya bahwa Islam itu bukan agama yang mengajarkan hanya kawin cerai. Islam justru sangat membenci perceraian dan menghendaki terbentuknya sebuah keluarga yang harmonis. Sedangkan perceraian adalah jalan keluar (solusi), apabila dalam rumah tangga muncul keretakan yang sulit untuk disatukan kembali.

Karena itu pula, Budi ingin menunjukkan pada saudaranya bahwa dirinya tetap menyayangi istrinya. Dan Budi juga menunjukkan, bahwa para ustadz yang membimbingnya hanya memiliki istri satu. Bukti-bukti itu akhirnya membuat saudara dan rekan-rekannya sesama warga keturunan menjadi percaya pada keputusan Budi memeluk Islam.

''Ternyata saya tidak seperti yang dibayangkan orang sebelumnya. Saya dinilai baik, sehingga banyak orang yang mengikuti pengajian-pengajian saya dan banyak yang ikut masuk Islam,'' ujar mantan ketua umum PITI Yogyakarta ini.

Setelah masuk Islam, Budi merasakan kehidupannya harus mematuhi aturan yang sudah baku dalam Islam, yaitu syariah Islam. Syariah Islam ini diterapkan dalam mengelola usahanya sehingga Budi merasa hasil dari usahanya benar-benar halal.

Baginya, hal yang paling penting dalam beragama adalah mengamalkannya. Ia berpandangan, kalau agama tidak diamalkan, akan menjadi seorang yang ekstrem. Ibarat aki kalau di-charge terus, lama-lama akan meledak. Karena itu, perlu ada penyaluran untuk mengamalkannya.

Artinya, kata dia, setiap ada pengajian diikuti, dan ilmu yang didapatkan diamalkan. Dengan demikian, dirinya akan senang dan masyarakat pun juga suka karena senantiasa bisa bersilaturahim. ''Makanya, silaturahim antarsesama itu sangat dianjurkan. Orang yang senang silaturahim akan dipanjangkan umurnya dan dilapangkan rezekinya,'' katanya.

Ini kalau kita lakukan dan merasa yakin hikmahnya bisa menumbuhkan husnuzhzhan (prasangka baik). Sebaliknya, jika tidak dilakukan akan menumbuhkan su'uzhan (berprasangka buruk) terhadap orang lain.

Lebih lanjut Budi menyatakan, dalam kehidupan bermasyarakat sering muncul perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Karena itu, jika tidak ada silaturahim, akan muncul persepsi (pandangan) yang salah antarsesama warga masyarakat.

Keberhasilan Budi Setyagraha dalam mengelola usahanya telah berhasil mengantarkan kedua anaknya menyelesaikan pendidikan tinggi (pascasarjana, S2) di Amerika Serikat. Mia (29) lulusan S2 jurusan Finansial dan Yudistira (27) menyelesaikan S2 jurusan Ekonomi Makro. Kini, mereka sudah kembali ke Indonesia ikut membantu menjalankan usaha Budi.

Sejak 1984 hingga 2004, Budi Setyagraha dinobatkan sebagai ketua DPD Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketika pertama kali menjabat ketua PITI DIY, jumlah anggotanya baru tiga orang. Namun, kini jumlah orang Tionghoa di Yogyakarta yang masuk Islam sudah mencapai 200 orang.

Menurut Budi, peran PITI ini sangat penting bagi perkembangan Islam di Yogyakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya. Bahkan, Budi menilai, PITI merupakan jembatan bagi warga Tionghoa untuk masuk Islam.

Sebab, wadah ini merupakan tempat untuk ''berlindung'' bagi warga Tionghoa yang masuk Islam. Mereka yang masuk Islam tentu akan menghadapi berbagai tantangan. Dan, bila ada persoalan, PITI akan berusaha turut serta menyelesaikan permasalahan yang ada. Karena itu, PITI memberikan ''perlindungan'' agar warganya tetap dalam iman dan Islam.

Untuk meningkatkan keimanan warga Tionghoa yang masuk Islam, rumahnya kini menjadi 'madrasah' (tempat menuntut ilmu--Red), seperti majelis taklim (pengajian). Bahkan, Budi menyediakan sebuah mobil untuk antar jemput bagi anggota PITI yang ingin mengikuti pengajian di rumahnya.

Budi menjelaskan, sebagian besar anggota PITI berasal dari warga keturunan yang melakukan perkawinan campur (Cina-Jawa, Cina-Sunda, dan lainnya). Dan, sangat sedikit pasangan suami istri yang semuanya keturunan Tionghoa yang masuk Islam.

Selepas dari DPD PITI DIY, Budi Setyagraha dipercaya untuk menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PITI. Jabatan ini diembannya sejak 2005 lalu.

Masuk Islam bagi Budi merupakan berkah dan petunjuk Allah SWT. Tidak ada maksud lain. Ia kini tidak lagi khawatir akan dicabut rezekinya. Bahkan, usaha toko bahan bangunan yang dirintisnya mempunyai cabang di Semarang dan Solo, Jawa Tengah.

Selain itu, Budi juga mempunyai dua Bank Perkreditan Rakyat (BPR), yaitu Lumbung Harta dan Artha Berkah Cemerlang. Selain itu, ia juga mempunyai satu BPR Syariah Margi Rejeki.

Banyaknya usaha yang dijalani, ia ingin menepis anggapan bahwa orang Islam itu selalu miskin. ''Tetapi, orang Islam juga bisa kaya,'' tandas Budi.heri purwata/taq

sumber : republika

Jimmy Irawan Pangestu: Martabak Cahaya Super Bandung, Pembuktian Diri Seorang Muallaf

Kalau Anda bermukim di sekitar Jalan Fatmawati dan Cipete, pasti sudah mengenal Martabak Cahaya Super Bandung. Salah satu jajanan kuliner yang direkomendasikan beberapa blogger ini memang termasuk ramai dipadati pengunjung.

Kalau dilihat sekilas, martabak Cahaya Super Bandung tidak berbeda dengan martabak Bandung lainnya. Tapi yang membuat pengunjung ketagihan, adalah kulitnya yang garing dan renyah. Isinya yang berupa daging pun cukup banyak untuk ukuran martabak seharga Rp. 24.000 hingga Rp. 30.000 ini.

Layaknya para pebisnis lain, Jimmy Irawan Pangestu (62) memulai bisnisnya dari nol. Bedanya, ia benar-benar harus membangun usahanya ini seorang diri, bahkan tanpa restu orangtua sekalipun. Pasalnya, di usia 16 tahun Jimmy kabur dari rumah untuk menjadi seorang muallaf.

Sekarang Kakek dari empat cucu ini sudah dapat bernapas lega, karena jerih payahnya terbayar sudah. Usaha restoran dan martabaknya saat ini telah mampu memberi ia dan kelima anaknya, kehidupan yang cukup mapan.

Tak Ingin Jadi Gembel

"Kalau masuk Islam siap-siap jadi gembel, lho," begitulah yang diucapkan keluarga dan kakak-kakanya ketika Jimmy menyatakan ketertarikannya untuk masuk Islam. Terlahir di keluarga penganut Katolik, tentu tak mudah bagi mereka untuk menerima ketertarikan pemuda belia ini.

Pada halohalo.co.id, Jimmy mengaku tertarik untuk masuk Islam setelah mendengar kumandang adzan. "Saya juga tergugah dengan teman saya, karena meski bengal, ia tidak pernah melupakan shalat," kenangnya.

Meski ditentang keluarga, tapi tekadnya untuk menjadi muallaf sudah bulat. Jimmy bahkan rela kabur ke Jakarta meninggalkan rumah dan sekolahnya di Bandung, meski harus menjadi gembel dan merasakan kerasnya kehidupan di jalanan.

Selama masa 'pelariannya', Jimmy menyimpan tekad kuat untuk membuktikan pada keluarganya bahwa ia tak akan menjadi gembel. Karena itulah, ia pun bersedia diajak tinggal di pesantren di daerah Lebak, Banten, oleh temannya.

"Saya hampir jadi gembel di Jakarta, karena itu saya ikut 'mondok' saat diajak teman," kata pria kelahiran 1946 ini. Selesai mengenyam pendidikan di pesantren selama empat tahun, Jimmy kembali ke Jakarta dan kos di daerah Jembatan Lima.

"Tapi saya bayar kos cuma tiga bulan, selebihnya enggak bayar," tukasnya, tersenyum. Kok bisa? Tentu saja, sebab ia menikahi anak gadis si pemilik kos yang tertarik padanya. Meski menikah di usia terbilang muda, 23 tahun, Jimmy berusaha menghidupi istrinya dengan menjadi supir taksi selama tiga tahun.

Selain itu, ia pun sempat berbisnis jual beli motor dan mobil yang dirintis secara perlahan. Bahkan ia sempat memiliki sebuah show room mobil di daerah Pecenongan, Jakarta Pusat.

Bisnis Makanan Berbekal Resep

Saat Indonesia mengalami devaluasi di tahun 80-an, di mana pengguntingan mata uang membuat perekonomian Indonesia sempat kacau. Jimmy mulai berpikir untuk beralih ke bisnis lain, yang sekiranya lebih menguntungkan dibanding bisnis otomatif.

"Waktu itu baru terlintas di benak saya untuk banting setir ke usaha makanan," tukasnya. Ia pun ingat kembali pada seorang pengusaha restoran yang memberinya kartu nama dan petuah kalau bisnis yang menguntungkan, adalah bisnis makanan. "Karena kondisi sesusah apapun, manusia tetap butuh makan," tambahnya.

Maka datanglah Jimmy ke pengusaha yang ternyata pemilik restoran Cahaya Kota, yang sudah tak mengenali lagi Jimmy. Maklum saja, ia memberikan kartunya sekitar sepuluh tahun lalu.

"Sebetulnya dia lupa siapa saya, tapi ketika saya cerita dia lalu ingat dan baru 'ngeh'," tukas Jimmy. Hasilnya, ia pulang berbekal resep dari pengusaha tersebut.

Tapi resep itu tidak serta merta memberinya laba, sebab butuh dua tahun bagi Jimmy untuk mendalami usahanya. Mulai dari memilih lokasi, menyewa tempat, menyiapkan alat-alat, serta pegawai. Sebab selain martabak, ia pun membuka restoran.

Di tahun 1989, akhirnya Jimmy membuka usaha restoran dan Martabak yang diberi nama Cahaya Super Bandung yang mengambil lokasi di jalan Fatmawati yang saat itu harga sewa tanahnya masih Rp. 7,5 juta per tahun. "Sekarang sewanya seharga Rp. 65 juta setahun," akunya.

Ketika dibuka pertama kali, Jimmy baru mampu mempekerjakan tak lebih dari tujuh pegawai. "Buat di martabak dua orang, sedang di restoran lima orang: tukang masak, tukang potong, dua orang yang melayani tamu, dan tukang cuci satu orang," jelasnya.

Mensyukuri Anugerah

Kini nama Martabak Cahaya Super Bandung yang Jimmy bangun dengan modal Rp. 7,5 juta ini, sudah banyak dikenal masyarakat, bahkan menjadi salah satu tempat yang direkomendasikan pecinta jajanan.

Wajar bila kini Jimmy sudah bisa bernapas lega, sebab omset hariannya saja sudah bisa mencapai Rp. 2 juta. Bahkan khusus di hari-hari libur dan puasa yang cukup ramai, keuntungan yang bisa ia raup sebanyak Rp. 8 juta!

Tapi yang namanya berdagang, tentu ada ramai dan sepi. Tak terkecuali usaha yang dilakukan Jimmy. Tapi ia mengaku selalu bersyukur, meski dagangannya tengah sepi sekalipun.

"Rejeki itu anugerah Allah, sekecil apapun tetap anugerah. Makanya saya selalu bersyukur dengan apa yang bisa saya raih saat ini," paparnya.

Sebagai seorang muallaf, keimanan Jimmy justru makin menebal seiring dengan keinginannya untuk terus membuktikan diri ini. Bahkan saat istrinya masih hidup, ia rela tinggal berjauhan. Istri dan kelima anaknya bermukim di Bandung, sedang ia menjalankan restoran di Jakarta.

"Saya sendiri pulang ke Bandung biasanya sekali atau dua kali sebulan," akunya.

Sayangnya tujuh tahun yang lalu, tepatnya saat usia perkawinan Jimmy berusia 32 tahun, istrinya dipanggil menghadap Sang Kuasa. Padahal, saat itu anak-anaknya - Fran Setiawan, Nurjana, Nurmaya, Fredi dan Nurva - masih kecil-kecil.

Agar sang ayah tidak merasa kesepian, kini putra-putrinya yang tinggal di Bandung sudah meminta Jimmy untuk kembali menikah. Apalagi saat ini kelimanya sudah beranjak dewasa.

"Katanya biar bapak ada yang mengurus. Saya sih mau saja, cuma belum menemukan calon yang tepat," imbuh pria yang Desember mendatang akan menunaikan rukun Islam kelima di Tanah Suci ini, sambil tersenyum.

halohalo.co.id

Menemukan Kedamaian Islam di Balik Jilbab dan Niqab

Muallaf Sara Bokker, dulunya adalah seorang model, aktris, aktivis dan instruktur fitness. Seperti umumnya gadis remaja Amerika yang tinggal di kota besar, Bokker menikmati kehidupan yang serba gemerlap. Ia pernah tinggal di Florida dan South Beach, Miami, yang dikenal sebagai tempat yang glamour di Amerika. Kehidupan Bokker ketika itu hanya terfokus pada bagaimana ia menjaga penampilannya agar menarik di mata orang banyak.

Setelah bertahun-tahun, Bokker mulai merasakan bahwa ia selama ini sudah menjadi budak mode. Dirinya menjadi "tawanan" penampilannya sendiri. Rasa ingin memuaskan ambisi dan kebahagian diri sendiri sudah mengungkungnya dalam kehidupan yang serba glamour. Bokker pun mulai mengalihkan kegiatannya dari pesta ke pesta dan alkohol ke meditasi, mengikuti aktivitas sosial dan mempelajari berbagai agama.

Sampai terjadilah serangan 11 September 2001, dimana seluruh Amerika bahkan diseluruh dunia mulai menyebut-nyebut Islam, nilai-nilai Islam dan budaya Islam, bahkan dikait-kaitkan dengan deklarasi "Perang Salib" yang dilontarkan pimpinan negara AS. Bokker pun mulai menaruh perhatian pada kata Islam.

"Pada titik itu, saya masih mengasosiasikan Islam dengan perempuan-perempuan yang hidup di tenda-tenda, pemukulan terhadap istri, harem dan dunia teroris. Sebagai seorang feminis dan aktivis, saya menginginkan dunia yang lebih baik bagi seluruh umat manusia," kata Bokker seperti dikutip dari Saudi Gazette.

Suatu hari, secara tak sengaja Bokker menemukan kita suci al-Quran, kitab suci yang selama ini pandang negatif oleh Barat. "Awalnya, saya tertarik dengan tampilan luar al-Quran dan saya mulai tergelitik membacanya untuk mengetahui tentang eksistensi, kehidupan, penciptaan dan hubungan antara Pencipta dan yang diciptakan. Saya menemukan al-Quran sangat menyentuh hati dan jiwa saya yang paling dalam, tanpa saya perlu menginterpretasikan atau menanyakannya pada pastor," sambung Bokker.

Akhirnya, Bokker benar-benar menemukan sebuah kebenaran, ia memeluk Islam dimana ia merasa hidup damai sebagai seorang Muslim yang taat. Setahun kemudian, ia menikah dengan seorang lelaki Muslim. Sejak mengucap dua kalimat syahdat Bokker mulai mengenakan busana Muslim lengkap dengan jilbabnya.

"Saya membeli gaun panjang yang bagus dan kerudung seperti layaknya busana Muslim dan saya berjalan di jalan dan lingkungan yang sama, dimana beberapa hari sebelumnya saya berjalan hanya dengan celana pendek, bikini atau pakaian kerja yang 'elegan'," tutur Bokker.

"Orang-orang yang saya jumpai tetap sama, tapi untuk pertama kalinya, saya benar-benar menjadi seorang perempuan. Saya merasa terlepas dari rantai yang membelenggu dan akhirnya menjadi orang yang bebas," Bokker menceritakan pengalaman pertamanya mengenakan busana seperti yang diajarkan dalam Islam.

Setelah mengenakan jilbab, Bokker mulai ingin tahu tentang Niqab. Ia pun bertanya pada suaminya apakah ia juga selayaknya mengenakan niqab (pakaian muslimah lengkap dengan cadarnya) atau cukup berjilbab saja. Suaminya menjawab, bahwa jilbab adalah kewajiban dalam Islam sedangkan niqab (cadar) bukan kewajiban.

Tapi satu setengah tahun kemudian, Bokker mengatakan pada suaminya bahwa ia ingin mengenakan niqab. "Alasan saya, saya merasa Allah akan lebih senang dan saya merasa lebih damai daripada cuma mengenakan jilbab saja," kata Bokker.

Sang suami mendukung keinginan istrinya mengenakan niqab dan membelikannya gaun panjang longgar berwarna hitam beserta cadarnya. Tak lama setelah ia mengenakan niqab, media massa banyak memberitakan pernyataan dari para politisi, pejabat Vatikan, kelompok aktivis kebebasan dan hak asasi manusia yang mengatakan bahwa niqab adalah penindasan terhadap perempuan, hambatan bagi integrasi sosial dan belakangan seorang pejabat Mesir menyebut jilbab sebagai "pertanda keterbelakangan."

"Saya melihatnya sebagai pernyataan yang sangat munafik. pemerintah dan kelompok-kelompok yang katanya memperjuangkan hak asasi manusia berlomba-lomba membela hak perempuan ketika ada pemerintah yang menerapkan kebijakan cara berbusana, tapi para 'pejuang kebebasan' itu bersikap sebaliknya ketika kaum perempuan kehilangan haknya di kantor atau sektor pendidikan hanya karena mereka ingin melakukan haknya mengenakan jilbab atau cadar," kritik Bokker.

"Sampai hari ini, saya tetap seorang feminis, tapi seorang feminis yang Muslim yang menyerukan pada para Muslimah untuk tetap menunaikan tanggung jawabnya dan memberikan dukungan penuh pada suami-suami mereka agar juga menjadi seorang Muslim yang baik. Membesarkan dan mendidik anak-anak mereka agar menjadi Muslim yang berkualitas sehingga mereka bisa menjadi penerang dan berguna bagi seluruh umat manusia."

"Menyerukan kaum perempuan untuk berbuat kebaikan dan menjauhkan kemunkaran, untuk menyebarkan kebaikan dan menentang kebatilan, untuk memperjuangkan hak berjilbab maupun bercadar serta berbagi pengalaman tentang jilbab dan cadar bagi Muslimah lainnya yang belum pernah mengenakannya," papar Bokker.

Ia mengungkapkan, banyak mengenal muslimah yang mengenakan cadar adalah kaum perempuan Barat yang menjadi mualaf. Beberapa diantaranya, kata Bokker, bahkan belum menikah. Sebagian ditentang oleh keluarga atau lingkungannya karena mengenakan cadar. "Tapi mengenakan cadar adalah pilihan pribadi dan tak seorang pun boleh menyerah atas pilihan pribadinya sendiri," tukas Bokker. (ln/Saudi Gazette/Isc)

sumber : eramuslim

Minggu, 10 Januari 2010

Menikmati Menjadi Muslim

Ia mengaku menikmati menjadi pendeta. Sayang, dari lubuk hatinya paling dalam, tak pernah merasakan kebahagiaan. Atas izin Allah, kebahagiaan itu ia temukan dalam Islam
Suatu hari ketika Idris Tawfiq sedang memberikan kuliah di Konsulat Inggris di Kairo, ia menyatakan dengan jelas bahwa dirinya tidak menyesali masa lalunya; tentang hal-hal yang dilakukannya sebagai seorang penganut ajaran Kristiani dan kehidupannya di Vatikan selama lima tahun.

“Saya menikmati saat menjadi pendeta, menolong orang selama beberapa tahun. Namun jauh di dalam hati saya tidak bahagia, saya merasa ada sesuatu yang salah. Untungnya, dengan izin Allah, beberapa peristiwa dan kebetulan terjadi dalam hidup yang membawa saya kepada Islam,” katanya kepada para hadirin yang memenuhi ruang pertemuan di Konsulat Inggris.

Tawfiq kemudian memutuskan berheni menjadi pendeta di Vatikan. Ia lalu melakukan petualangan ke Mesir.

“Saya dulu mengira Mesir itu sebuah negeri yang banyak piramidnya, unta, pasir, dan pohon palem. Saya menyewa pesawat untuk pergi ke Hurghada.”

“Terkejut karena keadaan di sana sama seperti pantai-pantai Eropa, saya lantas segera mencari bis menuju ke Kairo, di mana saya mendapatkan pengalaman yang mengesankan seumur hidup”

“Itu pertama kali saya berkenalan dengan Muslim dan Islam. Saya memperhatikan orang Mesir begitu ramah, baik, tapi juga sangat kuat.”

“Seperti halnya semua orang Inggris, pengetahuan saya tentang Muslim hingga saat itu tidak melebihi dari apa yang saya dengar di TV tentang bom bunuh diri dan pasukan perlawanan, yang memberikan kesan bahwa Islam adalah agama yang sering membuat masalah. Namun, ketika mengunjungi Kairo, saya menemukan betapa indahnya agama Islam ini. Orang-orang yang sangat sederhana yang berjualan di pinggir jalan, akan segera meninggalkan dagangan mereka begitu mendengar suara panggilan untuk shalat. Mereka memiliki keyakinan yang kuat terhadap keberadaan dan takdir Allah. Mereka puasa, shalat, membantu orang miskin, dan bercita-cita untuk pergi ke Makkah dengan harapan bisa mendapatkan surga di akhirat nanti,” cerita Tawfiq tentang pengalamannya di Mesir.

Tawfiq melanjutkan dengan cerita sekembalinya dari Kairo.

“Ketika saya kembali dari sana, saya melanjutkan pekerjaan sebagai guru agama. Mata pelajaran yang wajib dalam pendidikan di Inggris hanyalah kajian tentang agama. Saya mengajarkan tentang agama Kristen, Yahudi, Budha, dan lainnnya. Sehingga setiap hari saya harus selalu membaca tentang agama-agama itu, agar bisa menyampaikan pelajaran kepada murid-murid, yang kebanyakan adalah pengungsi Muslim. Dengan kata lain, memberikan mata pelajaran tentang Islam, mengajarkan saya banyak hal.”

Anak-anak muridnya secara tidak langsung lebih mengenalkan dirinya dengan kehidupan Muslim.

“Tidak seperti kebanyakan remaja yang membuat ulah, murid-murid itu merupakan contoh yang baik seperti apa Muslim itu. Mereka sopan dan baik, sehingga persahabatan terbangun di antara kami, dan mereka meminta izin apakah dapat menggunakan ruang kelas saya untuk shalat selama bulan Ramadhan.”

“Beruntungnya, kelas saya adalah satu-satunya ruangan yang berkarpet. Jadilah saya terbiasa duduk di belakang, melihat mereka shalat selama satu bulan. Saya mencoba menyemangati dengan ikut berpuasa selama bulan Ramadhan bersama mereka, meskipun ketika itu saya belum menjadi seorang Muslim.”

“Satu hari ketika saya membaca terjemahan Al-Qur’an di dalam kelas, saya sampai pada ayat: ‘Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Qur’an) itu yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri) ….’. Tanpa saya sadari air mata pun mengalir. Saya berusaha keras untuk menyembunyikannya dari murid-murid.”

Kemudian terjadi peristiwa serangan 11 September 2001. Tawfiq pun mengalami titik balik dalam hidupnya.

“Pada hari berikutnya, saya terpuruk dan melihat bagaimana orang-orang merasa ketakutan. Saya juga takut hal yang sama terjadi di Inggris. Saat itu orang-orang Barat mulai menakuti agama ini dengan menyalahkannya sebagai teroris.”

“Bagaimanapun, pengalaman saya bergaul dengan Muslim memberikan pandangan yang lain. Saya mulai berpikir, ‘Mengapa Islam? Mengapa kita menyalahkan Islam sebagai agama atas tindakan teror yang kebetulan dilakukan oleh orang yang beragama Islam. Sementara tidak ada orang yang menyalahkan agama Kristen sebagai teroris ketika umat Kristen melakukan hal yang sama?”

“Satu hari saya pergi ke masjid terbesar di London untuk mendengarkan lebih banyak tentang agama ini. Sesampainya di Masjid London Central (ICC), di sana ada Yusuf Islam. Mantan penyanyi pop itu duduk dalam sebuah lingkaran, berbicara kepada orang-orang mengenai Islam. Setelah beberapa saat saya bertanya kepadanya, ‘Apa sebenarnya yang Anda lakukan jika ingin menjadi seorang Muslim?’”

“Ia menjawab bahwa seorang Muslim harus percaya kepada Tuhan yang Esa, shalat lima kali sehari, dan berpuasa di bulan Ramadhan.”

“Saya menyelanya dengan mengatakan bahwa saya percaya semua hal itu dan bahkan saya telah ikut berpuasa di bulan Ramadhan.”

“Lantas ia bertanya, ‘Apa yang Anda tunggu? Apa yang membuatmu tertahan?’”

“Saya bilang kepadanya, ‘Tidak, saya tidak bermaksud untuk pindah agama’”

“Saat itu terdengar panggilan untuk shalat dikumandangkan, semua orang lantas bergegas dan membentuk barisan untuk shalat.”

“Saya duduk di belakang, menangis dan menangis. Kemudian saya bertanya kepada diri saya sendiri, ‘Siapa yang coba saya bohongi?’”

“Setelah mereka selesai shalat, saya segera menghampiri Yususf Islam, memintanya untuk mengajarkan kalimat yang harus saya ucapkan untuk pindah agama.”

“Setelah ia jelaskan makna kalimat itu dalam bahasa Inggris kepada saya, kemudian saya mengucapkan dua kalimat syahadat dalam bahasa Arab, “Tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,” cerita Tawfiq mengenai keislamannya, seraya berusaha menahan air matanya.

Sejak itu kehidupan Tawfiq berubah arah. Ia tinggal di Mesir dan menulis sebuah buku tentang dasar-dasar pemahaman tentang Islam.

Lewat bukunya Gardens of Delight: A Simple Introduction to Islam, ia ingin menjelaskan kepada dunia bahwa Islam bukanlah agama teror dan bukan agama yang berisi kebencian. Hal yang selama ini belum ada orang yang berusaha menjelaskannya.

“Maka saya putuskan untuk menulis buku itu, untuk menyampaikan kepada non-Muslim mengenai prinsip dasar Islam. Saya berusaha memberitahukan kepada orang, betapa indahnya Islam dan bahwa Islam memiliki harta kekayaan yang begitu mengagumkan. Bahwa hal terpenting menjadi seorang Muslim adalah saling mencintai. Nabi berkata, ‘Bahkan sebuah senyuman kepada saudaramu adalah sedekah.’”

Tawfiq juga menulis buku tentang Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam, yang menurutnya agak berbeda dengan buku-buku mengenai beliau pada umumnya.

Menurut Tawfiq, “cara terbaik dan tercepat” untuk mengenalkan wajah Islam yang sesungguhnya kepada dunia adalah dengan memberikan contoh yang baik dalam kehidupan nyata. [di/ri/www.hidayatullah.com]